Jumat, 18 Januari 2013

Negeri "Berjuta" Marga

Oleh : Muhammad Ilham 

Salah satu yang menjadi daya tarik bagi saya ketika “berjalan-jalan” ke perkampungan-perkampungan di daerah Sumatera Utara, khususnya perkampungan yang menjadi “enclave” Batak (baik Batak-Mandailing, Toba, Sipirok, Dairi, Simalungun dan Karo), adalah menambah kosakata “marga-marga” orang Batak dalam khazanah saya. Orang Batak, sebagaimana halnya etnik Manado selalu mencantumkan nama marga dan clan di belakang nama kecil. Menurut Elfitra (2002), orang Jawa dan Sunda lumayan ketat dalam memberi nama anak, sehingga nama-nama mereka memiliki kekhasan tersendiri. Bagi orang Jawa dan juga Sunda, dari nama saja bisa langsung dikenali status sosialnya sekaligus, apakah dia keturunan bangsawan atau rakyat biasa. Nama depan “Andi” jelas berasal dari kaum ningrat Sulawesi Selatan, khususnya etnik Bugis. Jadi Andi Mallarangeng yang sudah "dicekal" KPK itu, ternyata turunan bangsawan, sama dengan penyanyi legendaris Andi Meriem Matalatta. Demikian juga halnya dengan kelompok masyarakat adat lain : Badui, Dayak, Sakai, Nias atau Mentawai, masing-masing memiliki karakter tersendiri yang mudah dikenali (addressed). Namun tak ada yang “seketat” orang Batak dan Manado dalam memberi nama dengan kualifikasi addressed tersebut. Manado-Kawanua, misalnya, kita mengenal clan seumpama Tambayong, Pondaag (jadi ingat Pance Pondaag), Mangindaan (marganya Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi EE. Mangindaan), Rumangkang dan seterusnya. Nah, bagi saya, nama-nama orang Batak (dalam hal ini, marga-nya) adalah sesuatu yang teramat kaya-variatif, representasi yang jelas dan kadang-kadang unik bila didengar oleh telinga. Karena itulah, bila saya melakukan perjalanan ke Sumatera Utara, maka mata saya selalu akan mencari nama-nama orang Batak yang (baik) tertera di papan pengumuman, di depan pintu rumah ataupun di kertas-kertas Koran.  

Ketika memulai perjalanan melewati kabupaten Mandailing-Natal terus ke Tapanuli Selatan, nama-nama marga yang sering terbaca oleh saya di papan pengumuman masjid (nama-nama pengurus masjid ataupun khatib masjid ketika singgah untuk sholat dan istirahat) adalah Nasution (marga-nya Jenderal A. Nasution dan Adnan Buyung Nasution), Lubis (jadi ingat dengan Perwira berpengaruh yang menjadi salah satu otak PRRI - Kolonel Zulkifli Lubis ..... kalau sekarang, Lubis melekat dalam kosakata publik karena advokat senior Todung Mulya Lubis dan Indra Sahnun Lubis ...... 2 tahun lalu, Kadiv. Humas Polri juga bermarga Lubis - Brigjen. Zainuri Lubis), Hasibuan, Rangkuti (marganya sastrawan-penyair kondang, Hamsad Rangkuti), Pane (ingat pada Sanusi dan Armijn Pane), Pohan, Pulungan, Tanjung (marganya Akbar tanjung dan Faisal Tanjung ........ dan owner TransTV-TransCorp, Chairul Tanjung), dan Dongoran. Ketika memasuki daerah Tapanuli Tengah dan Utara lanjut ke Toba Samosir, biasanya di setiap rumah warga, khususnya di perkampungan, akan terpampang papan nama (kecil) di atas pintu masuk rumah mereka. Nama kepala keluarga. Dan yang paling ditonjolkan adalah nama marga. Begitulah, ketika masuk daerah Sibolga menuju Barus dan Dolok Sanggul terus ke Pakkat …….. saya menikmati “kekayaan-ragam” nama-nama marga. Ada Simanjutak (biasanya sering ditulis M. Simanjuntak atau L. Simanjutak dan seterusnya ……. M dan L, ada juga W ataupun K … tapi selalu disingkat, sementara marga ditulis lengkap), Silalahi (tokoh nasional bermarga Silalahi, sekarang ini, diantaranya TB - Tahi Bonar - Silalahi), Situmeang, Simarmata, Sitompul (marganya si Poltak yang didepak dari Demokrat), Silitonga (pasti ingat dengan penyanyi terkenal era 70-an Eddy Silitonga), Silindung, Singarimbun (jadi ingat sosiolog kenamaan UGM – Prof. Masri Singarimbun …. dan “si – si” yang lain, termasuk Sidabutar, Sitanggang, Sitorus dan Simbolon. Hutasoit (dulu pada era Soharto ada Menteri bermarga Hutasoit - JE. Hutasoit), Hutasuhut, Hutagalung (siapa yang tak kenal Charles Hutagalung, penyanyi bersuara tenor idola ayah saya ... coy), Hutapea (marganya si flamboyan Hotman Paris Hutapea), Hutajulu, Hutahaean, Hutabarat (pasti ingat dengan penyanyi bersuara merdu, Victor Hutabarat) dan “huta-huta” lainnya seperti Hutauruk (dulu ada penyanyi wanita terkenal, Bornok Hutauruk) dan Hutagaol (Huta Timur tak saya jumpai, apalagi Huta Selatan apatah lagi Huta Tenggara). Melewati Dolok Sanggul terus ke Siborong-Borong menuju Parapat, saya catat beberapa nama marga yang lain (setidaknya yang saya lihat/tertulis di pinggir jalan). Ada Panggabean (jadi ingat dengan “orang kuat” zaman Soeharto, Maraden Panggabean yang Jenderal itu), Panjaitan (marga-nya Donal Izaac/DI. Panjaitan yang patungnya ada di Balige), Tampubolon, Pardede (dulu ada klub bola terkenal, Pardedetex yang owner-nya pengusaha terkenal Batak era 70-an TD. Pardede), Pangaribuan (marga advokat dan tokoh HAM,  Luhut Pangaribuan), Gultom, Nainggolan, Tambunan (marga-nya Gayus), Sinaga (jadi ingat dengan Cyrus Sinaga), Girsang, Damanik, Manik.

Ketika melewati daerah menjelang Medan terus ke Sipirok, saya mencatat beberapa marga yang cukup “familiar” kita dengar. Ada Siregar, ada Batubara (marganya mantan menteri Cosmas Batubara), Harahap dan seterusnya. Ketika akan memasuki daerah Karo (Batak Karo) ……. Nama-nama marga-nya semakin “enak didengar”. Ada Perangin-Angin, Sembiring (mungkin Menkominfo Tiffatul Sembiring adalah orang Karo), Bangun (ingat : actor laga Indonesia angkatan Barry Prima, Advent Bangun), Ginting dan seterusnya.

Saya tak sempat mencatat nama-nama marga yang lain. Saya yakin dan percaya, masih puluhan lagi yang belum terbaca oleh saya. Tapi ada satu marga yang dalam perjalanan bulan Desember 2012 lalu yang selalu saya cari-cari, tapi tak ketemu, yaitu marga RAJAGUKGUK. Marga seorang pakar hokum tata Negara, Prof. Erman Rajagukguk. Saya membayangkan (sambil tersenyum), bila dua pakar dari dua daerah berbeda dipertemukan di sebuah forum seminar, yang satu Prof. Erman RAJAGUKGUK, yang satunya lagi sejarawan terkenal asal Makasar, Prof. Anhar GONGGONG. Tentulah, akan menjadi moment nan “unik”……………… (yang terakhir ini, just kidding, tanpa bermaksud melecehkan). 

Rumah Makan Padang Bercita Rasa "Lain"

Oleh : Muhammad Ilham 

(c) wikipedia.com
Lewat kota Medan antara Tebing Tinggi dan Asahan, seperti biasa, mobil yang kami tumpangi berhenti di rumah makan. Tidak cukup besar, juga tak terlalu kecil. Sederhana. Nampaknya rumah makan ini, ada "aura" Minangkabau, buktinya, ketika memesan makanan, ada yang (mampu) berbahasa Minangkabau dengan aksentuasi-langgam Batak. Saya tak ingin mengomentari cita rasa makanannya. Karena perut lapar, "telur puyuh dimasak dengan air biasapun, enak, "kata salah seorang mahasiswa saya. Saya lebih tertarik mengetengahkan "cita rasa" yang lain. Rupanya, rumah makan yang ada "aura" Minangkabau ini, menjadikan wanita sebagai pelayannya. Bukan itu saja, para wanita ini, justru menggunakan pakaian ketat-bahenol. Salah seorang diantaranya, teramat menonjol. Berdiri di ruangan tengah agak ke dapur, sambil mencuci piring. Wajahnya cantik dengan tekstur tubuh a-la Dewi Persik dan (sedikit) Julia Peres. Pokoknya, posisinya tepat. Jadi fokus orang yang makan. Tak henti-hentinya, seorang mahasiswa saya berguman, "alah maak jang, mati tegak lah awak", katanya sambil menyuap nasi yang menurutnya tak enak, tapi jadi SODAP karena ada "cita rasa" yang lain. Cita rasa mata yang "hijrah" ke lidah. 

Saya teringat dengan Mochtar Naim. Dalam sebuah penelitiannya tentang Rumah Makan Padang (saya pernah baca sekilas ketika observasi arsip ke PDIKM Padang Panjang sekitar pertengahan bulan Oktober 2012 yang lalu), sosiolog yang mantan anggota DPD RI ini dengan tegas mengatakan, "rumah makan Minang atawa rumah makan Padang, tidak menggunakan tenaga kerja wanita". Lelaki Minangkabau, menurut Mochtar Naim, melihat wanita yang bekerja di rumah makan, akan teringat dengan ibunya hingga menimbulkan perasaan kasihan. Namun lebih dari itu, kehadiran wanita di rumah makan, akan membuat pemikiran laki-laki yang makan menjadi "pecah", pemikiran bermacam-macam akan muncul berkelindan. Padahal, rumah makan bagi laki-laki Minang, hanyalah untuk makan tok.

_____ ketika jadi mahasiswa dahulunya, saya sering makan di beberapa rumah makan di kota Padang, khususnya rumah makan "harga miring". Dan, pelayannya, semuanya laki-laki. Orang pun datang ke rumah makan, hanya untuk makan. Belakangan ini, beberapa rumah makan yang saya jumpai, justru hanya menggunakan laki-laki sebagai kasir dan penjaga pintu depan saja. Pelayannya kebanyakan wanita. Ketika nasi diletakkan, ia kemudian berjalan membelakang ...... dan pemikiran kita-pun "pecah" jadinya. (Ternyata) Mochtar Naim ..... betul !

_____ Tadi, saya memeriksa laporan catatan perjalanan beberapa orang mahasiswa saya yang berjenis kelamin laki-laki. Dan, kesan yang sangat mengezutkan bagi mereka adalah, "rumah makan Minang dengan wanita montok berpakaian ketat sebagai pelayannya". Dan saya tak menganggap mereka "gatal" ataupun freudian. Bagi saya, mereka sangat detail melihat sebuah komparasi budaya !!

"Membaca" Barus dan Hamzah al-Fansuri

Oleh : Muhammad Ilham

"Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu..."
(Abdul Hadi WM, 1997: iii)


“Membaca” Barus, mengingatkan kita pada sosok ulama sufi, Hamzah al-Fansuri. Hamzah al-Fansuri teramat mencintai Barus. Dalam Syair Perahu, dan Syair Dagang, Hamzah yang bergelar ujung Fansur = Barus ini menukilkan kalam : "Hamzah ini asalnya Fansuri, Mendapat wujud di tanah Shahrnawi, Beroleh khilafat ilmu yang ’ali, Daripada ’Abd al-Qadir Jilani... ! (tentang syair Hamzah al-Fansuri dan hubungannya dengan Barus, lihat Abdul Hadi WM, 1997). Barus menjadi “legenda” tersendiri dalam sejarah. Dicatat-disebut Hamka sebagai tempat persinggahan awal Islam di Nusantara (abad ke-7 M.), dinukilkan Christinne Dobbin sebagai kota pelabuhan ternama di era abad ke 16-17. Semua itu karena Barus menjadi penghasil kayu kamper (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Menurut Hasan Muarrif Ambary (1998 : 77-78), kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Salah seorang intelektual Arab, Al-Kindi menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. 

Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan. Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Avicena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, yaitu Al Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Kita tidak akan lagi menemukan kejayaan Islam masa lalu dalam bentuk peradaban hidup. Ia ibarat Cordoba dan Granada Spanyol, hanya tinggalan material yang member pesan bahwa dulunya, Islam pernah menapakkan kejayaan. Mayoritas penduduk Desa Penanggahan, tempat dimana Situs Papan Tinggi berada, mayoritas – untuk tidak mengatakan keseluruhan, adalah Non-Muslim. 

Dalam sejarah disebutkan, warga Muslim lebih memilih tinggal dekat laut, sementara warga non-Muslim memilih berada di perkampungan untuk memudahkan mereka bertanam maupun memelihara ternak. Situs Papan Tinggi adalah situs tinggalan arkeologis berupa makam. Untuk menuju makam tersebut, “dipastikan” keringat akan bercucuran. Anak tangga menuju makam Syech Mahmud, yang membawa syiar Islam pertama di Indonesia tersebut berjumlah hampir 900 anak tangga. Bayangkan ! …… saya dan beberapa mahasiswa saya, teramat kelelahan menapak satu demi satu anak tangga tersebut. Makam Syech Mahmud tersebut di perkirakan sekitar tujuh meter lebih. Di batu nisan yang terbuat dari batu cadas itu, nama Syech Mahmud Fil Hadratul Maut yang ditahrikhkan pada tahun 34 H sampai 44 H yang berarti hidup pada masa Umar Bin Khattab sebagai khalifah (cf : Khilal Syauqi, lc., MA). Tidak diketahui bagaimana caranya batu cadas itu bisa sampai di ketinggian ini. “Barus” yang dicatat Dobbin dan dirindudendamkan Hamka itu, telah pupus. Saat ini hanya tinggalan arkeologis Papan Tinggi dan Makam Mahligai yang menjadi bukti bahwa negeri yang dicintai Hamzah al-Fansuri ini pernah menjadi Venecia-nya Sumatera. 

Referensi : Abdul Hadi WM. (1997) & Hasan Muarrif Ambary (1998)

"Simbolisasi" Agama dalam Politik


Oleh : Muhammad Ilham

Kota saya, sudah mulai banyak dipenuhi baliho para "calon", entah itu calon Walikota ataupun calon legislator yang akan mengadu peruntungan tahun 2013 dan 214 yang akan datang. Seperti biasa, pesan-pesan normatif keagamaan dalam baliho-baliho tersebut - apalagi bila berkaitan dengan moment keagamaan - sangat mengemuka. Dalam konteks ini, teringat oleh saya pengalaman seorang kawan dari teman saya, tahun 2009 yang lalu.  Ada seorang teman dari kawan saya yang kebetulan "nyaleg" waktu Pemilu Legislatif 2009 yang lalu. Teman dari kawan saya ini dikenal sebagai "urang pasa", sering duduk dikedai, hobi main koa dan sangat "pa-ota". Ketika jadi Caleg, praktis ia tak pernah lagi ke kedai memegang kartu Koa. Fotonya di baliho kampanye bergandeng dengan gambar masjid, dan ia memakai baju koko-berkopiah. Dibawahnya bertuliskan : "Mari Kita Kembali ke Surau, Mari Semarakkan Masjid, Hindari Maksiat". Ketika ia dinyatakan gagal jadi anggota legislatif, ia kembali ke habitat-nya, Kedai dan Koa. Sambil bergurau, kawan-kawannya-pun menyindirnya memanfaatkan simbol-simbol agama. Dengan santai ia-pun bilang, di dunia ini tiga daya tarik politik : "Uang, Wanita dan Simbol Agama". Yang pertama, sulit bagi saya, yang kedua tidak mungkin kita lakukan di ranah Minang, yang ketiga lebih memungkinkan. Oke ... putar kartu Koa-nya, kita main .... dan azan berkumandang, ia tidak mau ke Surau .... Coki ! 

(Tulisan dibawah, terinspirasi dari dialog saya dengan seorang kawan di FB)

(c) kompasiana.com
Seandainya Sumatera Barat memiliki ulama kharismatis, mungkin saat-saat sekarang, sang ulama akan kewalahan menerima kunjungan para Calon Kepala Daerah, untuk sekedar bersilaturrahmi. Seandainyalah, Sumatera Barat tidak ”dikuasai” Muhammadiyah, tapi dipengaruhi oleh NU-Tradisionalis, maka saat-saat sekarang ini, akan banyak kunjungan Calon Kepala Daerah ke maqam-maqam ulama kharismatik. Begitu menariknya simbol-simbol agama dalam ranah politik, membuat seluruh pasangan Calon Kepala Daerah, setidaknya yang terlihat di baliho pinggir jalan – merasa perlu untuk memakai simbol-simbol agama : ”Surau, Asmaul Husna, gambar Masjid, Kopiah Haji, Baju Koko dan memamerkan gelar Haji”. Hampir pasti, tak ada Calon Kepala Daerah yang memakai simbol-simbol ”grass-root”. Begitu kuat daya tarik simbol-simbol agama dalam politik, sehingga tidak pula mengherankan apabila (ketika jadi Gubernur) Fauzi Bowo ”kewalahan” menghadapi politisasi kasus Maqam Mbah Priok, Pasangan Jokowi, Basuki "Ahok" Tjahaya Purnama merasa kewalahan menghadapi serangan rasis (baca : agama) terhadap dirinya,  bahkan 2 tahun yang lalu  Julia Perez yang ”bahenol-monotok” tersebut seakan-akan layu untuk maju jadi Bupati Pacitan ketika ”Pasal Zina” dihembuskan Mentri Dalam Negeri.

Agama sebagai sebuah fakta kultural dan historis memiliki dua dimensi utama: yaitu dimensi simbolis-mitis dan sosiologis. Dimensi simbolis-mitis mengandung arti bahwa agama merupakan sebuah struktur makna (meaning structure) yang berada di ranah abstrak dan keberadaannya terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna tersebut maka mode pemahaman diri (mode of self-understanding) digagas dan diciptakan melalui berbagai kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran. Dalam kegiatan ini termasuk penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada untuk kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Karena sifatnya yang abstrak dan sangat tergantung pada kemampuan tafsir itulah maka ajaran agama pada hakekatnya terbuka untuk diperdebatkan, apalagi ditambah adanya kenyataan adanya konteks sosiologis dan dimensi historis yang akan menjadi batas dan bingkainya. Pemahaman terhadap ajaran agama, dengan demikian, tidak mungkin tunggal atau monolitik. Munculnya berbagai macam aliran atau mazhab (schools of thought) sebenarnya merupakan hal yang wajar dan sah-sah belaka. Ketika agama dan pemeluknya berada dalam konteks politik, maka peran dan fungsi sosial dan politik agama pun akan sangat dipengaruhi oleh dialektika antara dimensi simbolis-mitis dan sosiologis-historis. Pada suatu konteks historis tertentu agama bisa saja begitu hegemonik sehingga sakan-akan menjadi satu-satunya alat untuk menjelaskan realitas atau merupakan kekuatan ideolologis yang tak tertandingi dalam  masyarakat. Namun pada konteks yang lain posisi seperti ini dapat saja terdesak ataupun mengalami pergeseran-pergeseran dan bahkan bisa lebih jauh : agama dianggap kehilangan relevansinya sebagai alat penjelas realitas tersebut. Sejarah ummat manusia, jika dilihat dari perspektif perkembangan agama, adalah rangkaian perubahan-perubahan yang terjadi dalam peran dan fungsi agama dalam konteks sosiologis ummat manusia.

Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting. Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan (ini yang dikritisi para kalangan Marxian). Pemakaian” ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya. Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik.Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu. 

Fakta mengungkapkan, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua – muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih. Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, makamengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama. Keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, kandidat yang bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakanakan lebih diapresiasi. 

Referensi : Kuntowijoyo (1994)

Cecak dan Empat "Tetek" : Catatan Kearifan Budaya Lokal

Oleh : Muhammad Ilham 

Apalah “mantagi”cecak ? Makhluk yang selalu saya “tembak” bersama dengan teman-teman masa kecil sewaktu di masjid. “Membunuh seekor cecak, sama artinya membunuh sekian orang kafir”, demikian doktrin bodoh yang saya terima waktu dulu, sebelum saya akil baligh, sebelum memiliki kemampuan untuk membantah guru-guru mengaji saya. Guru-guru mengaji saya itu, saya fikir juga tak salah. Mereka mewarisi “pengajian” sejenis dari guru-guru mereka dulunya. “Cecak-lah yang menunjukkan persembunyian Rasulullah ketika putra Abdullah dan Aminah ini melakukan perjalanan hijrah dari Mekkah menuju Madinah bersama sahabatnya Abu Bakar ash-Shiddiq. Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di sebuah gua agar tak diketahui kafir Qureys. Persembunyian Rasul yang ummi ini hampir diketahui kafir Qureys karena cecak berbunyi, untunglah ada laba-laba yang membuat sarang, sehingga kafir Qureys merasa yakin, didalam gua tidak ada manusia”, demikian kata salah seorang guru mengaji saya dulunya. Dan, dendam kesumat saya berkecambah. Di bulan puasa, saya teramat rajin “menembak” cicak-cicak di dinding dengan senjata panah yang terbuat dari lidi runcing di ujung, ditarik dengan karet yang sangat elastis. Setiap cecak yang tertembak-mati, saya dan teman-teman berteriak girang, seakan-akan kami seumpama “mujahidin”. Demikianlah. Perilaku “bodoh” ini berlangsung untuk beberapa saat, hingga almarhum ayah saya berkata, “tak ada yang sia-sia diciptakan Tuhan di muka bumi ini nak. Mungkin cecak lebih berharga bagi manusia, dibandingkan kamu. Coba lihat, berapa nyamuk yang dimakan cecak. Ketika kamu membunuh satu ekor cecak, maka semakin berkecambah jumlah nyamuk di sekeliling kita”, kata ayah saya sambil menghisap rokok Kaiser setelah berbuka puasa. Dan saya (teramat) ingat dengan ucapan ayah saya ini. Saya tak protes pada guru mengaji saya. Namun yang pasti, setiap bertemu cecak, dalam hati saya selalu “minta maaf” …. Hehehe. Pada dua anak perempuan saya, saya selalu katakan, “walau terkesan menjijikkan bagi sebagian orang, cecak adalah makhluk Tuhan yang tugasnya jelas, yaitu memangsa nyamuk, nyamuk yang selalu menggigit kalian jelang lena tidur”. Saya juga tak pernah menceritakan pada mereka, kisah “bodoh” bunyi cecak di mulut gua kala nabi dan Abu Bakar bersembunyi. Saya ingin pemahaman yang “ramah” pada mereka tentang cecak, walau menurut saya tak memiliki “mantagi”.

Dan, di Tomok pulau Samosir, saya mendapatkan “mantagi” makhluk yang bernama cecak ini. Dalam kajian antropologi, dikenal adanya konsep “key-culture” dalam bentuk simbol. Biasa-nya ini dinisbatkan pada warna, seumpama warna kuning bagi orang Melayu, merah untuk orang Cina, paduan kuning-merah-hitam bagi orang Minangkabau dan seterusnya. Simbol itu juga dipersonifikasikan dengan binatang. Bila kerbau menjadi salah satu simbolisme “key-culture” Minangkabau, babi bagi masyarakat Papua dan Mentawai, kuda bagi orang Lombok dan Sumbawa, Naga untuk etnik Tionghoa, ular pada sub etnik tertentu di India …. maka cecak menjadi pilihan orang Batak. Lihatlah, simbolisasi cecak selalu dietakkan di depan rumah adat Batak, pada tiang-tiang upacara ataupun pada bangunan-bangunan estetik-kultural etnik asal Ruhut Sitompul ini. Ketika kali pertama saya berkunjung ke Tomok tahun 2000, melihat bangunan megalitik Ompu Sidabutar-Naibatu Sidabutar-Anting Malela, saya tertawa-tawa melihat “pilihan” orang Batak jatuh pada cecak untuk mempersonifikasikan nilai-nilai “key-culture” mereka. “Inilah binatang yang sering saya tembak dahulu”, guman saya dalam hati. Namun tawa saya ini berubah menjadi kekaguman ketika saya berdiskusi panjang dengan para tetua adat Batak di pulau Samosir (Tomok dan Ambarita), ataupun di Balige dan beberapa daerah “asli” di Tapanuli Tengah serta Tapanuli Utara.

“Mengapa harus cecak, ompung?”, tanya saya pada Marulin Sipahutar, orang pertama yang saya jumpai tahun 2000 tersebut.

“Saya yakin, itu adalah pertanyaan yang akan kau tanyakan”, jawabnya. Aksentuasinya mengingatkan saya dengan Nagabonar, tokoh idola saya, apalagi ketika ia selalu memanggil saya dengan KAU. “Dengarkan, baik-baik”, katanya sambil memperbaiki letak ulosnya.

“Kau tahu Bill Clinton ? Kau tahu SBY ? Kau tahu Maradona ? Tahukah kau Mike Tyson ?”, tanyanya pada saya.

“Ahhh, tahulah ompung, masak saya tak tahu”, jawab saya dengan bingung karena tak mengerti arah dan tujuan pertanyaannya.

“Mereka punya rumah kan ?. Di rumah Clinton, SBY, Maradona dan Mike Tyson pasti ada cecak. Seperti juga, cecak ada di rumah tukang becak, tukang angkat di pelabuhan, di rumah kenek mobil, sopir angkot hingga sopir taxi, di rumah bintang film Hollywood hingga di rumah pengamen, dari rumah gedung hingga rumah reyot, bahkan rumah yang belum jadi sekalipun ….. cecak pasti ada”, jawabnya bersemangat. Skak Ster.

(Saya-pun mulai terpana. Jawaban yang yang telah mulai menemui titik terang)
“Orang Batak itu harus seperti cecak. Dimanapun mereka berada, mereka harus bisa menyesuaikan diri. Jangan main-main kau dengan filosifi cecak ini, walau ia binatang yang terkesan dilecehkan, tapi ia satu-satunya binatang yang dibangunan apapun didunia ini, ia pasti ditemukn !”, cetusnya kembali sambil menawarkan saya rokok Gudang Garam Merah yang masih terngaga. Terngaga, kagum dengan “makna-filosofis” binatang yang selalu saya tembak waktu kecil itu.

