Sabtu, 24 Desember 2011

Kim Jong Il, Korea Utara dan Mitos Figur

Oleh : Muhammad Ilham




Sumber : youtube.com

Kematian Presiden Korea Utara .... Kim Jong Il dan sebelumnya (ayah beliau) Kim Il Sung, memberikan pemahaman kultural menarik bagi kita ditengah-tengah berkembangnya kultur rasionalitas, terutama dalam ranah politik. Sangat "tipis" beda antara pengkultusan dengan cinta. Ketika melihat apa yang dipublish youtube ini, mengingatkan saya (kembali) dengan apa yang pernah dikemukakan Bung Hatta : "Kultus, membuat daya kritis dan kewarasan kita hilang". Zaman nampaknya tak lepas dari pengkultusan. Lihatlah, kala skuad Sepak Bola Korea Utara yang dianggap sebagai tim penuh "misteri" pada perhelatan Piala Dunia Afrika Selatan Juni lalu, begitu mengagungkan pemimpin mereka, Kim Jong-Il. Dalam wawancara skysport dengan kapten tim sepakbola negara yang beribukotakan Pyongyang ini, kebanggaan apa yang akan kalian persembahkan buat rakyat Korea Utara?. Jawab si-kapten ini sederhana : "pertama kami persembahkan bagi Bapa Agung Kim Jong-Il, ia yang bisa mengubah pasir jadi padi, membuat bom dari batang pohon tinggi, pusat partai yang gilang gemilang tinggi menjulang tak terbilang", kata si-kapten dengan sesegukan. Sulit untuk memahami mengapa semua ini terjadi. Tapi semua itu adalah contoh dari begitu banyak pemimpin yang dikultuskan. Stalin, yang bernama lengkap Joseph Ilyich Stalin ini, memiliki banyak koleksi gelar yang luar biasa, "Pemimpin Besar nan Agung Rakyat Sovyet", "Genius Ummat Manusia", "Cahaya Pembimbing Ilmu", "Ahli Agung Dalam Hal Keputusan-Keputusan Revolusioner Yang Berani" dan entah apalagi. Konon, menurut sejarawan Anton Antonov, ada 24 gelar menjulang disematkan kepada pemimpin yang identik dengan horor-state ini.

Ada pemujaan yang tulus, yang tidak memiliki hubungan dengan kekuasaan yang besar. Manusia bisa idiot sekali merindukan sang Terkasih, sang Pujaan, Sang Bapak dan seterusnya, perwujudan dari segala yang diidam-idamkannya. Dan ketika Tuhan tak diyakini lagi atau disingkirkan dari perbendaharaan kata - misalnya kasus Korea Utara, kasus Bung Karno, kasus Stalin diatas - maka sang Terkasih, sang Pujaan, Sang Bapak dan seterusnya hadir pada sosok Bung Karno, Stalin dan Kim, bahkan bisa pada artis, SBY ataupun Mbah Maridjan. Maka beruntunglah bagi orang yang percaya bahwa Tuhan tak bisa digantikan dan nabi-pun tak ada lagi setelah berakhir pada Muhammad bin Abdullah. Karena itulah, Islam mengajarkan, jangan sekali-kali "menduakan" Tuhan, karena membuat kamu tak waras dan tidak memiliki kemampun berfikir kritis. Hatta benar, dan ia tak mau "menduakan" Tuhan, karena ia ingin tetap waras dan kritis.

Kembali ke Kim Jong-Il. Sebagaimana yang ditulis vivanews.com, Korea Utara tidak bisa dipisahkan dari "dinasti Kim", bermula dari Kim Il-Sung, terus ke Kim Jong-Il dan (kemungkinan besar) Kim Jong-Un. vivanes.com dalam "sorot" mengatakan bahwa dari ayahnya Il-sung, Kim Jong-il juga mewariskan negara yang susah. Krisis pangan menghantui rakyat Korut selama 20 tahun terakhir. Mereka juga bermasalah dengan energi. Di bawah Kim Il-sung, Korut adalah negara mandiri, pertumbuhan ekonominya stabil. Tapi belakangan, Korut makin tertutup dengan doktrin “juche” yang kadang ekstrim, dan menolak Korut terintegrasi di pasar global. Ekonomi negeri itu akhirnya terkucilkan, dan lalu merosot. Setahun setelah Kim Il-sung wafat persoalan pun muncul. Sebagai pemimpin baru, Kim Jong-il dihadang bencana kelaparan di negeri itu. “Kelaparan selama 1995-1997 membunuh lebih dari satu juta warga, dan menciptakan generasi kurang gizi," ujar Lind di jurnal Foreign Affairs, 25 Oktober 2010. Separuh anak-anak di Korut dicurigai lumpuh, dengan berat di bawah standar.

Soal kesehatan ini memang memprihatinkan. Seorang warga Indonesia yang pernah bertugas di Korut, Andreza Dasuki, misalnya bercerita betapa sulit fasilitas medis di sana. Bertugas sebagai diplomat Indonesia di Pyongyang pada 2006-2008, Andreza mengatakan rakyat Korut menderita oleh embargo internasional. Soal pangan, misalnya, sangat terasa sulitnya. Andreza mengutip data rekannya di Badan PBB di Korut, menurut kalkulasi, negeri itu akan selalu kekurangan beras 1 hingga 1,5 juta ton. Tak banyak tanah yang baik ditanami, dan kondisi alam hanya bisa sekali panen. Obat-obatan juga langka. Andreza pernah punya pengalaman dapat obat kadaluarsa, yang mungkin dari stok lama bantuan internasional. “Mereka tak punya peralatan teknologi tinggi memadai. Stetoskop aja masih terbuat dari kayu,” Andreza mengisahkan. Terisolir dari perdagangan internasional, pasokan kebutuhan pokok dari luar negeri ke Korut pun terbatas. Bila ada barang masuk, rata-rata dijual pakai sistem cash and carry. Barang yang sudah masuk ke Korut akan dijual habis, tanpa mengenal kadaluarsa. "Khususnya makanan dan minuman. Kami harus berhati-hati terhadap barang-barang kadaluarsa. Itu pemandangan umum di pertokoan," kata Andreza.

Di tengah keterbatasan itu, Andreza hormat atas sikap pemerintah Korut yang berupaya membantu orang asing. "Kita disediakan tim dokter khusus. Mungkin karena kami dari misi diplomatik, tapi juga mereka menghormati Indonesia sejak zaman Bung Karno, yang bersahabat dekat pemimpin pertama Korut yang sangat mereka hormati, Kim Il Sung," kata Andreza. Tapi diplomat asing tak gampang berbicara dengan warga Korut. Kalau tanpa otorisasi dari pemerintah, jangan harap bisa bergaul dengan warga. Apalagi meminta keterangan mereka. "Selama dua tahun di Pyongyang, tak sekali pun kami dapat mengunjungi rumah warga asli. Akses sangat dibatasi," kata Andreza yang di kedutaan bekerja di bidang sosial dan budaya. Pemerintah Korut hanya mengizinkan orang asing berkunjung ke simbol kebesaran negara. Meskipun di pedalaman, lokasinya sudah disterilkan. “Sama sekali tidak mewakili realitas masyarakat mereka," dia melanjutkan. Di negeri penuh pengawasan ketat itu, kata Andreza, Korut membuat orang asing di sana seperti "boneka di lemari kaca". Artinya, warga asing itu bisa melihat, tapi tak tahu apa yang terjadi di luar kaca. “Di lemari itu, kita bebas melakukan apa saja. Tapi tak berpengaruh kepada lingkungan di luar kaca," ujar Andreza. Warga Korut juga tertutup terhadap orang asing. Meski sudah akrab di satu tempat, belum tentu ramah jika berjumpa di lokasi lainnya. "Mereka akan cuek atau pura-pura tak tahu bila kita bertemu pada lokasi bukan tempat mereka bekerja," kata Andreza. Memang ada resto dan karaoke bagi orang asing. Tapi itu sepertinya juga kendali pemerintah lokal memantau orang asing. Andreza, misalnya, pernah mengujungi taman, atau kebun binatang. Tapi kondisinya menyedihkan. Yang paling kuat terasa di Korut adalah kepatuhan absolut pada pemimpin. Mungkin karena agama dilarang, maka panutan nilai kehidupan adalah apa yang diajarkan pemimpin mereka. "Semua nilai kebenaran mengacu pada ajaran Kim Il Sung, Bapak Rakyat Korea Utara,” ujar Andreza.

Jumat, 23 Desember 2011

TEUKU UMAR Johan Pahlawan : Pahlawan Sejati atau seorang OPORTUNIS Zaman Perang ?

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cc) Atl Lisan
(c) Margono Dwi Susilo

Berdasarkan Tradisi Lisan yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64) Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65). Dengan spd motor saya hanya menderu di jalanan Banda Aceh yang sedang bersolek menyambut “Visit Banda Aceh 2011”. Saat melintasi jalan Taman Makam Pahlawan mata saya kembali melihat baliho besar yang menampilkan enam sosok pahlawan nasional asal Aceh, mereka adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Tengku Chik Ditiro, Panglima Polem, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar. Baliho itu sebenarnya sudah lama dipasang, sejak Nopember lalu saat Indonesia memperingati hari Pahlawan. Yang mencolok adalah wajah tirus Teuku Umar dengan peci miringnya, ia dicetak paling atas dengan ukuran paling besar. Ini wajar karena Teuku Umar pahlawan yang sungguh komplit, pakai “pura-pura” menyerah segala untuk mendapatkan senjata dan mempelajari strategi musuh. Justru itulah yang mengusik pikiran saya. Benarkah “menyerahnya” Teuku Umar merupakan strategi perjuangannya? Atau jangan jangan, 8 April 1873 di lepas pantai Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh. Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh (Kawilarang, 2008 : 60). Bagi bangsa Aceh tidak ada kata lain : lawan. Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan petarung sembarangan.

Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan. Malang bagi Belanda karena sang panglima, Jenderal JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang. Penggantinya, Kolonel van Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April 1873. Berita perang dan kekalahan Belanda diulas di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873). Batavia tersentak. Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu? Inggris, Perancis atau Amerika? Tidak! Sesama kolonial tidak akan saling menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah. Sultan Aceh (Mahmud) bersegera memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah (saat itu Arabia adalah propinsi Turki) — menuju Istambul. Pada tanggal 27 April 1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129). Belanda sempat gemetar tatkala tersiar kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping bergerak cepat menuju Aceh. Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19 berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total. Dari Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian Keumala. Saat Citadel menembakan meriam pertamanya, Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya. Ia dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umarpun menyaksikan bahwa perang itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang pasti perang menimbulkan penderitaan. Tetapi perangpun di mata Umar pada akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan, penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang. Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.

Setelah bermain kucing-kucingan dengan Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh. Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65). Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit, pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom, Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar. Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera. Pada tanggal 3 Juli 1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa senjata, amunisi dan uang tebusan. Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda. Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir. Sebagai orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung. Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.

Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun 1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh Belanda. Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu. Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung menghardik : Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885. Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282). Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”. Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.

Sejak 1891 perang Aceh memasuki babak baru, ditandai dengan peran Snouck Hoergronye, yang terkenal dengan rekomendasinya: agar dilakukan pengejaran tidak kenal ampun terhadap pejuang Aceh. Untuk itulah pasukan khusus marsose dibentuk. Hasilnya jelas, pejuang Aceh mengalami tekanan hebat. Snouck dengan jeli juga menyimpulkan bahwa kekuatan utama perang Aceh ada pada ulama, bukan Sultan, bukan pula kaum ulee balang. Belanda mencoba mengadu domba antara golongan ulama dan ulee balang. Hasilnya segera nampak, Aceh pecah. Harry Kawilarang, dengan merangkum berbagai sumber menjelaskan : “Pada tahun 1891, Aceh berduka karena Teungku Chik Di Tiro wafat (diracun oleh anak buah sendiri-Pen)…Serangan gerilya oleh pasukan aceh berkurang. Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Habib Samalanga yang memperoleh wewenang dari Sultan gagal menggalang kekuatan. Begitu juga usaha Chik Kutakarang atau Mat Amin, putra Teungku Chik Ditiro. Semua dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil hingga timbul perpecahan” (Kawilarang, 2008 : 119). Siapakah pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil itu? Tidak lain ulee balang yang bersedia kompromi dengan Belanda. Dalam situasi seperti ini Teuku Umar pada akhirnya kembali menyerah pada Belanda pada September 1893 beserta 13 orang panglima bawahan dan 250 pasukannya. Buku sejarah kita menyebutkan bahwa penyerahan ini hanya “pura-pura” untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Setelah melakukan tugas-tugas penumpasan perlawanan Aceh dan melakukan sumpah setia pada tanggal 1 Januari 1894 Teuku Umar memperoleh gelar Tuanku Johan Pahlawan, dengan jabatan Panglima Besar Nedherland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda. Sejak itu pakaian yang dikenakan adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas didadanya (www.acehprov.go.id/T.umar mengutip Hazil, 1955:97). Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan dengan mengorbankan kepentingan bangsa (www.acehprov.go.id/T.Umar). Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda. Hal ini membuktikan bahwa Umar punya ambisi politik. Melihat situasi saat itu, hanya Belandalah yang mampu mewujudkan ambisi tersebut. Hal ini penting untuk diketahui, untuk menelaah lebih lanjut motif Umar sebenarnya. Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi meyakini bahwa Umar hanya “pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda. Tetapi segera timbul pertanyaan? Apakah Belanda sebodoh itu dengan bisa ditipu Teuku Umar berkali-kali? Atau mengapa Cut Nyak Dhien sendiri begitu kecewa dengan menyerahnya Teuku Umar? Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial.”

Setelah memperoleh jabatan Jenderal, Umar diberi senjata dan uang untuk membersihkan musuh-musuh Belanda di bagian wilayah XXV Mukim dan XXVI Mukim. Umar sukses, sebagian memang bukan karena kemampuan bertempur tetapi lebih karena kemampuan diplomasi. Umar membentuk persekutuan dengan Teungku Kutakarang, guru agama terkemuka XXV Mukim. Umar dan Kutakarang sangat menentang kelompok-kelompok gerilya pimpinan putra-putra Tengku Chik Ditiro yang berusaha menegakkan hak sabil (Pajak perang) di XXV Mukim, yang merugikan Teungku Kutakarang. Teungku inilah yang menyebarkan fatwa bahwa melawan Teuku Umar tidak dapat dianggap sebagai perang suci. Dukungan fatwa inilah kiranya yang menyebabkan pasukan Aceh setengah hati melawan Umar, sehingga Umar berhasil menaklukan sebelas benteng/pos pasukan Aceh untuk Belanda (Reid, 2005 : 296-297). Melihat prestasi tersebut Deijkerhoff — Gubernur Sipil dan Militer Aceh periode 1892-1896—memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Umar. Hal tersebut memicu rasa iri dari tokoh Aceh yang terlebih dahulu menyerah, seperti Panglima Muhammad Tibang dan Teuku Nek Meuraxa. Namun ada perkembangan situasi di lapangan, pada November 1895 Teungku Kutakarang meninggal dunia, ini adalah pukulan berat bagi Teuku Umar, karena sejak itu para ulama di XXV Mukim mulai berani memprotes cara-cara Umar. Pada suatu hari Umar mengajukan proposal untuk menaklukkan benteng Lam Krak, benteng yang dipertahankan oleh pejuang perempuan Aceh. Proposal disetujui, dan Teuku Umar beserta pasukannya mendapatkan perlengkapan berupa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg peledak dan uang tunai 18.000 dollar.

Tetapi rupanya pihak Aceh telah menyebarkan perang urat syaraf berupa ramalan, bahwa Umar akan tewas saat penyerbuan ke benteng perempuan. Saya bisa memahami jika Umar terkejut bukan main, terkait dengan hubungan proposal dan ramalan itu. Dari mana orang aceh tahu tentang proposal Lamk Krak itu? Umar yang seorang muslim dan kuyup tradisi Aceh tentu percaya akan ramalan tersebut, apalagi konon ramalan tersebut datang dari ulama besar. Umar tentu berpikir keras dan menyimpulkan, amatlah celaka jika ia sebagai muslim mati saat membela Belanda (kafir). Keislaman Umarpun bangkit, apalagi protes dari Cut Nyak Dhien semakin tak tertahankan. Akhirnya Teuku Umar membangkang dari Belanda dan berbalik ke kaum muslimin Aceh pada tanggal 30 Maret 1896. Aceh bersorak, Belanda meradang. Sejak itu prestasi tempur Teuku Umar sungguh mengagumkan. Anthony Reid sendiri mencatat bahwa sejak itu perlawanan Aceh berada dalam satu komando, yakni Teuku Umar. Penulis mendapati kisah tentang ramalan ini berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64). Motif inilah yang tidak diungkap dalam sejarah kita. Padahal hal ini penting untuk mengungkap karakter pahlawan kita ini. Pada titik ini penulis menyimpulkan bahwa Teuku Umar sebelum membangkang dari Belanda telah mengalami proses psikologis yang berliku, dimulai dari meninggalnya Teungku Kutakarang (guru sekaligus pelindungnya), kritikan dari istrinya (Cut Nyak Dhien) yang bertubi-tubi, dan ketakutan akan kebenaran ramalan yang bermuara pada bangkitnya rasa keislaman. Apapun motif dan ambisi Teuku Umar, Penulis tetap menghargai perannya. Disaat tokoh lain di seluruh Nusantara selalu dikibuli Belanda, Umarlah satu-satunya yang mampu menipu Belanda, bukan sekali, tetapi beberapa kali. Disinilah letak kehebatan pahlawan kita. Selebihnya wallahualam.

EPILOG :

Diplomat Aceh, Habib Abdur Rahman Az-Zahir, setelah gagal meyakinkan Turki Utsmaniah akhirnya kembali ke Aceh dan memimpin perlawanan, namun gagal, putus asa dan menyerah pada Belanda tanggal 13 Oktober 1878, sebagai imbalannya Belanda mengangkutnya ke Jeddah dan memberinya uang pensiun sebesar $1.000 per bulan. Pemimpin Teunom, Teuku Imam akhirnya memperoleh uang tebusan $10.000 dalam kasus S.S Nissero, dan sejak itu menjadi kaki tangan setia Belanda. Sejak pembangkangannya tanggal 30 Maret 1896, Belanda memutuskan Teuku Umar tidak bisa dipercaya lagi. Perang sengit terjadi sampai akhirnya Umar terbunuh oleh penyergapan pasukan marsose pada 11 Februari 1899. Snouck Horgronye akhirnya menjadi muslim sejati, setidaknya ia pernah dua kali menikah secara islam dengan mojang Sunda. Dr.P.S. Koningsvled (wawancara Kompas 6 Februari 1983, saya mengutipnya dari Seri Buku Tempo, 2011) menuturkan bahwa keluarga Kalifah Apo – mertua Snouck – yakin benar dengan keislaman Snouck secara lahir batin. Koningsvled juga sempat bertemu dengan Raden Yusuf – anak Snouck dari perkawinan dengan Siti Saidah – yang menuturkan bahwa ibunya yakin dengan mutlak bahwa Snouck telah menjadi muslim sejati. Snouck disebut rajin sembahyang, puasa dan telah disunat.

(c) Margono Dwi Susilo

Sabtu, 17 Desember 2011

Ketika Konsep Keluarga Kehilangan "Mantagi"

Oleh : Muhammad Ilham

Apa boleh buat, tiap hari kita disuguhi acara infotainment di beberapa TV swasta. Atas nama kebebasan pers dan logika "permintaan pasar" (tentunya dengan ukuran : rating), kehidupan "pesohor" tanah air, dibuka dan dipreteli satu demi satu. Cek & Ricek, Investigasi Selebritis (Insert), Hot Dog .. eh Hot Spot, Silet yang (setajam) "silet" dan entah apa lagi nama acaranya, suguhan perselingkuhan, perceraian, perkawinan, bahkan perseteruan picisan antar "pesohor" tanah air ini, tersuguh dengan tampilan dan narasi menarik. Ada artis yang menikah satu bulan tapi sudah hamil empat purnama. Seorang penyanyi pria dengan lancar dan fasih mengucapkan Insya Allah dan Alhamdulillah sambil mencium pasangan duetnya di depan kamera. Bahkan ada pula yang "berteka-teki" dengan amat bahagia : "Ayah anak saya, siapa ... ayooo !" (Maneketehe). Ustadz panutan ummat yang menjadi "icon" keluarga sakinah, justru tak kuasa bertahan, ia bercerai. Artis-artis yang janda begitu bahagia memperkenalkan "simpanan" brondong-nya dengan sesekali mengucapkan, "ia teman paling dekat saya lho !" .... dan seterusnya. Lalu ketika, "aib" mereka diungkap kepada publik, ada yang merasa senang karena menaikkan "rating" mereka. Tapi tak sedikit yang merasa marah, "mengapa media selalu mengungkit-ungkit kehidupan pribadi kami, kami kan menjadi malu !". Lantas media infotainment akan membalasnya, "enak saja, kalian manfaatkan kami untuk memblowup kebaikan-kebaiakan demi ketenaran kalian, tapi kalian melarang kami memberitakan kepada dunia tentang kejelekan, tajam sabalah namonyo tu ... bro !". Ibarat politisi, ketika musim kampanye, mereka "menunggangi" media, tapi pas media memberitakan kebobrokan mereka, kemarahan para politisi ini keluar dengan garangnya. Tapi sudahlah. Semua itu menjadi hukum sejarah yang tak bisa ditolak. "Kalau takuik dilamun galombang, jan barumah di tapi pantai", kata penyanyi Minangkabau saisuak, Elly Kasim.

Saya bukan menafikan tidak adanya kebaikan-kebaikan dari acara-acara infotainment yang teramat digandrungi publik tanah air. Ada yang baik, inspiring dan edukatif. Tapi secara umum, kehidupan glamour dan selalu memblow-up perselingkuhan, perceraian, hamil diluar nikah dan sejenisnya justru menjadi "point penting" yang diingat oleh publik. Materi tontonan yang berkelanjutan seperti ini dari para pesohor publik, dalam bahasa Gunnar Myrdal, justru akan melahirkan referensi kolektif bagi masyarakat. Dan lihatlah, terjadi perenggangan defenisi keluarga dalam konstruksi sosial, terutama pada masyarakat perkotaan. Dahulunya, orang dewasa yang dianggap normal, menjalani empat hal dalam satu paket utuh : pernikahan, hubungan seksual (sehat), punya keturunan dan keluarga. Urutannya tetap. Tapi, sebagaimana halnya yang terjadi pada pesohor tanah air, kini orang bisa memilih salah satu atau dua tanpa yang lain. Misalnya, menikah dan berhubungan seksual, tanpa mau memiliki keturunan. Menikah dan punya anak, tanpa mau berhubungan seksual. Atau berhubungan seksual dan punya anak, tapi tidak menikah. Atau bisa juga, menikah setelah "menabung" sekian bulan terlebih dahulu "embrio" anaknya. Urutannya pun boleh dibolak balik.

Di sejumlah negara-negara maju, yang "aromanya sudah kental di tanah air", perceraian tidak lagi memalukan atau menyedihkan. Di negara-negara maju, perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik. Bagaimanapun jua, hal-hal diatas, menjadi perbandingan "menarik" bagi publik yang bukan pesohor negeri. Janganlah heran kemudian, bila dilingkungan kita, akan kita dapati fenomena sebagaimana diatas : membina keluarga (sementara), bangga "memproklamirkan" perceraian, dan merasa tak bersalah ketika hamil tanpa diketahui siapa "penabungnya". "Zaman edan !", kata pujangga Jawa, Ranggowarsito. Wallahu a'lam.

Foto : balita.com

Berlayar Demi Rempah

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Pada abad ke 15, dimana Eropa tengah mengalami masa Renaissance sebuah kapal Portugis dipimpin Vasco da Gama mendarat di Kalkuta, dan masyarakat Eropa mulai terbuka matanya terhadap rahasia rempah-rempah. Selama ribuan tahun perdagangan rempah-rempah merupakan perdagangan tidak langsung dengan banyak penghubung sehingga masyarakat Eropa tidak mengetahui darimana asal rempah-rempah tersebut. Rempah-rempah permintaannya sangat tinggi sedangkan pasokannya dikontrol. Ketika Islam menguasai area Syiria, Persia dan Jazirah arab perdagangan rempah-rempah berada dalam kekuasaan pedagang Arab/Islam. Sejak 2600 SM Mesir sudah mengimpor rempah-rempah untuk memberi makan pekerja Asia mereka yang sedang membangun piramida agar punya lebih banyak tenaga. Cengkeh juga sudah agak populer di Syiria sekitar waktu itu, tanaman yang hanya terdapat di satu pulau di Nusantara.

Di Eropa rempah-rempah terutama digunakan untuk pengawetan makanan. Panen yang gagal, makanan yang mulai rusak, hanya bisa dimakan jika diberi garam dan merica yang banyak. Pada tahun 408 kaum Visigoth meminta tebusan emas, perak dan merica agar mereka menghentikan mengepung Roma. Sebuah daftar harga abad ke 14 memperlihatkan harga satu pon pala adalah senilai tujuh ekor lembu gemuk. Waktu itu juga dikenal istilah ‘peppercorn rent’ yaitu membayar sewa kamar dengan merica saking harganya mahal. Pedagang arab sebagai perantara rempah-rempah ini berusaha agar orang Eropa tidak mengetahui asal muasal rempah-rempah. Pada abad ke 5 SM Herodotus tertipu oleh kisah pedagang arab yang mengatakan bahwa kayu manis berasal dari pegunungan di Arabia. Kayu manis ini dijaga oleh burung buas yang sarangnya terbuat dari kayu manis ditebing yang curam. Burung itu diberi umpan keledai segar dan ketika burung ini berusaha mengambil daging keledai dia terhempas ketanah, sehingga pedagang arab itu bisa naik mengambil sarang burung itu.

Ketika Turki jatuh ke Ottoman pada 1453, mereka menutup jalur rempah-rempah yang biasa dilalui arab ke Venesia, sehingga perdagangan harus melalui Mesir yang menaikkan pajak rempah-rempah sampai 30 %. Kelaparan akan rempah-rempah yang dimonopoli pedagang Mesir dan Venesia ini memaksa para raja-raja Eropa untuk mendanai kapal-kapal untuk berburu rempah-rempah langsung ke India. Sebetulnya secara khusus perjalanan diarahkan ke Selat Malaka, sebuah pusat perdagangan rempah-rempah dan konon gerbang menuju sebuah pulau rempah-rempah. Pembiayaan perjalanan ini sangat beresiko karena hanya setengah dari kapal-kapal tersebut yang bisa kembali. Mereka meyakini ‘siapapun yang menguasai Malaka akan memegang tenggorokan Venesia’. Ketika penjelajah Portugis datang ke Lisbon dari India dengan membawa banyak rempah-rempah, Venesia dan Mesir tertegun, harga lada di Lisbon turun sampai seperlima harga di Venesia.

Sumber: the Epicentre (cc) kompasiana.com/mita

Jumat, 16 Desember 2011

Syafruddin Prawiranegara : Dipenjarakan Soekarno, Dicekal Soeharto

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Syafruddin Prawiranegara, yang gelar kepahlawanannya disyukuri masyarakat Sumatera Barat - melalui syukuran yang diselenggarakan Pemda Sumbar & Padang Ekspres 16/12/2011 yang lalu - hidup bak balada. Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tentu saja seorang pahlawan bagi bangsanya. Tapi ia menjadi korban kezaliman penguasa sebelum akhirnya dengan sangat terlambat diakui kepahlawanannya. Tidak bisa ditampik jasa Sjafruddin dalam mempertahankan kedaulatan NKRI sangatlah besar. Tapi untuk menetapkan lelaki hebat ini sebagai pahlawan nasional tidak gampang. Nama Sjafruddin diajukan hingga tiga kali sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 oleh Presiden SBY. Awalnya Sjafruddin diusulkan pada 2007, lalu diusulkan lagi pada 2009. Dan baru pengusulan pada 2011 berhasil. Pembahasan gelar pahlawan untuk Sjafruddin alot sebab terkait cap ia menjadi pemberontak dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin menjadi perdana menteri gerakan yang ditumpas oleh Soekarno itu. PRRI lahir dari kerumitan persoalan Indonesia sebagai negara yang masih sangat muda. PRRI ingin mengingatkan Soekarno yang dianggap sewenang-wenang. Saat itu republik memang dalam kondisi yang sulit. Kemiskinan menerjang semua daerah di Indonesia. Tapi Soekarno justru sibuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan di Jakarta.

Sikap Soekarno tidak disukai panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan. Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil Presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumitro Djojohadikusumo dan tokoh Partai Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta) Vence Sumual. PRRI ini dibentuk oleh Panglima Divisi Banteng, Kolonel Ahmad Husein dan sejumlah stafnya, seperti Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti Muhammad Natsir, Sumitro Djojohadikusumo, M Hatta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada tanggal 10 Februari 1958, PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan 'Piagam Jakarta' yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Soekarno agar kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. PRRI mengultimatum dalam tempo 5 x 24 jam Kabinet Juanda pemerintahan Soekarno harus diserahkan ke Kabinet Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta meminta Soekarno menjauhi PKI. Saat itu Soekarno yang sedang berada di Tokyo, Jepang pun menolak tuntutan PRRI. Mendapat penolakan Soekarno, PRRI membalas dengan mengumumkan pendirian pemerintahan tandingan yaitu PRRI lengkap dengan kabinetnya. Kabinet yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 itu terdiri dari Sjafruddin sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran

Sjafruddin menyerahkan diri kepada ibu pertiwi setelah Soekarno mengumumkan amnesti bagi para pendukung PRRI untuk menyerahkan diri sebelum 5 Oktober 1961. Namun balasannya setelah menyerah Sjafruddin dijebloskan ke penjara dan dibui selama 3,5 tahun. "Sjafruddin ini orang jujur. Saat turun gunung dia juga menyerahkan 29 kg emas milik PRRI kepada AH. Nasution," kata salah seorang kerabatnya. Emas ini digunakan PRRI sebagai modal untuk perang karena saat PRRI itu, Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral. Meski pernah dijebloskan ke penjara, presiden PDRI ini tidak dendam pada Soekarno. Ketika PKI hancur dan Soekarno akan disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa, Sjafruddin-lah yang membela Soekarno. "Dia sempat berkata kalau sampai Soekarno diadili, akulah orang yang akan membelanya," kata Syafruddin suatu waktu.

PRRI bukanlah gesekan pertama Sjafruddin dengan Soekarno. Saat masih menjadi Ketua PDRI, ia pun berbeda pendapat dengan Soekarno dalam menyikapi perundingan Roem - Van Royen. Sikap Sjafruddin dan didukung Soedirman berpendapat seharusnya PDRI yang berunding dengan Belanda, bukan Soekarno yang saat itu menjadi tawanan. Namun kala itu, gesekan antara para pemimpin RI tidak sampai menjadi perpecahan. Gesekan selesai dengan lebih mengedepankan persatuan bangsa daripada ego masing-masing. Setelah bebas dari penjara, Sjafruddin memilih jalur dakwah dan mananggalkan panggung politik. Ia menjadi Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI) pada tahun 1985. Meski di jalur dakwah, pria bersahaja ini tetap kritis terhadap pemerintahan. Pada masa Soeharto, Sjafruddin juga mengalami pencekalan. Ia dilarang menjadi khatib salat Idul Fitri 1404 atau 1980 terkait isi kotbahnya yang banyak berisi politik. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' akan diakukan di Masjid Al A'raf, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pada tanggal 15 Februari 1989, Sjafruddin wafat. Sang Presiden terlupakan ini wafat pada umur 77 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Kini, dengan diberikan gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin, maka pengikut dan pendukung PRRI semestinya juga diberi label yang sama. Sebab, pendukung dan pengikut PRRI yang dicap pemberotak oleh pemerintahan Soekarno dipicu persoalan perbedaan pandangan politik dan ideologi. Pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga menilai persoalan PRRI menjadi lebih clear dengan pemberian penghargaan pahlawan kepada Sjafruddin. Diakui Kemenhan, selama ini ada paradigma, baik pemerintah maupun TNI bahwa PRRI adalah suatu gerakan pemberontakan atau pengkhianatan. Kini disadari PRRI memberontak karena memang situasi saat itu memaksa mereka melakukan itu. Mereka memberontak karena ingin mengoreksi keadaan.

:: Walau secara genetik Syafruddin Prawiranegara bukanlah orang Minangkabau, namun ia "dianggap" tumbuh dan kembang bersama "aura" Minangkabau. Ia dipandang sebagai orang Minangkabau secara sosiologis-historis. Dan ....... Walikota Padang merencanakan akan mengabadikan jalan Alai-Ampang (sebuah jalan evakuasi yang besar) sebagai jalan Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Sumber : (c) detik.com
Foto : syamdani/e-book.com

Politisasi Historiografi Orde Baru dan Pasca Orde Baru

Oleh : Muhammad Ilham

Harus saya akui, teramat sulit untuk menukilkan kalam – meminjam istilah Raja Ali Haji berkaitan dengan historiografi Orde Baru yang dikomparasikan dengan historiografi era pasca keruntuhan rezim yang dibangun oleh Soeharto tersebut. Kesulitan terletak pada beberapa hal, diantaranya masa Orde Baru yang relatif cukup panjang (1966-1998). Dengan time-dimention temporal tersebut, diasumsikan sangat (bahkan teramat banyak) karya-karya sejarah yang diterbitkan, dengan isu yang teramat beragam, dan oleh berbagai penulis dari berbagai “aliran”. Kemudian, kesulitan lain adalah faktor subjektifitas dan politisasi sejarah. Bagaimanapun juga, hingga hari ini, “gugatan” – untuk tidak menyebut kebencian - terhadap penulisan sejarah a-la Orde Baru masih belum bisa dihilangkan dalam ranah publik, khususnya diantara akademisi (baca: sejarawan). Buku-buku sejarah yang diterbitkan pada era Orde Baru, masih banyak yang “dicurigai” sebagai karya “pesanan” dan justifikasi politik. Saya berasumsi, tidak semua karya sejarah pada masa Orde Baru layak dicurigai, karena masih banyak karya yang netral dan tidak terkontaminasi untuk sekedar memberikan pembenaran terhadap rezim Orde Baru tersebut, walau sebenarnya, karya-karya sejarah jenis ini pada masa Orde Baru (melalui “tangan” Kejaksaan Agung) [1] tidak terdistribusi dengan baik di ranah publik.Pada sisi lain, tentunya tidak berarti karya-karya sejarah yang dilahirkan pada masa pasca Orde Baru cenderung netral dan objektif. Banyak juga karya-karya sejarah yang dilahirkan pada era ini terjebak pada subjektifitas ideologis, sekedar “menghantam” politisasi sejarah pada masa Orde Baru. Jadi tidaklah mengherankan apabila Gadamer mengatakan : “jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata tersebut difungsikan”. Intinya, setiap karya sejarah, terlepas netral ataupun subjektif-ideologis, merupakan “kreasi zamannya” – atau dalam istilah Bennedicto Croce sebagai storia e storia contemporania, memahami kebenaran sejarah itu sebagai reaksi zamannya.

Dalam konteks diatas, maka dalam makalah ini saya lebih memfokuskan kepada komparasi historiografi dalam hal mainstream (arus/topik umum) penulisan sejarah. Bukan pada penilaian objektifitas dan subjektifitas masing-masing karya sejarah pada dua era berbeda ini. Pada masa Orde Baru, mainstream umum penulisan sejarah, cenderung “berseragam” – meminjam istilah Asvi Warman Adam[2] – untuk mengatakan bagaimana peran militer teramat dominan. Sedangkan pada masa pasca Orde Baru, sebagaimana halnya spirit reformasi – karya-karya sejarah cenderung “bebas”. Kejaksaan Agung tidak “segarang” masa Orde Baru dalam menyaring buku-buku yang diterbitkan. Diktum “Buku dilawan dengan Buku”, pada masa ini lebih dikedepankan. Untuk itu, dalam makalah ini, saya membagi dalam beberapa bagian, diantaranya : konteks aksiologis sejarah ditulis, mainstream historiografi Orde Baru dan pasca Orde Baru serta konsep kepahlawanan yang militeristik.

Untuk Apa Sejarah Ditulis ?

Untuk apa dan untuk siapa sejarah ditulis ?”. Teringatlah saya dengan Bennedict R.O’ Gonnor Anderson[3] yang telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant selama ini yang berkembang – khususnya sejarah versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965. Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965 tersebut adalah Ketua CC PKI ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi.[4] DN merupakan singkatan dari Dipa Nusantara.[5] Kembali ke Anderson. Melalui Cornell Paper’s-nya, Anderson secara tidak langsung telah merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream” yang selama ini berkembang. Sulit memang menganggap semua karya sejarah akan bersikap objektif. Karena subjektifiyas itu merupakan kondisi objektif dalam penulisan sejarah. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry[6] misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia.

Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami. Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisis dimana teori-teori/paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/pendekatan yang digunakan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda.

Banyak karya sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedi 30 September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo[7] melihat konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam[8] justru melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah.[9] Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekinian atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain.[10]

Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari.

Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965. Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang oleh Katherine Mac. Gregory (pembahasan lebih lanjut, lihat dibawah) yang membongkar habis “kepalsuan”Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”. Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah).[11]

Ketika Sejarah “Berseragam”

Dalam beberapa minggu ini, saya begitu tertarik "kembali" (dalam tanda kutip : artinya, sudah lama tidak tertarik) tentang sejarah militer di Indonesia, khususnya militer di era Orde Baru. Kembali saya baca Harold Crouch[12], TB. Simatupang[13], karya-karya tentang “Perang Gerilya”-nya AH. Nasution dan Yahya Muhaimin serta Katherina Mc. Gregory, termasuk "catatan kritis" Bambang Purwanto dan Asvi warman Adam. Saya tak berkisah banyak tentang hegemoni militer - meminjam istilah Juergen Habermas - selama Orde Baru. Hegemoni yang ditafsirkan sebagai kekuatan yang masuk dalam segala lini kehidupan manusia Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam hal ini penulisan sejarah, yang oleh Asvi Warman Adam dan Harold Crouch, "sejarah Orde Baru adalah sejarah versi militer". Diantara buku-buku diatas, buku Katharine E. Mc. Gregor - Ketika Sejarah Berseragam - sangat menarik. Pasca Orde Baru banyak kajian yang menyoroti keterlibatan kaum militer dalam berbagai ranah kehidupan kenegaraan bangsa ini. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari menguatnya peran militer pasca 1965 yang bermetamorfosa menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga ada yang mengatakan bahwa pada masa Orde Baru militer Indonesia tak ubahnya seperti, sebuah negara dalam negara. Dominasi militer tidak hanya tampak physically, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat untuk mengontruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia, sehingga yang terjadi, ingatan kolektif massa rakyat menjadi terkendalikan oleh nalar militer yang kemudian mempengaruhi tindak laku sebagian massa rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai “mirip-mirip” kaum militer.

Katharine E. McGregor sebagai penulis buku ini melakukan kajian mendalam tentang bagaimana nalar pikir dikonstruksikan oleh persepsi-persepsi kesejarahan dari beberapa kelompok inti yang mempunyai wilayah kerja untuk memproduksi ingatan sejarah versi penguasa, yang didalamnya berkelit kelindan antara kepentingan ideologis patriotik dan pelanggengan mitos-mitos kekuasaan militer. Melalui pengkajian simbol-simbol dan penelurusan mitos-mitos wiracarita yang diciptakan, penulis buku ini relatif berhasil untuk melakukan pembongkaran dominasi historiografi yang selama Orde Baru telah menjadi narasi resmi. Buku yang berjudul asli History in Uniform : Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past ini hadir di hadapan pembaca Indonesia sebagai upaya untuk melacak bagaimana tafsir sejarah diciptakan dan membongkar kepentingan-kepentingan yang ada di baliknya, dan tentu saja supaya kita menjadi belajar dari sejarah yang selama ini hanya menciptakan dendam untuk dinegasikan dengan kepentingan bangsa yang lebih beradab dan manusiawi. Publik Indonesia bisa membaca karya berbobot ini, sehingga bisa melakukan refleksi atas mitos-mitos yang diciptakan di masa lalu.

Kesimpulan


Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Pada akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru.

Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Soekarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstrimis telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam.

Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang selama ini sebenarnya kita telah memiliki "jawaban" nya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan dominasi militer (baca : ABRI) pada masa Orde Baru, diantaranya : ABRI merupakan institusi yang sangat sistematis, loyalis dan cerdas (bahkan hal ini juga "diamini" hingga sekarang oleh publik). Kemudian, ketika kita membaca buku Ketika Sejarah Berseragam tersebut, kita juga akan tahu bahwa sejarah akan berbahaya bila berada "ditangan" militer (walaupun di tangan "politisi" juga demikian). Selanjutnya, sejarah berbasiskan senjata, amat sangat ampuh untuk memupuk nasionalisme. Namun terlepas dari semua itu, sejarah haruslah dipaparkan apa adanya. Dalam bahasa Edmund Husserl, "harus dikembalikan kepada posisi awal perustiwa itu terjadi". Maka dari sana akan kita ketahui, apa sebenarnya motif yang melatarbelakanginya. Sejarah harus "ditelanjangi", dan Katherine nampaknya menelanjangi sejarah militer Indonesia masa Orde Baru. Ini bermanfaat bagi perjalanan bangsa ke depan. Dan inilah keberkahan orde reformasi, buku-buku sejenis Katherine ini begitu massif didistribusikan dan didiskusikan di berbagai tempat oleh berbagai kalangan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada era Orde Baru.

Foto :(c) historia-online.com

[1] Pembahasan mengenai peranan Kejaksaan Agung (termasuk Departemen Penerangan) pada masa Orde Baru dalam menyaring, melarang bahkan membreidel pendistribusian buku-buku sejarah serta majalah/koran, lihat Laporan Khusus Majalah GATRA edisi Agustus 1999/Minggu ke-3.

[2] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2010, hal. Vi

[3] Ibid., hal. 91

[4] Diantaranya Sekretariat Negara Republik Indonesia, Buku Putih G 30 S, Jakarta: Setneg RI, 1993; William E. Liddle, Cultural and Class Politics in New Order Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1977; Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Kudeta Gerakan 30 September 1965, Djakarta: Pembimbing, 1968; Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1998; Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle of Indonesia Independence, Ithaca: Cornell Univ. Press, 1969; Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angfin Akan Menuai Badai, Jakarta: Sinar Harapan, 1989 – untuk menyebut berapa buku diantaranya. Diantara buku-buku yang “bersberangan” dengan teori G 30 S/PKI (pakai : PKI) tersebut adalah Anderson yang dikenal dengan Cornell Papers-nya tersebut. Karya Anderson ini tidak dibolehkan oleh Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru untuk dipublikasikan-didistribusikan kepada publik.

[5] Ada juga beberapa versi lain yang mengatakan bahwa DN adalah singkatan dari Danu Nusantara. Sebenarnya, DN merupakan singkatan dari Dja’far Nawawi Aidit. Karena Dja’far Nawawi terkesan “religius”, maka Aidit menggantinya dengan Dipa Nusantara/Danu Nusantara, sebagaimana halnya dengan tokoh komunis Sumatera Barat Chalid Salim (adik Haji Agus Salim) yang mengganti label namanya dengan Chalid Xalim. Tapi sudahlah, setiap orang berhak “mengkreasi” namanya.

[6] Wan Rahman Wan Latief, Sejarah dan Pensejarahan, Bangi, Selangor DE.: Universiti Kebangsaan Malaysia Press, 2003, hal. 118

[7] Hermawan Sulistyo, Pembunuhan di Ladang Tebu, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 36

[8] Asvi Warman Adam, “Meluruskan Pemahaman Sejarah September 1965” dalam Kompas 20 September 2003 dalam www.kompas.com/ (diunggah tanggal 7 Juli 2011)

[9] Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda. Untuk hal yang sama, dalam proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara general). Mahasiswa bersangkutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adapt tersebut dalam spectrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional. Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.

[10] Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an : ”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja” (Lihat HAA. Haars, Hikajat Perang : Catatan 1st the Luittenant der Infanteri, Batavia: G. Golf and Co., 1897. Buku dalam bentuk PDF Penulis dapatkan dari kiriman seorang kawan dari Leiden Universitet Belanda). Kalimat “miring” akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut : Syekh Halaban yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA, 2007). Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ. Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan narasi berikut ini : “Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, Masa Kecil di Kampung, 1938). Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.

[11] Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntungkan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.

[12] Harold Crouch, Militer dalam Politik Indonesia, terjemahan, Jakarta: Sinar Harapan Press, 2000.

[13] TB. Simatupang, “Militer dalam Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Prisma Edisi XVI/1982.

Kehangatan Agama

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam banyak hal, agama telah "bermetamorfosis" menjadi sejumlah ritus, upacara bahkan entertain. Dalam bahasa metafora Nabi Mulia Baginda Muhammad putra tersayang Abdullah, "masjid-masjid mereka ramai tetapi kosong dari petunjuk". Kesalehan tidak jarang justru digunakan untuk menyembunyikan keangkuhan dan menutupi penyelewengan. Bahkan, publik tak bisa dibohongi bahwa lembaga-lembaga agama menjadi lembaga-lembaga yang memberlakukan kasih dan "kehangatan" agama hanya sebagai komoditas. Teks-teks kitab suci digunakan sebagai amunisi untuk "menembaki" orang-orang yang dianggap sesat. Sebagaimana halnya politik, agama pada akhirnya telah kehilangan "kehangatan". "Agama, kata Baginda Nabi Muhammad SAW., adalah kecintaan dan kehangatan yang tulus. Tak ada agama kalau sudah kehilangan kecintaan dan kehangatan yang tulus tersebut". Wallahu A'lam bish Shawab.

Dan, masjid senantiasa bertambah, dengan segala corak rona dan rupa. Mendecak kagum kita melihatnya. Semoga bertambah pula "kehangatan" dan "petunjuk" yang dihadirkannya.


Masjid Kayu Tuo Minangkabau

Masjid Limo Kaum

Masjid Raya Pakandangan

Masjid Lubuak Bauak

Surau Atap Ijuk

Masjid Agung Palembang

Masjid Agung An-Nur Pekan Baru

Masjid Agung Semarang

Masjid (Islamic Centre) Samarinda

Sumber foto : laborsejarah FIB-Adab IAIN Padang & www.google.picture.com

Rabu, 07 Desember 2011

Asyura dan Kesyahidan Husein dalam Sastra Melayu (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Abdul Hadi WM.

Kesyahidan Husein dikenal luas di dunia Islam. Kematiannya yang mengenaskan, tubuh bersimbah darah, tangan terpotong dan kepala terpisah dari badan, senantiasa diingat oleh banyak orang Islam. Hari wafatnya yang jatuh pada tanggal 10 Muharam pun selalu diperingati di banyak negeri, baik yang mayoritas penduduknya Sunni maupun Syiah. Semua itu menunjukkan bahwa tragedi Kerbela yang terjadi hampir tiga belas abad yang lalu itu memiliki arti tersendiri bagi kaum Muslimin. Di Indonesia kisah kesyahidan Amir Husein, demikian ia disebut dalam teks Melayu, telah dikenal sejak masa awal pesatnya perkembangan Islam pada abad 13 – 15 M. Pada masa inilah hikayat tersebut mulai dikarang dalam bahasa Melayu. Dua versi paling masyhur yang dijadikan sumber penulisan versi-versi lain pada masa berikutnya ialah yang berjudul Hikayat Muhammad Ali Hanafiyahh dan Hikayat Sayidina Husein. Yang disebut pertama dikarang sekitar abad ke-14 atau 15 M berdasarkan sumber Persia, sedangkan yang belakangan dikarang sekitar abad ke-17 M di Aceh. Dalam hikayat ini dijelaskan arti penting peringatan 10 Muharam, begitu juga cara pelaksanaannya. Tetapi dalam kenyataan kemudian muncul dua bentuk penyelenggaraan yang berbeda. Yang pertama, peringatan yang lebih bersahaja sebagaimana terdapat di Aceh, pulau Jawa, Madura dan Sulawesi Selatan.

Di Aceh peringatan 10 Muharam disebut Hari Asan dan Usin. Di Jawa dan Madura disebut Hari Sura atau Asura. Sehari sebelum 10 Muharam tiba, orang melakukan puasa sunat. Esok harinya penduduk membuat bubur merah yang dibagi-bagikan kepada tetangga atau kerabat. Malam harinya diadakan pengajian, dan tidak jarang pula diadakan majlis untuk mendengarkan pembacaan hikayat tragedi Kerbela dan perang Muhammad Ali Hanafiyah melawan Yazid. Penyelenggaraan Hari Sura atau Hari Asan Usin jelas merujuk pada keterangan yang terdapat dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Yang kedua, bentuk penyelenggaraan yang lebih kompleks dan mirip dengan perayaan 10 Muharam di Iran dan India. Bentuk perayaan seperti ini dijumpai di Bengkulu dan Sumatra Barat , dan mulai diadakan sejak akhir abad ke-18 M ketika Inggris menguasai Bengkulu dan bersamanya membawa banyak orang Syiah dari India. Perayaan di Bengkulu dan Padang dimeriahkan dengan arak-arakan tabut yang aneka ragam bentuknya melambangkan kesyahidan Husein dan pernikahannya dengan Syahrbanum, putri khusraw Persia terakhir Yazgidird II yang setelah tertawan pasukan kaum Muslimin pindah menganut agama Islam. Arak-arakan dimeriahkan dengan musik tambur yang gemuruh. Hal Ini menggambarkan suasana pasukan Husein dan Muhammad Ali Hanafiyah yang dengan gagah berani maju ke medan perang. Sepuluh hari sebelum perayaan dimulai, diadakan upacara ma` ambil tanah (mengambil tanah) dan pada ketika itulah tabut-tabut mulai dibuat (Brakel 1975).

Tatacara penyelenggaran Asura itu merujuk pada teks Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Pembuatan bubur merah misalnya disarankan pada bagian awal hikayat tersebut, yaitu ketika malaikat Jibril menyerukan agar “Pada sepuluh Muharam memberi makan bubur Asura akan segala yang syahid pada tanah Padang Kerbela.” Sedangkan anjuran puasa sunat dapat dirujuk pada kata-kata Jibril menjawab pertanyaan arti pentingnya puasa sunat itu dilakukan. Kata Jibril, “Yang kasih akan segala isi rumah rasul Allah pada setahun sekali pada sepuluh hari bulan Muharam muwafakat puasa pada ketika Asura serta akan segala syahid pada tanah padang Kerbela syahdan memberi makan bubur Asura.” Arti hari Asura juga dikemukakan pada bagian berikut ini: “…hari Asura artinya menangis engkau akan isi rumah rasul Allah bermula barang siapa yang tulus ikhlas hatinya dan kasih rasanya akan segala anak cucu rasul Allah.” Semua itu menunjukkan bukan saja populernya kisah kesyahidan Amir Husein, tetapi juga betapa kesyahidannya memiliki makna tersendiri dalam hati penganut agama Islam di Nusantara. Di antara arti penting itu ialah simpati dan solidaritas atas pengurbanan dan perjuangannya melawan penguasa atau rejim yang zalim, sebab penguasa seperti itu sebagaimana diperlihatkan Muawiyah dan putranya Yazid merupakan “Bayang-bayang setan di muka bumi.” Pertanyaan timbul: Daya tarik apa yang menyebabkan hikayat yang semula muncul dalam bahasa Melayu itu kemudian mendapat sambutan luas di kepulauan Nusantara, sehingga selama lebih tiga abad digubah dan dikarang kembali dalam versi agak berlainan dalam bahasa-bahasa Nusantara lain seperti Aceh, Gayo, Minangkabau, Palembang, Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Banjar, Bima, Bugis, Makassar, dan lain sebagainya? Kecuali itu apa pula relevansinya sehingga hikayat ini memperoleh tempat istimewa dibanding epos-epos Islam lain seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dan Hikayat Malik Saiful Lisan? Untuk menjawab persoalan ini kita perlu melihat berbagai aspek dari kesejarahan teks ini, termasuk latar belakang dan motif penyusunannya sebagai epos atau hikayat perang, dan dalam konteks sejarah yang bagaimana hikayat ini dikarang dalam bentuknya seperti yang kita kenal sekarang? Begitu pula dalam konteks sejarah seperti apa ia disadur ke dalam sastra Melayu dan Nusantara yang lain.




Peringatan Hari Asyura di Iran (ab-na.com)

Tabuik/Tabot Pariaman (padangekspres.com)