Sabtu, 27 Februari 2010

Euforia "OM" Obama dan Perdamaian Timur Tengah

Oleh : Muhammad Ilham

Tanggal 17 Juni yang akan datang, Obama mau "mampir" di Indonesia. Gema kedatangannya sudah jauh hari dipersiapkan, bahkan Surya Paloh dan kawan-kawanpun telah membuat Patung Obama di Menteng. Entah dasar apa yang mereka pakai, Obama dianggap "pantas" di taruh dalam bentuk patung di Taman Nan Hijau itu. Akhirya, patung kontroversial ini terpaksa "dihijrahkan". Publik tak merestui dengan beberapa alasan yang bisa diterima akal sehat. Dan ... hari-hari belakangan ini, euforia Obama mulai "epidemi" kembali. Kedatangan Obama dianggap sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu. Memang tidak salah, karena bukan faktor Obama-nya, tapi faktor "ideology-hidden". Obama mewakili sebuah negara adi daya yang dipandang dengan penuh kekaguman dan harapan besar. "Negara" Obama ini dianggap sebagai trend-setter dalam segala hal. Sehingga tidak-lah mengherankan, apabila boneka Obama, boneka anak-anaknya hingga pakaian dalam istrinya menjadi "pusat-referensi" semua orang. Tidaklah mengherankan bila kedatangan Obama nanti menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, tack-life nya sebagai anak Menteng dibaca kembali. Orang yang selama ini merasa "dekat" dengannya (dekat-historis) ingin memperlihatkan kedekatannya kembali. Harapan-pun ditata kembali kepada Obama untuk menyelesaikan beragam masalah. Mungkin kedatangan Obama yang disambut dengan karpet merah tersebut nantinya, akan menjadi ajang "keluh-kesah" dan "utara-harapan" dari berbagai pihak. Mungkin banyak yang akan menaruhkan harapan besar padanya tentang nasib warga Palestina, endorse-agar menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di Yerussalem. Tapi mungkin Obama akan mendengarnya dengan senyum, dan mungkin setelah ia "menghapus" jejaknya dari Indonesia, ia akan terikat kembali dengan "mainstream-politik" negeri Paman Sam.

Kita masih ingat, dunia berharap banyak pada Obama. Barangkali memang yang bisa “menghentikan” Israel adalah saudara tuanya Amerika Serikat, dan power itu hanya terdapat pada Obama. Bisakah kita berharap pada Presiden Amerika Serikat yang pernah “singgah sementara” di Indonesia ini? Bagaimakah track record pro-Israel pria kulit hitam yang telah meruntuhkan mitos W-A-S-P, bahwa Presiden Amerika Serikat haruslah White-Anglo Saxon and Protestant ini? Pada Obama yang bernama tengah Hussein ini, hanya terdapat satu, Protestant. Ia bukan putih tapi hitam, walaupun unsur white ada padanya karena kontribusi sang ibu, tapi tetap “darah” Kenya ayahnya lebih dominan. Obama juga bukan “trah” Anglo-Saxon – keturunan British yang dalam sejarah dimaknai sebagai komunitas “pencari dunia baru”. Saya ingat, pada waktu inaugurasi kemenangannya, Obama berpidato secara elegan dengan bahasa tertata rapi, sebuah kelebihan yang pantas untuk ditiru. Pidato yang disiarkan secara lengkap oleh salah satu TV swasta Indonesia ini, Obama berdiri dengan gagah di atas podium. Di depan podium itu, tertera 4 (empat) huruf kapital besar – AIPAC. Seketika, saya ingat buku karangan Paul Findley yang telah diterjemahkan oleh Penerbit Mizan “Mereka Berani Bicara”. Dalam buku ini, Findley mengupas-tuntas pertanyaan : “Mengapa lobi Yahudi-Israel begitu kuat dalam ranah politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia ke-2?”.

Findley mengatakan bahwa politik negeri Paman Sam ini tidak bisa berkata “tidak” pada Yahudi-Israel karena sebuah organisasi-publik kemitraan bernama AIPAC (American Israel Public Agency Council). Dalam AIPAC ini berkumpul para ekonom-pialang, politisi dan intelektual Amerika Serikat keturunan Yahudi. Mereka inilah yang dominan mempengaruhi politik Amerika Serikat, mulai dari “pengkondisian calon-calon Presiden hingga kebijakan politik luar negeri. AIPAC kata Findley, adalah bentuk lain dari “Gedung Putih”. Pada tahun 2007, menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat telah memberikan bantuan militer pada Israel USD 30 milyar. Konon, AIPAC berperan besar atas bantuan yang spektakuler ini mensikapi pengaruh Iran yang semakin besar di Timur Tengah. Pidato Obama di forum AIPAC menunjukkan kepada kita, Obama tak bisa melepaskan diri dari Yahudi-Israel. Penggalan pidatonya yang mengatakan bahwa Hamas merupakan organisasi teroris dan kebijakan negara Israel harus didukung, memperjelas posisi politik Obama. “When I am the President, the United States will stand shoulder to shoulder with Israel …..”. Ketika masih menjadi senator, Obama memiliki voting record pro-Israel. Tahun 2006, beliau menjadi salah seorang sponsor the Palestian Anti Terorism Act yang dalam salah satu item-nya menempatkan Hezbollah sama dengan Al-Qaeda. True Friends of Israel pantas disandang Obama.

Lalu, pantaskah kita mempersalahkan Obama? Pantaskah kita berharap banyak pada Obama ke depan? Findley sebenarnya telah menjawab, bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat, pengaruh AIPAC sulit untuk dihindari. Penunjukkan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri kabinet Obama memperjelas pengaruh lobi Yahudi yang luar biasa. Konon, Obama tidak sreg dengan Bill Clinton, suami Hillary. Clinton dan Hillary merupakan sahabat “politik” terdekat dari Benjamin Netanyahu – ultranasionalis Israel. Namun, hampir 1/3 anggota kabinet Obama adalah “kerabat politik” Bill Clinton. Kecil kemungkinan persoalan Palestina bisa terselesaikan dengan baik pada era Obama ke depan. Sangat tidak mungkin Obama melawan arus “pakem” kebijakan politik standar Amerika Serikat, apalagi Obama nyata-nyata telah mendukung Israel sebelum ia jadi Presiden. Persoalan Palestina-Israel, lebih memungkinkan hanya bisa diselesaikan oleh komunitas Timur Tengah, khususnya negara-negara Islam Teluk. Kita tak bisa berharap banyak pada PBB, demikian juga dengan Amerika Serikat, siapapun presidennya. Dalam ilmu politik, antara Israel dan Palestina telah terjadi cyrcle bargaining, siklus tawar-menawar. Siapa yang menunggangi dan ditunggangi, tidak jelas secara konkrit. Apakah Israel yang menunggangi Amerika Serikat atau sebaliknya. Namun yang jelas, hubungan Amerika Serikat dan Israel adalah hubungan simbiosis mutualis, saling menguntungkan. Oleh karena itu, kemauan politik negara-negara teluk-lah yang lebih rasional dan memungkinkan.Apakah bisa hal ini terjadi? Ingat, negara teluk pernah memiliki seorang Raja zuhud-bertalenta pemimpin. Raja Faisal namanya, kakak dari Raja Abdullah – penguasa kerajaan Saudi Arabia sekarang. Pada masa beliau menjadi raja Saudi Arabia, karengkang-nya Israel dan hipokritnya Amerika Serikat bisa ditaklukannya. Sejarah mencatat, raja Faisal menjadi “pilar terdepan “Politik Minyak”. Dengan kekuatan cadangan 2/3 minyak dunia berada di Saudi Arabia, raja Faisal menghentikan ekspor minyak ke negara-negara sekutu Israel, khususnya Amerika Serikat. Sebagai negara yang berbasiskan industri, tentu AS menjadi kalimpasingan. Politik minyak ini akhirnya membuat Israel melunak, dengan tentunya akibat tekanan AS. Perjanjian Camp David antara Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Menachen Begin (PM Israel) kala itu, ditandatangani yang difasilitasi oleh Jimmy Carter. Timur Tengah sedikit melunak. Tapi sayang, Politik Minyak ini akhirnya tidak berkelanjutan sampai sekarang seiring dengan tewasnya raja Faisal. Sejarah kemudian mencatat, para penguasa negara-negara teluk, terus berada dibawah “ketiak” Paman Sam (terkecuali Iran, Suriah dan sedikit Yordania).

Sejarah telah memberikan kepada kita pelajaran berarti. Negara-negara Islam di Timur Tengah pada prinsipnya memiliki “daya tawar” politik potensial dalam menyelamatkan masa depan Palestina. Tapi apa yang terjadi ? Raja Abdullah dari Saudi Arabia membisu, Klan Al-Nahayan dari UEA diam, Klan Al-Sabah tak ambil pusing, Qabus dari Oman tak bersuara. Rakyat Irak sibuk dengan “penyakit mereka”, bahkan Husni Mubarrak dari Mesir justru menutup perbatasan Mesir-Jalur Gaza. Mungkin hanya Ahmadinedjad dan rakyat Iran yang lantang. Seandainya, raja Faisal dan Gamal Abdeel Nasser masih hidup, mungkin Palestina tidak seperti ini. Know your enemy, kata Sun Tzu dalam Kitab Perangnya The Art of War.

(Sebagian dari tulisan ini merupakan Artikel saya yang pernah dimuat dalam Harian Umum Padang Ekspres dan Padang-Today.com)

Konflik dan Tatanan Sosial

Oleh : Muhammad Ilham

Seorang peneliti Hoover Institute, Larry Diamond, pernah mengatakan bahwa paradoks utama demokrasi hadir dalam bentuk konflik dan konsensus. Demokrasi bagi Diamond dalam berbagai hal, tidak hanya seperangkat aturan-aturan untuk menata konflik. Konflik tersebut haruslah "ditata" dalam batasan-batasan tertentu sehingga menghasilkan konsensus, kesepakatan-kesepakatan dan kompromi yang diterima secara "legitimate". Dalam konteks ini, nampaknya Diamond memandang sebuah demokrasi dibangun dari unsur-unsur konflik, kompromi atau kesepakatan. Semua unsur harus mendapat perhatian yang proporsional ketika persamaan akan diterjemahkan maknanya. Jika sebagian masyarakat menganggap demokrasi sebagai tidak lebih dari sekadar sebuah forum dimana mereka dapat mendesakkan tuntutannya, tatanan masyarakat demokratis dapat hancur dari dalam. Namun, jika negara menggunakan tekanan untuk mencapai konsensus atau cara lain dalam membungkam suara-suara rakyat, hal ini merupakan penghancuran masyarakat dari atas.

Konflik diyakini sebagai suatu fakta utama dalam masyarakat, baik itu masyarakat agraris maupun masyarakat modern. Konflik lebih banyak difahami sebagai keadaan tidak berfungsinya, komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Tetapi, secara empiris, tidak diakui karena, orang lebih memilih stabilitas sebagai hakikat masyarakat. Sebaliknya konfik mempunyai fungsi-fungsi positif, salah satunya ialah mengurangi ketegangan tersebut tidak bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Salah satu fungsi tersebut ialah berdampak kepada penyegaran pada sistem sosial. Konflik memang tidak mengubah sistem sosial itu sendiri, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan dalam sistem. Sehingga dengan keberadaan konflik tersebut berimplikasi terhadap sistem tersebut, yakni sistem akan lebih sedikit efektif dari sebelumnya.

Charles Watkins yang memberikan suatu analisis tajam tentang kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat dua hal. Konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Secara potensial artinya, mereka memiliki kemampuan untuk menghambat. Secara praktis/operasional maksudnya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan ada didalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya, bila kedua belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan, maka konflik tidak akan terjadi. Konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya. Dalam politik, konflik dan integrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Konflik mempunyai hubungan yang erat dengan proses integrasi. Hubungan ini disebabkan karena dalam proses integrasi terdapat sebuah proses disoraganisasi dan disintegrasi. Dalam proses disorganisasi terjadi perbedaan faham tentang tujuan kelompok sosialnya, tentang norma-norma sosial yang hendak diubah, serta tentang tindakan didalam masyarakat. Apabila tidak terdapat tindakan dalam menghadapi perbedaan ini, maka dengan sendirinya langkah pertama menuju disintegrasi terjadi. Jadi, disorganisasi terjadi apabila perbedaan atau jarak antara tujuan sosial dan pelaksanaan terlalu besar. Suatu kelompok sosial selalu dipengaruhi oleh beberpa faktor, maka pertentangan atau konflik akan berkisar pada penyesuaian diri ataupun penolakan dari faktor-faktor sosial tersebut. Adapun faktor-faktor sosial yang menuju integrasi tersebut ialah tujuan dari kelompok, sistem sosialnya, tindakan sosialnya.

Di dalam komunitas manusia yang besar, terutama di dalam negara modern, pertikaian politik dilancarkan antara organisasi-organisasi. Organisasi-organisasi ini kelompok-kelompok yang berstruktur, dengan kemampuan artikulasi, dan hirarkis, terutama terlatih bagi perjuangan merebut kekuasaan. Hakikat organisatoris dari kekuatan- kekuatan sosial ini adalah fakta yang fundamental dari kehidupan politik masa kini. Tentu saja, ada selalu sejumlah organisasi kekuatan-kekuatan sosial yang bersungguh-sungguh pada aksi politik, akan tetapi selama seratus tahun terakhir, teknik organisasi kolektif dan metode memasukkan orang ke dalam kelompok aksi kolektif telah sangat disempurnakan. Wajah yang sungguh asli dari perjuangan politik sekarang bukanlah bahwa dia terjadi antar organisasi, akan tetapi karena organisasi ini begitu rapi dikembangkan. Salah satu alat strategi yang digunakan dalam setiap jenis rezim ialah kamuflase. Kamuflase merupakan upaya untuk menyembunyikan tujuan-tujuan yang sebenarnya dan motif-motif aksi politik yang sebenarnya di balik tujuan dan motif yang semu yang lebih populer, dan karena itu, mengambil keuntungan dari dukungan rakyat yang lebih besar. Alat ini dipakai oleh individu-individu, partai-partai, dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam perjuangannya untuk memenangkan atau mempengaruhi kekuasaan. Dia juga dipakai oleh pemerintah untuk memperoleh kepatuhan dari para warga dan untuk mengembangkan integrasi sosial dan politik yang nyata. Kamuflase mempunyai beberapa bentuk diantaranya ialah teknik kamuflase yang paling biasa adalah menutupi suatu tujuan yang kurang terhormat di balik sesuatu yang lebih terhormat dalam hu-bungan dengan sistem nilai dari suatu masyarakat tertentu. Teknik lain dalam kamuflase adalah membuat kasak-kusuk terhadap sebagian besar penduduk bahwa kepentingannya berada dalam ancaman, sedangkan isu tersebut hanya menyangkut kepentingan pribadi dari sebuah minoritas yang kecil

Kamis, 25 Februari 2010

KALAM : "Science, Technology Should Contribute to Society Development"

First published in The Jakarta Post, November 28, 2007

Renowned Indian scientist and engineer Dr. Avul Pakir Jainulabdeen Abdul Kalam, who was also the 11th president of India (2002-2007), was recently in Indonesia to deliver a speech at Indonesia's National Science Congress (KIPNAS) in Jakarta. Kalam, who is described as the "father of the Indian missile", sat down with The Jakarta Post's Alpha Amirrachman to discuss how science can contribute to the development of society. The following are excerpts of the interview:

Question: You have been described as the "father of the Indian missile" program. Do you think India's nuclear program serves as a symbol of India's advancement in science?

Answer: Well, in India we have bio-technology, agricultural science, space science and nuclear science. And putting them up together we can be said to be a nation developing science and technology.

You believe in science for Indian national development and that science development is ideologically free. How do you think science and technology could help bring about world peace and security?

We have six billion people on our planet, but only two billion people who have drinking water. We have a huge problem here of four billion people who desperately need help. Their standard of living should increase, and for that science and technology is a non-linear tool. If you use technology it will grow like that and very fast. I have emphasized the cultivation of scientific temper and entrepreneurial drive. That's why I am saying that science and technology can bring development to us. And science is borderless, any nation can work together.

What is your most significant achievement in your career as a scientist?

When an orthopedic surgeon came for a visit to my laboratory and found that the material we were producing was so light. He asked me to visit the hospital where I saw children dragging their feet around with heavy metallic calipers which weighed three kilograms each. In only three weeks we managed to produce calipers which weighed only 300 grams. No more dragging around a load of three kilograms, the children can now move and play around more freely.

So the light material you produced (for missile) is also used for producing walking equipment for children with disabilities. Is your country earnestly producing this new kind of orthosis?

Yes, indeed, a number of our industries have started producing the equipment because the material is not only very light but also very cheap.

You have mentioned that Indonesia can benefit from its 13,000 islands for its development? What is your specific idea on that?

Each island can become an economic center. Urban facilities should be provided in rural areas. You are here in Jakarta, but if you go 30 kilometers you would probably find rural areas or villages. You should give psychical and electronic connectivity to them. Build a core competence enhancement for the people, then the economy would come (in the form of) employment, etc. This is what I have suggested in my country that we build around 7,000 PURA (urban facilities in rural areas) clusters. The integrated actions are education that leads to entrepreneurship and employment opportunities, healthcare for all, population growth rates to be within a small band and first-rate infrastructure facilities.

How can regionally-based development help reduce disparities among states in India? How do you think this can be adapted in Indonesia?

In India, for example, the whole southern states now are having the rainy season, while the northern states have winter. In southern states they have unique materials available; we can process the materials and make a product, so southern states can become agricultural centers. And the regionally based management would bring the core competence together and as a result prosperity would come very fast. For example, a number of states now have hydropower where we can connect all power generators and have a common grid and send it to the whole country. Therefore, regionally based development can help develop the nation faster. I believe the physical, electronic and knowledge connectivities of 7,000 PURA clusters will bring about development for the region as a whole. In Indonesia, of course, this would depend on the political (will), the parliament here would need to see if this can be done.

What do you think our nation should do to encourage youth to become passionate about science?

This should be discussed in your parliament too because it is a political decision where you put priority and the availability of the money. In my country, by funding technology we can grow faster, like in agriculture we supported agricultural science. And today we have communications satellites because we gave priority to the space program. Similarly in information and communication technology, people are coming in a big way. Education institutions have been reinforced. This all gives feedback to science. What is important is that the youth should dream and dream, transform their dreams into thoughts and transform their thoughts into action. And the youth should develop righteousness in their heart, which in my experience, can be built by three people: father, mother and primary school teacher.

You have been campaigning for the use of open-source software; how is it progressing in India?

Many of us are using open-source software in our industry and many applications are also used in the academic world.

Since you are a Muslim scientist who grew up in a middle-class family and have excelled in majority Hindu India, do you think other members of minority groups also have the same opportunities to develop themselves and to contribute to the development of the nation, and that their rights are fully protected?

In our constitution we have fundamental rights of equality and freedom. No discrimination for all Indian people and opportunities are wide open. For example, in India Muslims constitute 15 percent (of the population), Christians 3 to 4 percent of the whole population, and others. We are a nation of multi-cultures, religions (multireligious) and languages. Very similar to your country which is also multi-cultural and has multi languages, and with a large number of people and so many islands you actually have more challenges.

What is it that you think you haven't achieved in your career?

Billions of people should smile a long way, and I still have to work on that.

Senin, 22 Februari 2010

ATLANTIS : The Lost Continent Finally Found (Buku "Menggugah")

Oleh : Muhammad Ilham

"Buku Atlatis the Lost Continent, terbit tahun 2005. Buku ini hasil riset 30 tahun. Indak cuma urang Islam nan guncang dek teori ko, urang Kristen pun gata kapalonyo" (Emeraldi Chatra)


Dalam bukunya “Atlantis The Lost Continent Finally Found”, Prof. Arysio Santos (Geolog & Fisikawan Nuklir Brazil) meyakini bahwa Atlantis yang hilang adalah Indonesia pada saat sebelum jaman es, ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan Asia yang merupakan asal mula pusat peradaban manusia. Dengan teori geologi yang dibuktikan dengan pengamatan satelit, suatu peradaban yang maju yang mungkin terjadi pada masa sebelum jaman es hanya bisa terjadi di daerah tropis. Sedangkan pada masa itu daerah subtropis seperti Eropa masih ditutupi es, tidak memungkinkan suatu kehidupan apalagi suatu peradaban yang maju. Dari segi logika masuk akal, tentu saja teorinya masih harus mendapatkan dukungan bukti-bukti arkeologi yang lebih nyata. Yang menarik buat saya didalam bukunya, Prof. Arysio Santos becerita banyak tentang sumber cerita pewayangan yaitu Ramayana, Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa. Tiga sumber utama cerita pewayangan di Jawa. Bahkan menterjemahkan kerajaan Alengkadireja di Ramayana terletak di Sumatera sebelum gunung Toba meletus bukan Sri Langka yang sering disebut oleh sumber di India.

Hal ini yang menimbulkan suatu spekulasi bagi saya bahwa ada kemungkinan memang ada kaitannya antara Pustaka Raja Purwa dengan Ramayana dan Mahabharata. Bukan dalam pengertian saat ini yang umum berlaku, yaitu Pustaka Raja Purwa adalah cerita yang dikembangkan dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Tapi malahan sebaliknya, sumber ceritanya telah berkembang di Jawa secara turun temurun dalam bentuk pementasan wayang kulit, kemudian dibukukan menjadi Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dan Pedalangan Ringgit Purwa. Sama sekali proses yang berbeda dengan keberadaan Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India walaupun menceritakan hal yang sama. Kalau kita mengamati cerita wayang di Pustaka Raja Purwa / Purwakanda / Pedhalangan Ringgit Purwa adalah sangat detil, jauh lebih detil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Kalau kita mengacu pada teori Prof. Arysio Santos bahwa pusat peradaban berasal dari Indonesia, justru orang-orang India yang berasal dari Indonesia yang selamat dari akibat tsunami dikarenakan meletusnya gunung Krakatau yang mengakhirinya jaman es, mengembangkan peradaban di India, kemudian menulis cerita pra-tsunami dalam dua episode cerita yaitu buku Ramayana dan Mahabharata, oleh karena itu lebih ringkas dibandingkan dengan sumber cerita yang sama di Jawa. Sudah barang tentu cerita ataupun legenda akan lebih detil apabila lebih dekat dengan sumbernya. Karena pusat peradaban tengelam, yang selamat adalah mereka yang hidup di dataran tinggi yang saat ini adalah pulau-pulau di Indonesia saat ini. Sedangkan yang hidup di pulau Jawa tidak mungkin meneruskan peradaban tulis yang sudah ada dan tenggelam, jadi ceritanya dalam bentuk legenda dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi kemudian lebih diabadikan lagi dalam bentuk pementasan wayang kulit yang akhirnya menjadi buku Pustaka Raja Purwa maupun yang lain-lainnya.

Baru belakangan sejalan dengan tumbuhnya kerajaan Hindu di Jawa, buku Ramayana dan Mahabharata datang ke Jawa bersamaan dengan pengaruh penyebaran agama Hindu dari India. Keberadaan buku Ramayana dan Mahabharata di Jawa hanya sebagai pembanding, karena cerita yang sama dan lebih lengkap sudah ada di Jawa dalam bentuk pementasan wayang kulit. Teori Prof. Arysio Santos, bisa merupakan suatu cerita baru tentang legenda para pahlawan berbudi luhur yang bersumber dari peradaban Atlantis yang hilang, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menurut bukunya sudah ada paling tidak tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan bencana alam yang sangat besar : (1). Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Toba yang terjadi pada kurang lebih 75.000 tahun sebelum Masehi. Sehingga gunung Toba menyisakan kaldera sangat luas yang berupa danau Toba saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Ramayana. (2). Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Krakatau yang mengakhiri jaman es pada kurang lebih 11.000 tahun sebelum Masehi. Yang mengakibatkan gunung Krakatau tenggelam dan hanya kelihatan puncaknya di Selat Sunda saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Mahabharata. (3). Bencana tsunami maha besar diakibatnya mencairnya es di puncak gunung Himalaya yang terjadi sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi yang mejadikan peta India dan Indonesia seperti saat ini. Periode rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi peradaban yang ada seperti sekarang ini.