Apa yang diterangkan Marulin bermarga Sipahutar ini membuat saya teringat dengan sosiolog besar peletak dasar grand theory fungsional dalam tradisi ilmu sosiologi, yaitu Talcott Parson. Parson mengatakan bahwa tingkat kemajuan sebuah komunitas sosial sangat dipengaruhi oleh daya adaptif yang dimiliki oleh pendukung komunitas sosial tersebut. Semakin mereka mudah beradaptasi, semakin tinggi potensi mereka untuk dinamis dan terbuka (dua prasyarat komunitas sosial yang diidentikkan dengan masyarakat maju). Saya juga teringat dengan analisis antropolog (muslim) Akbar S. Ahmed yang mengatakan bahwa peradaban Islam di Spanyol sangat maju pada zamannya dikarenakan kemampuan adaptif yang tinggi dari para pendukung peradaban tersebut. Cecak ternyata memiliki “matagi” !!

“Lalu, apa hubungannya dengan gambar nan sensual itu, ompung ?”, tanya saya sambil menunjuk replica PAYUDARA yang jumlahnya empat buah.
Gambar yang membuat fantasi saya liar entah kemana. Apalagi bentuknya yang “pas-montok” ….. tanpa silicon.
Si Ompung ini ketawa terbahak-bahak.
“Tempat kau menyusu ini, ucok!”, jawabnya pada saya.
“Ya, saya tahu. Tapi mengapa cecak mengahadap replica payudara ini ? Apalagi jumlahnya empat buah pula. Setahu saya, jumlahnya dua. Montoknya, bolehlah, tapi kalau jumlahnya empat …. alamaaak jang, pening aku melihatnya”, kata saya. Kembali si ompung ini terbahak.
“Tetek ini, jumlahnya memang empat. (ia menggunakan istilah “tetek” untuk menyebutkan payudara”). Tapi jangan kau bayangkan wanita Batak dulu, teteknya empat pula. Ini maknanya banyak, ucok”, katanya.
“Apa kira-kira maknanya tu ompung”, tanya saya dengan tak sabar.
“Orang Batak, yang digambarkan dengan cecak itu, harus menjadi manusia yang mudah beradaptasi, di negeri manapun di dunia ini. Mereka harus menjadi orang berguna dengan segala ragam profesi. Tapi jangan lupa, mereka punya ibu yang digambarkan dengan tetek. Ibu genetic dan ibu budaya. Intinya, sejauh-jauh cecak merantau, jangan lupa pada kampong halaman mereka, ataupun pada ibu mereka”, terangnya pada saya yang terngaga kembali.
“lalu, kok harus empat jumlah tetek itu, ompung”, Tanya saya kembali.
“hahahahaha, tandanya orang Batak harus menghargai wanita yang subur. Untuk menghargai wanita yang subur itu, maka digambarkan dengan empat buah tetek!”, jawabnya dengan membelalakkan mata (mungkin ia ingat istrinya di rumah).
Sejurus, kami berdua-pun tertawa.
“Ada satu lagi makna nya Ucok”, katanya setengah berteriak.
“Apa itu ompung?”, Tanya saya setengah berteriak pula.
“Empat buah tetek itu menggambarkan empat penjuru mata angin. Cecak yang merantau, di seluruh penjuru mata angin …. harus ingat tetek …. Eh, salah, maksud saya, ibu dan kampong halamannya”, katanya.
(Kami berdua-pun kembali tertawa). Kemudian, saya memandang cecak dan “tetek” yang empat buah tadi. Apa yang ada dalam pemikiran kami berdua, tentulah berbeda. Tahun 2000, kala saya masih bujangan, melihat gambar ini, membuat saya “entah mengapa gituuu !”. Tapi yang pasti, penjelasan Ompung Marulin Sipahutar tadi, membuat saya semakin menyesali perilaku saya waktu kecil dahulu.

Horaaaaas !
Dan saya selalu merindukan terus berkunjung ke Tomok dan Ambarita.
Akhir tahun 2012 yang lalu, adalah kunjungan riset saya yang ke 5 kalinya. Dan tak pernah membosankan. 
Apalagi melihat cecak …….. dengan tetek yang empat buah itu.