Jumat, 30 Juli 2010

Politisi Bermental Bandit dan Artis

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan formula calon terpilih dengan suara terbanyak untuk Pemilu 2009, akhir Desember 2008, dalam kolom ini saya menyambutnya dengan judul: Selamat Datang Bandit dan Artis. Dengan judul itu, saya hendak menegaskan, sistem pemilu baru hanya akan menghasilkan DPR yang diisi oleh para bandit dan artis. Bandit adalah orang-orang yang merasa terhormat, namun sesungguhnya memiliki karakter jahat. Mereka kaya harta dan atau punya kuasa, sehingga ditakuti. Sangat mungkin mereka sering melakukan tindakan kriminal, tapi tidak ketahuan. Mereka tokoh, yang dengan harta dan kuasa, mudah meraup suara dalam pemilu. Sedang artis adalah orang-orang terkenal karena aktif di panggung hiburan. Meskipun kemampuan seninya kadang terbatas, mereka cukup dikenal oleh masyarakat. Popularitasnya lebih banyak ditopang oleh televisi. Sama dengan bandit, di antara para artis memang ada yang punya minat politik, namun sebagian besar hanya memanfaatkan peluang pemilu saja.

Perkiraan saya tidak terlalu salah. Tidak semua anggota DPR terpilih hasil Pemilu 1999 berkarakter bandit dan artis. Namun kita menyaksikan, dari 70-an persen muka baru, kita menemui nama-nama asing; tak dikenal secara nasional, tapi sangat berpengaruh di lokal. Atau sebaliknya, namanya populer di seantero Nusantara, tetapi kita tidak tahu apa aktivitas sosial politiknya selama ini. Dengan karakter anggota Dewan seperti itu, maka sebetulnya kita tidak perlu heran apabila pada tahun pertama keanggotaannya sudah kelihatan betapa buruk kinerjanya. Bayangkan saja, untuk rapat paripurna yang dilakukan pada awal dan akhir masa persidangan (rata-rata tiga bulan sekali) saja, mereka banyak membolos, apalagi untuk rapat-rapat lain yang jarang terpublikasi.

Beberapa pembolos berkoar, meskipun dirinya sering membolos dalam rapat peripurna, tapi mereka mengaku aktif dalam rapat komisi, rapat pansus, rapat panja atau rapat-rapat Dewan yang lain. Tetapi percayalah, jika data-data kehadiran rapat-rapat khusus itu dibuka, mereka akan kecele. Pada rapat-rapat khusus tersebut, pembolosnya justru lebih banyak. Karena aktivitas pokok anggota Dewan adalah rapat, maka ketika banyak anggota yang membolos dalam rapat, dengan sendirinya fungsi-fungsi dewan tidak berjalan. Lihatlah, fungsi legislasi sangat rendah. Nyaris tidak ada undang-undang penting yang disahkan. Jika pun ada, itu lebih merupakan melanjutkan pekerjaan DPR sebelumnya.

Fungsi anggaran DPR periode ini melihatkan dua fenomena menggelikan: pertama, menyetujui apa saja yang dikehendaki pemerintah, dan; kedua, sebagai imbal baliknya, mereka meningkatkan anggaran internal, mulai dari membangun gedung megah, meningkatkan studi banding ke luar negeri, hingga menambah tetek bengek kebutuhan lain. Fungsi pengawasan tampak hebat, ketika mereka mengusut skandal Bank Century. Namun dalam prosesnya kemudian, rapat-rapat Pansus Bank Century tampak sebagai sandiwara belaka. Sikap kritis dan daya dobrak anggota Dewan tidak berbuah apa-apa, karena tujuan mereka bukan mengungkap skandal, melainkan menaikkan daya tawar untuk menambah harta dan kuasa. Adakah jalan atau cara agar anggota Dewan lebih bertanggung jawab atas fungsinya sebagai wakil rakyat? Beberapa usulan disampaikan, mulai dari menerapkan presensi dengan mesin pemindai, mengurangi gaji atau honor, hingga melaporkan ke Badan Kehormatan.

Tetapi percayalah, usulan-usulan tersebut jika diterapkan tidak akan berarti apa-apa bagi kinerja Dewan. Sebab ini bukan soal teknis administratif, bukan juga soal keuangan, tetapi soal mental. Lihatlah, sudah jelas MA memvonis bersalah, tetap saja anggota Dewan itu merasa tidak bersalah, sehingga lebih suka lari ke sana ke mari menjadi buron. Lihat juga, sudah tahu pekerjaan Dewan itu seabrek-abrek, tapi masih ada anggota Dewan yang sibuk show ke sana ke mari. :: (Sumber : www.detik.com/didik supriyanto).

Senin, 26 Juli 2010

Perbudakan dan Si Ibu yang Terenggut

Oleh : Muhammad Ilham

"Anakku seperti dirampas oleh modernisasi", demikian penggalan sebuah puisi Muhammad Iqbal. Dan ini terasa pada hari kemaren. Seorang ibu, teman istri saya, dengan nelangsa mencurahkan isi hatinya (curhat : istilah anak sekarang) tentang rasa hatinya yang "terampas". Ia ingin sekali dekat dengan anak-anaknya yang sudah menginjak usia 10 dan13 tahun. Satu kelas 4 Sekolah Dasar, satu lagi kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Bukan berarti, si ibu yang teman istri saya ini, wanita karir yang berangkat kala anak-anaknya belum bangun pagi dan pulang ketika mereka telah tidur. Si ibu ini bukan juga pedagang yang berangkat subuh dan pulang siang hari, kemudian berangkat lagi cari stock barang dagangan. Bukan sama sekali. Si ibu ini, ibu rumah tangga biasa - "Suri Rumah" istilah Siti Nurhaliza. Mencurahkan seluruh waktunya untuk mengurusi keperluan suaminya yang bekerja di sebuah BUMN dan keperluan anak-anaknya. Praktis, ia banyak "mendapatkan" waktu untuk dekat dengan anak-anaknya dibandingkan, misalnya, wanita yang bekerja di luar rumah. Tapi yang terjadi adalah, si ibu yang teman istri saya ini, merasa potensi untuk dekat dengan anak-anaknya dicabut dan dicerabut oleh yang namanya - sistem pendidikan modern dan capaian teknologi. Si ibu ini ingin bercengkerama dalam waktu yang cukup lapang dengan kedua anaknya, tapi apa daya, sang anak tak memiliki waktu banyak. Pagi berangkat, sambil diantar oleh ibunda tercinta sampai di depan rumah, pulang mendekati ashar. "Kegiatan sekolah sangat padat", demikian kata si anak kala ditanya sang ibu. Pertanyaan dan jawaban yang terus berulang terjadi. "Ingin rasanya saya bermain dengan anak saya itu, walau hanya satu dua jam setelah ia pulang sekolah, tapi saya tahu ia letih, saya biarkan ia tidur atau sekedar untuk istirahat barang sejenak", kata si ibu pada saya. "Tapi justru yang terjadi adalah, anak saya pergi les atau kegiatan ekstra kurikuler di sekolah mereka masing-masing, hingga senja menjelang". Dan pada malam hari, anak-anak ini, berjibaku mengisi tugas dan entah apalagi namanya yang dibebankan pada mereka oleh sekolah. Praktis, tak ada "waktu" bagi si ibu untuk bercengkerama dengan buah hatinya. Bahkan untuk hari minggu sekalipun. Sang anak larut dengan tontonan Televisi, bermalas-malasan di rumah, tanpa mau diganggu oleh siapapun, termasuk ibunya sendiri. Keletihan beberapa hari, ingin mereka bayar pada hari minggu itu. Nampaknya si ibu ini merasa "dijauhkan" oleh sistem. Ia tak menyalahkan anak-anaknya. Baginya, anak-anaknya ini hanyalah "budak" dari sebuah sistem yang harus mereka lalui, mau tidak mau. Si ibu merasa "dipisahkan" dari "miliknya yang sah" oleh sebuah aturan yang aturan itu tidak bisa dihindari oleh anak-anaknya.

Sejarawan spesialis Asia Tenggara, Anthony Reid pernah membahas tentang perbudakan di nusantara. Dan itu ia nukilkan dalam buku-nya yang terkenal Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia (sudah diterjemahkan oleh penerbit Graffiti). Ia mendeskripsikan kepiluan seorang Ibu Buleleng Bali pada tahun 1800-an, kala 2 anak-nya dijual oleh Raja Buleleng pada orang Perancis. Kira-kira, begini Reid mendeskripsikannya : "Sore itu, di Pantai Buleleng, berlabuhlah sebuah kapal bertiang ganda yang dipimpin oleh seorang Kapten dengan puluhan awaknya. Kapal itu dilengkapi meriam, pistol serta pedang. Tak ada kemewahan dalam kapal itu, yang ada hanyalah mata uang Spanyol dengan satu tujuan - membeli budak. Salah seorang penjual budak itu adalah - konon - Raja Buleleng Bali. Hari itu, sang Raja menjual 1 orang wanita berusia 40 tahunan dan 2 orang anaknya yang masih belia, 9 dan 6 tahun. Karena si ibu sudah tua, Kapten Perancis ini tak mau membelinya, ia hanya ingin kedua anak itu. Ketika sampai di pantai untuk dinaikkan ke atas perahu menuju kapal yang berlabuh dibibir pantai, Kapten menyuruh agar kedua bocah ini dibawa, sementara ibunya ditinggalkan. Kedua anak ini tak mau. Mereka meronta, demikian juga ibunya, yang memeluk erat dua buah hatinya. Kalau ingin ambil anak saya, bawa sekalian dengan saya, demikian hardikan ibu ini dalam bahasa Bali yang tidak dimengerti Kapten kapal dari negara Napoleon Bonaparte ini. Mereka bertiga menangis kuat-kuat. Si Kapten marah. Ia meyuruh dua kelasinya untuk memisahkan dua anak ini dari ibunya yang masih memeluk anak-anaknya dengan beruraian air mata. Apalah daya, tangan dan kuasa sang ibu yang lemah. Kedua anak itu kemudian diangkat paksa ke perahu, terus berkayuh hingga ke kapal di bibir pantai. Dan, selanjutnya kapal berlayar dengan meninggalkan kesedihan dan raungan tiada tara, si ibu yang berusia 40 tahunan ini. Ia yang tertinggal di pantai ini, kemudian roboh tergolek. Cukup lama ia tergolek sesegukan. Ia menangis, menyeru memanggil anak-anaknya. Sampai beberapa hari, si ibu tetap termangu di tepian pantai. Tapi sia-sia.

:: Mungkin dua narasi diatas, seakan-akan tak memiliki keterkaitan-kronologis. Namun, peristiwa si ibu teman istri saya serta si ibu di pantai Buleleng Bali mungkin bukan terletak pada dua anaknya yang menghabiskan waktu karena kesibukan pendidikan semata serta bukan pula karena dua anak wanita Buleleng ini dijadikan budak, melainkan karena seorang ibu harus direnggutkan. Direnggutkan oleh sistem pendidikan yang harus dijalani anak-anak mereka dan direnggutkan anak-anak mereka oleh perbudakan primitif. Dan kedua-duanya hampir sama ..... si ibu yang direnggutkan.

Sabtu, 24 Juli 2010

Sang Amirul Mukminin Umar bin Khattab

Oleh : Muhammad Ilham

Sejarah dipenuhi dengan cerita membangun dan menghancurkan, tapi siapakah yang membersihkannya (Rabindranath Tagore).

Aku ingin meletakkan sekuntum sajak/di makam Nabi/supaya sejarah menjadi jinak/dan mengirim sepasang merpati/tanpa kepongahan dan jumawa diri/ (Kuntowijoyo : Makrifat Daun)

Tentang kesederhanaan dan kezuhudan, bacalah Umar bin Khattab. Kenisbian sebuah jabatan, selamilah Umar bin Khattab. Pada Umar bin Khattab, kita juga temukan tentang sebuah perspektif - "beratnya amanah". Khalifah ke 2 Khulafaur Rasyidin ini ibarat sebuah contoh tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Tak ada yang tak kenal dengan putra Khattab ini. Sejarah mencatat, tegas orang-nya, pintar otak-nya. Dikenalnya "Fiqh Umar" dalam tradisi Fiqh Islam merupakan refleksi dari kejeniusannya. Ketegasan, tidak usah ditanyakan. Sebelum masuk Islam, ia adalah "penentang" terkeras nabi Muhammad. Melebihi Abu Lahab dan Abu Jahil. Putra Abdullah ini bahkan terkesan belum berani secara terang-terangan menyiarkan Islam. Seketika, karena ketersentuhan hatinya mendengar lantunan ayat Al-Qur'an dari adiknya, Umar masuk Islam. Disamping tentunya, begitu mengagumi moralitas Muhammad. Masuknya Umar dalam barisan awal pemeluk Islam, Nabi Muhammad menjadi "lebih berani". Perkembangan Islam pada periode Mekkah pasca masuk Islamnya Umar ini, walau tidak sensasional dibandingkan periode Madinah, setidaknya Muhammad lebih lempang "bergerak". Umar memberikan raga-bathinnya untuk membela misi suci Muhammad. Ia ibarat Merah Silu yang berganti nama dengan Malikul Saleh, ketika masuk Islam. Samudera Pasai "terislam"kan. Si Merah Silu menjadi pembela eksistensi Islam periode awal di ranah Sumatera, mungkin Indonesia.

Diantara sahabat nabi yang mulia, mungkin Umar-lah yang dikenal "bagak" dan garang. Beda dengan Abu Bakar yang bijak, Utsman yang pragmatis dan arif serta Ali bin Abi Thalib nan zuhud lagi smart. Walau demikian, kegarangan Umar lebih pada tempatnya. Ia menangis tersedu sedang mendengar rengekan anak-anak "tengah malam" yang kelaparan, sehingga ia "membongkar" Baitul Mal untuk mengambil gandum, dan mengantarkannya endiri. Ia tersenyum kala wanita Yahudi buta, menyumpahinya sambil si wanita Yahudi ini dituntunnya berjalan. Ia-lah yang dihardik seorang "pengelana" ketika bertanya tentang dimana tempat tinggal "sang Presiden" Umar. Kebetulan, Umar sedang tidur-tiduran di bawah pohon korma dengan baju yang pantas untuk "direndahkan". Ia-lah, pada suatu ketika dengan jalan kaki, setelah turun dari ontanya, memasuki gerbang Yerusalem. Ya ... datang dengan jalan kaki untuk menghilangkan kesan sebagai seorang penakluk. Umar berhasil menaklukkan kota suci Yerusalem pada sekitar abad ke-7 pada masa kekhalifahannya. Ia masuk ke gerbang Yerusalem bukan bak raja-raja kala itu, penuh dengan kejumawaan dan simbol-simbol kemegahan, dan tentunya dengan tampilan sebagai pemenang. Umar tidak. Memasuki Yerusalem tanpa pembantaian dan penghancuran, sebagaimana halnya Hulagu Khan - si cicit Jengghis Khan - kala menaklukkan Baghdad. Sebagaimana juga jauh sebelumnya, kala seorang Fir'aun pernah menyerbunya, kekuasaan Babilonia melindasnya, Roma membumihanguskan dan Persia memporakporandakan kota ini. Tapi, Umar yang Amirul Mukminin dari sebuah peradaban baru yang menggetarkan, melebihi getaran Julius Caesaer dan Alexander Agung ini, memasuki Yerusalem dengan pakaian lusuh dan memandangi dengan hormat kota yang baru ditaklukkannya.

Penguasa Yerusalem kala itu, Patriarkh Sophronius dengan takut menemui Umar di Bukit Zaitun. Ketakutan Sophronius ini beralasan karena nama Umar yang didengarnya selama ini, memang pantas untuk ditakuti. Umar menyambutnya sebagai sahabat. Mereka membicarakan tentang perdamaian, terutama keamanan kaum Nasrani dan keselamatan gereja mereka. Umar yang dikenal sebagai pemimpin lurus ini, mengiyakan dan mengatakan, "pegang janji saya". Kala, gerbang Yerusalem dibuka, peristiwa bersejarah-pun terjadi, inilah kali pertama seorang Muslim menjejakkan kaki di sebuah kota yang hanya sebelumnya dikenal oleh kaum Muslimin sebagai kota yang hanya ada dalam kisah Isra' Mikraj.

Dengan penuh kesabaran, Umar mengikuti Sophronius membawanya ke tempat-tempat suci Kristen. Umar juga melihat letak Kenisah Sulaiman. Kala ia memasuki Kenisah ini, Umar terpaksa memasukinya dengan menunduk bahkan merangkak. Lorong itu dipenuhi oleh tahi-tahi manusia dan hewan yang telah mengering. Buah dari "kebencian" antar Yahudi dan Kristen. Sang Amirul Mukminin menyingkirkan kotoran-kotoran tersebut. Membersihkannya, semampu yang ia lakukan dan membuat Sophronus terpana. Letak Kenisah Sulaiman ini berada di sebuah tempat yang luas. Tempat yang dikenal suci, sehingga kemudian dalam tradisi Islam dikenal dengan sebutan Haram as-Sharif. Umar kemudian mendirikan satu bangunan yang amat sangat bersahaja : sebuah masjid dari kayu, yang kemudian dikenal dengan "Masjid Umar", walau Umar tak pernah sekalipun berwasiat untuk memberikan label masjid itu dengan namanya. Menurut Marshal G. Hodhgson dalam bukunya The Venture of Islam (telah diterjemahkan Mizan), "Masjid Umar" ini kemudian dibangun ulang dengan kemegahan oleh salah seorang khalifah dinasti Umayyah, Abdul Malik bin Marwan, pada akhir abad ke-7. Sesuatu yang pada prinsipnya ditentang oleh Umar sendiri, karena awal ia mendirikan "masjid kayu" ini, ia sama sekali bukan untuk menandingi Masjidil al-Aqsha. Sementara Abdul Malik dan Marwan memugar dengan penuh kemegahan Masjid Umar tersebut bermotif politis, ingin menandingi kota Mekkah. Abdul Malik ingin seperti Abrahah yang berusaha memindahkan Hajar Aswad ke Yaman, agar posisi strategis Mekkah berkurang. Abrahah "habis" karena Ababil Tragedy, sementara kreasi Abdul Malik, setidaknya, menjadi tinggalan sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan terutama untuk muhibbah religius. Tapi tetap, keinginan Abdul Malik tak kesampaian.

Dalam sebuah catatan pinggirnya, Goenawan Mohammad pernah mengatakan bahwa bangunan-bangunan besar sering hanya bisa ditopang oleh kekuasaan yang mutlak dan akumulasi dana yang mencekik. Masjid dan sejenisnya memang bisa menjadi sesuatu yang berlebihan, sebagai isyarat tentang iman, sekaligus juga tentang kepongahan. Keganjilan manusia adalah ketika ia bersikap demikian juga dalam hubungannya dengan Tuhan, padahal sebenarnya tak seharusnya pongah. Dan Umar bin Khattab menaklukkan dan membangun "sesuatu", bukan dengan kepongahan. Sejarah panjang ummat manusia mencatat : "Orang membangun tempat ibadah dan ada yang menghancurkannya, tapi siapa yang membersihkannya?".

Konspirasi: Van der Plas Connection (CIA- MI 6) di Indonesia - Bagian Pertama

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ada satu artikel menarik yang bersumber dari apakabar@clark.net berkaitan dengan berbagai konspirasi menjelang meletusnya Gerakan 30 September 1965. Artikel ini memberi sudut pandang baru mengenai siapa yang bermain sekaligus yang punya hajat di balik gerakan yang bermuara pada kejatuhan Presiden Sukarno pada 1966 tersebut.

Sudut pandang baru yang dimaksud adalah keterlibatan jaringan intelijen binaan Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur di era penjajahan Belanda, dalam merajut persekutuan badan intelijen Amerika CIA dan badan intelijen Inggris MI-6. Sejauhmana validitas dan akurasi tulisan ini, kami serahkan sepenuhnya pada peniaian sidang pembaca. Ikuti kisah selengkapnya di bawah ini. Semasa penjajahan Belanda di Indonesia, ada seorang pejabat pemerintahan kolonia Belanda yang namanya cukup sohor di kawasan Jawa Timur Dial ah Chr Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur. Van der Plas, Gubernur Jawa Timur yang menguasai beberapa bahasa daerah, bahasa Arab, Cina selain bahasa-bahasa Barat, dengan licik, berhasil membina keluarga-keluarga BB Ambtenar dan guru-guru agama, pesantren-pesantren dan organisasi keagamaan hingga secara lihai mereka dapat dikendalikan untuk kepentingan kolonialis.

Dalam masa pendudukan Jepang, Van der Plas, mengendalikan jaringan intel Sekutu di Indonesia dari Australia, termasuk dalam jaringanya adalah orang-orang dari jalur Dr. Van Mook seperti, Mr.Amir Syarifudin (pernah menjadi P.M.- memberontak sebagai PKI di Madiun) DR.Soemitro (beberapa kali jadi menteri, master agent Sekutu, koordinator penyalur senjata dan dana dari Singapura untuk PRRI-Permesta) dari jalur Van der Plas seperti Dr.Soebandrio, beberapa Kyai baik di Jawa, Sumatra maupun di Kalimantan, a.l. H. Hasan Basri, Kyai I.R. dari Jatim beberapa Perwira Udara a.l. Soedj, Roes, juga anak seorang ambtenaar Belanda, Soemarsono (ketua Pesindo, proklamator negara Sovyet di Madiun th.1948 – salah satu pemberontakan terhadap Republik Indonesia bikinan Van der Plas) dsb, sekarang tinggal di Australia dan menjadi warga negaranya. Termasuk dalam – Van der Plas Connection – juga tokoh seperti Walikota Solo, Utomo Ramelan yang secara nyata dan vokal mendukung Dewan Revolusi G 30 S, hal ini bukan peristiwa yang tanpa rencana. Sedangkan dari CDB PKI saja waktu itu tidak ada yang mengeluarkan statement dukungannya. Dari sini terlihat benang merah, yang menghubungkan Dr.Bandrio dengan Utomo Ramelan, dengan jelas. Ramelan, bapaknya Utomo adalah Ambtenaar PID (polisi rahasia Belanda) yang kerjanya mengkhianati bangsanya saja, Utomo mempunyai saudara perempuan Utami Ramelan Suryadarma, sekualitas dengan kakak dan bapaknya.

Subandrio yang licik dan licin dengan melalui istrinya, yang anggauta PSI berhasil menempel pada Sutan Syahrir, hingga berhasil diangkat jadi Duta Besar, kemudian Kepala BPI yang terus dirangkap selama jadi Menteri Luar Negri maupun jadi Waperdam I, sesudah Menteri Pertama Djuanda meninggal dunia dalam tahun 1963. Perangkapan sebagai kepala BPI ini adalah saran dari -Van der Plas Connection ( CIA – MI 6 – Sekutu). Tatkala Roeslan Abdulgani menjadi Menteri Luar Negeri, Bandrio yang duta besar di Moskow, ditarik, dijadikan Sekretaris Jendral (dari jabatan politik ke administrasi, karena antara keduanya ada rivalitas). Justru dari jabatan ini Bandrio ada kesempatan mengkonsolidasi bagian intel dari beberapa instansi yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri (Kepolisian menjadi BPI, Badan Pusat Intelijen, dan dia mengepalainya, tentunya atas nasihat dan arahan Van der Plas) . Dengan kedudukanya sebagai Kepala Badan Pusat Intelejen, Waperdam dengan otoritas yang ada ditangannya bersamaan dengan dukungan jaringan intel luar negeri (Sekutu) jalan terbuka baginya guna meraih kedudukan nomer satu di Indonesia. Dengan adanya amanah Bung Karno kepada Yani, Bandrio harus bekerja lebih keras. Dia mulai membuat manuver manuver politik yang menyenangkan PKI dan bekerja sama dengan harapan mendapatkan dukungan politik PKI.

