Selasa, 01 Februari 2011

Seni Politik atau Air Seni Politik ?

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Geger terjadi di mana-mana. DPR tolak KPK. Warga tersandera di Mesir dan Tunisia. Puluhan 'wakil rakyat' dipenjara. Porno-porno merajalela. Politisi teriak sesukanya. Dan media mengkilik-kilik seperti adu jangkrik. Rakyat lapar yang melolong pun terbengong-bengong. Ini ada apa sebenarnya? Negeri yang konon gemah ripa loh jinawi tata tentrem karta-raharja ini tiba-tiba seperti neraka. Amuk, musibah, bencana, prahara, dan tawur massal berbarengan menyembul. Itu terjadi di setiap sudut. Dari istana sampai kaki lima. Dari Senayan hingga ruang aparat keamanan yang tidak lagi 'aman'. Saking riuhnya orang geger, tidak bisa lagi dibedakan, itu ekspresi emosi atau militansi. Profanisme atau profesionalisme. Dan yang berteriak-teriak itu intelektual atau anak jalanan. Kini, tokoh yang adem dan teduh telah hilang dari bumi pertiwi. Semua yang tampil manusia yang sudah kerasukan setan klemat dan jin bekasaan. Marah-marah, pendendam, dan iri dengki melulu. Lihat wakil rakyat yang tidak mau 'rapat' dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan alasan Bibit dan Chandra 'pesakitan', mereka menolak kedatangannya dengan dalih 'lembaga negara' haram menerimanya. Padahal ini diindikasikan dilatari dibuinya puluhan 'teman'. Lihat pula Raja Jogya yang melihat 'revolusi Tunisia dan Mesir' tidak lagi bicara melalui hati tapi justru seperti ikut memanasi. Aksi itu diasumsikan akan menjalar ke Indonesia. Padahal yang layak tersulut revolusi seperti itu bukanlah negara, tetapi kerajaan.

Sikap santun dan etis sudah tergadai entah kemana. Sekarang semuanya terlibat saling bantah dan saling berkilah. Ucap dan tindakan tidak perlu lagi diseragamkan. Hantam kromo menjadi senjata andalan. Dan tak disoal benar atau tidak yang diungkapkan, yang penting sama-sama teriak, dan sama-sama merasa benar. Memang yang membuat kondisi runyam ini bermula dari ketidaktegasan pemerintah. Punya patok (hukum) tetapi sering dipindah. Politisi busuk, penegak hukum busuk, birokrat busuk tak segera 'dipukul' agar KO, tapi dibiarkan sebagai 'alat', yang jika saatnya tiba dijadikan sebagai 'penggebuk'. Dalam konteks ini wakil rakyat mungkin bisa benar. Bibit dan Chandra 'diapungkan' (deponeering), yang jika wolak-walik jaman tidak mendukung, kembali akan 'diseret' menjadi pesakitan. Sebab 'gaya' pemerintahan sekarang mengesankan begitu. Menginventarisir semua orang yang punya kesalahan, dan kelak 'ditransaksikan', sebagai alat barter untuk sesuatu yang layak dibarterkan. Akibat 'transaksional' itu, maka semua kasus yang menggelinding terus bergelindingan. Tidak ada yang tuntas-tas. Perkara itu 'waiting list', menunggu antrian untuk dibuka dan dikutip ulang. Jangan heran jika orang-orang yang sudah 'tentram' di penjara, tiba-tiba punya mata rantai dengan perkara-perkara baru yang terbongkar belakangan. Untung maling-maling kroco dan pencopet bus tidak secerdas Gayus. Kalau mereka cerdas, maka mata rantai itu rantainya akan semakin memanjang. Dan ceritanya tentu akan mengalahkan romantisme telenovela yang selalu banyak penggemar.

Sebagai wong cilik, melihat semua itu ayo kita nikmati sebagai hiburan. Kita lihat seperti menyaksikan gocekan Messi yang memperdaya kiper lawan sambil berteriak sesuka kita, mengumpat sesuka kita, dan itu kita lakukan di depan televisi di rumah kita sendiri. Kalau kita bisa nikmatkan itu, maka kapan lagi wong cilik punya kesempatan mengadu 'jangkrik besar yang bersuara lantang, berteriak-teriak emosional, tapi salah-salah lagi. Malu-maluin ya!

Sumber Tulisan : Suud Sukendar/detik.com/1-2-2011 (Judul dimodifikasi)

Tidak ada komentar: