Senin, 27 Februari 2012

Israel "Dari Dalam"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Membaca analisis orang ‘luar’ terhadap Israel, mungkin sudah biasa. Mendengar Ahmadinejad berkali-kali menyatakan prediksinya bahwa Israel sebentar lagi akan tumbang, juga sudah biasa. Namun, cukup menarik bila kita membaca analisis orang Israel terhadap negaranya sendiri. Di dalam Israel, sesungguhnya ada juga segelintir orang yang ‘tercerahkan’ dan bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara’ dan pemerintahan Zionis.  Mereka menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan berorasi di berbagai negeri untuk membangkitkan kesadaran sesama Yahudi dan umat manusia umumnya, supaya berhenti mendukung Zionisme. Kelompok “Women in Black” misalnya. Mereka secara rutin melakukan aksi berdiri dalam diam dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil membawa spanduk-spanduk anti penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka dikata-katai ‘pelacur’ dan ‘pengkhianat’ oleh orang-orang Israel. Apa yang membangkitkan kesadaran orang-orang itu? Tak lain, karena kondisi di dalam negeri Israel memang sangat buruk. Uri Avnery dan Gilad Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisan berjudul “Why Israel Will Not Attack Iran”, Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel bagaikan anak sekolah yang mengancam “Hold me back, before I break his bones!” 

Israel sesumbar akan menyerang Iran, dengan atau tanpa persetujuan AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh media massa di seluruh dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam negeri pun, para pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap Iran. Menurut Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan berkata, “Gue serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih, sekarang!” Dalam analisis Avnery, Israel sama sekali tidak mungkin menyerang Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara militer, Israel yang disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur Tengah’ sangat bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery berupaya ‘menjelaskan’ kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan atas sebuah selat ‘sempit’, yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak itu sama jauhnya dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui’ dengan mudah oleh roket sederhana milik pejuang Palestina. Begitu pesawat Israel memasuki wilayah udara Iran, selat Hormuz akan segera ditutup dan angkatan laut Iran punya sangat banyak kapal pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas Avnery. Belum lagi, penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai minyak dunia dan akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia. Dan untuk membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat mahal; yang akan sangat berat ditanggung oleh AS dan NATO; apalagi oleh Israel. Avnery bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, “Rudal pun akan menghujani Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari Hizbullah dan mungkin Hamas. Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk mempertahankan kota-kota kita.” Namun, ancaman Israel untuk menyerang Iran sudah cukup untuk membuat pemerintah AS kalang-kabut dan mengirim misi untuk membujuk ‘ sang adik’. Komandan Staff Gabungan Militer AS, Gen. Dempsey bahkan menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional’, untuk menenangkan Israel agar tidak menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).

Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan menyerang Iran? Selain untuk menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak Israel, ternyata juga untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi Israel semakin buruk dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak ada yang lebih mudah untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi selain adanya ancaman perang. Karena itulah ‘ancaman Iran’ sangat laku dijual. Iran terus-menerus disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan digunakan untuk menghancurkan Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad, “Israel harus dihapus dari muka bumi” adalah mantra yang sangat mempan untuk menimbulkan rasa takut di tengah warga. Itulah sebabnya Avnery dengan sarkasme menutup tulisannya, “Untung ada Ahmadinejad, kalau tidak apa jadinya kita hari ini?” Sebenarnya, seperti apakah kekacauan ekonomi di Israel? Bukankah berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam artikelnya “Israel Economy For Beginners” menjelaskan hal ini. Atzmon mengajukan dengan pertanyaan kritis, “Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?” “Bukankah selain alpukat dan jeruk, kita tidak menjumpai produk Israel?” tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi mobil, alat elektronik, dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi lainnya. Dengan sarkasme, Atzmon menulis, “Di tanah yang mereka rampok dari bangsa asli Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau minyak.” Jadi, darimana datangnya kekayaan Israel? Atzmon menyodorkan faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya sudah tahu—bahwa Israel mendapatkan ‘sedekah’ dari orang-orang kaya Yahudi di seluruh dunia. Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah’. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral. 

“Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50% ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi,” tulis Atzmon, dan banyak pengusaha Yahudi Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja, sudah banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi. Dalam artikel di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial, sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari tzedakah. Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian berdarah). Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi, mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian. Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor. Dan, berita buruknya (atau baiknya?), orang-orang Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak menikmati kekayaan itu. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60% perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat besar,” tulis Atzmon. Menariknya, kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya Zionis di berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi kotornya, membuat Atzmon menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama.

(c) Dina Yanti S.  
Foto : Israelflag/cnn.com

Selasa, 21 Februari 2012

GENDER DAN TEROR OTORITAS KEKUASAAN (Dari Alya Rohali hingga Angelina Sondakh)

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini telah diterbitkan dalam Jurnal Pusat Studi Wanita (PSW) KAFA'AH Nomor 1 Edisi Tahun 2012. Karena artikel ini ditulis pada bulan Agustus 2011, maka substansi artikel, khususnya  yang berkaitan dengan Angelina Sondakh, harus ditempatkan dalam konteks sebelum terjadinya kasus "Nazaruddin Gate") 

Pernah ada anekdot feminis yang bagus. Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor.  Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasama. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun  Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menje-laskan, “itu lumrah.  Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.    

Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah  tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens.[1] Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh.[2] Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu  berkembang bebeberapa waktu yang lalu, (yang kemudian) dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah publik (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” publik. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki.  Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun konsensus sosial.[3] Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantik) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topik makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan.[4]  Teror juga dimaknai sebagai bentuk memanfaatkan infra-struktur negara untuk mendiskreditkan secara tidak fair pihak-pihak tertentu dengan menggunakan nilai atau aspek yang didisain sedemikian rupa dengan target merugikan pihak yang didiskreditkan tersebut.   Dalam konteks (teoritis) diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.


B. Kesewenangan Kekuasaan (Laki-Laki) yang Terlihat dari Beberapa Kasus
  1. Kasus Alya Rohali[5]
 Pertengahan bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri  Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam pakaian renang sebagai peserta kontes Miss Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu, Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai “keseronokkan” (artinya : tidak pantas dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia, keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan). Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via KeMenterian Peranan Wanita-nya.  Menurut ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).  

Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ? Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini.  

Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya,  membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”.[6] Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani, vulgar dan ”bertensi tinggi”. Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah.  Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.   

Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”.  Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan simbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”.[7] Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut.  

Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”.  Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan  menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra[8], wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.

  1. Kasus Pasal Zina Bagi Kepala Daerah
Saya mulai dari potongan berita di vivanews.com, berikut :

“Saya tidak menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”[9]

Salah satu berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian.  

Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno, Dede Yusuf dan lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque, Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang gugur dalam proses seleksi. Persoalan financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka memiliki uang yang cukup.  Maka., Ayu Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak.  

Belum habis perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres yang melejit karena film horror (tapi lebih banyak erotica-sensualitanya) “Hantu Jamu Gendong” itu. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan lebih dikenal sebagai artis “bodi semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, publik pun terbelah. Ada yang mendukung dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat dibandingkan ide-ide cemerlang.   Bahkan di jejaring facebook dan twitter terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai Demokrat tak mau berjudi.  

Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai Golkar/mantan Ketua HMI dan konon jadi ”nominasi” calon Menteri Agama waktu itu), “lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres, Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal (lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio, Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang (pernah)  “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan hingga injury time.

Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka  dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy” dan identik dengan budaya hippies, maju menjadi calon kepala daerah.  

Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih “bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi ini hanyalah ingin menjegal atau memberi warning pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya.  Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi. Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan seterusnya.

  1. Kasus Anggelina Sondakh
Angelina Sondakh itu cantik. Angelina Sondakh itu manis. Manis dan cantik, itu dua konsep berbeda. Pada Angelina Sondakh, kedua-duanya dimilikinya. Dengan muka tirus oriental, kita merasa nyaman memandangnya. Memandangnya bukan dengan libido, beda dengan memandang Malinda Dee. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart.  Sekarang ia dianggap sebagai representasi artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar, bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – (almarhum) Adjie Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya.[10]  Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat” bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid.[11] Mungkin karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai Demokrat Daerah  Istimewa Yogyakarta.  

Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono X  berkaitan dengan Keistimewaan daerah Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengku-bowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya. Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas. Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo  merasa Partai Demokrat adalah “aktor utama” penggerogotan dominasi politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif di Yogyakarta (2009) mengalahkan Golkar[12], tentunya posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan.  

Mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti  KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keraton. Diskusi menjadi hangat ketika Angelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo. Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY  hampir semuanya menjadikan “kewanitaan” Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat.[13] Bagi saya, analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Fauzi Bahar dengan Eko Patrio di Kota Padang.  

Saya tidak ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain demokrat yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya otak Angie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Michele Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer, Indira Gandhi, Evita Peron dan Nicola Markel, tapi Angie yang Sondakh ini akan selalu tetap dianggap debatable memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana Tugas Harian yang nota bene­-nya tidak permanen. Karena ia tak bisa mengalahkan charisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan,  kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa (setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada publik yang kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan) wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita, mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).

C. Refleksi dan Simpulan

            Saya tidak memberikan kesimpulan yang bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah, kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini public untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik, mengatakan who get what how and when. Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena kewanitaannya.

Catatan Pendukung :

1.       Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah memiliki investasi politik. Ia memiliki  charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan “menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Harold Lasswell, benar.[14]

2.      Nyi Ontosoroh, dalam  Tetralogi[15] Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil saja substansinya), ia berkata : “kamu harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu, kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.

3.      Sebelum abad ke-15 M., Dennys Lombard[16] dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.

Tulisan ini tidak sistematis. Hanya lebih bersifat parsial, terpilah-pilah karena hanya berangkat dari kasus per kasus untuk kemudian, secara kualitatif,  bisa digeneralisir terhadap kasus yang lain dalam perjalanan sejarah gender, khususnya di Indonesia.   Semoga dikritisi.



[1] Goenawan Mohammad, “Mithe Sysiphus”, Catatan Pinggir (Jakarta: Grafiti Press, 1999) hal. 408
[2] Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa berdasarkan genetically. Hampir seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic releigion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa Eksistensialisme - sebagai bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan, Bandung: Mizan, 1993, hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006. Novel Saman karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan  justifikasi-historis-teologis ini (walau terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis  Abrahamic Religion mengenai  nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa, lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, bandung: Mizan, 2005.
[3] Lihat lebih lanjut Edward Said, Terorisme : Sejarah dan Konflik Global, terjemahan, Bandung: Mizan, 1994, hal. 17-33

[4] Pemahaman ini saya ambil dari Nawel el-Sa’adawi, “Wawancara Eksklusif Tempo tentang Gerakan Feminisme di Dunia Arab” bulan September 2008. www.tempointeraktif.com (diunggah tanggal 10 Desember 2010)
[5] Ide tulisan dari beberapa artikel di http.://www.detik.com/ pada Mei 1997. Banyak artikel yang tidak tersusun dengan baik, disebabkan, pada tahun 1996 detik.com baru launching. Diasumsikan banyak data-data berupa tanggal yang tidak tertulis ketika di Search via Google. Kasus seumpama Alya Rohali ini sudah sering terjadi di Indonesia. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Putri Indonesia 2000 (?) Nadine Chandrawinata dan yang terakhir ini (2008/2009 : saya lupa namanya, tapi yang pasti ia cantik). Saya mengambil kasus Arya Rohali sebagai “starting” kasus, karena kasus Arya Rohali-lah yang pertama sekali menyedot perhatian public. 
[6] Tentang hal ini, pernah dibahas oleh Dian Nugraha (?), “Semiotika Tubuh dalam Sejarah Film Indonesia”. Saya lupa alamat URL. yang pernah saya ungguh.
[7] Kasus Madame Dewi Syuga  begitu “menggegerkan” jagad politik Indonesia era 1990-an. Padahal, Dewi Soekarno bilang, “seandainya Soekarno hidup, ia pasti tidak akan membuat hal ini menjadi geger”.
[8] Muhammad Ilham, “Seks dan Kekuasaan : Cleopatra” dalam ilhamfadli.blogspot.com diungguh tanggal 13 Desember 2010.  
[9] http.://www.detiknews.com/kontroversipasalzina/html. diunggah tanggal 1 Desember 2010

[10] Kepintaran dan track-record Anggelina Sondakh bisa dilihat di http.://www.anggelinasondakh.com/. Tapi sayang, artikel-artikel buah pemikirannya tidak bisa didownload.
[11]  Istilah ini saya pinjam dari dialog pakar politik Ikrar Nusabakti di Metro TV pasca kemenangan Anas Urbaningrum jadi Ketua Umum Partai Demokrat.
[12]  Padahal Sultan Hamengkubowono X merupakan fungsionaris Partai Golkar, tapi kemenangan fenomenal Partai Demokrat hampir disemua propinsi di Indonesia (kecuali : Sulawesi Selatan, Bali dan Gorontalo) memperlihatkan bagaimana strategisnya posisi ketua umum Partai Demokrat.
[13] Dikutip bebas dari http.://www.detik.com/mengapaanggelinasondakhdianggap taklayak/ html  (berita tanggal 8 Desember 2010), diungguh tanggal 12 Desember 2010
[14] Disadur dari Muhammad Ilham,  Kumpulan Kliping 3 (tidak dipublikasikan)
[15] Lebih lanjut lihat Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1999
[16] Lebih lanjut lihat Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Bagian II), terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 1999

Minggu, 12 Februari 2012

Moammar Khaddafi (Again)


Amerika Serikat dan Rusia sama saja, yang satu imperialis, lainnya atheis
(Moammer Qaddafi).

Dan ..... almarhum ini, (ternyata) menikmati kedua-nya !






Sumber Foto : antaranews.com & vivanews.com

Harakiri Ala Demokrat

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

”Dusta mulia” diizinkan karena memiliki tujuan ”mulia”
(Plato)


Betapa piciknya Partai Demokrat. Kader terlilit korupsi bukan ditepis dan diredam agar tidak berimbas pada partai, tetapi justru berkelahi sendiri. Hanya demi diri dan uang receh mereka rela meluluhlantakkan partai. Ini harakiri gaya Demokrat. Citra buruk sedang digalang Partai Demokrat. Partai ini menuju kehancuran. Itu bukan infiltrasi luar, tetapi karena rendahnya rasa memiliki dari kader partai ini sendiri. Mereka ambisius dan individual. Belum merasa sebagai komunal yang senasib dan sepenanggungan. Adalah ucapan Nazaruddin yang dipersamakan dengan mantra. Yang dikatakan diramaikan di internal partai. Ditafsir dan dikaji untuk dijadikan bahan celotehan. Itu disebarkan ke berbagai sektor. Akibatnya persis mengusik rumah semut. Seluruh anggota partai ribut. Mereka bak gabah diinteri, panik dan kalang-kabut. Uniknya, pengakuan mantan bendahara Partai Demokrat itu hanya berfungsi sebagai stimulan. Yang berkembang kemudian justru isu money politics. Masa lalu ketika partai ini melakukan Kongres di Bandung. Ada yang mengaku dibayar agar memilih Anas. Ada yang gagap menjawab. Tetapi ada pula yang sigap menepis tidak ada duit haram. Pantun berjawab ini pasti kontraproduktif. Kewibawaan partai dipertanyakan. Runtuh kepercayaan rakyat pemilih. Gaya kadernya mirip suami membuka aib istrinya yang selingkuh. Berlagak hero padahal bajingan tengik. Memalukan diri sendiri dengan cara tidak terpuji.

Cap sebagai partai besar dan partai penguasa rasanya tidak layak disandang Partai Demokrat. Partai ini tidak dihuni orang-orang yang punya loyalitas dan dedikasi. Dari kekisruhan yang 'dilestarikan' terkesan partai ini terbanyak menampung para oportunis. Dihuni para pemain yang bermain sekadar mencari jabatan, peluang, dan uang. Jangan tuding pihak luar jika Partai Demokrat amburadul. Kekisruhan itu selalu bersumber dari kader sendiri. Kader yang ada seperti berharap partai ini bubrah. Tiap masalah tidak diselesaikan dalam internal partai tapi ditambah dengan masalah baru. Ya, kader Partai Demokrat memang tipe perindu. Rindu, jika citra buruk itu cepat berlalu. Sebagai kader partai, bicara money politics di era politik transaksional itu seperti orang bloon. Menelanjangi diri sendiri. Sebab itu kohesi tiap pilihan. Apalagi pilihan ketua partai politik. Kemasan 'duit' itu saja yang heterogen. Ini untuk menyamarkan agar uang yang dibayarkan tidak menjerat yang membayar. Amunisi apalagi yang disiapkan kader partai ini untuk mengkerdilkan diri hingga titik nadir? Terus apa pangkal kisruh yang tak kunjung selesai mendera partai ini? Rasanya amunisi yang paling dahsyat nanti adalah yang datang dari forum pendiri partai. Forum ini sepertinya baik-baik saja. Tapi di balik itu tersimpan dendam. Dendam itu membara dalam tumpukan jerami. Terbakar dan membakar apa saja jika ada percikan api. Sebab titah yang selalu datang dari Ketua Dewan Pembina mengucilkan para pendiri partai ini. Mereka merasa tidak dianggap ada. Tidak dianggap penting. Dan dianggap tidak punya peran dalam menjaga eksistensi partai. Itu yang menyakitkan. Kesakitan itu pula yang memperpanjang geger di partai yang sekarang mendapat sinisme baru sebagai partai gudangnya koruptor itu. Mampukah petinggi Partai Demokrat mengakomodasi dan mengobati rasa sakit mereka? Berdasar pengalaman yang sudah-sudah, rasanya kok akan belepotan.

(c) Djoko Suud Sukahar/detik.com
Foto : jppn.com

Sabtu, 11 Februari 2012

11 Februari : Antara Reza Pahlevi dan Hosni Mubarak

Oleh : Muhammad Ilham

Hari ini, tanggal 11 Februari 33 tahun dan tahun kemaren, begitu "keramat". Bukan sebuah kebetulan, setidaknya bagi saudara-saudara kita di Timur Tengah sana. Bermula pada tahun 1979, Syah Reza Pahlevi terpaksa melarikan diri ke luar Iran. Revolusi Islam Iran "menggelora". Syah Reza Pahlevi yang amat sangat dekat dengan Amerika Serikat (plus Israel tentunya) dan (selalu) mengklaim dirinya sebagai penerus Cyrus Agung runtuh karena kharisma Ayatullah Ruhullah Khomeini. Tanggal 11 Februari 2011, Hosni Mubarak "layu" karena Revolusi Rakyat Mesir. Sungguh, faktor kebetulan sulit untuk kita cerna. Faktor "langit" dan campur tangan Tuhan, setidaknya memungkinkan bagi kita mendapat sebuah jawaban, walau kalangan positivis "mencibir" alasan ini.


Februari 1979, seorang penjual koran di Teheran menjajakan koran dengan headline : "Syah Iran ... kabur !"

11 Februari 1979 : Syahreza Pahlevi "jatuh" karena Revolusi yang dipimping Ayatullah Ruhullah Khomeini

Dan Hosni Mubarak ........ jatuh !!
tanggal 11 Februari 2011



Husni Mubarak dalam masa dua periode jabatan Presiden AS (Ronald Reagan)

Husni Mubarak dalam masa satu periode jabatan Presiden AS (George Bush)

Husni Mubarak dalam masa dua periode jabatan Presiden AS (Bill Clinton)

Husni Mubarak dalam masa dua periode jabatan Presiden AS (George W. Bush Jr.)

Husni Mubarak dalam masa dua tahun jabatan Presiden AS (Barrack Husein Obama)

Berikut suasana Peringatan Revolusi Islam Iran, sebagaimana yang dipublish Press TV/internasional :

Rakyat Iran hari ini memperingati 33 tahun Revolusi Islam. Jutaan warga Iran di dalam dan luar negeri menggelar aksi demo untuk memperingati momen bersejarah tersebut. Seperti diberitakan media Iran, Press TV, Sabtu (11/2/2012), demonstrasi tersebut digelar di lebih dari 1.000 kota-kota di Iran serta sekitar 5 ribu desa di seluruh negeri itu. Sementara di Teheran, ibukota Iran, ratusan ribu demonstran sejak Sabtu pagi telah berjalan menuju Lapangan Azadi. Di sana, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad akan menyampaikan pidatonya. Menurut pejabat-pejabat Iran, lebih dari 300 koresponden asing dan sekitar 1.500 koresponden Iran akan meliput peringatan, seremoni dan demonstrasi tersebut. Perayaan untuk memperingati 33 tahun kemenangan Revolusi Islam ini juga digelar oleh warga Iran di negara-negara lain. Pada tahun 1979 silam atau 33 tahun lampau, rakyat Iran berhasil menggulingkan rezim Pahlevi yang didukung Amerika Serikat. Revolusi besar itu mengakhiri kekuasaan monarki di Iran yang telah berlangsung selama sekitar 2.500 tahun.

Sumber foto : google.picture.com/time.com

Jumat, 10 Februari 2012

Tan Malaka, Syahrir & Hatta : Trio Minangkabau Berseberangan Jalan

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ah .... sungguh "rahim" Minangkabau pantas berbahagia. Minangkabau yang egaliter mampu melahirkan figur-figur avant garde dalam sejarah pergerakan Indonesia yang tak-lah seragam seumpama Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka bertiga ini didaulat sebagai bagian dari Bapak Revolusi Indonesia selain Soekarno. Tan Malaka yang dari Pandan Gadang, Hatta dari Batuhampar dan Syahrir yang juga kakak Rohana Koedoes dari Koto Gadang ini sama-sama egois. Selalu berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Mrazek pernah menarasikan bagaimana "egoisme ideologis" mereka bertiga ketika diskusi mengenai "arah masa depan" republik tercinta. Berawal di Berlin Jerman, di rumah salah seorang dedengkot komunis Hindia Belanda pada tahun 1920-an, Darsono namanya. Di rumah Darsono ini, tiga anak muda mereka bertemu dan berdebat panas. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen. ”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,” Hatta, 20 tahun, menyela. ”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.” Dalam bukunya "Memoir", Mohammad Hatta menceritakan kembali percakapan itu. Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya. Hatta dan Tan sudah seperti musuh.

Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. Hatta menganggap Tan selalu meremehkannya. ”Dia selalu menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan,” katanya. Hatta, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah ”pemberontakan” Partai Komunis Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak. Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh dipegang orang selain komunis. Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. ”Tidak, dua (Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja,” kata Tan. Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda. Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. ”Agar mewakili semua kelompok,” katanya.

Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta. Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir—yang menganut ideologi sosial-demokrat—ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda. Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia ”merapat” ke kubu Inggris-Amerika sebagai ”penguasa” baru nusantara. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap ”Bung Kecil” itu berpikiran modern dan disukai Belanda. Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang. Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan, dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. ”Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,” katanya. Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. ”Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksaan sendiri,” kata Soedirman kepada Adam Malik. Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.

Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946. Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.

Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari keluarga pedagang. Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan. Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak. Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa, Tan menolak.

::: Sumber : Tulisan ini didasarkan dari : (c) Tempo Edisi Tan Malaka/Agustus 2008. Referensi : Alfian (1981), Mrazek (1991) dan Poetze (1994). Foto : "diolah" Ilham dari www.google.picture.com

Selasa, 07 Februari 2012

Keteladanan Van Lith

Oleh : Muhammad Ilham

van LITH, demikian nama akhir seorang pastor Belanda yang ditempatkan di Tanah Jajahan Hindia Belanda (baca: Indonesia), kurun waktu 1920-an hingga awal 1930-an. Walaupun "anak kandung" kolonial Belanda, ia anti dengan kebijakan Belanda yang kolonialis. Van Lith bersikap santun pada anak negeri. Walaupun ia ditugaskan menyebarkan ajaran Kristiani-Katholik ditengah-tengah penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam dan abangan, namun ia amat toleran dan menentang sikap menindas penjajah kolonial. Karena itulah, tercatat dalam sejarah kolonial Belanda di Hindia Belanda, Van Lith menandatangani dua nota minoritas yang menuntut perwakilan minoritas (dalam hal ini : perwakilan masyarakat Islam sebagai komunitas mayoritas) di dalam satu dewan. Dengan segala resiko, ia kemudian menentang peran mayoritas orang-orang Belanda yang minoritas tersebut di dalam volksraad (Dewan Rakyat) yang akan dibentuk.

Karena sikap Pastor yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi-kemanusiaan tanpa disekat oleh ego primordialisme dan ideologi, ia kemudian amat sangat disegani. Hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam kala itu juga baik. Dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam, ia memiliki hubungan sosial dan politik yang bagus dan saling menghargai. Ketika akan diadakan pemilihan untuk keanggotaan Volksraad - terjadi sebuah peristiwa sejarah yang cukup membuat kita merenung ..... Van Lith, seorang Pastor dan pemimpin Katholik justru dicalonkan oleh Partai Sarekat Islam. Peristiwa pencalonan pastor Van Lith ini menjadi anggota Volksraad oleh Partai Sarekat Islam Serang, dalam konteks interaksionisme-simbolik memiliki makna simbolis-historis yang amat penting. Tak terbayangkan oleh kita sekarang bahwa didalam situasi masyarakat tahun 1920-an, seorang Pastor dicalonkan untuk mewakili organisasi politik ummat Islam di sebuah lembaga politik yang memiliki posisi dan daya tawar strategis-penting di dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda. Sejarah kemudian mencatat .... Van Lith lebih sering "menyuarakan" kepentingan masyarakat Islam dibandingkan ke-egoan-nya untuk menjalankan misi Pastoralnya dan misi nasionalisme-nya. Sebuah teladan dari orang yang bernama .... Van LITH.

Damai Nan Eksotik







Sumber : vivanews.com/image only
(cc) abahiffa.blogspot.com

Sosok SYED Muhammad Naquib Al-ATTAS

Oleh : Muhammad Ilham

Hampir tak ada intelektual muslim dunia yang tidak mengenalnya. Ia digelari sebagai "Pemikir Muslim Cemerlang Abad Modern Asia" dan "Putra Mahkota Intelektual Islam Abad Modern", SYED Muhammad Naquib Al-ATTAS. Naquib al-Attas, lahir di Bogor, Indonesia pada 5 September 1931 dan anak dari leluhur Ba’Alawi, Hadramaut ini mendapat "kiprahnya" di negera seberang, Malaysia. Ia seumpama Syekh Taher Al-Falaki, lahir di Minangkabau, mencapai "maqom" di negeri orang. Nenek al-Attas, Ruqayyah Hanum adalah seorang bangsawan Turki. Kakeknya, Syed Abdullah bin Muhdin al-Attas, adalah seorang kiyai terkenal di Jawa. Sementara itu, ibunya, Sharifah Raguan al-Aydarus berasal dari Bogor, Jawa dan berketurunan raden-raden kerabat Diraja Sunda dari Sukapura. Karya-karya al-Attas sering menjadi rujukan dalam kajian keislaman, khususnya yang berkaitan Asia Tenggara. Beberapa buah bukunya tersebar dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti Arab, Turki, Persia, Urdu, India, Indonesia, Bosnia, dan Albania. Seluruh karya-karyanya ini mengungkapkan diri al-Attas sebagai seorang intelektual muslim dunia tercerahkan. Keberanian meralat orientalis, kegigihannya berkarya, kepandaian memilih perkataan, serta ketajaman fikirannya, semua itu melengkapkan dirinya sebagai seorang yang harus dihargai dalamjejak intelektual muslim duinia abad modern. Tak salah bila Jennifer Webb tak segan-segan mengolongkan al-Attas sebagai satu-satunya pemikir Muslim dalam Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002).

Berikut saya publish beberapa (hanya sebagian) tanggapan para sahabat tentang topik tokoh ini di Facebook saya (Muhammad Ilham Fadli) :

Sheiful Yazan :
Akankah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi akan sebesar itu jika dia tidak meninggalkan Minangkabau? Fenomena "nabi" seringkali menjadi besar (setelah berkiprah) di tanah rantau perlu penjelasan psiko-sosio-antropologis mungkin Pak Muhammad Ilham.

Muhammad Ilham :
Tak sepenuhnya benar pak Sheiful Yazan. Memang bila dibaca catatan sejarah "menggetarkan" dari manusia-manusia cemerlang asal Minangkabau yang besar dan membesarkan diri di rantau - dalam istilah Wallerstein, mereka menciptakan sejarah karena keluar dari "relung suci habitat mereka" - seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Tan Malaka, Chairul saleh Datuk Paduko Rajo, Yamin, Agus Salim ataupun Syekh Taher Djalaluddin al-Falaki - bisa menjadi benar bahwa "daerah rantau" membesarkan mereka, sebagaimana halnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Bahkan Hatta, misalnya, lebih berani menyuarakan "Indonesia Merdeka" ditanah Netherland sana ketika ia kuliah di Rotterdam era 1920-an/1930-an, dan tak "bermantagi" untuk meneriakkan hal serupa di kampung halamannya. Rantau nampaknya memiliki nuansa dan tantangan tersendiri. Tapi bukan berarti, orang2 besar harus berkiprah di rantau. Bak kata teman saya - "merantau itu mudah, tinggal di kampung itu yang sulit". Yang sulit itu pula yang dipilih Inyiak Djambek, Inyiak Djaho, Inyiak Parabek, Inyiak Candang, Inyiak Dotor (HAKA), Mochtar Luthfi, Syekh Mohammad Khatib Ali ataupun Rohana Kudus dan Rasuna Said. Persoalannya adalah "skala prioritas". Bagi Syekh Ahmad Khatib yang pergi karena "ngambek" melihat sistem adat waris Minangkabau, menganggap dirinya ta akan berkembang baik bila pulang ke Minangkabau, sesuatu yang ustru dilakukan oleh murid-muridnya.


Efrin Baka :
Filsafat Baniah agaknyo lah manjadi maliek contoh ka na sudah maliek tuah ka nan manang di Minangkabau ko.


Sheiful Yazan :
Menarik, Pak Muhammad Ilham. Kembali ke Syed Naquib, Bogor sepertinya terlalu nyaman, kurang menantang. Walaupun sempat kembali ke Sukabumi untuk mengaji, Syed Naquib tetap memilih tanah semenanjung untuk menabur benih pemikirannya. Saya baca hal2 yang mirip dengan tokoh2 lain dari tatar Sunda, seperti Ayip Rosyidi yang "besar" di Jepang, atau Syafruddin Prawiranegara yang "besar" di Minangkabau. Yang menarik adalah: kebesarannya di tanah rantau bahkan tidak dikenal di kampungnya. Banyak kawan2 di Jawa Barat bahkan tidak pernah tahu siapa Syed Naquib, seperti juga tidak mengenal Syafrddin. Kenapa begitu?


Muhammad Ilham :
Sebagaimana halnya Chairul Saleh (yang tidak dikenal orang Minangkabau), padahal Datuk Paduko Rajo dilekatkan padanya. Atau katakanlah DN. Aidit (Dja'far Nawawi Aidit/Dipa Nusantara Aidit) anak Haji Tuan Tanah Bangka Belitung asal Danau Maninjau, Haji Aidit. Ada "aroma" air danau Maninjau dalam darah Aidit yang DN itu pak Sheiful Yazan. Kembali lagi pada Al-Attas. Mungkin karena tantangan. Bagi Al-Attas, bisa jadi Bogor tak menarik baginya, sebagaimana halnya Taher Djalaluddin.


Sheiful Yazan :
Makin menarik Pak Muhammad Ilham. Perlu pemetaan tokoh2 centrifugal tersebut. Keterpelantingan mereka oleh tanah kelahirankah, atau apa....
?

Rusydi Ramli :
Rang Minang lebih tumbuh dan berkembang di "tanah Rantau" karena ranah minang "sompik". Maka kalau untuk besar "gadang" tinggalkan kampung.


Muhammad Ilham :
Ada artikel menarik Uwan Suryadi di Padek. Ambo kutip senek: Mungkin tidak berlebihan jika Jeffrey Hadler (2008:180) mengatakan bahwa ”West Sumatra…became an ideological breeder reactor’’ (reaktor pemijahan ideologi) sejak dulu sampai kini. Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis),…dan kini Alexander Aan (ateis) diyakini hanyalah representatif (wakil yang tampak) dari anggota masyarakat Minangkabau penggandrung berbagai ideologi yang dibesarkan dalam kebudayaan yang intinya mengandung paradoks, dan oleh karenanya terus-menerus berada dalam situasi ”darurat permanen” itu.


Muhammad Ilham :
Pak Sheiful dan pak Rusydi .... bahkan beberapa "hidden communitiies" ada yang mengklaim sebagai AGNOSTIK (dan saya yakin, itu hanyalah bagian dari dinamika pemikiran). Terlepas suka atau tidak suka dengan Alexander Aan, teringat dengan catatan sejarah. Tidakkah masa lalu Minangkabau (era 1920-an/1930-an), Komunis mendapat tempatnya dalam kerangka ideologis ? Pada dasarnya jangan dilihat sebagai sebuah "kecelakaan" tapi kemampuan menjawab tantangan. Pada era itu, ideologi komunis yang dianggap sebagai "biduk militan" dalam melawan Belanda. Sedangkan kaum aristokrat (baik ulama maupun adat) lebih bersifat "elitis" dan hanya bermain dalam ranah yang "nyaman", ranah edukasi dan perdebatan teologis-normatif. Sehingga tak salah bila ideologi "merah" ini menjadi pilihan Datuak Batuah yang "gregetan" melihat kaum ulama pada masa itu hanya berkutat di Madrasah (edukasi), bukan lapangan. Dalam konteks ini mungkin kita bisa melihat fenomena A. Aan !
. .... saya setuju dengan Uwan Suryadi Sunuri, Minangkabau memang "ditakdirkan" dihuni oleh entitas sosial yang tidak ingin seragam. Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis) .... ditambah Chalid Salim (komunis) semntara kakaknya Agus Salim (sosialis-religius), Hamka-Abdullah Ahmad, Inyiak Djambek cs. (modernis) vis a vis dengan Inmyiak Canduang, Inyiak Parabek cs PADA KURUN WAKTU YANG SAMA dengan ZEITGEIST yang sama pula ...... merupakan MINIATUR dari tipikal masyarakat Minangkabau (mungkin subjektif). Karena itu pula, amat terheran-heran kita bila "orang Minangkabau" di plot hanya menjadi SATU "jenis" ideologi saja. A-HISTORIS kita nampaknya.

Muhammad Ilham
Hahaha..... betul-betul-betul. Pak ! Sikap a-historis selalu melahirkan situasi yang tidak sehat, tidak nyaman, dalam ke-minangkabau-an, ke-islam-an, atau ke-indonesia-an sekalipun. Entitas Minang dipandang dengan kebenaran satu kacamata. Maka jadi kafirlah semua orang yang tidak menyetujui pandangan kacamata kuda itu.


Sumber : Muhammad Ilham Face Book/Februari