Dalam bulan Agustus 1965, datang sebuah Tim Dokter RRC, setelah mengadakan pemeriksaan kesehatan Bung Karno, berkesimpulan penyakit Bung Karno adalah serius tak boleh diabaikan. Bagi Bandrio dan PKI berita ini adalah sangat menyentakkan. Sejak saat itu, mulai terjadi kegiatan dan manuver-manuver politik yang luar biasa. Bandrio melancarkan move-move politik dan PKI yang merasa belum siap sangat khawatir akan diterkam oleh AD (dokumen Gilchrist dsb). Lebih baik melakukan ofensif revolusioner daripada diam dan defensif. Mereka bergegas untuk membuat persiapan-persiapan, guna menyingkirkan Jend. A.Yani dan para perwira pimpinan Angkatan Darat. Karena mereka sesudah penumpasan pemberontakan lebih terkonsolidasi, perhitungan Bandrio jika hanya Yani yang disingkirkan, kemungkinan Nasution akan dapat dimunculkan, maka Nasution segera dimasukkan juga dalam daftar untuk dihabisi. Dengan persiapan yang tergesa-gesa dan kurang cermat dan tidak rapi tersebut menjadikan para pelaksana penculikan tidak mampu membedakan antara Nasution dan Letnan Tendean, yang membuat lolosnya Nasution dari penculikan dan pembunuhan.

PKI segera meluncurkan kampanye politiknya, dengan melontarkan tudingan bahwa para perwira Pimpinan AD adalah fasis yang merencanakan kup ternadap Bung Karno dengan membentuk Dewan Jendral. Pengertian Fasis adalah militer (yang ganas dan rakus) yang bekerja sama dengan kaum kapitalis (disini dikenal sebagai cukong, konglomerat). Sepanjang pengetahuan orang banyak, para jenderal Pimpinan AD tsb., tidak ada yang dikenal sebagai tukang dagang apalagi mempunyai cukong, maka tudingan fasis dari PKI tersebut jauh meleset dan kurang mendapat sambutan dari masyarakat bahkan oleh masyarakat mereka dinilai tertib, jujur dan disiplin. Partai yang memberikan dukungan utama kepada Bung Karno dalam meluncurkan politik penggalangan negara Nefos (New Emerging Forces). Strategi politik ini, mengancam strategi politik Amerika Serikat, yang dalam rangka perang dingin menginginkan hanya ada dua kubu saja, kubu Kapitalis dan kubu Komunis. Bung Karno ingin menggalang kekuatan negara-negara berkembang, menjadi kubu ketiga karena PKI dalam hal ini merupakan pendukung utama, maka PKI selalu mendapat perlindungan dan dukungan Bung Karno, jika ada yang mengganggu atau menentangnya. Sejak akhir tahun 1962, setelah Irian Jaya kembali ke pangkuan RI, PKI mengadakan evaluasi diri, mengapa sejak aktif kembali sudah hampir 15 tahun mulai 1949, belum juga dapat meraih kekuasaan, sedang dalam Pemilu 1955 sudah menjadi salah satu dari empat besar. Diluar negeri partai komunis dengan massa 10% saja sudah dapat meraih kekuasaan dengan mudah.

Mereka menemukan kesalahan tsb.yaitu PKI telah menerapkan strategi politik yang keliru, yaitu strategi ‘konformisme’ menyesuaikan diri dengan garis politik Pemerintahan Nasional -Bung Karno. Maka PKI segera mengambil keputusan untuk beralih ke strategi ‘konfrontasi’ sesuai dengan garis perjoangan kominis yaitu ‘Klassen Strijd’, pertentangan kelas. Aidit dan Nyoto ke Moskow untuk menyampaikan keputusan tsb., tetapi justru mendapat marah dari bos Partai Komunis Sovyet, yang tidak dapat menyetujuinya, karena kerjasama dengan pimpinan borjuis nasional seperti Bung Karno masih diperlukan dalam menghadapi kapitalis Amerika Serikat. Dengan adanya tokoh seperti Bung Karno, dapat digunakan menarik negara-negara berkembang disisi komunis.

Aidit Tokoh yang Misterius

Aidit merupakan tokoh yang misterius, dia dengan alasan untuk melaksanakan alih strategi politik yaitu “-konfrontasi-” dalam rangka mengemban misi dari induk jaringanya lewat Sam, Van der Plas connection, guna menyesuaikan agenda waktu yang sudah ditentukan oleh jaringan tersebut dalam upaya hendak menggoncang Indonesia. Maka baginya tidak ada jalan lain selain beralih kiblat ke Beijing, yang masih berwawasan nasional / lokal yang menerapkan doktrin, -kekuasaan ada di ujung bedil- desa mengepung kota – berkonfrontasi dengan penguasa nasional, hal yang tidak dapat dielakkan. Dengan menerapkan strategi politik konfrontasi tersebut, akan sesuai dengan agenda waktu yang sudah ditentukan Van der Plas connection – (Sekutu) untuk menggoncang Indonesia dalam rangka menyingkirkan Presiden Soekarno. Sebagai realisasi strategi -konfrontasi- tsb, dilancarkan Gerakan Aksi Sefihak, yang menimbulkan antagonisme dan konflik konflik dengan partai dan golongan lain, seperti a.l. Masyumi, PSI, PNI, NU dan AD serta lain-lain kelompok. Menciptakan setan-setan kota dan setan desa, kabir (kapitalis birokrat), dsb. yang membikin suasana politik semakin panas, seperti, Peristiwa Bandar Betsi, Jonggol, Boyolali, Klaten dll. Kekuatan yang menentang aksi-aksi PKI tsb. dituding oleh Bung Karno sebagai kaum kontrev (kontra revolusioner), komunisto fobi dan reaksioner, karena tidak berani melakukan kompetisi revolusioner. Terhadap AD, oleh PKI diluncurkan tuduhan bahwa pimpinannya membentuk Dewan Jendral yang mau mengekup Bung Karno .

Bung Karno secara sistematis dihasut bahwa para jendral tersebut. tidak dapat dipercaya maka adalah mendesak untuk dibentuk Angkatan ke V, dengan mempersenjatai buruh dan tani. Hasil Hasutan tersebut membuat sikap Bung Karno mendua. RRC politis mendukung usul PKI tersebut dan bersedia untuk membantu persenjataanya. Sikap mendua Bung Karno, dimanfaatkan dengan pengiriman senjata secara diam-diam dari Beijing ke Jakarta, baik dengan pesawat-pesawat Hercules maupun dengan kapal laut, yang dibaurkan dengan pengiriman barang-barang untuk Asian Games. Semua usaha ekstra PKI tersebut dilakukan karena partainya belum siap dan merasa dirinya berada dalam keadaan kritis, sejak diketahui sakitnya Bung Karno yang serius. Menyangkut rencana PKI terhadap Yani, Bandrio terus mendukungnya sepanjang paralel dengan rencana dan keuntungannya sendiri, bahkan mengipas dan mendorongnya, agar PKI segera bertindak. Di depan sidang para menteri bersama para panglima daerah dan para gubernur, (waktu itu unsur PKI sudah ada yang duduk dalam kabinet menjadi menteri) Jendral A Yani secara terus terang atas nama para panglima daerah menyatakan, menolak dibentuknya angkatan ke lima usulan PKI dengan mempersenjatai buruh dan tani. Dengan menarik pelajaran dari pengalaman tahun 45-an, adanya Biro Perjuangan – TNI-Masyarakat, hanya menimbulkan konflik dan perpecahan yang memperlemah bahkan merusak kekuatan nasional. A Yani juga menyatakan ketidak senangannya PKI diberi posisi didalam kabinet.

Aidit tokoh muda PKI yang misterius. Sejak 1948 (affair Madiun) tertawan di Solo, dapat lolos dari tahanan di Solo, terus meloloskan diri ke luar negri, lewat Surabaya meskipun Surabaya dan sekitarnya diduduki oleh Inggris – Belanda. Aidit adalah sekelompok dengan Soemarsono (Ketua Pesindo yang melakukan proklamasi negara Sovyet dari Madiun atas suruhan Van der Plas, maka dapat lolos sewaktu tahun 1948 terus ke Australia dan selanjutnya menjadi warga negaranya). Demikian pula Sam Kamaruszaman adalah sekelompok dengan mereka itu. Dari peristiwa ini sudah jelas, siapa-siapa mereka itu ialah agen-agen Sekutu-Belanda maupun komunis. Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Aksi Militer ke II dengan penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia tiga bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 18 September 1948,Van der Plas menyuruh PKI berontak di Madiun (dengan proklamasi negara sovyet tersebut), guna memperlemah Republik Indonesia. Namun TNI berhasil menumpas pemberontakan PKI, bahkan Mr.Amir Syarifudin anggauta jalur Van Mook (pernah jadi Perdana Mentri RI) tertawan didesa Klambu, Purwodadi Jawa Tengah, bersama-sama tokoh-tokoh PKI lainya. Kecurangan Belanda dengan siasat adu domba dapat kita patahkan sebelum Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Setelah beberapa tahun di luar negri, Aidit kemudian dapat diselundupkan kembali ke dalam negri, berkat reka-daya Sam Kamaruszaman. Sejak datang kembali, karier politiknya dengan lancar dan cepat terus menanjak seperti diroketkan, hingga menjadi bos partai Sekjen PKI, Ketua Politbiro CC PKI (sebagaimana biasanya seseorang yang diorbitkan, selalu diatur kariernya).

Hubungan khusus antara Aidit dengan Sam ini kemudian dibakukan dengan dibentuknya Biro Khusus yang diketuai oleh Sam yang hanya bertanggung jawab kepada ketua Politbiro/Sekjen PKI seorang yaitu Aidit (dengan alasan mengingat kerahasiaan yang harus dijaga, membina anggauta Angkatan Bersenjata tidak boleh diketahui oleh orang banyak, cukup dua orang saja). Keputusan dari PKI mengenai G30S hanya diketahui oleh dua orang tersebut, yang oleh Sudisman dikritik sebagai keputusan avonturisme. Pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam, Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat yang sudah tersedia untuk terbang ke Yogya hanya bersama pendampingnya Kusno, dan diberi tahu, bahwa nantinya di Yogya akan dijemput oleh Ketua CDB PKI Yogya. Kenyataanya setiba di Yogya tidak ada seorangpun yang datang menjemputnya Hanya diantarkan oleh pendamping dan seorang sopir dari AURI, bertiga kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI Yogya.

Kenyataanya setiba di Yogya tidak ada seorangpun yang datang menjemputnya Hanya diantarkan oleh pendamping dan seorang sopir dari AURI, bertiga kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI.Yogya. Setibanya ditempat yang dikira rumah Ketua CDB, pada waktu diketuk pintunya, ternyata adalah rumah tokoh NU. Keberadaan Aidit di Yogya dengan demikian telah diketahui fihak lain, maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo dengan mendapatkan jemputan kendaraan yang dikendarai oleh seorang Cina jago kunthau dari Solo. Tetapi akhirnya tertangkap hidup-hidup setelah beberapa waktu berada di Solo.

Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan secara terus berpindah-pindah. Semula disinyalir di Lojigandrung kediaman resmi Walikota Utomo Ramelan, kemudian dipindahkan ke kampung Keparen (sebelah Selatan Pasar Singosaren) dirumah Jupri Prio Wiguno, anggauta PKI malam (jaringan Van der Plas). Beberapa hari Aidit berada di Keparen, kemudian dijemput oleh Sri Harto, penghubung Aidit – Bandrio. Dengan menyerahkan tanda bukti berupa sesobek kertas krep yang bertanda tangan, sedangkan sobekan yang lainya berada ditangan tuan rumah ialah Jupri tersebut. Setelah sobekan tersebut dicocokan dan memang cocok, maka Aidit diserah terimakan oleh Jupri kepada Sri Harto. Setelah serah terima tersebut, Aidit dengan diboncengkan scooter, dibawa ke rumah KRT. Sutarwo Hardjomiguno di desa Palur sebuah desa disebelah timur kota Solo. Beberapa hari berada di Palur dia sempat berkeliling kota Solo, bahkan sempat menengok markas CC PKI Solo. Kemudian dipindahkan kerumah Sri Harto penghubung tersebut di kampung Kleco yang terletak dibelakang Markas Resimen, dirumah tersebut Aidit tinggal beberapa hari lamanya. Setelah mengambil Aidit dari Keparen Sri Harto melaporkan tentang keberadaan Aidit, kepada para senior Pemuda-Pelajar (Suhari alm. Dan seorang lagi). Menurut keteranganya karena dia merasa ngeri, melihat perkembangan keadaan, batalion TNI-AD, K, L dan M di Solo telah banyak disusupi PKI. Demikian pula dengan CPM, sehingga banyak tahanan-tahanan penting dapat lolos, antara lain seperti tokoh PKI anggauta Politbiro Ir.Sakirman, sopir Cina penjemput Aidit dari Salatiga dll. Sri Harto percaya kepada para Pemuda-Pelajar dan merasa aman, karena melihat sepak terjang dan perjoangannya sewaktu bergerilya melawan Belanda, perang menumpas pemberontakan PKI 1948 dan waktu itu dalam menghadapi G 30 S di Solo.

Setelah Sri Harto memberi laporan tentang keberadaan Aidit tersebut, siasat segera disusun. Untuk menambah kepercayaan Aidit, Sri Harto diberi pengawalan oleh dua orang dari para Pemuda-Pelajar, sekaligus untuk mengawasinya, apakah Sri Harto jujur atau tidak dan kepadanja diberi sepucuk pistol untuk peganganya . Oleh para senior hal tersebut segera dilaporkan kepada Kol.Yasir yang rupa-rupanya kurang percaya bahkan minta apa jaminanya jika bohong. Jawaban Suhari dia bersedia ditembak mati apabila laporanya tidak benar, karena mereka itu berjoang didorong oleh keyakinanya tiada pamrih pribadi demi untuk menegakkan Republik Indonesia yang mereka ikut mendirikanya.. Keberadaan Aidit di Solo, sudah beberapa hari dibuntuti, sesuai kesepakatan dengan Sri Harto. Laporan kepada Kol.Yasir tersebut rupa-rupanya bocor. Rumah dimana Aidit ditempatkan, ternyata digerebeg oleh sepasukan polisi yang selama itu tidak berperan aktif, dan penyerbuan tersebut sama sekali tidak ada koordinasi, dimaksud hanya untuk menciptakan kekalutan belaka.

Kemudian ketahuan, bahwa Sekretaris Pekuper dari Kol. Yasir, yaitu Letkol Muklis Ari Sudewo, adalah seorang komunis yang mempengaruhi polisi untuk melakukan penyergapan, padahal selama kampanye melawan G30S tidak berperan. Sergapan tersebut karena tanpa koordinasi, hampir menimbulkan bentrokan dengan Pemuda Pelajar yang bertugas untuk mengamat-amati Aidit. Beruntung bahwa sebelumnya Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng. Letnan Sembiring (terakhir jendral) yang mengejarnya di Pati tetapi tidak berhasil menangkap, teryata memergoki Muklis Ari Sudewo di Solo, ia menjadi orang kedua Pekuper. Dalam tubuh AD di Solo masih banyak unsur-unsur komunis (bagian operasi, Kapt. Hardijo, CPM a.l Lettu Abu) dll.

Kericuhan dalam operasi sering terjadi karena Pemuda Pelajar sering dijerumuskan kalau melakukan patroli terutama di malam hari, rupa-rupanya unsur-unsur PKI sudah terlebih dahulu diberitahu. Tetapi berkat pengalaman, dapat mencium gelagat yang tidak baik dan tipuan-tipuan tersebut dapat dihindari. Maka setelah itu mereka membuat gerak tipu sendiri sehingga dapat menangkap dan merampas banyak unsur-unsur PKI dan persenjataanya. Kekalutan di Solo ditambah dengan sering bentroknya golongan Islam dengan golongan Nasionalis yang juga banyak dari mereka itu yang diadu domba dan menjadi korban dibantai oleh komunis, menjadikan keadaan bertambah rawan. Sri Harto adalah Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri Metal) di pabrik panci Blima. Bapaknya Sri Harto adalah seorang dari kalangan atas Mangkunegaran, KRT. Sutarwo Hardjomiguno, lincah luwes hingga mampu kekanan-kekiri (kemungkinan besar berada dalam jaringan Van der Plas, karena dapat ketempatan Aidit tanpa bocor). Kakak Sri Harto menjadi Asisten Wedana (PKI) di Klego daerah Boyolali, yang dinilai banyak merugikan dan menteror rakyat, maka dihabisi oleh rakyat sendiri. Sri Harto mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penghubung Bandrio – Aidit, tetapi karena dia kurang teguh dan ngeri akhirnya membuka kedoknya sendiri, mencari selamat dengan melaporkan tentang keberadaan Aidit di Solo tersebut kepada para senior Pemuda Pelajar.

Aidit Tertangkap

Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh sepasukan polisi, Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng. Sore harinya Kol.Yasir melakukan operasi penggerebegan baik ke rumah dimana Aidit ditempatkan pada waktu siangnya maupun ke seluruh kampung.Tetapi hingga sekitar pukul 22.00 malam, Aidit belum juga dapat diketemukan. Kemudian operasi dihentikan dan pasukan tentara ditarik dari kampung Sambeng, beberapa ditinggalkan untuk mengamat-amati. Para senior Pemuda-Pelajar yang memberikan laporan kepada Kol.Yasir merasa sangat terpukul dan kecewa, karena selain kena tuduhan pembohong juga telah memberikan jaminan, jika bohong, bersedia untuk ditembak mati. Mereka berkeyakinan bahwa Aidit pasti masih berada dirumah dimana siangnya ditempatkan atau paling tidak masih dikampung Sambeng tersebut. Para senior Pemuda-Pelajar, kemudian mengambil inisiatif untuk menggeledah dan memagar betis kampung dan rumah tersebut dengan mengerahkan teman-temannya, meskipun mereka menanggung risiko karena berlakunya jam malam. Terutama rumah yang sudah digeledah tersebut digeledah lebih intensif lagi, tetapi tetap tidak diketemukan Aidit.

Hanya didalam sebuah almari yang kosong dan menempel rapat dengan dinding penyekat rumah ditemukan sebuah celana dalam, berinitial DA, yang diduga adalah milik Aidit. Rumah tersebut dihuni oleh seorang yang sudah tua, seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai bersama cucunya yang gadis remaja. Sudah susah payah dari pagi sampai tengah malam belum juga mendapat hasil, salah seorang senior Pemuda-Pelajar menemukan akal, dengan menggertak orang tua penghuni tersebut, jika tetap tidak mau mengaku dimana Aidit berada, cucunya akan dipermalukan didepannya. Dengan gertakan demikian orang tua tersebut akhirnya mengaku bahwa Aidit berada dibelakang almari kosong tersebut. Sewaktu dibantah mana mungkin, karena almari tersebut rapat dengan dinding. Mendapat jawaban, bahwa dinding belakang almari tersebut merupakan pintu dan dinding sekat rumah tersebut yang rangkap dengan rongga sekitar 50-60 cm. Ternyata waktu dinding belakang almari tersebut dibuka, Aidit masih berada didalam rongga dinding sekat rumah tersebut Aidit disilahkan keluar dan kemudian diserahkan kepada Kol.Yasir langsung diLojigandrung. Operasi penggeledahan tahap kedua yang dilakukan oleh para Pemuda Pelajar ini, didampingi oleh Letnan Ning, hingga merupakan tindakan yang berada dibawah petugas resmi .

Tertangkapnya Aidit tersebut segera dilaporkan ke Jakarta oleh Kolonel Yasir, kemudian diperintahkan langsung oleh Jendral Soeharto agar pada kesempatan pertama Aidit dibawa ke Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta tersebut ditengah jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya. Hal ini menimbulkan tanda tanya, mengapa seorang tokoh yang demikian penting, selain Sekjen PKI, juga menyandang jabatan resmi sebagai Menko dihabisi begitu saja? Mengapa tidak dikorek keteranganya hingga tuntas dan diajukan ke Pengadilan hingga masyarakat umum mengetahui secara terbuka. Dalam hal ini sangat terasa adanya sesuatu yang disembunyikan dan merupakan misteri besar. Apakah ada hubunganya dengan kemisteriusan tokoh Aidit? Tertangkapnya Aidit di Solo ini membuka tabir adanya hubungan Aidit dengan Bandrio dan dengan jaringan Van der Plas ( a.l. Jendral Soeharto, yang memerintahkan menghabisi). Suatu konspirasi yang sangat kejam dan telah memakan korban besar dikalangan rakyat.banyak, baik yang komunis maupun yang non komunis ..... (Bersambung .. !!)

Foto : Karikatur DN. Aidit (www.wikipedia.com). Sumber : Drama Oktober , File G30S dan the global review dot com

Konspirasi: Van der Plas Connection (CIA- MI 6) di Indonesia - Bagian 2

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Van der Plas connection adalah jaringan riil yang canggih, hanya anggota-anggota inti tertentu yang sadar akan keberadaannya sebagai anggota jaringan, lainnya adalah oknum-oknum oportunis tanpa sadar, sekedar sebagai alat saja. Jelaslah yang “punya gawe” G30S adalah: PKI, Soeharto, Soebandrio dan CIA.


Apabila ditelusuri lebih mendalam, dalam rangka untuk lebih menjamin kepentingan Sekutu (politik, ekonomi dan keamanan di Indonesia) Amerika dan sekutunya merasa perlu untuk menggulingkan Presiden Soekarno dan memecah-belah Indonesia menjadi beberapa negara, menyingkirkan para perwira yang berdedikasi dan menghapus PKI. Kegagalan yang dialami Amerika dan sekutunya dalam meluncurkan projek pemberontakan PRRI-Permesta membuatnya sadar setelah mendapat advis dari Belanda, bahwa pendekatan dari daerah untuk menyingkirkan Presiden Soekarno adalah kesalahan yang fatal dan sulit untuk dapat berhasil. Sekutu mulai melakukan pendekatan ke Pusat. Kepada Jakarta mulai ditawarkan untuk membeli pesawat angkut raksasa Hercules, Indonesia diberi bantuan stasiun komunikasi beserta perlengkapanya yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia (dengan demikian Sekutu dapat menyadap semua perintah-perintah dari pusat maupun daerah), kepada para perwira Indonesia diberi kesempatan untuk belajar ke Amerika, diadakan program Civic Mission dan perwira pelaksananya dilatih di Amerika beberapa bulan, juga dikirim ke Indonesia Peace Corps.

Para sarjana sipil dan mahasiswa diberi bea siswa untuk belajar ke Amerika. Para kader Dr. Soemitro Djojohadikusumo berbondong-bondong berangkat belajar ke Amerika dan kembali menggondol gelar-gelar akademis yang diperlukan untuk mengajar di Universitas. Hubungan yang semula tegang menjadi cair, tidak ada pesta atau resepsi di Kedutaan Amerikayang tidak mengundang para sarjana yang kira-kira berpotensi.

Bersamaan dengan dilaksanakanya program-program tersebut diatas,dengan diam-diam dilakukan talent scouting (mencari calon jago berbakat) oleh perwira tinggi dari bagian sandi yang ternyata berada dalam jaringan Van der Plas. Calon jago adalah perwira-perwira dengan kriteria, avonturir berani malu, berani mati, doyan duit, berpengalaman dan berhasil dalam berpetualang serta telah menikmatinya. Ditemukan seorang perwira yang memenuhi kriteria tersebut,ialah seorang kolonel asal Jawa Tengah dan pernah menduduki posisi tertinggi ditempatnya sebagai Panglima Divisi,yaitu Kolonel Soeharto. Malahan padanya ditemukan faktor lain yang sangat penting,yaitu menaruh dendam kesumat kepada para perwira atasannya, terutama anggauta Tim Pengusut MBAD dan rival berat A. Yani juga kepada Presiden Soekarno yang menanda tangani Surat Keputusan pemecatanya sebagai Panglima Divisi Diponegoro. Maka terpilihlah Kolonel Soeharto untuk dijadikan jago utamanya. Kepada Kol. Soeharto setelah selasai pendidikan di SSKAD,diciptakan jabatan yang sebelumnya tidak ada, yaitu suatu Kesatuan baru ialah TJADUAD (Cadangan Umum Angkatan Darat) Kol.Soeharto dijadikan Panglimanya. Beberapa waktu kemudian diadakan KOGA (Komando Siaga) dan dia menjadi salah satu anggauta pimpinannya. Beberapa waktu kemudian diadakan kampanye untuk menyerbu Irian Barat, Soeharto menjadi Panglimanya. Setelah selesai kampanye Irian Barat, Soeharto dengan pangkat Mayor Jendral dijadikan Panglima, KOSTRAD.

Setelah Mayjen Soeharto menduduki pimpinan Kostrad, terjadilah G30S sesuai agenda waktu dari dari Van der Plas connection (atas pesanan Amerika dan sekutunya). Dari peristiwa G30S tersebut, terlihat dengan jelas adanya jalur-jalur konspirasi kaum ex kolonialis, yang sampai kini, masih merajut dengan jalur-jalurnya pada sistem kekuasaan negara kita. Dengan melalui Van der Plas connection, pertama terlihat jalur lewat DR..Bandrio. Dia yang sangat berambisi untuk menggantikan kedudukan Presiden Soekarno (didukung oleh induk jaringanya), tetapi terhalang oleh Yani dan Nasution. (Dewan Revolusi yang dia sponsori mendapat dukungan hanya dari Utomo Ramelan-yang sejaringan dengan Bandrio dalam Van der plas connection ) Kedua adalah jalur PKI, atas rintisan Sam Kamaruszaman bersama DN Aidit dengan menciptakan kondisi-kondisi politik dengan strategi baru sehingga PKI yang belum siap terjebak didalamnya. Ketiga adalah lewat Jendral Soeharto yang melancarkan operasi intel (menghapus jejak dengan cara menyingkirkan atau menghabisi orang/organisasi yang telah berhasil mencapai tujuan atau sasarannya, seperti.G30S yang seminggu setelah terjadi, dibelakangnya diberi label PKI, meskipun Letkol Untung termasuk jalur PKI, tetapi juga juga termasuk jalur Jendral Soeharto). Letkol Untung yang telah berhasil menghabisi para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD kemudian juga dihabisi. Dan Perwira Tinggi yang telah melakukan mencuci het vuile was (melaksanakan pekerjaan kotor) masih beruntung hanya disingkirkan keluar negeri, mengingat dia adalah orang penting di Kostrad.

Dalam bulan Maret 1965 Deputi operasi Angkatan Udara, Laksda Ud Sri Mulyono sesuai instruksi, memerintahkan untuk dilaksanakan latihan militer bagi para sukarelawan Ganyang Malaysia. Perwira pelaksana latihan tersebut adalah May.Ud.Soejono, latihan dimulai tanggal 5 Mei 1965. Masih dalam bulan Mei 1965 terjadi serah terima tugas tersebut dari Laksda Ud.Sri Mulyono kepada Komodor Ud. Dewanto. Dewanto mengadakan inspeksi ternyata ditemukan, bahwa yang dilatih tersebut hanya dari unsur komunis yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani. Oleh Dewanto diperintahkan agar latihan pada awal bulan Juni dihentikan dan digantikan dari unsur-unsur Nasionalis dan Agama kepada May.Ud. Soejono.Ternyata perintah atasan tersebut oleh May.Ud Soejono diabaikan dan kedua organisasi yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani masih berlanjut sampai terjadinya G30S pada awal Oktober.Lokasi latihan adalah dikebon karet berdekatan dengan bahkan mungkin termasuk wilayah Pangkalan Udara Halim yang ada sumur tuanya.

Tiga hari kemudian setelah diketemukanya mayat para jendral yang dimasukkan ke dalam sumur tua tersebut, masyarakat menjadi geger. Dengan tayangan dengan narasi yang lancar dibarengi dengan statement tentang G30S oleh Jendral Soeharto dilokasi mayat-mayat korban diangkat satu persatu. Ini merupakan skenario yang sempurna dan dramatis ,berhasil menggoncangkan psikologi rakyat. Dari tayangan ini ditimbulkan kesan yang menggores hati rakyat banyak, karena tertayangkan siapa-siapa yang menjadi bandit dan siapa pahlawannya. Suatu rekayasa yang sempurna, maka timbul pertanyaan, bagaimana seorang bawahan (May.Ud.Soejono) berani mengabaikan perintah atasannya, dalam hal ini Komodor Dewanto, jika tidak ada backing yang lebih tinggi dan kuat. Dengan demikian maka berlanjutlah keberadaan Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lobang buaya. Siapa yang berada dibelakang peristiwa-peristiwa itu semua?

Sumber : Drama Oktober , File G30S dan the global review dot com

Sabtu, 17 Juli 2010

The Case for God – Karen Armstrong

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Apakah Tuhan perlu dibela? Bagi banyak orang beriman dalam agama mana pun, Tuhan mestilah dibela meski Tuhan sendiri, karena Ia adalah Zat Yang Mahakuasa, sebenarnya tidak perlu dibela siapa pun. Tuhan Mahakuasa dengan sendiriNya. Namun, Karen Armstrong lewat karya terbarunya The Case for God: What Religion Really Means (London: The Bodley Head, 2009) juga membela Tuhan dengan melihat apa sebenarnya makna agama. Judul secara bebas adalah ‘Membela Tuhan: Apa Sesungguhnya Arti Agama’. Karya-karya Karen Armstrong, mantan biarawati, senantiasa menarik.

Berbeda dengan karya-karyanya terdahulu, Armstrong dalam Case for God tampil lebih tegas membela agama, yang di masa kita sekarang mendapat serangan bertubi-tubi dari beberapa pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Ateisme mereka ini merupakan perlawanan terhadap citra Tuhan seperti dipersepsikan dan diperjuangkan mati-matian oleh kaum fundamentalis Kristen Protestan; kerangka fundamentalisme kemudian juga diterapkan pada kelompok-kelompok fundamentalis agama lain, termasuk Islam.

Armstrong melalui karya ini membela Tuhan dan agama, terutama dari dekapan kaum fundamentalis dan skeptisisme orang-orang ateis. Hemat saya, pembelaan tersebut sangat tepat waktu ketika di berbagai penjuru dunia, banyak kalangan umat beragama mengalami antusiasme keagamaan menyala-nyala yang menimbulkan berbagai dampak politik, sosial, dan ekonomi. Pada saat yang sama,
skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama juga meningkat sebagai respons terhadap perkembangan keagamaan semacam itu. Bagi Armstrong, pemahaman keagamaan di masa modern sudah sangat ‘terrasionalisasi’, sehingga apa pun doktrin dan praktik keagamaan yang tidak rasional mestilah ditolak. Tetapi ironisnya, dalam refleksi saya, sikap seperti ini justru melahirkan pandangan dan persepsi yang tidak logis tentang agama. Dan, dalam pandangan Armstrong, penafsiran keagamaan yang telah ‘dirasionalisasikan’ memunculkan dua fenomena modern yang cukup distingtif; fundamentalisme dan ateisme.

Fundamentalisme agama pada awalnya bersumber daripada kesalehan defensif, yang semula berkembang di kalangan kaum Kristen Protestan Amerika, yang pada waktu yang tidak terlalu lama juga menggejala terhadap agama-agama. Seperti diungkap Armstrong, kaum Protestan fundamentalis berkeinginan menghasilkan pemahaman keagamaan yang saintifik dan sepenuhnya rasional; karena itu mereka menghapuskan mitos keagamaan demi
logos. Hasilnya adalah pemahaman yang sangat literal terhadap kitab suci, yang pada gilirannya memunculkan ‘ideologi’ keagamaan yang dikenal sebagai creation science yang meyakini Bible akurat secara saintifik. Pada pihak lain, ateisme klasik Barat yang berkembang sepanjang abad 19 dan awal abad 20 lewat pemikiran Feuerbach, Marx, Nietzsche, dan Freud pada hakikatnya merupakan respons terhadap pandangan-pandangan teologis tertentu terhadap Tuhan. Dengan demikian, pada dasarnya mereka tidak menolak Tuhan itu sendiri; tetapi mereka memiliki persepsi sendiri yang berbeda jauh dengan kerangka teologis yang dominan. Jelas, ateisme tidaklah monolitik; bahkan dalam perkembangannya, ateisme kontemporer menampilkan diri sebagai reaksi terhadap meningkatnya persepsi teologis fundamentalis tentang Tuhan.

Apakah pemahaman dan penafsiran agama harus selalu rasional? Dalam batas tertentu boleh jadi sangat perlu, sebab jika tidak, orang-orang beriman dapat terjerembab ke dalam mitologi berlebihan. Dan, bahkan lebih parah lagi, boleh jadi pemahaman dan praktik agama lebih bersumber pada mitos dan tradisi yang kemudian dipersepsikan sebagai pemahaman dan praktik paling benar tentang agama. Pandangan Armstrong tentang agama dan rasionalitas ini menarik untuk disimak. Bagi dia, agaknya kita berbicara terlalu banyak tentang Tuhan; dan dalam masyarakat demokratis sekarang ini, banyak orang beranggapan, konsep tentang Tuhan pastilah mudah dipahami. Orang-orang beriman mengetahui bahwa Tuhan adalah Mahatinggi, tetapi kadang-kadang di antara mereka menampilkan diri sebagai orang yang paling tahu persis tentang Tuhan. Hemat saya, hal inilah yang membuat orang-orang seperti ini dengan mudah mengecam, memusuhi, dan bahkan menghalalkan darah orang-orang beriman lain yang memiliki pemahaman yang sedikit berbeda tentang Tuhan.

Karena itulah bagi Armstrong, Tuhan dan agama bukanlah sesuatu yang harus selalu dipikirkan dan dirasionalisasikan, agama semestinya merupakan sesuatu yang mesti selalu dikerjakan. Kebenaran agama tidak selalu bisa diperoleh melalui rasio, tetapi lebih-lebih lagi melalui pengalaman dan amal saleh. Dengan demikian, agama adalah disiplin praktis yang mengajak kita untuk menemukan kapasitas-kapasitas baru hati dan kalbu. Tulis Armstrong: you will discover their truth if you translate these doctrines into ritual or ethical action religion requires perseverance, hard work and discipline (Anda akan menemukan kebenaran mereka jika Anda menerjemahkan doktrin-doktrin ini ke dalam ritual atau tindakan etis agama yang memerlukan ketekunan, kerja keras dan disiplin).
Armstrong juga mengingatkan, sikap banyak orang Barat yang menganggap Islam secara inheren fundamentalis tidak cocok dengan demokrasi dan kebebasan dan secara kronis kecanduan kekerasan itu adalah keliru. Islam merupakan agama terakhir dari tiga monoteis yang terjangkit fundamentalisme, persisnya setelah kekalahan negara-negara Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada 1967. Kebijakan negara-negara Barat yang tidak adil dengan segera mempercepat pertumbuhan fundamentalisme Islam di Timur Tengah. Konflik dan kekerasan yang berlanjut di Timur Tengah hanya membuat fundamentalisme tetap bertahan, bahkan bisa menemukan momentumnya dari waktu ke waktu.

Apa saran Armstrong menghadapi gejala fundamentalisme di kalangan kaum Muslim? Menurut dia, melakukan generalisasi dan kutukan sewenang-wenang terhadap Islam tidak akan memperbaiki keadaan. Menyalahkan Islam memang mudah dan sederhana, tetapi jelas hanya bakal kontraproduktif. Karena itu, yang perlu adalah meneliti sumber-sumber penyebab kemunculan fundamentalisme dan radikalisme. Kemudian, melakukan perubahan, misalnya dalam kebijakan luar negeri negara-negara Barat.
Dengan demikian, membela Tuhan antara lain bermakna ‘membebaskan’ Tuhan dari klaim-klaim kelompok keagamaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tuhan terlalu kompleks dan rumit untuk dikerangkakan dalam konsep, persepsi, dan pemahaman tertentu. Kita manusia, tulis Arsmtrong, hanya memiliki ide yang sangat terbatas mengenai Tuhan.

:: Karen Armstrong memberikan perspektif kepada kita agar melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak. Bagi umat Muslim, pemahaman tentang Tuhan seyogianya berpijak pada kerangka yang telah diletakkan jumhur ulama dalam ilmu tauhid. Penafsiran spekulatif tentang Tuhan bukan hanya dapat menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujung, seperti pernah terjadi di antara para mutakallimun, tapi itu juga membingungkan.

Sumber utama : Azyumardi Azra/www.azyumardiazra.com/

Nasib Kelompok Mayoritas : "Kecurigaan terhadap Islam Politik"

Oleh : Muhammad Ilham

Islam terlahir dan ditakdirkan untuk dicurigai ("tangisan" Muhammad Iqbal, Javid Namah)

/Bulan yang bundar/melukis denah masa depan/tombak dan bunga/berdampingan bagai mempelai/ (Zawawi Imron)

Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang" melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah "sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.

Sejak lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah negara yang di"imajinasi"kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat, bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah (1999) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan bentuk "ketakutan" sebagian kalangan akan Islam politik.

Dalam perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam, sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002), menimbulkan mitos bahwa seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik. Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah, ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan "curiga". Lihatlah ketika istilah "Kebangkitan Islam" diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini, merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.

Sejak lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, "cita rasa"nya terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk "dicurigai". Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu bentuk grand design kelompok-kelompok non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo. Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.

Sejarawan Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai. Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal istilah inferiorityof minority. Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras mulai "menaik" di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan kesan Islam yang "menakutkan", rasanya tidak perlu. Makin diusahakan, akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.

Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallaho 'alam !.

Jumat, 16 Juli 2010

The Legend of Wong Fei Hung : "Tokoh Islam-kah ?"

Oleh : Muhammad Ilham (cq. diskusi FB)

Sudah lama saya ingin mencari jawaban "siapa sebenarnya Wong Fei Hung?". Sejak saya SMA hingga sekarang, beberapa film mandarin yang menceritakan Wong Fei Hung sudah sering saya tonton, terutama ketika ia jadi jagoan Kung fu dalam film Once Upon A Time in China. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Lee. Ia yang melegenda ini, ibarat Si Pitung bagi orang Betawi. Konon, Wong Fei Hung, seperti Laksamana Cheng Hoo, ia sebenarnya muslim. Ini sesuatu yang baru bagi saya (atau mungkin butuh second opinion dan klarifikasi sumber), karena selama ini, tentunya lewat film yang ditonton, Wong Fei Hung justru dikenal sebagai pribadi taat (Budha ataukah Kong Hu Chu ?). Atau mungkinkah pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China. Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman di Facebook, mengirimkan kepada saya "serpihan" artikel tentang Wong Fei Hung ini.

Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong. Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung. Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.

Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa mempedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih. Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam. Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.

Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya. Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas). Benarkah Wong Fei Hung, muslim ? .... Wallahoua'lam bish shawab !

Sumber : data-data mentah dikirim oleh seorang kawan dari diskusi via FB.

Politik Atas Nama Tuhan

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam bukunya yang bertitelkan The Reconstruction of Religious Thought in Islam, pemikir Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal mengatakan bahwa masyarakat yang dibangun atas dasar pandangan tentang realitas harus dapat memadukan segala sesuatu yang abadi dengan yang berubah dalam kehidupannya. Kata kunci yang ingin disampaikan Iqbal dalam buku yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia ini adalah "yang abadi" dan "yang berubah" - teologis dan historis. Masyarakat, menurut Iqbal, harus memiliki dua karakteristik - yang abadi seperti kepercayaan pada suatu keMutlakan (agama) dan segi-segi yang berubah (kesadaran historis pada dinamika zaman yang harus disikapi dengan cara yang berbeda pula). Kesadaran teologis dan historis ini merupakan sesuatu yang penting dalam membangun sebuah peradaban. Karena itu pulalah, dibutuhkan sebuah kesadaran para elit sosial politik maupun tokoh agama untuk tidak memposisikan rakyat sebagai "objek" belaka. Sedangkan pada sisi lain, negara harus memposisikan (diposisikan) sebagai "sesuatu yang biasa", bukan sakral tapi lebih kepada "pelayan" apa yang dibutuhkan masyarakat. Ia tidak bertindak sebagai "pembenar" satu-satunya. Apabila dua hal ini tercipta dengan baik, hubungan "saling" curiga antar masyarakat dan negara maupun antar elemen masyarakat akan bisa dihilangkan.

Dalam perspektif sejarah peradaban Islam, "kehadiran" komunitas yang beradab ini telah tumbuh dengan baik pasca hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah. Nabi yang mulia ini, tentunya bersama-sama dengan elemen penduduk Madinah, meletakkan dasar-dasar peradaban tentang berbagai hal yang menyangkut kehidupan beragama, ekonomi, politik maupun sosial. Dari "pilot project" nabi Muhammad saw. ini - kalau boleh saya mengistilahkan demikian - masyarakat dibangun oleh semangat universalisme Ketuhanan untuk menegakkan sistem hukum yang adil dan menjunjung kemanusiaan. Sayang, semangat dari "pilot project" nabi Muhammad saw. ini "hilang" selepas wafatnya Ibnu Abdullah ini. Selain karena "dikangkangi" oleh para petualang-petualang politik, kejumudan ini juga diakibatkan oleh - dalam bahasa sosiolog Robert N. Bellah - karena masyarakat Arab pasca nabi Muhammad saw. tidak siap menerima ide-ide "besar" yang sangat maju pada zamannya.

Nabi Muhamad saw. tidak membentuk sebuah negara yang "disakralkan" atas nama agama, atas nama Tuhan. Nabi yang ummi ini membentuk negara yang berkeadaban, sebuah masyarakat sipil yang religius. Bukan membentuk masyarakat yang dibungkus oleh negara politik dengan embel-embel religius. Sehingga kita begitu "trenyuh" melihat ketokohan Nabi yang mulia ini, menghargai keberagaman tanpa memaksa orang untuk "memasuki" dengan keterpaksaan agama Islam itu sendiri. Nabi Muhammad saw. bukan raja-raja masa dahulu yang "menaklukkan" jiwa raga masyarakat taklukkan tanpa menghormati nilai-nilai historis masyarakatnya.

(Semoga saya salah) ... tapi lihatlah sekarang, dan juga gejala ini sudah menyejarah, Nama Tuhan Robbi Izzati dibawa kemana-mana untuk memenuhi target politik mereka. Nama Tuhan disimbolisasikan dalam struktur politik, sehingga harus disakralkan, sesuatu yang ditentang oleh Iqbal di atas. Hampir semua kalangan mengklaim perilaku politiknya berlandaskan Tuhan. Begitu banyak partai-partai dan kelompok-kelompok masyarakat pasca Orde Baru ini lahir dengan menbawa merk kecap "atas nama Tuhan". Nabi Muhammad saw. yang nyata-nyata telah mendapat mandat dari Allah swt. tidak pernah "memaksakan" kehendaknya atas nama Tuhan pada orang yang "berbeda" dengannya. Ia ingin mengatakan bahwa Islam itu rahmatan lil'alamin. Rahmat bagi sekalian alam, walau mereka tidak sama dengan kita. Pertanyaannya, apakah klaim beberapa kelompok yang mengatasnamakan Tuhan itu, telah mendapat mandat dari Tuhan untuk membawa-bawa nama-NYA atau tidak ?.

:: suatu ketika, jelang proses pilkada, seorang teman saya dikunjungi oleh salah satu tim sukses dan mengatakan, "bapak harus memilih calon dari partai politik ini, calon ini adalah calon yang membela Islam, apalagi dari partai Islam, dan bapak sudah seharusnya bahkan wajib memilih calon berkenaan. Bagi orang-orang yang tidak memilih calon ini, pantas kita curigai, pak !". Besoknya, teman saya Golput sambil berkata, "yang saya butuhkan adalah saling menghargai, mereka bukan tiket saya untuk masuk sorga". Bak kata "ajo" Suryadi Sunuri, ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta. Wallahu 'alam bish shawab.

Selasa, 13 Juli 2010

Sindrom Sandera dan Partisipasi Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Pilkada Sumatera Barat sudah usai. Beberapa calon sudah hampir dipastikan melenggang lapang. Para tim sukses calon yang berhasil merasa bahagia, sebuah kerja yang tepat sasaran. Mereka bak Syakira kala menyanyikan waka-waka. Sementara tim sukses yang calonnya gagal, seperti fans Belanda yang hening-membisu. Sampai hari ini, belum terlihat secara signifikan, para tim sukses yang calonnya gagal tersebut, mencari "celah" untuk menggagalkan hasil Pilkada, sebagaimana yang sedang dan masih berlangsung di daerah-daerah lain. Untungnya jangan. Ketika ada kecurangan, mekanisme ketatanegaraan dan hukum adalah software terbaik untuk menyalurkannya. Dan memang, masyarakat Sumatera Barat, setidaknya yang saya rasakan hari ini, terdiri dari masyarakat rasional. Walau banyak yang "sinis" melihat ketidakgarangan masyarakat Sumatera Barat dalam mensikapi isu-isu politik skala lokal maupun nasional, tapi bukan berarti masyarakat Sumatera Barat tipikal pengecut. Ketika demonstrasi (entah bayaran entah tidak) berlangsung beberapa bulan lalu di berbagai belahan nusantara, dengan bergejolak membara, masyarakat Sumatera Barat tidak terpancing untuk melakukan hal senada. Bukan pengecut, tapi tak mau tersedot dalam langgam orang.

Saya tak mau berkisah tentang apa dan siapa masyarakat Sumatera Barat. Kembali ke topik yang ingin saya nukilkan. Tentang sikap masyarakat terhadap Pilkada beberapa minggu lalu. Masyarakat Sumatera Barat nampaknya memberikan sebuah perlawanan terhadap proses eleksi yang berlangsung. Konon, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada kali ini, hanya 63 %. Termasuk paling rendah pasca Orde Baru. Apakah ada ketidakpercayaan publik terhadap proses eleksi tersebut ?. Jawabannya bisa beragam, tapi yang jelas, mayoritas masyarakat tidak lagi ingin tersandera dengan kebaikan sesaat. Sudah lazim, masyarakat memiliki formula sendiri, "Siapapun pemimpin kita, perubahan bagi kehidupan kita juga tidak terlaksana sebagaimana janji-janji mereka dahulu!". Dan formula ini, semakin terpatri dengan kuat, karena turun-naiknya pemimpin, baik lokal maupun nasional, perubahan yang terjadi tidak bagus-bagus amat (setidaknya demikian yang dirasakan mayoritas masyarakat).

Masyarakat hanya memiliki "power" lima tahun sekali. Angka 63 % setidaknya bentuk "hukuman" masyarakat. Namun yang lucunya, para elit justru menyalahkan masyarakat dengan selalu mengatakan bahwa masyarakat tidak memahami hak-hak politiknya, kurang nasionalis dan entah apa lagi. Sedikit sekali, untuk mengatakan tidak sama sekali, para elit "menohok" ke dalam diri mereka untuk sekedar berkata, "ini adalah kumulasi dari janji-janji busuk kita selama ini !". Tapi timbul pertanyaan lanjutan, tidakkah angka 63 % itu termasuk tinggi, setidaknya bila dibandingkan dengan proses eleksi di Amerika Serikat yang hanya berkutat 57-65 % dalam tiga dasawarsa belakangan ini. Dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Amerika Serikat yang mapan, rasanya angka 57-65 % sangat rendah, sementara 63 % untuk Sumatera Barat (apalagi Indonesia) terasa tinggi, ditengah kondisi sosial ekonomi yang bergerak lambat. Seharusnya lebih rendah dibandingkan rata-rata eleksi negeri Paman Sam.

Berkisahlah saya sedikit. Ada seorang nenek, sebutlah namanya Mak Bareh. Mak, karena ia sudah agak berumur, sementara - bareh - karena ia biasa menggunakan bedak bareh (beras) disetiap ia pergi berdagang ke Pasar Raya. Berdagang sayur-sayuran segar, spesialis mentimun. Sudah sekian tahun, Mak Bareh menjadi anggota tetap Pasar Raya Padang. Subuh berangkat, sore jelang senja ia pulang. "Alhamdulillah, saya bisa menyekolahkan anak saya 3 orang tamat SMA. Yang besar sudah punya anak dua dengan dua suami, kebetulan ia bercerai dengan suami pertamanya yang selingkuh. Anak saya yang kedua, bekerja sebagai sopir angkot. Terakhir, bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan rokok, " kata Mak Bareh pada saya di suatu senja kala mau sholat maghrib di musholla komplek perumahan kami. Mak Bareh wanita gesit. Dengan durasi kerja yang super aktif, ia tak pernah sakit, setidaknya demikian yang ia ceritakan pada saya. Ia begitu bangga dengan "habitat" tempat ia bekerja. Sebuah habitat yang menjadi pertempuran antara peluh keringat dan harapannya. Karena itu pulalah, Mak Bareh marah-bergejolak, ketika seorang pimpinan kota tempat Pasar Raya berada merestrukturisasi pasar historis ini, manandehkan dalam bahasa Mak Bareh. Habis kosakata persumpahan Mak Bareh untuk menunjukkan kebenciannya pada pimpinan kota yang kebetulan dalam Pilkada Gubernur kemaren, maju menguji "peruntungan" menjadi salah seorang calon Gubernur Sumatera Barat.

Pada awal pencalonan sang pimpinan kota ini jadi Calon Gubernur, muka Mak Bareh merah padam. "Setelah kau hancurkan Pasar Raya-ku, kau minta pula suara-ku ... tak yu yu", kata Mak Bareh dengan bahasa kocak. "Kalau begitu, lalu siapa yang akan mak pilih nanti ?", kata saya. "Tak seorangpun jua, karena tak satupun jua diantara calon-calon itu yang peduli dengan Pasar Raya-ku, sebutlah siapa saja diantara 5 pasang calon tersebut. Tak akan kuberi suaraku pada mereka, lebih baik saya menggalas", katanya lagi penuh yakin. Dan saya pun tersenyum. Sebuah pilihan politik yang sangat rasional, gumam saya dalam hati kala itu.

Tanggal 3o Juni 2010, jam 10.00 WIB pagi lebih kurang, saya melihat Mak Bareh datang ke TPS. Ketika mengambil surat suara dari saya, ia diam dan tak berani bertatapan muka. Padahal, saya tersenyum senang melihat kedatangannya. Walau sebelumnya saya berasumsi, bila ada orang Golput di komplek perumahan kami, salah satu kontributornya adalah Mak Bareh. Tapi, pagi itu ia datang dan mencoblos salah satu pasangan gambar yang pada awalnya ia pandang sebagai "mereka yang penipu". Siap sholat maghrib dimana Mak Bareh begitu rajin jadi makmum saya di musholla, saya panggil ia untuk sekedar bercerita, sebagaimana selama ini sering saya lakukan. Terkadang, keluguannya sangat inspiratif. "Siapa yang Mak Bareh tadi pagi?", kata saya sambil tersenyum tanpa menyudutkannya. Saya yakin ia mencoblos salah satu pasangan Cagub yang bukan pimpinan kota yang selalu disumpahinya selama ini. Dengan sedikit sungkan, ia menjawab, "nomor sekian pak!", sambil menyebutkan nomor urut si pemimpin kota yang dibencinya itu. Saya tercengang sambil tertawa. "Tapi mak Bareh selama ini sangat membenci Bapak itu, lalu kenapa mak pilih", kata saya penasaran. "Memang iya, saya benci sekali dengannya, tapi dulu. Beberapa minggu lalu, ketika masa-masa kampanye, saya dan kawan-kawan diundangnya ikut sebuah acara keIslaman. Nah, sehabis acara itu, ia memberi saya dan kawan-kawan bingkisan. Rupanya Bapak itu ramah, gagah dan sangat Islami, buktinya ia menyalami dan memeluk saya", kata Mak Bareh dengan sumringah.

Ada satu teori dalam psikologi politik, namanya Sindrom Sandera (hostage syndrom). Mungkin diantara kita pernah menonton film Hollywood yang disiarkan salah satu TV swasta secara berulang-ulang. Bercerita tentang penculikan seorang gadis, anak konglomerat. Penculik, yang kebetulan anak muda ini, menuntut uang tebusan. Setelah perjanjian yang alot dengan melibatkan polisi, pihak keluarga memutuskan untuk membebaskan gadis tersebut. Tapi ajaibnya, si gadis tidak mau dibebaskan. Ia justru membela para penculiknya dan mencintainya. Kebetulan, dalam waktu yang menegangkan itu, terjadi perubahan pandangan si gadis. Awalnya ia begitu benci dan takut dengan penculik yang dianggapnya merampok kebahagiaanya dan menyengsarakan anggota keluarganya. Dalam masa-masa menegangkan itu, rupanya penculik itu berusaha untuk bersikap baik, melepaskan borgol ditangan sang gadis dan menemani gadis itu pipis di malam hari. Ketakutan yang panjang dikalahkan oleh kelonggaran yang sedikit. Bagi sang gadis itu, hal-hal simpel tersebut membuat ia merasa bahwa penculik itu tak sekejam yang ia bayangkan. Dan cinta-pun bersemi.

Mak Bareh dan beberapa kalangan masyarakat yang pada awalnya begitu benci dan apatis dengan proses eleksi dalam Pilkada kemaren, setidaknya mengindap hostage syndrom. Begitu banyak yang memegang anggapan, "siapapun yang akan jadi pimpinan, nasib kita akan seperti ini jua". Tapi, mereka tersandera dengan suatu masa jelang Pilkada berlangsung, dimana para Calon Gubernur tersebut menunjukkan sifat "malaikat" mereka. Menyapa dengan hati, menunjukkan empati dan memberi bantuan dengan senyuman. Dan setelah itu, banyak diantara mereka yang kembali menunjukkan kekecewaan luar biasa. Setidaknya Mak Bareh, malam tadi bercerita kepada saya, "Pak, saya menyesal memilih kemaren. Apalagi, tak ada satu orang pun calon yang dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan tempat saya dan kawan-kawan berdagang. Tambah lagi, sang pimpinan kota yang kemaren ramah, nyatanya tak mau lagi mengunjungi tempat kami lagi setelah ia kalah. Apalagi calon-calon yang lain, tidak pernah sekalipun mengunjungi kami, baik ketika mereka kalah maupun menang untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Apalagi ada teman-teman saya yang memiolih calon yang menang itu, tapi tak mau datang ketempat kami berdagang yang kumuh lagi becek. Lebih saya dahulu tak memilih, tak ada beban dalam pikiran saya. Ah, biarlah pak. Pilkada nanti saya Golput. Saya tak mau terlena dengan kebaikan sesaat, ya ... kebaikan sesaat para calon-calon nanti", kata Mak Bareh dengan nelangsa.

Sabtu, 10 Juli 2010

Belajar Malu dari Afrika Selatan

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sepak bola adalah harga diri bangsa, dan ditengah banyaknya pengangguran di Spanyol akhir-akhir ini, kami ingin memberikan kebahagiaan tersendiri bagi rakyat Spanyol untuk bangga sebagai orang Spanyol (Iker Cassilas : Kiper La Furia Roja Spanyol)

Sepak bola bagi banyak negara tidak lagi olahraga semata. Tetapi sudah menjadi harkat dan martabat negara dan bangsa. Menjadi martabat karena tuntutan-tuntutan fundamental dalam sepak bola seperti sportivitas, kecepatan, kekuatan, kerjasama dan kecerdasan, telah menyatu dengan tuntutan fundamental bangsa itu. Kekalahan dan kemenangan dianggap mewakili harga diri bangsa. Karena itu kemenangan dihargai setinggi langit, sedangkan kekalahan dicampak ke dasar jurang yang paling dalam. Semua negara yang bermartabat dan beradab dalam sepak bola tahu akan risiko itu. Tahu apa artinya menang, dan tahu pula apa artinya kalah.

Ada sejumlah perkara menarik dari Piala Dunia yang tengah berlangsung di Afrika Selatan sekarang ini. Sejumlah pelatih mengundurkan diri atau dipecat segera setelah timnya kalah. Pelatih Carlos Dunga dari Brasil yang memang berniat mengundurkan diri ditendang begitu Brasil disingkirkan Belanda. Pelatih Paraguay Gerardo Martino mengundurkan diri dengan sukarela begitu kesebelasannya disingkirkan Spanyol dalam laga yang mencekam. Dia tidak menangisi kekalahan tetapi justru menangis ketika Paraguay menang adu penalti lawan Jepang di perdelapan final. Nasib pelatih fenomenal Argentina, Maradona pun di ujung tanduk. Dia sedang menunggu keputusan apakah akan terus menjadi pelatih atau diberhentikan menyusul kekalahan memalukan 4-0 dari Jerman di perempat final. Dia diduga akan selamat karena memperoleh dukungan kuat dari para pemain yang menginginkan Maradona tetap bersama mereka.

Sama juga dengan nasib tiga pelatih negara raksasa sepakbola lainnya yang tersingkir di babak-babak awal. Rayomond Domenech dari Prancis sempat dipanggil memberi keterangan di Parlemen karena Prancis tersingkir di babak penyisihan. Marcelo Lipi dari Italia dan Fabio Capello dari Inggris pun menunggu nasib karena dianggap telah memalukan bangsa dan negara. Para pemimpin negara-negara yang bermutu dan beradab dalam sepak bola pun mempertontonkan keadaban juga dalam kegembiraan dan kesedihan. Kanselir Jerman Angela Merkel selalu bangkit dari tempat duduk berteriak dan mengangkat kedua tangan setiap kali pemain Jerman menjebol gawang lawan. Tetapi dia meminta maaf kepada Perdana Menteri Inggris David Cameron yang nonton bareng dengannya ketika wasit tidak mensahkan gol Frank Lampard dalam pertandingan Inggris-Jerman yang berakhir dengan kekalahan menyesakkan bagi pasukan Inggris. Sepak bola dunia dan dunia sepak bola telah menghadirkan keadaban yang semakin enak ditonton. Keadaban yang timbul karena mereka sadar publik adalah roh dari seluruh pertandingan dan permainan.

Di Indonesia? Sepak bola di negeri kita belum memiliki adab sebagai pertandingan, tetapi sebatas eksploitasi pengurusnya sebagai permainan belaka. Tidak ada budaya malu sebagai pengurus, sebagai pemain, bahkan juga sebagai penguasa. Kita, memang baru sebatas negara dan bangsa yang puas menonton piala dunia. Itu pun hanya dari nonton bareng (:::: c: mediaindonesia.com & metrotvnews.com)

Teknologi dan Sikap Wajar

Oleh : Muhammad Ilham

Dua bulan terakhir ini, publik Indonesia "kehabisan" energi. Disedot oleh berita sampah seputar visum (baca : video mesum) yang menyebar lewat jejaring sosial dengan skala penyebaran yang sulit untuk dihambat. Dan, ilmu pengetahuan-teknologi mulai menjadi kambing hitam. Medium internet dengan semua tools-nya dijadikan sebagai biang kerok keruntuhan moralitas anak bangsa, khususnya kalangan muda. Visum selebritis dan visum-visum "jenis" lainnya sangat mudah diperoleh oleh semua lapisan masyarakat, lintas usia dan strata sosial. Banyak yang mengutuki bahkan menyumpahi "capaian ilmu pengetahuan teknologi", disamping tentunya para pemeran olah raga "gulat" yang tidak pernah kolosal ini. Seringkali kita juga mendengar "khutbah" para penjaga moral yang menyudutkan capaian ilmu-teknologi tersebut dan memberikan solusi untuk "menolak" atau menghambat medium itu untuk digunakan ditengah-tengah ruang publik.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah sunnatullah yang tidak bisa dihambat. Ia mengalir dengan cepat karena potensi otak dan keingintahuan manusia "dititipkan" sang maha pencipta pada homo sapiens. Denghan itu, manusia akan terus selalu mencari invention baru untuk memberikan "kebahagiaan" pada manusia, dengan tentunya implikasi yang ditimbulkannya. Kelahiran media internet, merupakan kumulasi dari berbagai tools capaian manusia dalam sejarah ilmu pengetahuan. Seluruh pendukung konstruksi pengetahuan seperti telepon, telegraf dan tulisan serta faximile-fotocopy, menyatu dalam "makhluk" yang bernama internet. Internet, lengkap dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel dan didukung oleh jaringan telepon-telefoni yang telah ada dan juga didukung oleh ratusan satelit di "diluar sana". Ummat manusia dalam tahap revolusi ini, dapat berinteraksi oral maupun dengan teks dengan sangat interaktif, keseluruh penjuru-penghujung-sudut dunia ini, tanpa sedikitpun kehilangan interaktifitasnya maupun "sense of live"nya. Karena itu, ruang paling private bagi manusia, bisa ditransformasikan dan menyebar dalam hitungan detik. Dinikmati oleh semua lapisan tanpa ada sekat-sekat yang yang secara mekanik bisa dibatasi.

Suatu ketika, "menangislah" Albert Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin. Jawaban yang sederhana adalah karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar". Ya ... Einstein memberikan kata kunci - kewajaran. Menggunakan dan mensikapi dengan wajar.

Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan oleh etika manusiawi agar penyesalan Einstein di atas menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan dan mensikapi teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, bukan bencana.

Rabu, 07 Juli 2010

Talibanisme yang Sayup-Sayup

Oleh : Muhammad Ilham

Saya masih ingat, beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu. Beberapa sahabat dengan baju gamis putih, "bertandang" ke rumah saya. Silaturrahim kata mereka. Mereka yang berjumlah 4 orang ini, saya persilahkan masuk, dengan senyum "welcome". Setelah menjawab lengkap salam mereka, saya jabat satu persatu, dengan hangat. Mereka saya ajak ke ruangan pustaka, dan beberapa saat kemudian, mereka mengutarakan maksud kedatangan mereka, silaturrahim dan diskusi masalah keagamaan (Islam). Saya sedari awal sudah mengerti maksud mereka bertandang ke rumah saya. Diskusi, tepatnya indoktrinasi satu arah-pun, mulai berlangsung. Saya katakan demikian, karena sahabat-sahabat saya ini, terus bicara (berwasiat-tausyiah istilah mereka), tanpa saya bisa untuk sedikit menyela. Saya "dipaksa" hanya untuk mendengar tausyiah mereka tentang hal-hal yang sebenarnya biasa-biasa saja : "untuk apa hidup", "tujuan hidup" dan "kehidupan setelah mati". Satu persatu ayat dan hadits keluar, tanpa sedikitpun analisa. Terkadang, ayat yang mereka ungkapkan itu, butuh diperlurus. Sebagaimana pada awalnya, saya hanya tersenyum saja. Saya berusaha memanfaatkan apa yang diungkapkan oleh Raja Arab Saudi - Faisal bin Abdul Azis - bahwa "Tuhan memberi kita satu mulut dan dua telinga, maka banyaklah mendengar".

Saya coba untuk terus mendengar, walau pada hakikatnya saya sedikit "gondok" karena tausyiah mereka tanpa sedikitpun membuka ruang dialog, ditambah lagi, saya biasanya paling suka berdebat. Dan ini berlangsung hampir setengah jam. Istri saya kemudian datang menghidangkan minuman dan makanan, sesuatu yang diSunnah-kan Rasulullah. Setelah istri saya berlalu, mereka bertanya, "Istri antum bekerja ?". Ya, kata saya. "Memangnya kenapa", tanya saya berusaha menghilangkan rasa penasaran. "Sebaiknya, istri antum tak bekerja. Wanita itu harus jadi ibu rumah tangga, mengurus anak dan suami", kata salah seorang dari mereka dengan penuh yakin. Saya kembali tersenyum, walau, sumpah, kala itu saya ingin mendebat mereka. Tapi saya fikir, lebih baik saya mendengar saja dan menjawab dengan senyum. Saya rasa, itu lebih baik. "Ruangannya penuh dengan buku, ya?", kata mereka lagi. Saya pun tersenyum kembali untuk kembali mempersiapkan "bathin"menerima amunisi lagi. "Tapi buku-buku yang saya lihat banyak buku-buku orang kafir", kata mereka dengan ketus. Kebetulan, beberapa buah buku "aneh" baru siap saya baca, tergeletak saja di dekat meja komputer saya. Ada buku The Spoken of Zarathustra-nya Friedrichz Nietsche, beberapa buah buku tentang Tan Malaka, Hantu-Hantu Marx-nya Jacques Derrida dan satu lagi yang agak membelalakkan mata mereka, yaitu buku Aku Bangga Jadi Anak PKI karangan Ribka Tjiptaning. Sementara buku yang ada ditangan saya, juga nampaknya tidak "menyenangkan" mereka, buku karangan Imam Khomeini - Air Mata Kecemerlangan. "Apapun saya baca, karena memang manusia tugasnya membaca!", saya jawab sekenanya. Mereka-pun diam. Mungkin tahu, saya mulai agak "naik". Kebetulan, saya biasa membunyikan musik "lunak" kala membaca. Waktu itu, saya sedang memutar musik-musik instrumental Koi dan Alderaban-nya Kitaro. "Musik ini tidak baik bagi iman kita, Rasulullah tidak mengajarkan kita untuk mendengar musik-musik seperti ini. Musik orang kafir yang menjauhkan kita dari keimanan", kata "kafir" mereka keluarkan kembali. Rasanya, keinginan untuk mendiskusikan hal ini dengan mereka, tak tertahan lagi.

Tapi untunglah, kebetulan datang salah seorang warga saya yang mau mengurus surat pengantar, mencairkan bantuan dana gempa. Kebetulan, gempa 30 September kemaren memporakporandakan istananya. Menyadari saya ada urusan mendesak, akhirnya sahabat-sahabat saya yang sudah dua kali mengeluarkan kosakata "kafir" ini mulai pamitan. Jujur, kala itu saya gembira. Saya antar mereka ke pintu dengan senyuman, senyuman "sayonara". Jelang mereka melangkah ke teras, salah seorang dari mereka sempat bertanya pada saya, "kenapa antum tidak memelihara jenggot, kan itu sunnah nabi". Saya pandangi mereka satu persatu sambil tersenyum, dan menjawab, "tergantung istri saya, kebetulan ia grogi dengan jenggot". Mereka diam dan berlalu, setelah tentunya mengucapkan salam, tanpa senyum.

Saya teringat dengan sebuah artikel yang pernah ditulis Jalaluddin Rahmat di sebuah media massa beberapa tahun lalu. Kang Jalal, demikian dia dipanggil, memulai artikelnya dengan kisah Talibanisme. Syahdan, tulis Kang Jalal, seorang perempuan mati tertabrak kendaraan milisi Taliban (kala Taliban menguasai Afghanistan). Pihak keluarga si perempuan melaporkan kejadian tersebut pada Gubernur Taliban di Herat. Apa yang terjadi ? Bukannya mendapat santunan atau pelakunya dituntut di pengadilan, Gubernur tersebut justru memperingatkan mereka dengan kata-kata : "Tempat perempuan itu di rumah atau di kuburan". Tidak lama setelah itu, di suatu daerah, ada perhelatan pernikahan. Dalam rangka walimah, untuk memeriahkan suasana, musik-pun dimainkan. Serombongan pasukan Taliban, menerobos masuk dan menghardik semua yang hadir. Mereka memukuli pengantin laki-laki, dan plus wanitanya. Mereka dinaikkan ke atas keledai dan diarak kesekeliling kampung. Namun, nasib dua pengantin ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kisah seorang laki-laki yang kepergok mendengar musik barat yang dikategorikan "kafir" dari sebuah tape recorder usang. Ia ditangkap pasukan Taliban dan dikurung di sebuah penjara. Beberapa hari kemudian, ia dituduh mencuri tape recorder dengan alasan tape recorder plus kaset-nya sudah "dibersihkan" di seantero Afghanistan, tentu tape dan kaset tersebut pasti dicurinya. Laki-laki ini kemudian harus membayarnya dengan bayaran tragis, kedua tangannya dipotong, karena (menurut tafsiran Taliban), mencuri hukumannya harus potong tangan. Laki-laki miskin ini akhirnya tak bisa "menghidupi" istri dan lima orang anaknya.

Pernah suatu ketika, homepage Taliban mengungkapkan peristiwa yang mereka katakan sebagai "peristiwa yang sangat bersejarah". Kaum Taliban dengan bangga mengatakan bahwa dilapangan yang dipadati ratusan ribu kaum muslim itu tidak ditemukan kemungkaran. "Tak seorang pun diantara ratusan ribu ummat Islam di lapangan itu yang tidak berjanggut", kata penulis homepage itu. Talibanisme menyukai simbol-simbol keIslaman yang tampak. Kesalihat diukur dari panjang janggut bagi laki-laki dan lebarnya burqah yang menutup seluruh muka dan tubuh bagi wanita. Karena wawasan agama yang yang sempit, mereka akhirnya sangat fanatik terhadap mazhabnya. Perbedaan maszahab bukan saja tidak dihargai, tapi bahkan dieliminasi - untuk tidak mengatakan, diperangi.

::: Kita tak mendengar Taliban sekarang. Tapi entah kenapa, Islam yang agung lagi rahmatan lil 'alamin ini, mulai "sayup-sayup" bercita rasa Talibanisme. Pengalaman saya, mugkin juga dirasakan yang lain. Semoga saya salah !!