Dulunya India dan Indonesia adalah menjadi suatu kesatuan kerajaan maha luas yang berpusat di Indonesia yang saat ini diperkirakan sebagai Atlantis yang tenggelam di Palung Sunda (Laut China Selatan dan Laut Jawa) ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan benua Asia.
Tentu saja teori Prof. Arysio Santos, bisa jadi akan menjungkirbalikkan cerita asal usul manusia dan peradaban dunia. Walaupun masih harus dibuktikan dengan penemuan arkeologi yang lebih meyakinkan di Laut Jawa dan Laut China Selatan yang disebut sebagai Atlantis yang hilang, dahulunya daratan yang menghubungkan Indonesia saat ini dengan Asia.

Rekomendasi : ......... segera cari Buku ini, dan sungguh sangat baik untuk dibaca !!!

(c) diringkaskan dari beberapa chatting dan diskusi di Facebook dengan beberapa facebooker !

Kamis, 18 Februari 2010

Filosofi Silat dalam Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Saya masih ingat pada suatu malam beberapa bulan yang lalu, saya nonton film “The Bodyguard from Beijing”. Jet Lee sebagai star hero-nya. Sejak saya kenal film-film mandarin, baik yang dibintangi oleh Bruce Lee, Wang Yu, Fa Yu Ching, Chen Kuan Tai, Danny Tan, Danny Low, Jacky Chen, Jet Lee hingga Stephen Cow – untuk menyebut beberapa nama diantaranya – maka satu hal yang mirip : mereka mampu mengalahkan lawan-lawannya dalam jumlah banyak, sendirian. Lakon pasti tidak akan pernah kalah, minimal babak belur, tapi tetap menang. Lalu bagaimana dalam jumlah lawan yang demikian banyak, sang lakon bisa menang? Sepintas lalu, saya teringat dengan ungkapan salah seorang teoritisi sosiologi konflik : “Ketika menghadapi satu tujuan dengan motivasi untuk menang, maka setiap individu akan berfikir secara kelompok, tapi bila mereka merasa keselamatan pribadinya terancam, maka mereka akan berfikir perorangan. Dalam bahaya atau kemelut, kelompok cenderung menjadi buyar”. Ciaaaat, kata Bruce Lee. Satu orang pingsan. Satu lagi terkapar. Yang lain ?..... mereka akhirnya ragu-ragu dan buyar. Hal ini bila dikorelasikan dengan bidang kehidupan lain, bisa nggak? Terutama dalam bidang politik, misalnya ?.

Masih segar dan cukup menarik sekali bila melihat dan tangkap “kesan-kesan” yang kita pada masa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang lalu. Tiap caleg selalu mengadakan seruan (appeal) untuk memberikan kesan bahwa rakyat yang akan memilih dan dirinya adalah satu. Di sana-sini terdengar janji-janji. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen sosialisasi lainnya. “Wakil Kita Masa Depan Kita”, “Menciptakan Ekonomi Kerakyatan”, “Mari Kita Sejahterakan Rakyat” dan seterusnya dan seterusnya yang pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang caleg. Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat. Tapi apapun yang dilakukan oleh para caleg belakangan ini, wajar-wajar saja. Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.

“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap anak bangsa kal itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Wakil Kita Masa Depan Kita” menjadi kehilangan makna.

Senin, 15 Februari 2010

Sejarah Agama Minakhaba : "Benang Merah Matrilineal Minangkabau"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Agama Minakhaba mulanya dikembangkan oleh seorang pengembara dari Kerala, sebuah kota di Kerajaan Pandya (India), bernama Chetteri Vilanj satu setengah abad sebelum Masehi. Pengembara dari kasta Chetteri (setingkat ksatria) ini meninggalkan kampung halamannya untuk menyebarkan ajaran Minakhaba. Kerajaan Pandya sudah ada sejak beberapa abad sebelum Masehi, ibukotanya bernama Korkai. Pandya merupakan kerajaan besar yang maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan Romawi, Arab, Mesir dan Parsi. Chetteri Vilanj dari Pandya yang kemudian dikenal sebagai Ceteri Bilang Pandai lahir dari etnis Kurician dan Bnei Menaseh. Bnei Menaseh adalah keturunan Menaseh yang dikecilkan oleh pengikut Ezra dan Nehemiah di Palestina. Karena terdesak pengikut Menaseh meninggalkan Palestina dan menetap di Pandya.

Setelah beberapa tahun berada di Koto Batu, Ceteri Bilang kawin dengan Indojulito yang sudah melahirkan Datuak Mangguang dari suaminya terdahulu, Maharajodirajo, raja kerajaan Koto Batu. Maharajodirajo adalah seorang penganut agama Budha. Perkawinan Ceteri Bilang dengan Indojulito melahirkan si Jatang yang setelah dewasa bergelar Datuak Parpatiah Sabatang. Datuak Mangguang kemudian diangkat sebagai raja Koto Batu menggantikan ayahnya, sekaligus sebagai seorang penghulu tinggi agama Minakhaba. Karena fungsinya sebagai penghulu tinggi Minakhaba, Datuak Mangguang lebih sering berada di Dusun Tuah (kemudian dikenal dengan nama Dusun Tuoh, lalu jadi Dusun Tuo) yang menjadi markas besar agama Minakhaba. Agama Minakhaba yang dibawa Ceteri Bilang adalah agama yang menyembah satu tuhan yang disebut Nabhana atau Nan Bhana. Mulanya agama monoteis yang dibawa Nabi Musa ini dibawa oleh orang-orang Kanaan keturunan Menaseh dari Babilonia ke Pandya, kerajaan kuno India sekitar 400 tahun sebelum kelahiran Isa. Keturunan Menaseh, berbeda dengan prinsip keagamaan yang dianut oleh pengikut Ezra dan Nahemiah, memiliki sikap toleran terhadap bangsa lain. Karena itu penganut agama yang disebut orang Pandya sebagai “orang Ya” atau “pengikut Musa” ini tidak bermasalah hidup di kalangan penganut Hindu di Pandya. Lagipula, orang Menaseh dapat meyakinkan orang Hindu yang menganggap dirinya keturunan Manu bahwa Musa juga keturunan Manu.

Menurut Kitab Veda, orang-orang Hindu merupakan cucu Manu yang selamat ketika terjadi banjir besar ribuan tahun lalu. Kapal Manu beserta sejumlah pengikutnya yang setia berlabuh di Puncak Himalaya, kemudian anak cucunya bertebaran ke seluruh penjuru dunia dan membangun peradaban di Harappa dan Mahenjo-Daro. Salah satu cucu Manu, Yadu dianggap sebagai nenek moyang orang-orang Yovana dan Ya di Palestina. Musa adalah salah satu diantara keturunan Yadu. Alikasudaro (Iskandar Agung), raja Yovana yang membangun kerajaan Balkh (Bactria) di barat India juga keturunan Manu. Meskipun demikian pengikut Menaseh tetap mempunyai aturan: kawin dengan penganut Hindu atau Budha tidak dilarang, tapi pasangan itu harus meninggalkan agamanya. Cateri Bilang dibesarkan sebagai penganut agama Ya yang taat. Tapi ketika melihat kepatuhan pengikut Ya kepada agamanya makin lama makin menipis, dan pengaruh Hindu makin kuat terhadap penganut Ya, Cateri Bilang mengembangkan ajarannya sendiri, yaitu Minakhabaya atau Ajaran Baru Ya, yang disingkat jadi Minakhaba saja. Kitab suci Minakhaba tetap sama dengan yang dipercaya penganut agama Ya, yaitu Tuah atau Patatah. Kitab itu berbentuk gulungan (scroll) yang hanya dimiliki oleh para penghulu tertentu, tidak boleh dibaca sembarang orang. Gulungan Tuah dipandang sangat suci dan demikian berharga, tapi “boleh” digadaikan kalau ada anak perempuan yang tidak kunjung bersuami. Artinya, kalau ada anak perempuan tidak bersuami dalam sebuah keluarga, harga diri keluarga itu sudah hancur.

Selain membaca gulungan Tuah para penghulu tertentu, yang senior, juga membaca kitab Tamu yang ditulis oleh para penganut agama Ya di Kanaan atau Palestina dalam bahasa dan tulisan Aramaik. Kitab Tamu berisi interpretasi terhadap Tuah, juga sejumlah riwayat para pewaris Hukum Musa. Karena kesulitan membaca tulisan aslinya, kebanyakan para penghulu menerima ajaran secara lisan dari penghulu tinggi yang paham bahasa asing. Datuak Parpatiah Sabatang adalah salah seorang penghulu tinggi yang mampu membaca tulisan Aramaik dan pernah mengembara ke India, Parsi dan Kanaan bersama saudaranya Datuak Mangguang. Kedua datuak itu menulis sendiri buku Tamu mereka dalam aksara Aramaik. Namun kemudian terjadi perpecahan antara kedua bersaudara itu. Datuak Parpatiah Sabatang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup di luar istana (karena dekat dengan ayahnya yang bukan bangsawan) mengembangkan ajaran baru yang ia sebut Bodi-Caniago. Penganut ajaran Bodi-Caniago dibagi ke dalam dua komunitas berdasarkan garis keturunan ibu. Seperti halnya pada kelompok Koto dan Piliang, kelompok-kelompok itu juga disebut adat. Oleh sebab itu ada istilah adat Bodi dan adat Caniago, yang intinya sama-sama menganut ajaran agama Minakhaba. Datuak Parpatiah Sabatang mengakui ia terpengaruh oleh prilaku Sidharta Gautama yang mengembara dan melepaskan atribut kerajaan dari dirinya. Namun Datuak Parpatiah tidak melepas Hukum Musa atau tetap beragama Minakhaba.

Orang Minakhaba adalah campuran antara pribumi dengan keturunan orang Kurician yang tinggal di India Selatan. Kurician adalah etnis minoritas di India selatan yang kurang dikenal. Nenek moyang orang Kurician berimigrasi sekitar lima abad sebelum kedatangan Ceteri Bilang (masih dalam zaman Neoliticum). Imigran Kurician yang menganut matrilineal itu meneruskan pekerjaan nenek moyang mereka di India, yaitu sebagi petani. Mereka mengajari orang pribumi bercocok tanam, membuat sawah dan membangun sistem irigasi. Mereka juga membuat mejen dari batu-batu besar (menhir). Dalam waktu dua abad populasi orang Kurician makin meningkat. Mereka menyebar kemana-mana, kawin-mawin dengan penduduk asli. Matrilineal akhirnya jadi sistem yang diterima oleh penduduk pribumi. Agama orang Kurician mulanya agama asli Tamil (pra-Hindu), tapi karena putus hubungan dengan India dan tidak dapat membangun kelembagaan agama mereka mulai melupakan agama mereka dan beralih ke animisme, seperti anutan orang pribumi. Dua abad setelah kedatangan imigran Kurician datang lagi satu rombongan imigran dari India yang berasal dari Palibothra atau Pataliputra, ibukota Kerajaan Sunga di utara India. Imigrasi ini disebabkan orang-orang Budha ditidas oleh penguasa Sunga yang beragama Hindu. Kuil-kuil Budha di Nalanda, Bodhgaya, Sarnath dan Mathura dibakari, penganut Budha dibunuhi dengan kejam. Akibat kekejaman yang berlangsung selama lima tahun itu banyak penganut Budha menyelamatkan diri keluar kerajaan Sunga. Orang-orang Pataliputra sering juga disebut orang-orang Batalidarah atau satu keturunan. Rombongan yang berimigrasi ini berdarah campuran Yunani-India (disebut Yobana India. Yobana dari Yovana=Yunani (Sanskrit)) dan mengatakan diri mereka sebagai keturunan Alikasudaro (Iskandar Zulkarnain). Mulanya mereka hidup di kerajaan Mauriya yang tenang. Tapi 185 SM Pusyamitra Sunga, seorang panglima perang kerajaan Maurya membunuh rajanya: Baradrata. Mauriya runtuh, berganti menjadi kerajaan Sunga. Raja Pusyamitra Sunga yang beragama Hindu berusaha menghapus agama Budha dengan melakukan kekejaman.

Imigran dari Pataliputra itu tidak langsung berbaur dengan masyarakat, tapi membangun pemukiman di lereng gunung Marapi. Setelah berpuluh tahun mereka turun gunung dan membangun kerajaan yang dinamakan Kerajaan Koto Batu. Rajanya yang diberi gelar Maharajodirajo kawin dengan Indojulito yang nenek moyangnya keturunan Kurician. Peninggalan penting kerajaan Koto Batu adalah pola pendidikan anak laki-laki yang dikonsentrasikan di sebuah tempat (surau). Pola ini diilhami oleh pola pendidikan di Yunani kuno, negeri nenek moyang orang-orang Batalidarah. Orang Kurician dan pribumi umumnya berkulit gelap atau coklat tua. Sedang rombongan Maharajodirajo yang datang kemudian berkulit putih. Percampuran antara kedua etnis berbeda kulit inilah yang menentukan warna kulit orang Minakhaba kemudian hari. Ceteri Bilang yang datang ke Koto Batu mulanya dikenal sebagai maharishi (dalam lidah lokal jadi marasai, karena badannya kurus dan terlihat tidak terurus, tapi orang tahu ia sangat sakti). Ia lalu diangkat sebagai penasehat oleh Maharajodirajo. Ceteri Bilang sama-sama keturunan Kurician dengan Indojulito. Karena itu anak mereka, si Jatang yang kemudian bergelar Datuak Parpatiah Sabatang berkulit lebih gelap dibandingkan kakak lain ayahnya, Datuak Mangguang. Ketika agama Minakhaba dikembangkan oleh Datuak Mangguang dan Datuak Parpatiah Sabatang tradisi matrilineal tidak dihapuskan. Mereka merasa ada kesesuaian antara adat Kurician dengan ajaran Minakhaba yang memuliakan ibu. Karena itu keduanya sepakat menjadikan matrilineal sebagai sistem resmi agama Minakhaba.

(c) Emmeraldi Chatra (salah seorang dosen favorit saya ketika kuliah S1 di FISIP Unand Padang 1993-1998). Artikel ini dikirimkan kepada saya via Mail-E/15 Februari 2010

Jumat, 12 Februari 2010

Bung Karno : "Gantungkanlah Cita-Citamu Setinggi Bintang Di Langit"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Gantungkanlah Cita-Citamu Setinggi Bintang Di Langit" (Soekarno : dan ...... kalimat ini kemudian menjadi icon sugesti dan motivasi paling favorit di Indonesia hingga sekarang)

Ibu selalu berkata kepadaku, Sukarno, ketahuilah, engkau itu anak fajar, putera fajar. Sebab engkau dilahirkan pada waktu fajar menyingsing, fajar 6 Juni sedang merantak-rantak di sebelah Timur, pada waktu itu aku lahir. Sehingga Ibu berkata kepadaku sering-sering jikalau aku diajak keluar gubuk memandang ke sebelah Timur, engkau ini anak fajar, engkau dilahirkan pada waktu fajar. Lihat itu fajar. Makin lama makin terang, makin lama makin terang. Engkau nanti akan melihat matahari terbit, jadilah manusia yang berarti, manusia yang manfaat, manusia yang pantas untuk menyambut terbitnya matahari. Manusia yang pantas untuk menyambut terbitnja matahari. Coba pikirkan ini ucapan almarhum Ibuku, jadilah manusia yang pantas menyambut terbitnya matahari. Memang ya, Saudara-saudara, anak-anakku sekalian, tidak pantas kalau terbitnja matahari disambut oleh seorang badjingan. Coba, apakah pantas, bajingan menyambut terbitnja matahari atau manusia koruptor yang mencuri harta rakyat menyambut terbitnya matahari? Tidak. Yang pantas menyambut terbitnya matahari itu hanya manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia yang manfaat. Oleh karena matahari adalah satu pemberian Tuhan kepada ummat manusia. Diberi matahari oleh Tuhan agar supaya tumbuh-tumbuhan bisa tumbuh dengan baik, agar supaja dunia ini terang, agar supaya manusia yang hidup di bawah kolong langit ini bisa hidup bahagia. Pemberian Tuhan, matahari ini janganlah disambut oleh manusia-manusia yang tidak pantas menyambutnya.

Sebaliknya Ibu menghendaki aku menjadi manusia yang pantas menyambut tertibnya matahari, oleh karena aku dikatakan oleh Ibu anak fajar. Nah, berhubung dengan itu maka Bapakku dan Ibuku selalu memberi pendidikan kepadaku untuk mendjadi manusia jang bermanfaat. Terutama sekali tjara Bapak dan Ibu memberi pendidikan kepadaku itu ialah selalu membangunkan tjita-tjita dalam dadaku. Sebab rupanja dan ternjata ini adalah benar dan tepat, manusia tidak bisa mendjadi manusia jang manfaat kalau dia tidak dari mulanja manusia jang bertjita-tjita baik. Tuhan memberi otak kepada manusia, memberi pikiran kepada manusia. Tuhan memberi djuga rasa kepada manusia. Tuhan memberi kenang-kenangan kepada manusia. Hanja manusia jang otaknja tjerdas, rasa hatinja baik, kenang-kenangannja tinggi, bisa mendjadi manusia jang bermanfaat.

Sumber: Amanat Presiden Sukarno pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Senajan, Djakarta, pada tanggal 2 Mei 1962.

Bung Karno dan Indonesia di Kamera Bresson

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Seorang lelaki, agak pemalu dan selalu berpakaian rapi, hadir di Indonesia, ketika penyerahan kedaulatan, 1949. Ia memotret Bung Karno dan pengosongan istana di Jakarta. Ia juga mengembara ke pelosok Jawa, Bali, dan Sumatera. Pria itu adalah fotografer ternama Prancis, Henri Cartier- Bresson. Menyambut peringatan Proklamasi RI ke-46, 17 Agustus 1991 ini, foto-fotonya yang klasik tentang Indonesia dan jarang dilihat orang itu kami tampilkan. Foto-foto itu khusus hanya bisa diterbitkan oleh TEMPO, sesuai dengan perjanjian. Artinya, foto-foto ini tak boleh direproduksi ulang sama sekali. Bresson, yang selalu menolak dipotret dan dikenal tertutup, juga memberikan sebuah wawancara khusus pada Kunang Helmi, koresponden TEMPO di Paris. Kunang, lahir di Yogyakarta, kini bekerja sebagai asisten fotografer di Eropa dan Amerika Serikat. Sarjana di bidang ilmu politik, sejarah, dan hokum internasional itu, saat ini, ikut menyiapkan pameran "A Century of Indonesia Photographed" -- pameran yang juga menampilkan karya-karya Cartier-Bresson -- sebagai asisten kurator.

Ia Merekam Puisi Kehidupan Ditinggalkannya gaya hidup borjuis, lalu dengan kamera dan syair Rimbaud di saku, Cartier-Bresson berburu "puisi kehidupan". Ia sempat merekam Indonesia, 1949. "IA berani menghadapi keseharian dunia ini dan memutarbalikkannya bak sehelai kaus kaki kotor." Kata-kata sastrawan Andre Pieyre de Mandiargues tentang Henri Cartier- Bresson ada benarnya. Dalam upayanya mengungkapkan rahasia kehidupan, fotografer Prancis itu terus-menerus merekam dunia yang sering tak lebih anggun dari sehelai kain rombeng. Di Meksiko, sepasang pelacur berpupur tebal menjajakan diri dari balik jendela. Di lorong sepi New York, seseorang berbagi cerita dengan kucing. Sedangkan di sebuah pabrik di Moskow, di bawah potret Lenin dan Stalin, sebait melodi mengajak para buruh berdansa sejenak. Cartier-Bresson merekamnya semua. Semua kehidupan yang berlalu cepat. Semua yang tampak kecil, murah, dan tanpa arti. Tapi, di balik senyum seorang pelacur, Cartier-Bresson mendengar tangis anak manusia. Di antara kata-kata dan kesunyian, ia menyaksikan hidup yang tak pernah berhenti bergelora. Kehidupan itu berawal di tengah keluarga ternama pemilik pabrik tekstil, 1908. Cartier-Bresson tumbuh di dunia baru yang serba otomotif, cepat, dan kritis dunia yang lahir dari reruntuhan Perang Dunia Pertama. Henri kecil seperti terbawa semangat memberontak ini. Kegemarannya, selain bolos sekolah, adalah mengunjungi sanggar pelukis Andre Lhote. "Saya belajar melukis pada setiap Kamis dan Minggu, dan memimpikannya pada hari yang lain," Cartier-Bresson mengenang.

Pada usia 22 tahun, Cartier-Bresson meninggalkan kehidupannya yang borjuis. Ia mengembara ke Pantai Gading, berbekal "lampu sorot dan bedil". Satu tahun ia mencari nafkah sebagai pemburu binatang, sampai suatu hari ia jatuh sakit. Ia menjual senjatanya. "Kemudian saya memperoleh kamera Leica yang menjadi pengganti mata saya." Maka, dengan kamera di tangan dan syair Rimbaud di kantung, Cartier-Bresson menerkam puisi kehidupan di pojok-pojok jalan. Hasilnya adalah foto yang kaya dengan intuisi dan ironi, di mana momen dan geometri menyatu. Dalam foto orang melompati genangan, misalnya, loncatan itu bukan saja tercerminkan di permukaan air, juga pada gambar penari dalam poster balet di dinding. Inilah fotografi decisive moment, rekaman di saat yang menentukan.

Di akhir 1930-an, Cartier-Bresson tidak lagi sekadar merekam keanehan hidup. Ia juga merekam pergolakan sosial di Eropa. Setelah belajar sinematografi dari sutradara Jean Renoir, ia membuat film dokumenter Victoire de la vie yang diilhami perang saudara di Spanyol. Pada 1940, Hitler menyerbu Prancis dan Cartier-Bresson menjadi tawanan perang. Setelah dua kali gagal melarikan diri, ia berhasil lolos dan bergabung dengan pejuang bawah-tanah Prancis. Salah satu tugasnya, ketika pasukan Sekutu datang membebaskan Paris, adalah memotret sidang pengadilan para pengkhianat dan pertempuran di jalanan. Di sana, Cartier-Bresson bertemu sahabat lamanya, David Seymour dan Robert Capa, fotografer perang tersohor. Tiga serangkai itulah pendiri Magnum kantor berita foto yang kini terkenal karena liputannya tentang perjuangan manusia di berbagai negara. Perjuangan itu pula yang membawa Cartier-Bresson ke Asia selama tiga tahun. Pada 1949, ia singgah ke Indonesia untuk merekam penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia. Matanya yang tajam dan hatinya yang simpatik pada wong cilik tak cuma sibuk dengan "Sejarah". Leica Cartier-Bresson membedah manusia Indonesia. Lensanya merekam gerilyawan TNI yang turun dari gunung dan bertanya: sudah berakhirkah perjuangannya? Lalu ia hinggap di wajah Bung Karno, dan bertanya lagi: bisakah pemimpin karismatik ini mempersatukan bangsa yang ratusan tahun terpecah belah?

Indonesia mempunyai tempat khusus di hati Cartier-Bresson. Bukan cuma karena Ratna, istrinya -- yang penari dan penyair -- adalah orang Indonesia. Juga, karena sebagai seniman dan wartawan yang berusaha memahami rahasia kehidupan, Cartier-Bresson berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Ini yang dipuji-puji oleh sastrawan De Mandiargues, sahabat dekat Bresson. Di wajah manusia Indonesia, Cartier-Bresson merekam wajah semua manusia. Dan dalam perjuangan bangsa Indonesia, ia menyaksikan pergulatan semua manusia untuk merdeka. Tengoklah foto gerilyawan muda TNI yang turun dari gunung. Ia mengingatkan kita pada bocah pembawa anggur yang dipotret Cartier-Bresson di pojok Kota Paris. Ada semangat hidup dan harapan yang bergemuruh di balik dada mereka yang ringkih.

Sumber : tempo.com/arsip/html

Bung Karno Tentang "Bung Karno"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

(Tulisan ini merupakan tulisan Bung Karno .... sehingga ejaan yang digunakan juga bahasa Indonesia dengan ejaan lama)

Ada orang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi jang mengatakan dia bukan nasionalis bukan Islam, tapi Marxis, dan lagi jang mengatakan dia bukan nasionalis bukan Islam, bukan Marxis, tetapi jang berfaham sendiri. Golongan jang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa jang biasanja disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan paham-paham jang tidak sesuai dengan pahamnja banjak orang Islam; mau disebut Marxis, dia… Sembahjang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxisme itu! Kini saja mendjadi pembantu tetap dari “Pemandangan”, dan oleh karena artikel-artikel saja nanti tentu akan membawa tjorak djiwa Sukarno, maka baiklah saja tuturkan kepada Tuan, betapakah… Sukarno itu. Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islam-kah? Pembaca-pembaca, Sukarno, adalah… campuran dari semua isme-isme itu. Perhatikan uraian di bawah ini.

Saja adalah seorang nasionalis, ja Allah, adakah orang jang berpendapat bahwa saja tidak cinta kepada tanah-air dan bangsa? Bahkan saja mohon kepada Allah Subhana Wata’ala, tetapkanlah kecintaanku kepada tanah-air dan bangsa itu menjala-njala di dalam saja punja dada, sampai terbawa masuk ke lubang kubur. Manakah misalnja Jawaharlal Nehru berkata, bahwa kecintaan kepada tanah-air dan bangsa adalah sebagian dari beliau punja njawa, maka bagiku kecintaan kepada tanah-air dan bangsa adalah sebagian dari beliau punja njawa, maka bagiku kecintaan kepada tanah air dan bangsa adalah satu passie. Dan bukan saja nasionalisme itu bagi saja satu “rasa” ja adalah “haluan”, pula satu “richting”. Sejak dari waktu pergerakan pemuda (waktu itu saja murid kelas dua HBS Surabaja), sampai masuk ke dalam pergerakan politik, sampai mendirikan partai politik sendiri, sampai masuk penjara, sampai dinternir, sampai sekarang, masih tetaplah nasionalisme saja punja “rasa” dan saja punja “haluan”.

Ini perlu saja terangkan di sini, oleh karena banjak orang mengira, bahwa sejak saat saja lebih memperhatikan agama Islam, saja tentu melepaskan haluan nasionalisme itu. Terhadap kepada orang-orang jang menjangka begitu saja berkata: Tuan-tuan salah dugaan. Tuan-tuan salah mentafsirkan Islam. Tuan-tuan menjangka, bahwa Islam adalah bertentangan dengan nasionalisme, padahal Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme, hanjalah manakala nasionalisme bersifat nasionalisme jang sempit jakni nasionalisme jang membuat satu bangsa membenci kepada bangsa jang lain, Islam hanjalah bertentangan dengan nasionalisme, manakala nasionalisme itu bersifat chauvinisme atau “provinsialisme” jang memecah-mecah. Adakah Tuan pernah dengar sesuatu alasan agama jang melarang orang cinta pada tanah-air sendiri? Adakah Tuan pernah dengar sesuatu dalil agama, jang melarang orang cinta kepada tanah-air dan bangsa, dimana ia dilahirkan, dimana ia mendjadikan besar, dimana ia makan dan minum, dimana ia beranak-istri, dimana ia akan mati? Sebaliknja, siapa jang mengerti betul-betul moralnja agama, ethieknja agama, ia akan mengerti, bahwa cinta kepada tanah-air dan sedia-bekerdja bagi tanah-air adalah satu budi baik, satu budi jang terpuji, satu karunia Tuhan, satu deugd.

Dr. Cipto mangunkusumo [pernah] menulis di dalam sk. “Hong Po”, bahwa faham Marxisme adalah “membakar Sukarno punja djiwa”. Saja mengucapkan terima kasih atau kehormatan jang Dr. Cipto Mangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang sejak saja sebagai “anak plonco” buat pertama kali belajJar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS jang berhaluan social democrat (C. Hartgh namanja), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banjak-banjak buku marxisme dari semua tjorak, sampai bekerdja di dalam actieve politiek, sampai skarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunja teori jang saja anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasjarakatan. Marxisme itulah jang membuat saja punja nasionalisme berlainan dengan nasionalismenja nasionalis Indonesia jang lain, dan Marxisme itulah jang membuat saja dari dulu pula saja benci fasisme. Tetapi Alhamdulillah pula saja ucapkan, bahwa Allah ta’ala siang-siang telah menanamkan faham marxisme di dada dan di otak saja sehingga dari dulu mula, sebelum ada peperangan, sebelum ada kaum Nazi berkuasa di Jerman, ja sebelum Hitler terkenal saja telah onderkennen (mengetahui) jahatnja fasisme itu, dan kemudian gembar-gembor menghantam dan memuntah-kan kebencianku kepada fasisme itu. Alhamdulillah, bahwa saja kepada fasisme itu bukan suatu kebencian jang karena 10 Mei saja, tetapi satu kebencian jang memang karena kejakinan dan kesadaran. Inilah salah satu jasa Marxisme kepada saja.

Dulu saja cinta kepada teori Marxisme itu: kini mendjadilah ia sebagian dari saja punja kepuasan djiwa. Tetapi, bagaimanakah akurnja Marxisme itu dengan Islam jang juga mengisi saja punja djiwa? Tidakkah orang berkata, bahwa agama dan marxisme itu seteru kebujutan satu sama lain, mengikari satu sama lain dan membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetapi buat saja, maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain dalam satu sintese jang lebih tinggi. Buat saja Islam satu agama jang rasionil, satu agama jang bersandar kepada kemerdekaan akal, jang berbeda setinggi langit dengan agama-agama jang lain. Orang mengatakan Marxisme adalah seolah-olah “satu agama sendiri”, orang mengatakan dia satu star system pula, o-rang malah mengatakan dia semacam satu hocus-pocus jang dikira bisa dipakai buat menyelami semua sedalam-dalamnja roh dan djiwa, padahal dia hanjalah satu metode saja untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah, politik, dan kemasjarakatan. Sesuatu metode berpikir dan sesuatu ilmu-perdjoangan tidak mesti harus bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah satu agama rasionil seperti saja visikan itu. Kini cukuplah kiranja saja menggambarkan kepada pembaca-pembaca garis-garisnja saja punja djiwa. Saja tetap nasionalis, tetap Islam, tetap marxis. Sintese dari tiga hal inilah memenuhi saja punja dada – satu sintese jang menurut anggapan saja sendiri adalah satu sintese jang “geweldig”.

Foto : Bung Karno berbincang-bincang dengan Che Guevara dan pemimpin-pemimpin Kuba saat berkunjung ke negara tersebut pada tanggal 9-14 Mei 1960. Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa perluasan daerah negeri dengan kekerasan senjata sebagai diartikan oleh Van Kol, tetapi juga berjalan dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique” (penetrasi secara damai). Indonesia Menggugat, 1930.

Sumber : Buku "Indonesia Menggugat" dan gentarevolusi.com

Senin, 08 Februari 2010

"Seni Politik" : Ketakutan atau Kekuatan Politik ?

Oleh : Muhammad Ilham

Politic is Who get What How and When (Harold Laswell)

Kita masih ingat awal "curhat" SBY via salah seorang petinggi Partai Demokrat : “Saya hormat pada teman-teman Pansus dari PDIP, Gerindra dan Hanura. Tapi yang lain, maaf ya !”. Posisi PDI-P, Gerindra dan Hanura sudah JELAS. Mereka "oposisi". Sementara "teman-teman" yang "lain" seperti Golkar dan PKS melakukan akrobatik politik di Pansus membuat SBY gundah gulana. Ini terlihat dari sikap para politisi Partai Demokrat (PD) yang mulai menunjukkan kegeramannya, tidak suka dengan laku politik kawan koalisinya, terutama Golkar dan PKS yang sulit "dipegang" Bisa dipahami. Tahun pertama berkuasa, biasanya koalisi pemerintah asyik berbulan madu. Namun yang terjadi pada koalisi pemerintah SBY-Boediono, justru sebaliknya. Setelah kabinet dilantik, bergeraklah para politisi di DPR menyelidiki kasus bailout Bank Century. PD yang memiliki kursi terbanyak di DPR, tidak bisa berbuat apa-apa.

Apa salah bila partai-partai koalisi pemerintah selain PD, yaitu Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP, bergerak menyelidiki kasus bailout Bank Century, yang disebut sebagian dananya mengalir ke PD dan pasangan calon presiden-wakil presiden SBY-Boediono pada Pemilu 2009 lalu? Tidak juga, sebab tidak ada upaya sungguh-sungguh dari PD dan SBY untuk mencegah kawan koalisinya saat mengusulkan penyelidikan. Bahkan terlihat jelas, PD dan SBY termakan ‘provokasi’ para penggerak penyelidikan, bahwa pembentukan Pansus Bank Centruy, justru akan membersihkan citra PD dan SBY, jika memang mereka benar-benar tidak mendapatkan dana bailout. Makanya pembentukan Pansus pun mulus saja saat dibawa ke sidang paripurna DPR.

Bolehlah dibilang, dalam hal ini para politisi PD masih lugu, jika tidak mau dibilang kurang cerdas. Mereka sama sekali tidak dapat memetakan ke mana arah penyelidikan setelah Pansus Bank Century terbentuk. Mereka tahu Pansus akan jadi bola liar. Tetapi mereka tidak bisa memetakan keliaran arah bola, dan mempersiapkan berbagai antisipasi. Keluguan itu ternyata dibenarkan oleh sikap SBY, yang mungkin saja berharap akhir dari Pansus justru akan membersihkan citra diri dan partainya dari kasus Bank Century. Wajar saja bila kemudian SBY membiarkan Pansus bergerak ke sana ke mari. Meski SBY yakin, kebijakan bailout yang diputuskan oleh Boediono dan Sri Mulyani sudah benar, tetapi dia membiarkan saja Boediono dan Sri Mulyani, jadi bulan-bulanan Pansus. Politik pembiaran itu berlangsung lama, sampai akhirnya SBY tersentak, bahwa Pansus bisa mengarah ke pemakzulan terhadap Boediono dan bahkan dirinya sendiri.

Suara nyaring para politisi di parlemen yang ditopang teriakan keras para demonstran di jalanan, membuat SBY dan PD, mengeluarkan kartu trufnya: reshuffle kabinet! Golkar dan PKS yang paling keras suaranya di Pansus, tentu jadi sasaran. Namun sepertinya mereka tidak gentar digertak. Sampai kapan? Itu pertanyaan PD dan SBY saat ini. Benarkah langkah PD dan SBY yang membiarkan kawan koalisinya leluasa melakukan penyelidikan Bank Century adalah sebuah kesalahan? Belum tentu juga. Sebab di balik sikap lugu tersebut, bisa jadi PD dan SBY justru memetik buahnya, yaitu mengetahui kekuatan kawan-kawan koalisinya. Pengetahuan di awal kekuasaan ini penting demi mendapatkan bekal politik melangkah ke depan. Jika spekulasi ini benar, hal itu tidak hanya menunjukkan kelihaian politik PD dan SBY, tetapi juga menunjukkan hasrat mereka dalam membangun kekuatan politik (demi mempertahankan kekuasaan selama mungkin), daripada memanfaatkan kekuasaan untuk mensejahterakan rakyat. Bayangkan betapa banyak waktu dan energi yang dikeluarkan oleh banyak pihak untuk mengurusi kasus Bank Century ini.

Sumber : vivanews.com/detik.com/gatra.com

(Setiap Hari Akan KU-baca) : ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN !!

Perlahan, tubuhku ditutup tanah.
Perlahan, semua pergi meninggalkanku.
Masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka
Aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang, Sendiri, menunggu keputusan... Istri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apa lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat, rekan bisnis, atau orang lain,
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka, kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
Tetapi aku tetap sendiri, disini, menunggu perhitungan ...

Menyesal sudah tak mungkin. Tobat tak lagi dianggap.
Dan ma'af pun tak bakal didengar, aku benar-benar harus sendiri...

Ya .ALLAH...
(entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya, tiba-tiba saja aku ingin menyebut-Nya)
Jika kau beri aku satu lagi kesempatan,
Jika kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu, beberapa hari saja...
Aku akan berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
Yang selama ini telah merasakan zalimku, yang selama ini sengsara karena aku,
Yang tertindas dalam kuasaku, yang selama ini telah aku sakiti hatinya
Yang selama ini telah aku bohongi...

Aku akan kembalikan, semua harta kotor ini,
Yang kukumpulkan dengan wajah gembira, yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
Yang kumakan, bahkan kutelan yang sudah jelas haram...
Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yang sering kuumbar dulu

Dan ALLAH...
Beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta,
Teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka ,

Maafkan aku ayah dan ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu
Beri juga aku waktu, untuk berkumpul dengan istri dan anakku,
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh ...

Aku sungguh ingin bersujud dihadap-Mu, bersama mereka...
Begitu sesal diri ini karena hari-hari telah berlalu tanpa makna
Penuh kesia-siaan ...

Kesenangan yang pernah kuraih dulu, tak ada artinya sama sekali
Mengapa kusia-siakan saja waktu hidup yang hanya sekali itu

Andai aku bisa putar ulang waktu itu ...

Aku dimakamkan hari ini, dan semua menjadi tak terma'afkan,
Dan semua menjadi terlambat, dan aku harus sendiri,
Untuk waktu yang tak terbayangkan ...



Catatan :
Artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik,
- edisi : 019/th.02/Syawal-DzulQoidah/1426H/2005M
Ditulis Kembali Oleh : H. Adek A Krydanto
Dipublikasikan kembali Oleh : Muhammad Ilham


Jumat, 05 Februari 2010

Istilah Politik yang Jadi Konsumsi Publik

Oleh : Muhammad Ilham

"Setiap masa, pasti ada Joke Politik", demikian kata Kelirumonolog Jaya Suprana. Dan biasanya joke ataupun istilah yang bertendensi "politis"itu menjadi konsumsi publik. Awalnya istilah politik itu mungkin "asing" bagi publik, akan tetapi karena kekuatan media, istilah ini kemudian - meminjam istilah Gramschi - menjadi "milik publik" dan terjadi penyederhanaan pengertian sebagaimana yang diistilahkan oleh peletak dasar hermeneutik, Gadamer. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam 100 hari periode ke-dua pemerintahan SBY-Boediono ini, begitu banyak istilah-istilah yang pada awalnya tidak dipahami oleh publik, akhirnya menjadi "familiar". Siapa yang pada awalnya kenal dengan istilah Bail-Out, saya-pun tak kenal (untuk tidak mengatakan pernah mendengar istilah ini). Istilah yang masuk dalam ranah ilmu ekonomi-perbankan-moneter ini, pada saat sekarang ini bukan lagi menjadi istilah asing. Bertanyalah pada ibu rumah tangga, para buruh-tukang, PNS hingga tukang becak ...... mereka bisa menjelaskan.Walau tidak detail-sistematis, tapi secara substantif mayoritas mampu memahami dan menjelaskannya. Demikian juga halnya dengan istilah lain yang selama ini hanya "dimamah" oleh orang yang bergelut dalam ranah politik, baik ilmuan maupun politisi seperti PANSUS maupun HAK ANGKET. Istri saya yang tidak "melek" politik-pun sudah mampu menjelaskan dengan baik fungsi hak Angket dan bisa menjadi tandem Ruhut Sitompul bilaada dialog tentang HakAngket ini (he..he..he !). Tapi bila ditanyakan tentang Hak Budget ataupun Hak Interpelasi, ia 100 % tidakmengerti dan akan mengatakan : "tidak pernah saya dengar di TV, memangnya ada hak legislatif seperti itu ?". Dalam satu minggu terakhir ini, muncul lagi istilah yang selama ini jarang didengar ataupun dipahami publik, namun sekarang istilah tersebut kembali menambah perbendaharaan pengetahuan publik, yaitu Pemakzulan.

Kita sebagai orang awam sering bertanya-tanya apa arti istilah pemakzulan itu? Yang pasti, istilah pemakzulan tidak tertulis eksplisit dalam konstitusi UUD 1945. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru disebutkan makzul adalah meletakan jabatan; turun tahta raja. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menjelaskan, pemakzulan adalah bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan dari jabatan. Atau sama dengan istilah 'impeachment' dalam konstitusi negara-negara Barat. Impeachment itu menuntut pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen kepada presiden, apabila presiden melanggar hukum. Menurut Jimly, mekanisme pemakzulan diatur dalam konstitusi agar forum politik DPR tidak bisa serta merta menjatuhkan Presiden dan atau Wapres. Sebagaimana Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa menjatuhkan Presiden dan atau Wapres kecuali Presiden dan atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum, jadi pemakzulan sebagai imbangannya. Pembuktian dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan atau Wapres ini dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Jika MK menyatakan Presiden/Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka proses selanjutnya berlangsung di Majelis Permusyawaratan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wapres. Kalau terbukti secara hukum, berarti ada alasan DPR untuk mengajukan permintaan tanggung jawab Presiden dan atau Wapres lewat forum MPR.

Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan, usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Dengan adanya mekanisme pemakzulan, Presiden/Wapres yang tidak punya dukungan mayoritas di parlemen sekalipun tidak bisa begitu saja dijatuhkan oleh mekanisme politik. Artinya wacana untuk menjatuhkan presiden dan wapres melalui mekanisme pemakzulan tidak bisa dilakukan oleh masyarakat maupun DPR, jika presiden dan wapres tidak terbukti melanggar hukum. Saya berharap masyarakat Indonesia sudah memahami apa makna hidup berdemokrasi, sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan dalam berpolitik, bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Kesalahan dalam berpolitik akan menyengsarakan masyarakat, karena situasi politik akan tidak stabil, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian nasional, karena tidak ada investor yang masuk Indonesia. Sementara masyarakat tidak bisa berusaha dengan bebas karena situasi politik yang selalu gonjang ganjing. Mari kita satukan langkah membangun bangsa ini dengan damai, bersatu, berpolitik dengan santun dan kepentingan bangsa ditas segalanya.

(siap menulis artikel ini ......istri saya menyeletuk :"semoga minggu-minggu depan masih ada istilah-istilah baru yang menembah pengetahuan saya. Ini jauh lebih baik daripada istilah-istilah yang berpotensi plagiasi terhadap nama-nama binatang, Cicak-Buaya, Semut-Gajah, Kerbau dan sore tadi muncul pula : Kambing dan Ayam"). Saya tersenyum dan balas nyeletuk,"kan, masih banyak nama-nama binatang yang belum digunakan!"

Rabu, 03 Februari 2010

"Dalih Pembunuhan Massal" : Menyingkap Tabir Dalang G 30 S

Oleh : Muhammad Ilham

Buku adalah jendela dunia yang memungkinkan semua orang bisa melihat sejarah kelam & terangnya dunia (Andy F. Noya)

Sejarah selalu diceritakan dan disusun kembali melalui bahasa berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena alasan itulah sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang (B. Croce)


Beberapa malam yang lalu, saya menonton salah satu acara paling favorit saya "Kick Andy" di Metro TV. Isu yang diangkat bertajuk "Mengapa Mereka Dibungkam ?". Topik ini dilatarbelakangi oleh kebijakan dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang mem-breidel peredaran beberapa buku yang dianggap "membahayakan" stabilitas sosial politik Indonesia. Pelarangan penerbitan buku atau bredel sejak rezim Soeharto hingga reformasi di Indonesia sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA. Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi. Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.

Diantara beberapa pembahasan Buku-Buku yang dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung RI dalam acara KICK Andy beberapa malam yang lalu, ada satu buku yang menarik perhatian saya yaitu Buku "Dalih Pembunuhan Massal". Buku yang ditulis oleh sejarawan spesialis India (Hyderabad) John Rossa ini kembali mengangkatkan tentang kekacauan dalam debat mengenai Gerakan 30 September atau G-30-S. Orde Baru bersikeras mempertahankan tafsirnya mengenai peristiwa G-30-S karena semua tindakannya untuk menghabisi PKI – mulai dari menangkapi dan menghukum sebagian pemimpin dan membunuh ratusan ribu orang – bersandar pada sejarah resmi itu. Penulisan sejarah di sini terkait dengan legitimasi politik dan tanggung jawab hukum. Selanjutnya Orde Baru menggunakan tangan besi untuk menjadikan tafsirnya terhadap peristiwa G-30-S sebagai kebenaran umum. “Sejarah” yang dibuat oleh Orde Baru pun menjadi lebih penting dari masa lalu itu sendiri. John Roosa membuat sumbangan penting melalui Dalih Pembunuhan Massal karena keluar dari perangkap teori dalang ini. Ia tidak sibuk membantah atau membela versi tertentu, atau mencari-cari dalang, tapi melakukan hal yang sangat elementer dan fundamental sekaligus: membuat rekonstruksi G-30-S sebagai sebuah gerakan melalui keterangan mereka yang terlibat di dalamnya.

Terlepas dari kesimpulan akhir yang berbeda-beda, semua teori tentang dalang G-30-S berasumsi bahwa gerakan itu adalah persekongkolan politik yang direncanakan dengan baik, memiliki rencana yang jelas, dan berada di bawah garis komando. Sebagian mengatakan bahwa dalang itu adalah Soeharto dan komplotan Angkatan Darat yang dipimpinnya, sementara Orde Baru bersikukuh bahwa PKI adalah dalangnya dengan restu dari Presiden Soekarno. Sebagian lain mengatakan pemerintah Amerika Serikat, melalui dinas rahasianya CIA, adalah dalang yang dengan lihai memainkan anak wayangnya di Indonesia. Tidak semua teori mengenai G-30-S dilengkapi bukti-bukti dan karena itu pantas untuk diperhatikan secara serius. Sebagian malah lebih banyak memberi informasi tentang kesadaran dan psikologi politik penyusunnya daripada tentang gerakan itu sendiri.

Walau telah cukup banyak buku-buku sejenis (maksudnya : seputar perdebatan mengenai "dalang" G 30/S) seperti "Catatan Cornell" Bennedict Anderson serta buku-buku lain yang juga mengalami nasib yang sama (baca: dibreidel), kehadiran Buku karangan John Rossa ini menarik perhatian saya. Dalam perbincangannya dengan Andy F. Noya (presenter/host Kick Andy), penyunting dan penerbit buku tersebut, Hilmar Farid mengatakan bahwa : "kemajuan sarana IT saat sekarang ini membuat pembreidelan buku ini oleh Kejaksaan Agung jadi tidak efektif karena John dan pihak penerbit telah memposting dan bisa didownload versi bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia secara gratis". Karena itulah ...... besok harinya, saya download di internet ........ mudah sekali (via google : ketik Dalih Pembunuhan Massal/John Rossa). Setelah berhasil saya download dan print-out, kemudian saya "nikmati" membacanya ..... hingga dua kali.

Dalih Pembunuhan Massal berbeda dengan berbagai teori ini dalam hal yang sangat mendasar, yakni perangkat pertanyaannya. Jika yang lain meyakini bahwa G-30-S adalah sebuah persekongkolan jahat yang dirancang dan dimainkan dengan sangat lihai oleh “sang dalang”, maka Dalih Pembunuhan Massal justru menyoroti bahwa G-30-S sebenarnya sama sekali tidak tepat disebut sebagai gerakan. Dengan penelitian yang cermat terhadap rangkaian bahan yang belum pernah digunakan, dan penafsiran ulang terhadap bahan yang sudah pernah digunakan, ia mereka ulang perjalanan “gerakan” yang berusia singkat itu. Ia menunjukkan bagaimana para pemimpin gerakan sebenarnya tidak pernah punya kesamaan pandangan dan sikap, apalagi rencana lain seandainya “rencana utama” (yang juga tidak jelas) gagal. Ia merekam bagaimana sebagian pemimpin bersikeras menekankan bahwa “kita tidak bisa mundur lagi” dan menutup diskusi dan perdebatan dengan otoritas. Dan setelah mereka yakin bahwa gerakan itu gagal pun tidak ada rencana penyelamatan yang jelas: semua pihak harus menyelamatkan diri masing-masing. Dengan kata lain, G-30-S sama sekali tidak punya script yang bisa dijadikan pegangan. Analisis Brigjen Supardjo yang menjadi salah dokumen andalan dalam buku ini – karena merupakan satu-satunya keterangan tangan pertama yang dapat diandalkan – dengan jelas menggambarkan kekacauan rencana dan pelaksanaan gerakan itu dari perspektif militer dan politik.

Adalah penguasa Orde Baru yang kemudian membuat script setelah panggungnya ditutup. Dalam studinya mengenai historiografi militer, Katharine McGregor (2007), lihat Buku "Ketika Sejarah Berseragam" menceritakan dengan rinci proses penulisan script oleh tim yang dibentuk Angkatan Darat di bawah pimpinan Nugroho Notosusanto. Buku pertama diterbitkan dalam 40 hari, yang menunjukkan betapa pentingnya perang tafsir untuk memaknai G-30-S ini bagi penguasa Orde Baru. Isinya jelas: PKI adalah dalang dari gerakan itu yang sebenarnya bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.1 Buku kedua terbit tidak lama kemudian pada akhir 1965, ketika script pertama sudah digunakan oleh penguasa untuk melancarkan pemusnahan massal terhadap anggota, pendukung dan simpatisan PKI serta keluarga mereka.

Dalam Buku ini, diperlihatkan hubungan antara peristiwa G-30-S dengan pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan pendukung PKI dan organisasi gerakan kiri. Penguasa ORBA selama ini menjelaskan pembunuhan massal sebagai “ekses” karena masyarakat marah melihat pengkhianatan PKI. Seolah-olah reaksi terhadap PKI adalah sesuatu yang wajar/alamiah karena perilaku PKI sendiri. Dalih Pembunuhan Massal dengan cermat memisahkan antara apa yang kita ketahui telah terjadi berdasarkan bukti-bukti yang ada dengan segala teori, tafsir dan juga fantasi mengenai peristiwa itu. Pembunuhan massal dengan begitu bukan sebuah konsekuensi logis dari apa yang sesungguhnya terjadi, tapi reaksi langsung terhadap script yang disusun oleh penguasa Orde Baru. Ben Anderson (1987) menulis artikel di jurnal Indonesia yang diterbitkan Universitas Cornell dengan judul “Bagaimana Para Jenderal itu Tewas?” berdasarkan visum et repertum yang dibuat oleh tim dokter yang ditunjuk oleh Soeharto. Visum itu bertolak belakang dengan berita-berita yang dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha – yang dikelola oleh Angkatan Darat – bahwa para jenderal yang diculik pada dini hari 1 Oktober 1965 mengalami penyiksaan keji seperti pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin. Visum itu jelas memperlihatkan bahwa tidak ada mata yang dicungkil dan semua kemaluan utuh pada tempatnya. Pertanyaannya, mengapa Angkatan Darat tidak mengumumkan kebenaran itu melalui media yang dikontrolnya, dan justru membiarkan cerita-cerita yang tidak benar memenuhi halaman-halamannya?

Kita juga tahu dari kesaksian dan keterangan mereka yang terlibat dalam pembasmian PKI bahwa “kemarahan” massa yang seolah tidak bisa dikontrol sebenarnya adalah reaksi terhadap berita-berita yang tidak benar dan diketahui tidak benar oleh mereka yang menerbitkannya. Sampai sekarang belum diketahui peran dari tim Angkatan Darat yang menyusun script tentang G-30-S dalam fantasi tentang kekejaman di Lubang Buaya ini. Hal ini juga merupakan misteri yang masih harus diselidiki karena akibatnya yang luar biasa. Di mana-mana pejabat militer berpidato tentang “kekejaman” G-30-S yang tidak pernah terjadi dan menuntut balas dengan membunuh sebanyak mungkin orang komunis. Tapi penyulut reaksi massal yang paling penting adalah pernyataan bahwa jika PKI menang dan G-30-S berhasil maka banyak orang non-komunis, apalagi anti-komunis, akan diperlakukan sama seperti cerita Angkatan Darat mengenai kekejaman di Lubang Buaya (yang tidak pernah terjadi). Di banyak tempat beredar daftar orang yang akan akan dihabisi oleh PKI seandainya G-30-S berhasil: pemimpin agama, tokoh politik, pemuda dan mahasiswa. Dalam banyak wawancara, termasuk dengan mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap orang kiri, terungkap bahwa daftar itu diumumkan oleh pemimpin militer yang “menemukannya” di kantor PKI atau organisasi massa kiri. Bersamaan dengan itu kadang “ditemukan” juga senjata api, uang dalam jumlah luar biasa, timbunan makanan, dan yang paling menghebohkan alat pencungkil mata, yang di banyak daerah penghasil karet lebih dikenal sebagai alat penyadap getah karet. Aksi kekerasan dan pembunuhan massal karena ini bukanlah reaksi alamiah terhadap “kekejaman” G-30-S, tetapi terhadap representasi atau script yang ditulis oleh Orde Baru mengenai peristiwa itu. Cerita-cerita bohong tentang kekejaman di Lubang Buaya itulah yang membuat orang kemudian mengambil tindakan. Tapi tentu itu tidak cukup. Di banyak tempat kita tahu bahwa pembunuhan massal disulut langsung oleh pasukan militer, dan di beberapa tempat tidak akan terjadi seandainya tidak dipimpin oleh militer.

Jika pembunuhan massal tidak dapat dilihat sebagai reaksi alamiah terhadap G-30-S, tapi sebagai tindakan yang disulut oleh script karangan Angkatan Darat, maka kita juga tidak dapat melihat pembunuhan itu sebagai konflik antara PKI dan kekuatan politik lainnya. Tidak ada pertempuran antara dua pihak seperti layaknya sebuah konflik. Di beberapa tempat orang dengan sukarela pergi ke tempat-tempat penahanan untuk “mengklarifikasi” posisi mereka terhadap G-30-S, tapi tetap ditahan. Pembunuhan massal sepenuhnya merupakan orkestrasi dari penguasa militer yang juga melibatkan elemen sipil di dalamnya. Masalahnya, dalam script karangan penguasa Orde Baru, keterlibatan elemen sipil ini menjadi “bukti” bahwa kemarahan terhadap PKI adalah sesuatu yang genuine tumbuh dari bawah, dan bahwa peran tentara dalam semua urusan ini justru menyelamatkan negara dari kehancuran. Teringat pepatah, “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.” Buku Dalih Pembunuhan Massal menegaskan hal yang sangat penting, bahwa G-30-S disalahtafsirkan secara sengaja, dipelintir dan dihadirkan kembali secara salah pula agar menjadi dalih untuk melancarkan operasi pembasmian yang menjadi salah satu kengerian terbesar dalam sejarah modern dunia. Walau masih ada beberapa lubang dan misteri yang belum terungkap, karya John Roosa ini sudah memberikan tilik-dalam yang baik tentang G-30-S sebagai sebuah gerakan. Tentu tidak dapat dikatakan sebagai karya final. Tapi jika masih ada “teori dalang” lain yang muncul berdasarkan dugaan dan desas-desus, maka itu hanya mungkin dilakukan dengan resiko mempermalukan diri sendiri dan menunjukkan ketidaktahuan tentang apa yang sudah diketahui luas. Setiap penulisan sejarah yang serius akan mempertimbangkan dengan serius apa-apa yang sudah diketahui dan ditulis sebelumnya. Tulisan tentang masa lalu yang disusun berdasarkan fantasi atau khayalan dan desas-desus karena itu tidak layak mendapat perhatian serius.

Rekomendasi : Buku ini sungguh sangat layak dibaca .... !

Selasa, 02 Februari 2010

Autobiografi Seorang "Oposan Kecil"

Oleh : Muhammad Ilham

Bukan NARSIS ....... !!!. Cerita ini merupakan "cerita lama" yang telah diposting dalam blog istri saya, tentang kelucuan dan keluguan saya waktu masih kecil ketika berhadapan dengan pejabat daerah. Ceritanya begini : ........... Kala itu, sekitar tahun 1982. Di kampung halaman kami, Air Bangis, kedatangan Gubernur. Tahun 1980-an, Air Bangis merupakan daerah yang hampir terisolir di pantai barat Sumatera Barat. Daerah pantai yang berjarak hampir 315 km dari Kota Padang. Daerahnya indah, berbentuk teluk yang dikelilingi oleh sembilan buah pulau dan merupakan daerah transisi kultural (antara etnik Minangkabau dengan Mandahiling, karena Air Bangis berbatasan langsung dengan Kabupaten Mandahiling Natal lewat laut). Air Bangis juga dikenal sebagai daerah historis-kaya sejarah karena di daerah ini merupakan salah satu daerah "perang" Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao (bahkan Tuanku Rao ditenggelamkan oleh kolonial Belanda di pantai Air Bangis....... sehingga di Air Bangis ada nama gugusan karang yaitu karang Tuanku Rao). Tahun 1982 tersebut, kedatangan pejabat-pejabat dari daerah (baik Kabupaten maupun Propinsi) menjadi sesuatu yang dianggap "mukjizat". Tahun 1982 itu, Air Bangis didatangi oleh Bpk. Ir. Azwar Anas (ketika menjadi Gubernur Sumatera Barat). Kedatangannya disambut dengan riuh rendah a-la masyarakat "hampir terisolir" Air Bangis. Apalagi kedatangannya dengan menggunakan helikopter yang membuat masyarakat Air Bangis jadi histeria ............. maklum melihat pesawat terbang yang "lalu" saja diatas udara Air Bangis bisa membuat masyarakat Air Bangis kala itu jadi histeris, apalagi ada helikopter yang mendarat ............. dijamin "mak nyoooss".

Kala itu saya berusia 8 tahun (kelas 2 SD). Kala itu suasana sedang "sedikit panas", maklum jelang Pemilu 1982. And .... waktu itu saya disuruh oleh guru memakai pakaian seragam "ala kadarnya" bersama dengan teman-teman untuk menyambut kedatangan "wong gedong" tersebut. Ketika helikopter mendarat di lapangan hijau Air Bangis, Gubernur dan rombongan kemudian diarak ke Gedung Pertemuan Nagari. Masyarakat Air Bangis, kala itu, yang berjubel menyambut kedatangan Gubernur tersebut, "terpecah dua", sebagian mengiringi Guberenur yang diarak ke Gedung Pertemuan Nagari, sebagian lagi "menonton helikopter". Singkat cerita, ketika Gubernur sampai ke Gedung Pertemuan Nagari, setelah melalui acara "tetek bengek", sampailah pada acara sambutan resmi dari Bpk. Ir. Azwar Anas yang kala itu sangat gagah. Dalam pidatonya, lebih banyak bernuansakan kampanye (maklum suasana pemilu 1982) - tepatnya mengkampanyekan Golkar -- dibandingkan dengan arahan yang bersifat mencerahkan. Nah .... ditengah-tengah pidatonya, Gubernur meminta seorang anak untuk maju ke depan. Anak yang maju ke depan tersebut adalah anak yang duduk-mencangkung di barisan depan, yang mungkin dianggap oleh Gubernur serius mendengar pidatonya. Padahal, anak tersebut hanyalah melongo mendengar pidato yang isinya "hampir tidak bisa dipahaminya". Dengan langkah pasti nan tegap, walaupun tubuhnya pendek, si anak yang memakai pakaian pramuka "ala kadarnya" serta menggunakan sepatu bot-putih anti air buatan Cina yang dibeli pada Tekong Cina bernama Kiat di Kampung Cina Air Bangis, melangkah menuju tempat sang Gubernur pidato. Si anak tersebut .............. ya, saya. Kemudian, terjadilah komentar singkat :

Gubernur : Siapa nama kamu ?
Si Anak : Muhammad Ilham, pak Gubernur
Gubernur : Apa cita-cita kamu
Si Anak : Jadi Gubernur, pak Gubernur
Gubernur : wah ............ bagus itu. Apa pekerjaan ayahmu ?
Si Anak : Ayah saya tukang jahit, ibu saya jualan ketupat (jawaban yang komplit)
Gubernur : Bisa baca Pancasila?
Si Anak : Bisa, pak Gubernur
Gubernur : Coba baca !
Si Anak : Pancasila ............ Satu (mulai membaca) dan seterusnya
(Setelah si anak ini selesai membaca Pancasila........... Gubernur kemudian menyuruh si anak untuk mengikuti kata-katanya dengan pekikan yang lantang)
Gubernur : Hidup Golkaaaaaaaaaaaaaar !!!!!!!!!
Si Anak : ?????????? (ia diam)
Gubernur : Ayo, kenapa diam ?
Si Anak : Saya dan ayah saya memilih PPP pak Gubernur, bukan Golkar
Gubernur : .......................... @$&$@!# !!!!!!!!!!!!!


(Besoknya, saya dimarahi oleh guru-guru SD, tetapi ayah saya bangga .... buktinya ia langsung membelikannya sepatu bot putih anti air yang baru dari tekong Cina bernama Liem She Kiat @ Kiat di Kampung Cina Air Bangis ............. konon dibayar tidak kontan alias kredit). Selanjutnya ......... saya tetap tidak pusing dengan kemarahan guru-guru SD saya tersebut. Saya tetap menganggap dialog singkat dengan Gubernur tersebut memberikan keberkahan baginya, sepatu bot putih anti air yang sejak saya masuk SD belum pernah diganti oleh ayah, justru diganti dengan yang baru. Dan konon, foto waktu dialog dengan Gubernur tersebut, sampai hari ini tetap dipajang oleh kakak saya di Air Bangis, walaupun telah lusuh. Nama fotografernya masih saya inga, Ruslin Sutan Batuah @ Sulin. Ia teman akrab ayah saya. Konon, "insiden" dialog tersebut membuat Ruslin Sutan Batuah "ketawa senang", buktinya ayah saya tidak harus membayar untuk menebus foto "bersejarah" itu, padahal Ruslin yang bergelar Sutan Batuah tersebut butuh waktu 3 hari ke Padang ..... hanya untuk mencucikan foto ini, 3 buah ...... 1 untuk ayah saya, 1 lagi untuk SD tempat saya sekolah dan 1 lagi untuknya.

Insert : Foto "Ilham Kecil" saat dialog dengan Gubernur Sumbar (Tahun 1982) Ir. H. Azwar Anas

Anak-Anak Tengah Malam : Sebuah Sejarah Keluarga


Ditulis ulang : Muhammad Ilham


(Ditulis oleh salah seorang mahasiswa bimbingan saya ..... tepatnya mitra diskusi, dimana untuk beberapa hal, saya juga harus belajar padanya)

Pada tahun 1989, Imam Khomeini memfatwa mati Salman Rushdie. The Satanic Verses, novel penulis Mumbay itu, yang terbit setahun sebelumnya, membikin heboh dunia Islam. Novel itu dianggap melecehkan iman umat Muslim, mengolok-olok Tuhan dan rasulullah. Salman Rushdie kemudian ‘diburu’. Novel itu bahkan membunuh salah seorang penerjemahnya, seorang berkebangsaan Jepang, beberapa waktu setelah fatwa itu dikeluarkan Khomeini. Huh, tetapi tenang saja, novel ini berbeda dengan The Satanic Verses. Novel ini tak akan membikin iman saudara terancam. Hampir-hampir tak ada hujatan terhadap agama mana pun. Dan hampir-hampir tak ada olok-olok terhadap tuhan siapa pun.

Midnight’s Children sesungguhnya memiliki kisah yang sederhana, kisah seorang penulis Mumbay bernama Saleem Sinai yang menghabiskan hari-harinya ‘bekerja’ menulis (mungkin) novel di apartemennya. Dia ditemani pembaca dan komentator pertamanya, seorang ‘juru masak’, seorang ‘pengasuh’nya bernama Padma. Lewat Salem Sinai, kisah-kisah dalam novel ini dituturkan, digelindingkan, dari suatu masa ke masa berikutnya, dari satu peristiwa ke perisitwa lain. Berbagai topik disinggung dan berbagai mitos didedahkan. Mula-mula, kisah dalam novel ini melesat ke tahun 1912, ke kisah Aazam Aziz, seorang dokter barat modern pertama di lembah subur Khasmir. Dokter Aziz menjalani kisah unik menemukan cintanya pada seorang perempuan hampir fanatik yang selalu sakit-sakitan bernama Naseem Ghani, anak seorang tuan tanah Khasmiri. Dokter Aziz, diminta untuk mengobati Naseem, tetapi perempuan itu tak boleh dipandangi atau disentuh. ‘Seprei bolong’ lalu dijadikan strategi, tabir yang membatasi antara pasien dengan sang dokter. Di bagian mana dari tubuh si pasien yang sakit, ke arah bagian itulah bolongan seprei ditujukan. Hingga dokter dan pasiennya saling jatuh cinta. Mereka lalu menikah dan pindah ke kota suci Amritsar. Di titik inilah sejarah baru sebuah keluarga dimulai.

Pasangan itu, seiring perjalanan waktu, melahirkan bebarapa orang anak. Salah seorang dari mereka, Amina Sinai, setelah menjadi gadis besar, menikah dengan seorang pedagang kulit yang tinggal di Bombay, Ahmed Sinai. Dari pasangan inilah Saleem Sinai (si pusat cerita), lahir. Tetapi tunggu, Saleem Sinai sebenarnya bukan anak kandung dari pasangan itu. Mary Pereira, pembantu keluarga itu, melakukan dosa abadinya dengan menukar nama pada keranda bayi di rumah sakit. Saleem Sinai, Anak Tengah Malam, lahir tepat tengah malam di hari India memproklamirkan kemerdekaan. Dia mendapat ucapan selamat dari Nehru, Bapak Bangsa India. Dan seperti semua anak India yang lahir tengah malam di hari kemerdekaan itu, Saleem dianugrahi keajaiban: khusus untuk Saleem, ia bisa membaca pikiran manusia, menelurusi lorong-lorong tersembunyi yang tersimpan di otak manusia; ia memiliki kemampuan telepati lewat hidungnya yang penuh ingus, seperti Samson yang kuat karena bulu di kepalanya. Dan di kemudian hari, ketika hidung beringusnya telah disembuhkan, kemampuan itu pun lenyap, tetapi digantikan oleh kemampuan mengendus tiada tara.

Pada diri Saleem Sinai inilah cerita dalam novel ini memusar dan membentuk jejaring. Sejak kelahiran Saleem Sinan, kisah-kisah ‘ajaib’ meletus bagai kembang api menyertai perjalanan usianya. Bagaimana dia memaknai dirinya sebagai anak tengah malam, terlibat kisah cinta-anak-anak dengan Evie Burns seorang anak Amerika, belajar bersepeda dan menabrak kerumunan ‘demontrasi bahasa’, dan di usia mendekati sebelas tahun, rahasia bahwa dia bukan darah dan daging dari Amina Sinai terbongkar. Tetapi cinta tampaknya tak bisa memisahkan keluarga itu. Lalu di usia remaja Saleem, keluarga itu mengungsi ke Pakistan meninggalkan ayah angkatnya yang semakin dikuasai jin-jin alkoholik. Salem terlibat merencanakan kudeta militer di Pakistan, dan kembali ke India ketika ayah angkatnya hampir meninggal karena jantung yang membeku. Dan ketika usianya mendekati 16 tahun, Saleem dan keluarganya benar-benar memutuskan ‘menyeberang’ ke Pakistan untuk selama-lamanya, hidup di tengah orang-orang muslim yang sepenuhnya ‘murni’, ‘fanatik’, berbeda dengan masyarakat muslim kota asalnya (Mumbay, sebelum itu Bombay) yang ‘tak begitu patuh’. Peristiwa-peristiwa berjumpalitan dalam novel ini, melambung jauh ke awal abad ke 20, lalu ke tahun 1947 tahun kemerdekaan India, lalu ke tahun 1956 ketika Saleem Sinai berusia sepuluh tahun, lalu ke tahun 1961 ketika China dan India terlibat perang di perbatasan dan demam optimisme melanda hampir seluruh India, lalu tiba ke kehidupan Saleem Sinai masa ‘sekarang’ saat umurnya 30 tahun, saat dia menulis kisah keluarganya, ketika dia sulit membedakan dunia fiktif dan nyata, penyakit ‘burung yang tak bisa berdiri’, kehidupan keluarganya yang berantakan akibat kesuntukannya pada tulisannya….

Peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini bergerak di antara peristiwa-peristiwa besar dan bersejarah; novel ini seperti betul-betul diikatkan kepada benang sejarah bangsa-bangsa: India yang tercerai oleh berbagai praktisi dan kekacauan politik tak berkesudahan, lahirnya Pakistan, Banglades, perang India-Pakistan. Dan Saleem Sinai seperti refleksi dari perjalanan hidup bangsanya: Allah orang muslim yang bersengketa dengan dewa Hindu; mitos-mitos India kuno; Anglo-Saxon merebut tanah Hindustan dari sultan-sultan Mughal yang tambun; kelahiran India dan kemerdekaannya dari Inggris; konsep Dua Negara atau ‘Negara yang Murni’ yang dicetuskan Muhamad Ali Jinnah yang kemudian melahirkan Pakistan; migrasi besar-besaran muslim India ke negara baru penyair besar Islam Muhamad Iqbal; kematian Gandi; lalu tentang danau hijau di lembah Kasmir yang indah, lalu Mumbay, lalu kota suci Amritsar, lalu Gujarat, kota-kota yang luluh-lantak oleh perang agama yang panjang. Dalam lingkaran peristiwa sejarah seperti inilah peristiwa-peristiwa dalam novel ini bergerak dan tokoh-tokohnya berada, memaknai dirinya baik sebagai Islam, Hindu, Kristen, atau seseorang (seperti Dokter Aziz) yang trauma dengan tuhan agama-agama sehingga memproklamirkan diri atheis.

Membaca novel ini, kita seakan diajak ‘menyusun’ fragmen demi fragmen hidup seseorang, seseorang lagi, dan lagi. Begitu banyak tokoh yang hadir, kadang muncul seperti sembraut benang kusut tak terselesaikan. Fragmen-fragmen itu kadang seperti minta kita susun untuk mendapatkan suatu gambaran dan makna hidup yang utuh-lengkap—atau bisa jadi tidak, cukup kita ikuti saja alir novel ini ke mana membawa. Sebagai penutup, novel ini, huh, tentang sebuah sejarah keluarga; kelahiran, kematian, maju, dan mundur orang per orang dalam sebuah keluarga besar di tengah perubahan-perubahan besar yang terjadi di sekitar mereka. Selamat membaca!

(c) Deddy Arsa