Jumat, 25 Februari 2011

"Revolusi Tak Bisa di Foto Copy, Ia Menjalar" : Tunisia, Mesir, Iran, Libya, Bahrain dan Iran

Oleh : Muhammad Ilham

Saya kutiplah penggalan "Catatan Pinggir"nya Goenawan Mohammad. Bagi GM, pada prinsipnya revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern. Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20, gema revolusi yang awalnya bermula dari revolusi Perancis dan Amerika tersebut, menjalar ke beberapa belahan dunia yang kebetulan terjajah. Gema egalite, liberte dan fraternite yang lahir dari "rahim revolusi Perancis" tersebut menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya. Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavojek menyimpulkan : pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, "Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya." Yang menarik, ada kekontras an pemberontakan di Mesir dengan "revolusi Khomeini" di Iran. Di sana, kaum kiri harus "menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam." Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, "kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan." Justru Ikhwanul Muslimin, "menggunakan bahasa tuntutan sekuler." Kata "sekuler" di sini tampaknya sama dengan "tak didominasi pandangan agama apa pun" dan sebab itu "universal", menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal? Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: "Islam" menjadi hanya "kami", tak lagi "kita".

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan "ide yang abadi" tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. "Hak untuk mempunyai hak" tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit. Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari "kita" ke "kami" tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara "kami" dan "mereka"-dan di situ, "kita" ditiadakan. Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal-kemerdekaan, keadilan, harga diri-dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Ibarat "batu domino", kejatuhan Presiden Ben Ali dari Tunisia terus menjalar ke beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Husni Mubarak mendapat giliran kedua sebagai imbas dari revolusi rayat Mesir yang terinspirasi dari revolusi "melati"nya Tunisia. Dua revolusi ini memperteguh negara-negara lain di kawasan ini untuk menggulingkan rezim yang memerintah negara mereka yang dikenal diktator dan memerintah dengan "un-limited". Bahrain yang kesultanan itu mendapat giliran berikutnya. Yaman pun tak ketinggalan. Libya juga bergolak bahkan "ceritanya" semakin menarik karena Qaddafi menggunakan militer sebagai ujung tombak-nya agar tak bernasib seperti Ben Ali dan Husni Mubarak. Irak tak masuk "pesakitan" dalam siklus pergolakan ini. Beberapa media Barat justru melihat Iran yang akan merasakan efek domino Tunisia dan Mesir ini, termasuk bila Bahrain, Libya serta Yaman memiliki "garis sejarah" yang sama dengan Tunisia dan Mesir, maka Iran dibawah rezim Mullah dipandang akan "jatuh". Setidaknya demikian yang sering dipublish beberapa media "barat". 14 Februari lalu, media Barat melaporkan rakyat Iran turut bangkit - berdemonstrasi - untuk menentang rezim Mullah Republik Islam Iran. Al-Jazeera turut melaporkan antara lain 20 ribu demonstran membanjiri jalan-jalan raya di Teheran. Mak Cik Hillary Clinton pun sempat "girang" bahwa demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Iran. Benarkah ? Tapi lihatlah foto-foto dibawah ini yang di-upload bulan Februari 20011 ini - bandingkan satu "tempat" dengan "tempat" lainnya :


Revolusi "Melati" Tunisia .... dan Ben Ali "lari" ke Jeddah dan kemudian stroke (Januari 2011)

Mesir ......... Husni Mubarak akhirnya "tak kuase !" (Februari 2011)


Rakyat Yaman memperlihatkan "tinju" mereka pada Presiden Abdullah (Februari 2011)

Gejolak rakyat Bahrain (Februari 2011)

Lalu dalam tanggal 14 Februari 2011 ini, terjadi demonstrasi dalam "bentuk lain" di Iran .... bila tak percaya, lihat foto dibawah ini :











Adakah demonstrasi di Iran ini sama dengan demonstrasi di Tunisia, Mesir, Bahrain, Libya dan Yaman ?

Referensi : Goenawan Mohammad (2/2011) Sumber foto : www.al-jazeera.com/mehr.com

Tidak ada komentar: