Sabtu, 27 November 2010

Amir Syarifuddin (Harahap) : "Ia yang dibuang Sejarah"

Oleh : Muhammad Ilham

Perjalanan hidup para elit politik Indonesia dahulu berbentuk formula "dari penjara ke kabinet", yang terjadi kini pada elite politik adalah "dari kabinet ke penjara" (...... Entah dimana saya baca kutipan ini)

Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Amir Syarifuddin, termasuk kategori yang tak disebut, mungkin sudah dilupakan. Kalau di kota Padang, kala kita bertanya secara acak pada mahasiswa (terutama IAIN), "kenalkah kalian dengan Amir Syarifuddin ?", maka mereka akan menjawab, "kenal, mantan Rektor IAIN Padang dan Ketua MUI Sumbar !". Kebetulan IAIN Padang dan MUI Sumbar pernah dipimpin "sosok genius" bernama Prof. Amir Syarifuddin. Tapi bukan Amir Syarifuddin yang rektor atau Ketua MUI ini. Amir Syarifuddin yang "kita ceritakan" adalah ia yang "entah berada dimana" dalam belantara sejarah anak bangsa (baca : sejarah formal).

Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen. Kakeknya, Ephraim, adalah seorang jaksa beragama Kristen. Ayahnya, Soripada, juga menjadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim. Amir Sjarifuddin Harahap merupakan Perdana Menteri RI yang dieksekusi bangsanya sendiri tanpa proses hukum. Pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo, sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali lubang sedalam 1,7 meter. Amir - berpiyama putih-biru, bercelana panjang warna hijau dan membawa buntelan sarung - bertanya kepada kapten yang ada di situ, "Saya ini mau diapakan?" Amir Sjarifuddin bersama 10 orang lainnya ditembak satu per satu. Konon, menjelang ia dieksekusi, Amir Syarifuddin masih sempat untuk terus membaca buku. Tanggalnya masih dipersoalkan apakah 27 Mei atau 27 April, tapi yang jelas ia lahir seabad silam di Medan. Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan. Pada 1945 sampai Januari 1948 keduanya menjadi perdana menteri. Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno-Hatta berkolaborasi dengan "saudara tua dari Negeri Matahari Terbit". Sjahrir dan Amir berjuang di bawah tanah semasa pendudukan Jepang. Ir Setiadi Reksoprojo, 86 tahun, Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947, memberikan kesaksian 13 halaman tulisan tangan kepada saya yang menjelaskan jasa Amir dalam mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda.

Pada awal masa kemerdekaan, unsur tentara terdiri dari berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir diperlukan Tentara Masyarakat. Tentara itu juga butuh pendidikan politik. Pandangan ini bertentangan dengan Hatta, yang melakukan rasionalisasi tentara dari 400 ribu menjadi 60 ribu. Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948, tempat Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir menarik karena berkebalikan dengan yang sering terjadi sekarang. Ia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik menjadi Menteri Penerangan. Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di Negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya, T.S.G Mulia. Pada 1931 ia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo), yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda dari Pulau Jawa, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Rekan Amir dalam organisasi ini adalah Dr A.K. Gani, yang tahun ini diusulkan sebagai pahlawan nasional. Pada 1938-1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe. Selanjutnya, Amir juga aktif pada GAPI (Gabungan Politik Indonesia) bersama M.H. Thamrin.

Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, kini eksil di Belanda), yang ikut dalam pelarian pada 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga, Amir mengeluar kan tembakan peringatan dan memarahi mereka. "Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat," ujarnya. Dari empat tokoh nasional yang menduduki jabatan tertinggi (presiden, wakil presiden, dan perdana menteri) yang pertama di Indonesia, tiga orang (Soekarno, Hatta, dan Sjahrir) menjadi pahlawan nasional. Sedangkan yang satu lagi, jangankan diberi bintang jasa, biografinya pun tidak boleh beredar semasa Orde Baru. Pada 1984 penerbit Sinar Harapan sempat mencetak tesis Frederick Djara Wellem di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta berjudul "Amir Sjarifuddin, Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan". Namun, buku tersebut terpaksa dimusnahkan karena Jaksa Agung tidak berkenan. Dalam sejarah Indonesia, Amir Sjarifuddin tak hanya dibuang dan dilupakan, tapi juga tidak diakui !!

Referensi : Asvi Warman Adam (2002 & 2006)

Kamis, 25 November 2010

Obama dan Israel : Sebuah Utopia

Oleh : Muhammad Ilham

“When I am the President, the United States will stand shoulder to shoulder with Israel ….." (Obama)

Saya masih ingat bagaimana antusiasnya Imam Besar Masjid Istiqlal menceritakan kefasihan Obama mengucapkan Insya Allah. "Sampai tiga kali lho," kata sang Imam ini dengan mata berbinar dan menunjukkan kekaguman. Berangkat dari inilah, seorang teman saya yang kebetulan sama-sama pulang sholat Isya di Musholla samping rumah, mengatakan bahwa Obama-lah satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang berpihak pada Islam. "Yakinlah, Israel pasti ditekannya", kata teman saya tadi dengan mata berbinar-binar seperti binarnya mata si Imam Masjid Istiqlal yang ditontonnya menjelang pergi sholat Isya malam itu. Nampaknya teman saya tadi lupa dengan "Pidato Inaugurasi" Obama pada waktu malam kemenangannya setelah dinyatakan mengalahkan John Mc. Quin - lawannya. Pada waktu inaugurasi kemenangannya tersebut, Obama berpidato, disiarkan secara lengkap oleh berbagai stasiun TV di dunia ini, salah satu TV swasta Indonesia ini, Obama berdiri dengan gagah di atas podium. Dan di depan podium itu, tertera 5 (lima) huruf kapital besar – AIPAC. Seketika, saya ingat buku karangan Paul Findley yang telah diterjemahkan oleh Penerbit Mizan “Mereka Berani Bicara”. Dalam buku ini, Findley mengupas-tuntas pertanyaan : “Mengapa lobi Yahudi-Israel begitu kuat dalam ranah politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia ke-2?”.

Findley mengatakan bahwa politik negeri Paman Sam ini tidak bisa berkata “tidak” pada Yahudi-Israel karena sebuah organisasi-publik kemitraan bernama AIPAC (American Israel Public Agency Council). Dalam AIPAC ini berkumpul para ekonom-pialang, politisi dan intelektual Amerika Serikat keturunan Yahudi. Mereka inilah yang dominan mempengaruhi politik Amerika Serikat, mulai dari “pengkondisian calon-calon Presiden hingga kebijakan politik luar negeri. AIPAC kata Findley, adalah bentuk lain dari “Gedung Putih”. Pada tahun 2007, menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat telah memberikan bantuan militer pada Israel USD 30 milyar. Konon, AIPAC berperan besar atas bantuan yang spektakuler ini mensikapi pengaruh Iran yang semakin besar di Timur Tengah. Pidato Obama di forum AIPAC menunjukkan kepada kita, Obama tak bisa melepaskan diri dari Yahudi-Israel. Penggalan pidatonya yang mengatakan bahwa Hamas merupakan organisasi teroris dan kebijakan negara Israel harus didukung, memperjelas posisi politik Obama. “When I am the President, the United States will stand shoulder to shoulder with Israel …..”. Ketika masih menjadi senator, Obama memiliki voting record pro-Israel. Tahun 2006, beliau menjadi salah seorang sponsor the Palestian Anti Terorism Act yang dalam salah satu item-nya menempatkan Hezbollah sama dengan Al-Qaeda. True Friends of Israel pantas disandang Obama.

Lalu, pantaskah kita mempersalahkan Obama? Pantaskah kita berharap banyak pada Obama ke depan? Findley sebenarnya telah menjawab, bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat, pengaruh AIPAC sulit untuk dihindari. Penunjukkan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri kabinet Obama memperjelas pengaruh lobi Yahudi yang luar biasa. Konon, Obama tidak sreg dengan Bill Clinton, suami Hillary. Clinton dan Hillary merupakan sahabat “politik” terdekat dari Benjamin Netanyahu – ultranasionalis Israel. Namun, hampir 1/3 anggota kabinet Obama adalah “kerabat politik” Bill Clinton. Kecil kemungkinan persoalan Palestina bisa terselesaikan dengan baik pada era Obama ke depan. Sangat tidak mungkin Obama melawan arus “pakem” kebijakan politik standar Amerika Serikat, apalagi Obama nyata-nyata telah mendukung Israel sebelum ia jadi Presiden. Persoalan Palestina-Israel, lebih memungkinkan hanya bisa diselesaikan oleh komunitas Timur Tengah, khususnya negara-negara Islam Teluk. Kita tak bisa berharap banyak pada PBB, demikian juga dengan Amerika Serikat, siapapun presidennya. Dalam ilmu politik, antara Israel dan Palestina telah terjadi cyrcle bargaining, siklus tawar-menawar. Siapa yang menunggangi dan ditunggangi, tidak jelas secara konkrit. Apakah Israel yang menunggangi Amerika Serikat atau sebaliknya. Namun yang jelas, hubungan Amerika Serikat dan Israel adalah hubungan simbiosis mutualis, saling menguntungkan. Oleh karena itu, kemauan politik negara-negara Timur Tengah-lah yang lebih rasional dan memungkinkan. Apakah bisa hal ini terjadi? Seandainya mereka kompak, Palestina dari dulu terselesaikan dengan baik, kata mendiang ayah saya yang mengagumi Gamal Abdel Nasser......... Dan yang bisa menyembuhkan Palestina hanyalah kemauan politik negara-negara Islam Timur Tengah. Obama akan terus berjalan dengan garis politik yang tidak bisa dihindarinya, walaupun ada kata-kata Hussein dalam penggalan namanya. Wallahu a'lam bish shawab.

Kemana Saya Harus Pergi untuk Menjadi Pahlawan ?

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Nama saya Setan, saya datang untuk berguru. Ajarilah saya menjadi pahlawan.....” (Putu Wijaya)

Bulan november 2010, panggung “hari pahlawan” telah dikudeta oleh Obama hanya karena kata-kata ” sate”, “bakso”, “pulang kampung nih”, “assalamu’alaikum”, “bhineka tunggal ika”, “bemo”, “becak”, “sarinah” dan sebelumnya di jamuan makan malam ada kata “nasi goreng” ” emping”, “krupuk”, serta yang pasti “semua enak”. Kata-kata yang bagi kita-kita adalah “biasa” disulap menjadi “luar biasa”, dan sepertinya kata-kata inilah yang berhak mendapat gelar “pahlawan” dalam panggung teatrikal Obama 18 jam transit di Indonesia tepatnyah Jakarta. Kata-kata yang telah mengalahkan para nomine gelar pahlawan yang salah satunya adalah bapak pembangunan Soeharto. Sepuluh november 2010 di jamuan makan malam, SBY memberikan gelar “pahlawan” pada emaknyah Obama yang disambut oleh Obama dengan perkataan yang menggugah “Indonesia bagian dari diri saya”, … Fantastis … Bombastis … 6000-an penonton menyambutnya dengan tepuk tangan riuh gempita, mengalahkan tepuk tangan “kejujuran” ala realiti show "Uya Memang Kuya"… maka tak salah kalo sastrawan Bali Putu Wijaya bilang : "Indonesia adalah tempat untuk menjadi pahlawan". Hicks.

Teringat di tahun 2006, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya menggedor penonton di Taman Ismail Marzuki dengan pertunjukan Zetan dengan lakon : “Zetan: Setan Berguru Jadi Pahlawan“, dengan konsep “bertolak dari yang ada” untuk menciptakan tontonan yang menjadi teror mental, sehingga menjadi pengalaman spritual dan pembelajaran untuk mandiri. Kisah bermula dari guru berhenti mengajar, karena bertentangan pendapat dengan pihak sekolah yang hanya berusaha mencetak ijazah. Lalu guru mendirikan pendidikan gratis yang mengajarkan mencintai bangsa, negara, tanah air dan keberagaman. Tetapi bertahun-tahun tidak ada yang mau belajar. Pada suatu malam datang Zetan, minta dididik menjadi pahlawan. “Nama saya Setan, saya datang untuk berguru. Ajarilah saya menjadi pahlawan.” Begitulah si Setan memperkenalkan dirinya. Sang Guru terhenyak keheranan, mengapa Setan yang ingin menjadi pahlawan? Tapi karena tekad si Setan untuk menjadi pahlawan sudah bulat, maka si Lelaki tua itu mengajarkan ilmu kepahlawanan: seorang pahlawan harus rela berkorban, pantang menyerah, membela kaum tertindas, dan tanggguh.

Ia tak muncul dalam penampakan seram. Zetan-memakai “Z”, bukan “S”, meski dari famili yang sama-datang bertamu ke rumah seorang guru. Ia mengendarai sebuah sepeda. Baju dan celananya, alamak…, bak siswa sekolah dasar: putih dan merah. Ia membawa meja lipat segala. Dengan muka kolokan, sembari duduk manis, ia memohon kepada Pak Guru untuk dididik menjadi seorang pahlawan yang sanggup menyeberangkan orang dari neraka ke pintu surga. Sang guru terenyak. Ketemu berapa perkara: setan tiba-tiba ingin berperi-laku baik? Sang guru pun menolak, karena ia hanya mengajar manusia. Tak mau ditampik, Zetan kemudian menunjukkan kekuatannya di atas panggung: mengancam dan menerkam sang guru. Sebuah boneka raksasa serba hitam-sekitar tiga meter tiba-tiba muncul dari balik layar, menegaskan sisi angkara-murka yang dimilikinya. Berbarengan dengan munculnya sang raksasa, musik berdentam keras. Mengagetkan. Bayang-bayang hitam di layar putih di belakang panggung menebalkan daya teror pertunjukan itu pada penonton. Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya menggedor penonton di Taman Ismail Marzuki dengan pertunjukan Zetan. Bayang-bayang raksasa itu menciptakan efek visual yang menekan. Ia yang digerakkan dengan tangkas oleh para pemain di belakangnya mencengkeram, menampar, menerjang. Lalu Zetan kembali ke wajah imutnya, menyampaikan permintaannya sekali lagi : meminta dididik budi pekerti agar bisa menjadi pahlawan. Sang guru- yang bertahun-tahun tak punya murid lantaran dipecat setelah memasukkan pelajaran budi pekerti pada kurikulum sekolah-pun mengabulkannya. Zetan atau setan atau syaiton itulah yang membuat para guru kelimpungan dibuatnya. ”Bagaimana mungkin setan atau syaiton hendak menjadi muridku dan lebih dari itu, kau mau menjadi pahlawan kemanusiaan,” pekik Guru kalang kabut ketika Zetan mendatanginya.

Maka, setelah berbekal budi pekerti, setan pun bertanya, “Ke mana saya harus pergi untuk menjadi pahlawan?“ Sang guru menganjurkan untuk ke Indonesia. “Kalau ada gunung meletus, kalau ada gempa, dan orang-orang datang bukannya menolong tapi menyusahkan, itulah Indonesia. Kalau ada gedung parlemen dengan deretan mobil mewah, itulah Indonesia,” ucap guru. Singkat cerita, Zetan lulus cumlaude dan siap ditugaskan ke sebuah wilayah yang penuh dengan kesemrawutan di dunia bernama Indonesia. Maka si Setan terbakar semangat kepahlawanannya, ia dikirim ke sebuah negeri yang tengah dilanda bencana alam dan kemrosotan kepribadian rakyatnya. Aneh, belum berbuat apapun ia telah dielu-elukan sebagai pahlawan. Mungkin rakyat di negeri itu merindukan sosok seorang pahlawan. Tetapi setelah pulang ke dunianya, ia dibenci temannya sesama setan. Ia dituding sebagai penghianat. Si Setan baik hati itu dihajar beramai-ramai oleh temannya sendiri. Tubuhnya bersimbah darah saat mendatangi gurunya. Si Setan tidak tahu jika menjadi pahlawan harus membayar mahal dengan nyawanya. Ia mati di tangan bangsanya sendiri. Cerita teatrikal Putu Wijaya tentang “Zetan” beberapa tahun lampau ini tentunya kalah pamor dengan panggung “pahlawan” Obama tanggal 10 November 2010. Panggung perayaan “hari pahlawan” yang telah mengangkat kata-kata ” sate”, “bakso”, “becak” dan “bemo” sebagai pahlawan ditahun 2010.

:: Sumber (c) Kopral Cepot/Nopember 2010 - Putu Wijaya (dalam Goenawan Mohammad, 2007)

Selasa, 23 November 2010

Ironi TKI : "Siapa Sebenarnya yang Majikan ?".

Oleh : Muhammad Ilham

" .... bangsa kuli dan kuli bangsa " (Douwes Dekker)

Cerita Tenaga Kerja Indonesia (baca : TKI) seumpama cerita "telenovela", ada kisah bahagia penuh tawa, tapi tak sedikit kita disuguhkan cerita miris-sedih penuh air mata. Sucses story para TKI di negeri seberang, pada dasarnya merupakan inspirasi bagi semua orang, anak bangsa ini, untuk tidak hanya bertepuk dada. Mereka sukses di negeri orang, karena negerinya tak memberikan ranah untuk membuatnya sukses. Demikian juga halnya dengan cerita duka "pahlawan devisa" (ah ... gelar usang !), ketika mereka dinistakan di negeri orang lain, telunjuk juga harus dan mutlak dihadapkan kepada bangsa ini, mereka pergi dan dinistakan di negeri orang karena mereka tak memiliki kesempatan untuk sekedar menaikkan taraf hidup di negeri yang mungkin dibangun "peluh-keringat" orang tua mereka. Berbagai kisah sedih yang dialami oleh TKI dan bagaimana bangsa ini memberikan "solusi" seakan-akan membuat kita nelangsa.

Sumiati dan Kikim Komalasari, memulai kembali "drama usang" penyiksaan TKI di luar negeri. Sumiati seorang pembantu rumah tangga di Arab Saudi asal NTB, digunting bibirnya. Kikim Komalasari dibunuh dengan benda tumpul (ada yang menyebut digorok setelah diperkosa). Mereka "meregang nyawa" dan tersakiti di negeri orang lain. Kebuasan seperti itu bukan sekali ini saja terjadi. Beberapa tahun yang lalu tentu kita masih ingat kemalangan serupa yang menimpa Nirmala Bonet di Malaysia. Masalah yang selalu mengemuka adalah minimnya perlindungan terhadap TKI yang mengakibatkan begitu mudahnya hak-hak asasi mereka dilanggar. Pemerintah dan agen penyalur TKI selalu menjadi kambing hitamnya. Sejauh ini mereka memang kambing hitam yang sesungguhnya, namun ada sesuatu yang nampaknya luput dari perhatian publik. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dan esensial melatarbelakangi rentetan kejadian-kejadian serupa ini. Kedudukan pembantu rumah tangga dalam struktur sosial selalu berada di bawah. Mereka dianggap orang dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Mereka juga sering dianggap orang yang 'tidak tahu apa-apa', awam, lugu. Pada situasi seperti ini secara alamiah akan terbentuk suatu hubungan majikan-pembantu yang tak ubahnya seperti tuan-budak di abad pertengahan. Jika ditelusur lebih dalam lagi, terdapat kemungkinan adanya norma-norma lokal tertentu yang memberi 'pembenaran' terhadap perilaku ini. Di Arab Saudi tidak jarang kita mendengar bahwa 'pembantu perempuan' sama dengan 'budak' di mana majikan laki-laki memiliki hak menyetubuhinya.

Seperti lazimnya hubungan tuan-budak, tidak ada sehelai pun batas perlakuan yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan seorang tuan kepada budaknya. Budak adalah barang di mana tuannya memiliki hak penuh atasnya. Jika premise ini ditarik dari skala individu tiap-tiap pembantu kepada skala komunitas pembantu dari Indonesia, maka akan nampak bahwa bahwa sesungguhnya gejala yang sama terjadi pada hampir semua, jika tidak dapat dikatakan semua, pembantu rumah tangga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Pola hubungan tuan-budak tidak selalu berakhir pada kekerasan fisik. Beberapa atau mungkin banyak di antara mereka diperlakukan sangat baik oleh tuannya. Diberi uang lebih, pakaian, fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini tidak berarti mereka memiliki kedudukan sama dengan tuannya, sebab secara faktualnya kehidupan para budak (pembantu) itu 100% berada di tangan majikan (tuan)nya. Tidak ada daya sedikit pun dari mereka untuk secara leluasa melakukan apa yang mereka rasa ingin atau perlu mereka lakukan. Toh, pada abad pertengahan tidak jarang kita dengar kisah tuan-tuan yang begitu baik pada budak-budaknya.

Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain. Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap-tiap majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Titik.

Referensi : beberapa data diambil dari detik.com

Senin, 22 November 2010

Calo Haji Masa Kolonial Belanda

Oleh : Muhammad Ilham

Untuk memperoleh uang banyak dan kedudukan yang tinggi, banyak pula caranya. Salah satunya, calo. Dengan modal fasilitas, koneksitas dan profesi-jabatan, calo menyeruak dalam semua lini kehidupan manusia, mulai dari percaloan tingkat tinggi hingga calo tingkat rendahan. Dari calo pajak yang "mengeruk" keuntungan milyaran bagi sang calo, dan kerugian trilyunan bagi masyarakat hingga calo terminal yang beromzet recehan. Ada calo politik tingkat nasional, hingga calo tingkat RT/RW. Calo itu ada dan bekerja dalam durasi 24 jam satu hari. Ibarat "rasa makanan", calo tak mengenal nasionalisme maupun mempertimbangkan wilayah sacred. Di Gedung DPR, Istana, Departemen hingga masjid juga ada calo. Dan mungkin, hingga berakhirnya dunia ini, calo akan terus eksis, berkembang biak dan bermetamorfosis dalam setiap perjalanan waktu. Pemilu, penyusunan anggaran, mudik hingga haji-pun mengenal percaloan. Pelaksanaan haji, yang masuk dalam wilayah "ibadah-sacred", menjadi gula-gulali bagi para calo, karena pelaksanaan haji (mulai dari proses pendaftaran, pemberangkatan hingga pelaksanaan), uang "berputar" dalam omzet yang demikian banyak. Dalam sejarah, sejak zaman kolonial Belanda, pelaksanaan haji, termasuk "ranah" paling menarik bagi para calo, seperti Laporan Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893 ini.

Laporan yang dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruk Residen Cirebon ketika melaksanakan haji tahun 1893. Saat membeli tiket, Adiningrat - sang Residen, dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.” Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba. J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.

Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air. Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya. Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.

Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai. Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit. Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal : “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...”. Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.

Referensi : Imam Shofwan (11-2010)/Foto : republika.co.id

Pidato Obama di Universitas Indonesia

Presiden Amerika Barack Obama sekitar pukul 09.30 tadi pagi memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia. Kuliah umum di Balairung Universitas Indonesia tersebut dihadiri sekitar 6.000 orang dari berbagai kalangan. Berikut adalah pidato Presiden Obama yang disalin dari situs resmi gedung putih, whitehouse.gov :

Terima kasih. Terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih kepada semuanya. Selamat pagi. (saat mengucapkan kata-kata ini dalam bahasa Indonesia, Obama disambut tepuk tangan meriah). Merupakan hal ini yang indah dan menyenangkan berada di sini, di Universitas Indonesia. Kepada pihak fakultas, staf, dan mahasiswa, dan untuk Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, terima kasih banyak atas keramahan Anda. (lagi-lagi peserta kuliah umum bertepuk tangan). Assalamu Alaikum dan salam sejahtera. Terima kasih atas sambutan yang indah ini. Terima kasih kepada masyarakat Jakarta dan terima kasih kepada masyarakat Indonesia. Pulang kampung nih. (Diucapkan dalam Bahasa Indonesia, tepuk tangan bergemuruh lagi) Saya sangat senang karena saya berhasil kembali ke Indonesia dan Michelle bisa datang bersama saya. Kami sempat beberapa kali membatalkan kunjungan sejak awal tahun ini, tapi saya bertekad untuk mengunjungi negara yang sangat berarti bagi saya. Dan sayangnya, kunjungan ini terlalu singkat, tapi saya berharap bisa datang kembali tahun depan ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur. (Tepuk tangan)

Sebelum melanjutkan pidato ini, saya ingin mengajak semuanya untuk mendoakan warga Indonesia yang terkena dampak tsunami baru-baru ini dan letusan gunung berapi, terutama mereka yang telah kehilangan orang yang dicintai, dan mereka yang telah kehilangan segalanya. Dan saya ingin Anda semua tahu bahwa seperti biasa, Amerika Serikat akan berdiri berdampingan berdiri dengan Indonesia dalam menghadapi bencana ini. Dan kami akan senang hati membantu jika diperlukan. Sebagai tetangga, dan keluarga, pasti akan saling membantu sesama pengungsi. Saya tahu bahwa rakyat Indonesia memiliki kekuatan dan ketahanan untuk bisa melewati ini semua. Saya akan mulai sambutan ini dengan pernyataan sederhana: Indonesia bagan dari diri saya. (Tepuk tangan) Saya pertama kali datang ke negara ini ketika ibu saya menikah dengan seorang Indonesia bernama Lolo Soetoro. Dan sebagai anak muda, saya datang ke bagian dunia yang berbeda. Tetapi rakyat Indonesia dengan cepat membuat saya merasa berada di rumah sendiri.

Jakarta sekarang, tampak sangat berbeda dengan dulu. Kota ini penuh dengan bangunan tinggi. Pada tahun 1967, '68, sebagian besar dari Anda belum lahir (Obama mengucapkan ini sambil tertawa), Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi dan hanya ada satu department store besar bernama Sarinah. Itu dia. (Tepuk tangan) Becak dan bemo, bisa kita temukan dengan mudah di sekitar kita. Tidak ada jalan raya besar seperti yang Anda miliki saat ini. Kebanyakan dari mereka jalan di jalan beraspal dan kampung-kampung. Jadi kami pindah ke Menteng Dalam, dimana - (tepuk tangan) - hei, beberapa orang dari Menteng Dalam yang datang ke sini? (Tepuk tangan) Dan kami tinggal di sebuah rumah kecil. Kami memiliki pohon mangga di depan rumah. Dan saya belajar untuk mencintai Indonesia dengan menerbangkan layang-layang dan berjalan di sepanjang pematang sawah dan menangkap capung, membeli sate dan bakso dari pedagang kaki lima. (Tepuk tangan) Saya masih ingat teriakan dari penjualnya. Sate! (Tertawa) Saya ingat itu. Bakso! (Tertawa) Tapi sebagian besar dari semua, saya ingat orang-orang, - orang tua dan wanita yang menyambut kami dengan senyum, anak-anak yang membuat anak asing merasa seperti seorang tetangga dan seorang teman, dan guru yang membantu saya belajar tentang negara ini. Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, dan ratusan bahasa, dan orang-orang dari sejumlah daerah dan kelompok etnis, hal itu membantu saya ketika saya di sini, untuk menghargai hubungan antar manusia dan kemanusiaan dari semua orang. Dan ayah tiri saya, seperti sebagian besar orang Indonesia, dibesarkan oleh seorang Muslim, ia sangat yakin bahwa semua agama layak dihormati. Dan dengan cara ini - (tepuk tangan) - dengan cara ini ia mencerminkan semangat toleransi umat beragama yang diabadikan dalam konstitusi Indonesia, dan tetap menjadi salah satu karakteristik yang inspiratif. (Tepuk tangan).

Saya tinggal di sini selama empat tahun - waktu yang cukup membantu membentuk masa kecil saya. Ada waktu melihat kelahiran adik saya yang luar biasa, Maya, ada waktu yang membuat saya terkesan pada ibu saya karena dia terus kembali ke Indonesia selama 20 tahun berikutnya untuk hidup dan bekerja dan melakukan perjalanan - demi kecintaannya dengan berkesempatan mempromosikan berbagai hal di desa-desa di Indonesia, terutama kesempatan bagi perempuan dan anak-anak. Dan saya sangat tersanjung - (tepuk tangan) - Saya sangat tersanjung ketika Presiden Yudhoyono tadi malam saat makan malam, negara memberikan penghargaan atas nama ibuku, mengakui pekerjaan yang dia lakukan. Dan dia akan sangat bangga, karena ibu saya berpegang pada Indonesia dan sangat dekat dengan orang-orangnya, seumur hidupnya. (Tepuk tangan). Begitu banyak yang berubah dalam empat dasawarsa sejak saya naik pesawat untuk pindah kembali ke Hawaii. Jika Anda meminta saya - atau dari sekolahku saya yang mengenal saya saat itu - Saya tidak berpikir bahwa suatu hari nanti saya akan kembali ke Jakarta sebagai Presiden Amerika Serikat. (Tepuk tangan) Dan bisa berbagi kisah yang luar biasa dari Indonesia selama empat dekade terakhir.

Jakarta, seperti yang pernah saya kenal, telah tumbuh menjadi sebuah kota yang dipenuhi hampir 10 juta orang, dengan gedung pencakar langit seperti Hotel Indonesia, dan berkembang menjadi pusat budaya dan perdagangan. Sementara teman Indonesia saya, dan saya yang dulu berlari-lari dengan kerbau dan kambing - (tertawa) - generasi baru Indonesia termasuk yang paling aktif online di dunia - terhubung melalui telepon seluler dan jaringan sosial. Dan sementara Indonesia sebagai bangsa muda terfokus ke dalam, Indonesia yang berkembang saat ini memainkan peran kunci di Asia Pasifik dan di ekonomi global. (Tepuk tangan). Sekarang, perubahan ini juga meluas ke politik. Ketika ayah tiri saya masih kecil, ia melihat ayahnya sendiri dan kakak meninggalkan rumah untuk berjuang dan mati dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan aku senang berada di sini pada Hari Pahlawan untuk menghormati sejarah Indonesia yang telah begitu banyak berkorban untuk nama negara besar ini. (Tepuk tangan).

Ketika saya pindah ke Jakarta, tahun 1967, itu adalah masa-masa terjadinya penderitaan dan konflik besar di berbagai bagian negara ini. Dan meskipun ayah tiriku pernah bertugas di Angkatan Darat, kekerasan dan pembunuhan selama pergolakan politik di masa itu, sebagian besar tidak saya ketahui karena itu tak terucapkan oleh keluarga dan teman-teman Indonesia saya. Dalam rumah tangga saya, seperti begitu banyak orang lain di seluruh Indonesia, kenangan itu tak terlihat. Indonesia memiliki kemerdekaannya, tetapi seringkali mereka takut untuk berbicara dan mengeluarkan pikiran mereka tentang berbagai isu-isu. Pada tahun-tahun sejak waktu itu, Indonesia kini bisa melakukan transformasi demokratis yang luar biasa - dari aturan tangan besi menjadi rakyat yang berdaulat. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia telah menyaksikan dengan harapan dan kekaguman bahwa orang Indonesia berjalan dalam damai saat terjadi pengalihan kekuasaan dan pemilihan langsung pemimpin-pemimpin. Dan sebagaimana halnya sebuah demokrasi, Anda memilih presiden dan legislatif, demokrasi Anda ditopang oleh sebuah masyarakat sipil yang dinamis, partai politik, media massa, dan warga, bergerak bersama dan memastikan bahwa - di Indonesia - tidak akan ada berbalik dari demokrasi.

Bahkan di tanah muda saya ini, saya belajar untuk mencintai Indonesia - bahwa semangat toleransi yang ditulis ke dalam Konstitusi; dilambangkan di masjid-masjid dan gereja dan kuil-kuil yang berdiri berampingan satu sama lain; yang semangatnya terkandung pada Anda semua. (Tepuk tangan) Bhinneka Tunggal Ika - kesatuan dalam keragaman. (Tepuk tangan) Ini adalah dasar dari contoh Indonesia untuk dunia, dan ini mengapa Indonesia akan memainkan peranan penting dalam abad ke-21. Jadi hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai teman, tetapi juga sebagai seorang Presiden yang mencari kemitraan yang dalam dan kekal antara kedua negara kita. (Tepuk tangan) Karena negara-negara yang luas dan beragam; sebagai tetangga di kedua sisi Pasifik, dan di atas semua sebagai demokrasi - Amerika Serikat dan Indonesia terikat bersama oleh kepentingan bersama dan nilai-nilai bersama. Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya mengumumkan kemitraan komprehensif baru antara Amerika Serikat dan Indonesia. Kami meningkatkan hubungan antar pemerintah kita di berbagai daerah, dan - sama pentingnya - kita akan meningkatkan hubungan antara orang-orang kami. Ini adalah kemitraan yang setara, didasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati.

Jadi dengan sisa waktu saya hari ini, saya ingin berbicara tentang kisah Indonesia di hari-hari ketika saya tinggal di sini - sangat penting bagi Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Saya akan fokus pada tiga daerah yang terkait erat, dan fundamental untuk kemajuan manusia - pembangunan, demokrasi dan religi. Pertama, persahabatan antara Amerika Serikat dan Indonesia dapat memajukan kepentingan bersama dalam pembangunan. Ketika saya pindah ke Indonesia, itu akan sulit membayangkan masa depan di mana kesejahteraan keluarga di Chicago dan Jakarta akan dihubungkan. Tapi ekonomi kita sekarang global, dan Indonesia telah mengalami berbagai hal global: dari shock krisis keuangan Asia di 90, untuk mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan karena peningkatan perdagangan. Apa artinya - dan apa yang kita pelajari dalam krisis ekonomi baru-baru ini - adalah bahwa kita memiliki sumbangsih dalam keberhasilan masing-masing.

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia tumbuh dan berkembang, dengan kemakmuran yang secara luas dibagi di antara rakyat Indonesia - karena kelas menengah di Indonesia meningkat berarti pasar baru untuk barang-barang kami, seperti halnya Amerika merupakan pasar untuk barang-barang yang berasal dari Indonesia. Jadi kita berinvestasi lebih di Indonesia, dan ekspor kami telah tumbuh hampir 50 persen, dan kami membuka pintu bagi Amerika dan Indonesia untuk melakukan bisnis dengan satu sama lain. Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang memainkan peran yang sah dalam membentuk ekonomi global. Lewatlah sudah hari-hari ketika tujuh atau delapan negara akan datang bersama untuk menentukan arah pasar global. Itu sebabnya G20 sekarang menjadi pusat kerjasama ekonomi internasional, sehingga negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki suara lebih besar dan juga memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengarahkan ekonomi global. Dan melalui kepemimpinannya kelompok anti-korupsi G20, Indonesia harus memimpin di panggung dunia dan dengan contoh dalam merangkul transparansi dan akuntabilitas. (Tepuk tangan).

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang mengejar pembangunan berkelanjutan, karena cara kita tumbuh akan menentukan kualitas hidup kita dan kesehatan planet kita. Dan itulah sebabnya kami sedang mengembangkan teknologi energi bersih yang dapat kekuatan industri dan melestarikan sumber daya alam Indonesia yang berharga - dan Amerika menyambut kepemimpinan yang kuat di negara Anda dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim.

Di atas segalanya, Amerika memiliki kepentingan dalam keberhasilan masyarakat Indonesia. Di bawah berita utama hari itu, kita harus membangun jembatan antara orang-orang kami, karena keamanan masa depan kita dan kemakmuran bersama. Dan itu persis apa yang kita lakukan - dengan meningkatkan kerjasama antar para ilmuwan dan peneliti, dan dengan bekerja sama untuk mengembangkan kewirausahaan. Dan saya sangat senang bahwa kami telah berkomitmen untuk meningkatkan dua kali lipat jumlah mahasiswa Amerika dan mahasiswa Indonesia belajar di negara masing-masing. (Tepuk tangan) Kita ingin mahasiswa lebih banyak bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Amerika, dan kami ingin lebih banya siswa Amerika untuk datang belajar di negeri ini. (Tepuk tangan) Kami ingin menjalin kerja baru dan pemahaman yang lebih besar antara kaum muda di abad muda. Ini adalah isu-isu yang benar-benar penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Pengembangan, setelah semua, bukan hanya tentang tingkat pertumbuhan dan angka pada neraca. Ini tentang apakah seorang anak bisa belajar keterampilan yang mereka butuhkan untuk membuatnya hidup dalam dunia yang terus berubah. Ini tentang apakah ide yang bagus diperbolehkan untuk tumbuh menjadi bisnis, dan tidak dicekik oleh korupsi. Ini tentang apakah kekuatan-kekuatan yang mengubah Jakarta, saya pernah tahu - teknologi dan perdagangan dan aliran orang dan barang - dapat mengejawantah dalam kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk semua manusia, kehidupan yang ditandai oleh martabat dan kesempatan. Saat ini, pembangunan tidak terlepas dari peran demokrasi.

Saat ini, kita kadang-kadang mendengar bahwa demokrasi berjalan sejajar dengan kemajuan ekonomi. Ini bukan sebuah argumen baru. Khususnya dalam masa perubahan dan ketidakpastian ekonomi, beberapa orang akan berkata bahwa lebih mudah untuk mengambil jalan pintas untuk pembangunan dengan perdagangan jauh hak manusia untuk kekuasaan negara. Tapi bukan itu yang saya lihat di perjalanan saya ke India, dan itu tidak saya lihat di sini di Indonesia. prestasi Anda menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan memperkuat satu sama lain.

Amerika tidak berbeda. Konstitusi kita sendiri berbicara tentang upaya untuk menempa sebuah "persatuan yang sempurna," dan itu adalah perjalanan yang kami tempuh selama ini. Kami telah mengalami perang saudara dan kami berjuang untuk memperoleh hak yang sama bagi semua warga negara kita. Tapi justru upaya yang telah memungkinkan kita untuk menjadi lebih kuat dan lebih sejahtera, sementara juga menjadi lebih adil dan masyarakat yang lebih bebas. Seperti negara-negara lain yang muncul dari penjajahan pada abad lalu, Indonesia berjuang dan berkorban untuk menentukan nasib Anda. Hari Pahlawan adalah semua tentang - sebuah Indonesia yang dimiliki rakyat Indonesia. Tapi Anda juga yang akhirnya memutuskan bahwa kebebasan tidak berarti mengganti tangan yang kuat dari penjajah yang dengan kuat Anda sendiri. Tentu saja, demokrasi berantakan. Tidak semua orang menyukai hasil setiap pemilu. Namun itu adalah perjalanan yang berharga. Dibutuhkan lembaga-lembaga yang kuat untuk memeriksa kekuatan - konsentrasi kekuasaan. Dibutuhkan pasar terbuka untuk memungkinkan individu untuk berkembang. Dibutuhkan pers bebas dan sistem peradilan yang independen untuk membasmi pelanggaran, dan mendesak akuntabilitas. Dibutuhkan masyarakat yang terbuka dan warga yang aktif untuk menolak ketimpangan dan ketidakadilan.

Ini adalah kekuatan yang akan memajukan Indonesia. Dan dibutuhkan penolakan untuk mentolerir korupsi, sebuah komitmen terhadap transparansi dalam pemerintahan, dan keyakinan bahwa kebebasan orang Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat secara bersama-sama. Itu adalah pesan dari orang Indonesia yang sudah mahir cerita demokrasi - dari orang-orang yang berperang dalam Pertempuran Surabaya 55 tahun yang lalu hari ini, untuk para mahasiswa yang berunjuk rasa damai untuk demokrasi pada 1990-an, untuk para pemimpin yang telah melalui jalan damai dalam masa transisi kekuasaan di abad ini. Karena pada akhirnya, itu akan menjadi hak-hak warga negara yang akan menjahit bersama Nusantara yang luar biasa ini, yang membentang dari Sabang sampai Merauke, sebuah desakan - (tepuk tangan) - penekanan bahwa setiap anak yang lahir di negeri ini harus diperlakukan sama, apakah mereka datang dari Jawa atau Aceh; dari Bali atau Papua. (Tepuk tangan) Semua orang Indonesia mempunyai hak yang sama.

Upaya tersebut meluas ke contoh bahwa Indonesia sekarang berperan di luar negeri. Indonesia mengambil inisiatif untuk mendirikan Forum Demokrasi Bali, sebuah forum terbuka bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan praktek-praktek terbaik dalam mengembangkan demokrasi. Indonesia juga berada di garis depan mendorong untuk lebih memperhatikan hak asasi manusia di ASEAN. Negara-negara Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, dan Amerika Serikat akan sangat mendukung hak itu. Tetapi orang-orang Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri juga. Dan itulah mengapa kita mengutuk pemilu di Burma baru-baru ini yang tidak bebas dan adil. Itulah sebabnya kami mendukung pemberdayaan masyarakat sipil dalam bekerja dengan mitra di seluruh wilayah ini. Karena tidak ada alasan untuk berhenti menghormati hak asasi manusia dengan batasan-batasan negara manapun. Bergandengan tangan, adalah jalan membangun demokrasi dan nilai-nilai tertentu yang universal. Kemakmuran tanpa kebebasan hanya bentuk lain dari kemiskinan. Karena manusia adalah makhluk sosial - kebebasan Anda mengetahui bahwa pemimpin bertanggung jawab kepada Anda, dan bahwa Anda tidak akan dipenjara karena tidak setuju dengan mereka, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan untuk dapat bekerja dengan bermartabat, kebebasan untuk mempraktekkan iman anda tanpa rasa takut atau dihalang-halangi. Itu adalah nilai-nilai universal yang harus diperhatikan di mana-mana. Sekarang, agama adalah topik terakhir yang ingin saya bicarakan hari ini, dan - seperti demokrasi dan pembangunan - itu adalah hal fundamental di Indonesia.

Seperti negara-negara Asia lain yang saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia kental dengan spiritualitas - tempat di mana orang menyembah Allah dalam berbagai cara. Seiring dengan ini keragaman yang kaya, juga rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia - kebenaran yang saya kenal sebagai seorang anak ketika aku mendengar panggilan doa (azan) di penjuru Jakarta. Sama seperti individu yang tidak didefinisikan semata-mata oleh iman mereka, Indonesia didefinisikan oleh lebih dari populasi Muslim. Tapi kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat Muslim telah terbakar selama bertahun-tahun. Sebagai Presiden, saya telah membuat prioritas untuk mulai memperbaiki hubungan ini. (Tepuk tangan) Sebagai bagian dari upaya itu, saya pergi ke Kairo Juni lalu, dan saya menelepon untuk sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan umat Islam di seluruh dunia - satu yang membuat jalan bagi kita untuk bergerak melampaui perbedaan-perbedaan kita. Saya mengatakan hal itu, dan saya akan mengulangi sekarang, bahwa tidak ada satu pidato yang bisa membasmi ketidakpercayaan. Tapi saya percaya itu, dan saya percaya hari ini, bahwa kita memang memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk didefinisikan oleh perbedaan kami, dan menyerah pada kecurigaan dan ketidakpercayaan. Atau kita dapat memilih untuk bekerja keras dan berkomitmen untuk terus mengejar kemajuan. Dan saya bisa menjanjikan pada Anda - tidak peduli apa kemunduran mungkin datang, Amerika Serikat berkomitmen untuk kemajuan manusia. Itulah siapa kita. Itulah yang kami lakukan. Dan itulah yang akan kita lakukan. (Tepuk tangan).

Sekarang, kita tahu juga isu-isu yang telah menimbulkan ketegangan selama bertahun-tahun - dan ini adalah masalah yang saya bahas di Kairo. Dalam 17 bulan yang lalu sejak pidato itu, kami telah membuat beberapa kemajuan, tetapi kami memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Warga sipil di Amerika, di Indonesia dan seluruh dunia masih menjadi target pelaku kekerasan. Saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak, dan tidak akan pernah, berperang dengan Islam. Sebaliknya, kita semua harus bekerja sama untuk mengalahkan al Qaeda dan afiliasinya, yang tidak mengklaim menjadi pemimpin agama apapun --- pasti bukan yang besar, agama dunia seperti Islam. Tetapi mereka yang ingin membangun tidak boleh menyerahkan tanah untuk teroris yang berusaha untuk menghancurkan. Dan ini bukan tugas Amerika saja. Di sini di Indonesia, anda telah membuat kemajuan dalam membasmi ekstremis dan memerangi kekerasan tersebut. Di Afghanistan, kami terus bekerja dengan koalisi negara-negara untuk membangun kapasitas pemerintah Afghanistan untuk mengamankan masa depan dalam membangun perdamaian di negeri yang dilanda perang - damai yang tidak memberikan tempat yang aman bagi ekstremis kekerasan, dan yang memberi harapan bagi rakyat Afghanistan.

Sementara itu, kami telah membuat kemajuan pada salah satu komitmen utama kami - upaya kami untuk mengakhiri perang di Irak. Hampir 100.000 pasukan Amerika sekarang meninggalkan Irak, sejak saya menjadi presiden. (Tepuk tangan) Irak telah mengambil tanggung jawab penuh atas keamanan mereka. Dan kami akan terus mendukung Irak untuk membentuk pemerintahan inklusif, dan kami akan membawa pulang semua tentara kami. Di Timur Tengah, kita menghadapi pasang surut perdamaian, tapi kami akan tetap gigih pengupayakan perdamaian. Israel dan Palestina memulai kembali pembicaraan tetapi tetap ada hambatan. Seharusnya tidak ada hayalan bahwa perdamaian dan keamanan akan datang dengan mudah. Tapi bila ada keraguan: Amerika tidak akan mengampuni upaya untuk hasil yang adil, dan itu adalah demi kepentingan semua pihak yang terlibat - dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan keamanan. Itu adalah tujuan kami. (Tepuk tangan). Taruhannya tinggi dalam menyelesaikan semua masalah ini. Untuk dunia kita telah tumbuh lebih kecil, dan sedangkan kekuatan yang menghubungkan kita telah melepaskan kesempatan dan kekayaan besar, mereka juga memberdayakan orang-orang yang berusaha untuk menggelincirkan kemajuan. Satu bom di pasar bisa melenyapkan hiruk pikuk perdagangan harian. Satu rumor berbisik dapat mengaburkan kebenaran dan menimbulkan kekerasan antara masyarakat yang pernah hidup bersama dalam damai. Di zaman yang serba cepat dan perubahan budaya bertabrakan, apa yang kita miliki sebagai umat manusia terkadang bisa hilang.

Tapi saya percaya bahwa sejarah baik Amerika dan Indonesia harus memberi kita harapan. Ini adalah cerita yang ditulis ke dalam motto nasional kita. Di Amerika Serikat, moto kami adalah E Pluribus Unum - berbeda/plural tapi satu. Bhinneka Tunggal Ika - bersatu dalam keragaman. (Tepuk tangan) Kami adalah dua bangsa, yang memiliki jalan yang berbeda. Namun bangsa kita menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki keyakinan berbeda dapat bersatu dalam kebebasan di bawah satu bendera. Dan kita sekarang membangun kemanusiaan bersama - melalui orang-orang muda yang akan belajar di sekolah masing-masing, melalui pengusaha yang dapat mendatangkan kesejahteraan yang lebih besar, dan melalui kami merangkul nilai-nilai demokrasi yang fundamental dan aspirasi manusia. Sebelum saya datang ke sini, saya mengunjungi masjid Istiqlal - tempat ibadah yang masih dalam pembangunan ketika saya tinggal di Jakarta. Dan saya mengagumi menara yang membumbung tinggi dan kubah yang mengesankan dan ruang ramah. Tapi nama dan sejarah juga berbicara dengan apa yang membuat Indonesia hebat. Istiqlal berarti kemerdekaan, dan konstruksi yang berada di bagian bukti perjuangan bangsa untuk kebebasan. Selain itu, rumah ibadah bagi ribuan Muslim dirancang oleh arsitek Kristen. (Tepuk tangan). Tempat tersebut adalah roh Indonesia. Tempat tersebut adalah pesan filsafat inklusif Indonesia, Pancasila. (Tepuk tangan) Di negara kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Allah yang paling indah, pulau di atas samudra bernama perdamaian, orang memilih untuk menyembah Allah sesuka mereka. Islam berkembang, tetapi begitu juga agama lain. Pembangunan diperkuat oleh demokrasil. Tradisi kuno bertahan, bahkan meningkat.

Itu tidak berarti bahwa Indonesia adalah tanpa ketidaksempurnaan. Tidak ada negara yang sempurna. Tetapi di sini kita bisa menemukan kemampuan untuk menjembatani berbagai ras dan wilayah dan agama - dengan kemampuan untuk melihat diri Anda pada orang lain. Sebagai anak dari ras yang berbeda yang datang ke sini dari sebuah negeri yang jauh, saya menemukan semangat dalam sambutannya yang saya terima pada saat pindah ke sini: Selamat Datang. Sebagai seorang Kristen mengunjungi sebuah masjid pada kunjungan kali ini, saya menemukan itu dalam kata-kata seorang pemimpin yang bertanya tentang kunjungan saya dan berkata, "Muslim juga diperbolehkan dalam gereja. Kami adalah pengikut semua Tuhan. " Cahaya ilahi ada dalam kehidupan kita masing-masing. Kita tidak bisa menyerah pada keraguan atau rasa sinis atau putus asa. Cerita dari Indonesia dan Amerika seharusnya membuat kita optimis, karena hal itu mengingatkan kita bahwa sejarah, di samping memajukan manusia, mempererat persatuan dari berbagai bidang, dan bahwa orang di dunia ini dapat hidup bersama dalam damai. Kami, dua negara, akan bekerja sama, dengan iman dan tekad, berbagi kebenaran dengan seluruh umat manusia. Sebagai Penutup saya, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: Terima kasih atas...terima kasih. Assalamualaikum. (kalimat ini semuanya diucapkan dalam Bahasa Indonesia) Thank You.

Sabtu, 20 November 2010

"Tukang Pajak" Gayus Halomoan Tambunan

Oleh : Muhammad Ilham

" ... defenisi koruptor, yaitu bila dibawa ke mulut ia akan terasa amat pahit, dimasukkan ke perut, akan membuat sembelit ... "

Kala menidurkan anaknya, pada masa dulu, ibu sering "mendodoikan" anaknya. Biasanya dalam bentuk kisah yang sedikit dinyanyikan, walaupun dengan nada "fals". Saya masih ingat, ketika adik saya yang paling kecil, didodoikan almarhumah ibu saya - biasa juga dengan istilah "didendangkan" - maka yang paling sering saya dengar adalah : "ondeh anak sibiran tulang, bilo lah gadang, jan lupo sumbayang, bilo bakarajo, jujur lah kapado urang lain, bilo ingin kayo, jadilah padagang" (wahai anak, anak nan tersayang, bila kamu sudah besar, jangan lupa sholat, bila bekerja, bekerjalah dengan jujur, dan bila ingin kaya, jadilah pedagang). Ya ... orang tua kita dahulu memahami, berdagang dan berniaga adalah "jalan" logis untuk menjadi kaya. Tak pernah sekalipun orang tua - sejauh yang saya alami kala kecil - menginginkan anaknya miskin, dan tak terdengar orang tua menginginkan anaknya jadi Pegawai Negeri (ambeetenaar kata umak saya). Mereka ingin anaknya kaya, dan jalan itu hanya diperoleh melalui berdagang. Walaupun, Pegawai Negeri merupakan profesi bonafid-elitis, setidaknya bagi masyarakat kampung saya dari dulu hingga sekarang, tapi bagi orang tua dahulu, Pegawai Negeri tak akan pernah membuat anaknya menjadi kaya. Gajinya terukur (ditaka : istilah kampung saya), sementara berdagang, bila pandai, keuntungan akan berlipat ganda (dikunci dengan jujur). Tapi, di Indonesia, Pegawai Negeri bisa kaya-raya-luar biasa. Kalau tak percaya, lihatlah Gayus Halomoan Tambunan.

Gayus Tambunan, pegawai negeri golongan III A di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu), yang baru bekerja selama 10 tahun, ternyata memiliki simpanan uang hampir (tidak kecil kemungkinan) lebih dari Rp 100 miliar di rekeningnya. Tak terbayangkan, mungkin tumpukan uang itu bisa dijadikan springbed. Gaji dan honor Gayus Rp 12,1 juta. Uang Rp 100 miliar di rekening Gayus sama dengan gajinya untuk bekerja selama 1.192,8 tahun! Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini, kekayaan yang dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelang Pilpres 2009 hanya Rp 7 miliar ! Kekayaan Gayus Tambunan memang sungguh mencengangkan. Stroke kita mendengarnya, kata tetangga saya yang telah bekerja sebagai Pegawai PT. Kereta Api selama 30 tahun, dan tak mampu beli Sepeda Motor Mio yang diidam-idamkan anaknya. Seluk-beluk korupsi yang dilakukan Gayus terkait dengan “budaya instan” yang melanda sebagian pegawai negeri sipil serta pegawai di instansi pemerintah lain yang ingin cepat kaya.

Lantaran kemiskinan yang mereka derita selama ini, tidak sedikit generasi muda pegawai negeri sipil yang terjangkit penyakit “ingin cepat kaya” dengan cara apa pun. Jika itu mereka lakukan melalui cara-cara halal seperti berbisnis atau melipatgandakan uang melalui reksa dana, hal itu merupakan suatu yang wajar walau tidak mungkin dalam 10 tahun seorang pegawai negeri bisa memiliki kekayaan Rp 100 miliar. Alih-alih mereka berusaha meningkatkan kualitas diri dan mengikuti jalur tingkatan jabatan melalui pendidikan dan pengalaman kerja, pegawai negeri sipil semacam Gayus justru melihat kesempatan emas menjadi kaya karena posisinya yang strategis di Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Dulu sering kita mendengar dan melihat di beberapa media televisi, bagaimana orang-orang yang bekerja di direktorat tersebut karena secara berapi-api mereka amat pro pada wajib pajak yang katanya terlalu besar membayar pajaknya kepada negara. Kini penulis baru terbuka matanya, bahwa apa yang mereka lakukan tidak semuanya bersifat “altruism” (tanpa pamrih), melainkan “ada udang di balik batu”.

Yang terungkap pada kasus Gayus mungkin hanyalah puncak gunung es. Masih banyak lagi “Gayus-Gayus lain” yang mungkin korupsinya lebih besar atau lebih kecil (tapi bila dibandingkan dengan "hepeng" Gayus, tetap tak kecil). Tak aneh bila kasus ini menjadi guyonan pula di antara teman-teman penulis dengan kalimat : “Kalau orang gak suka bergaul namanya gak gaul. Kalau orang yang sudah lama kerja tapi gak kaya-kaya seperti kamu dan aku, namanya gak Gayus!” Alangkah baiknya jika persoalan korupsi di Ditjen Pajak ini bukan melulu dilihat dari kacamata remunerasi akibat dari reformasi birokrasi di pemerintahan, melainkan juga dari sisi psikologi orang yang bekerja di direktorat tersebut. Selain persoalan “budaya instan” tersebut, ada pula budaya “solider” dalam artian yang negatif. Maksudnya, mereka melakukan itu karena rasa solidaritas sesama pegawai yang kemudian dibagi-bagi kepada sesamanya atau di direktorat lain yang “kering” atau mereka takut dikucilkan oleh teman-temannya karena dianggap tidak solider dan “sok suci”. Negeri ini memang lucu, orang yang suci dan ingin berbuat kebajikan untuk negara kadang justru diasingkan oleh lingkungannya. Penulis yakin tidak sedikit dari mereka yang bekerja di Ditjen Pajak adalah orang-orang yang jujur. Namun nasib mereka justru tidak sebaik orang seperti Gayus, baik dari segi ekonomi, posisi jabatan maupun wilayah kerja. Gayus yang sudah tertangkap basah karena diduga melakukan korupsi dapat saja menjadi pahlawan dalam artian positif. Ia dapat saja membuka segala ketidakberesan yang terjadi di lingkungan tempatnya bekerja demi membersihkan bekas institusinya. Memang dia akan dianggap tidak solider oleh kawan atau atasannya..... Wallahu a'lam !

Foto : FB Muhammad Ilham via NVV.

Dunia Masih Menanti Cerita-mu !

Oleh : Muhammad Ilham

"Verba vallent, scripta mannent ..... pembicaraan akan mudah hilang, sementara tulisan akan tetap abadi .. !".

Sekarang, kata Steven Hannard dalam bukunya yang bertitelkan "Post Guttenberg Galaxy : The Fourth Revolution in Means of Production of Knowledge", seluruh pendukung konstruksi pengetahuan seperti telepon, telegraf dan tulisan serta faximile-fotocopy, menyatu dalam suatu eksplosi yang merupakan big bang kedua (big bang pertama adalah ditemukannya tulisan). Big Bang kedua tersebut adalah internet. Internet, lengkap dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel dan didukung oleh jaringan telepon-telefoni yang telah ada dan juga didukung oleh ratusan satelit di "diluar sana". Ummat manusia dalam tahap revolusi ini, dapat berinteraksi oral maupun dengan teks dengan sangat interaktif, keseluruh penjuru-penghujung-sudut dunia ini, tanpa sedikitpun kehilangan interaktifitasnya maupun "sense of live"nya. Alangkah ruginya, bila manusia tidak memanfaatkan kelebihan capaian otak umat manusia ini. Manusia sebenarnya, kata Steven Hannard, diberi kemudahan untuk mengabadikan "isi otaknya" dalam bentuk teks, yang tidak dirasakan oleh manusia dahulu, dan men-share-kannya kepada orang lain.

Sebuah teks atau tulisan dapat menjadikan penulisnya terus hidup diantara umat manusia walaupun jasadnya sudah berkalang tanah. Ia bisa menjadi penambah amal atau bisa menjadi pengundang dosa yang tiada berkesudahan. Lihatlah buku-buku dan tulisan-tulisan itu tetap hidup dan mampu untuk terus berbicara walau sang penulis sedang diam, atau bahkan telah mati sekalipun. Ide yang dibawa diterima oleh banyak manusia dan menjadi titik sentuh yang sangat kuat bagi banyak orang. Dunia masih terus menyaksikan, betapa Kitab Shahih yang disusun oleh Imam Bukhari telah menjadi landasan kokoh kedua terkuat dalam Islam setelah Al-Quran. Imam Bukhari menghabiskan waktu 16 tahun untuk menyusun koleksi ini dan menghasilkan 2.602 hadits dalam kitabnya (9.802 dengan perulangan). Dunia tak akan lupa, diawali dengan buku Der Judenstaat (Negara Yahudi) yang diterbitkan tahun 1896, Hertzl memaparkan visinya tentang negara masa depan Yahudi. Tahun berikutnya ia kemudian mengetuai Kongres Zionis Dunia pertama mendirikan gerakan politik Zionisme yang bertujuan mendirikan negara Yahudi di Tanah Palestina, dan hingga saat ini melahirkan negara Israel yang bergerak membabi buta lakukan pembantaian. Dunia masih saja bercerita, betapa buku Das Kapital yang membahas teori ekonomi politik secara mendalam dan ditulis oleh Karl Marx dalam bahasa Jerman, menjadi landasan teori kapitalis. Buku ini juga merupakan suatu analisis kritis terhadap kapitalisme dan aplikasi praktisnya dalam ekonomi, serta kritik terhadap teori-teori lainnya. Jilid pertamanya diterbitkan pada 1867.

Mungkin kita masih ingat dengan apa yang dikatakan oleh sastrawan pemenang Magsaysay Award, Pramodya Ananta Toer, "orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”
. Teruslah menulis, dan tuangkan ide dalam tulisan. Tinggal pilih, apakah kita akan menyerukan kebaikan, atau terus menerus berteriak melantangkan keburukan. Dan dunia pun masih menanti, apa cerita tentang dirimu dan diriku di masa depan nanti.
(/untuk seorang sahabat/)

Referensi : D. Mahayana (1999) & M. Buana (kompasiana/Agustus 2010)

Jumat, 19 November 2010

Pahlawan Sipil dan Pahlawan Militer, Jelas Beda Dong !!

Oleh : Muhammad Ilham

Pernah suatu ketika, sekitar satu-dua tahun yang lalu, seorang dokter perempuan meninggal di pedalaman Papua. Dokter ini baru pulang menjalankan tugasnya menolong seorang perempuan yang melahirkan. Jarak antara rumah dinasnya di sebuah ibu kota kecamatan dengan rumah perempuan yang mau melahirkan tersebut sekitar 5 jam dengan kendaraan. Tentunya pengertian 5 jam tersebut bukan dalam pemahaman jalan yang dilalui di perkotaan atau daerah yang tidak terisolir. Si dokter perempuan yang masih muda ini harus melalui jalan terjal nan buruk. Ini sebenarnya telah sering dilaluinya, melayani lapisan masyarakat, baik yang berdomisili di daerah-daerah yang mudah dijangkau maupun harus melalui "perjuangan" keras menunju sebuah daerah yang membutuhkannya. Ini dilakoninya setelah ia ditetapkan untuk mengabdi di daerah Papua. Kembali ke cerita awal tadi, setelah menolong perempuan di sebuah daerah terisolir di pedalaman Papua, si dokter ini kemudian pulang. Melalui jalan terjal dengan estimasi waktu, lebih kurang 5 jam. Di tengah perjalanan, mungkin karena letih, dokter yang belum bersuami ini, bersama dengan mobil yang dikendarai-nya masuk jurang. Ia meninggal. Beberapa hari kemudian, berbagai media televisi dan cetak mengabadikan keluhurannya dalam menjalankan tugasnya, tepatnya tugas negara. Sebagai abdi negara melayani masyarakat. Ending-nya begitu inspiratif. Sebuah dedikasi yang tulus lagi militan. Si Dokter muda nan cantik ini, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (saya lupa, apa nama TPU-nya).

Beberapa minggu selang kemudian, seorang prajurit TNI meninggal dalam sebuah latihan menerbangkan pesawat/jet tempur. Pesawat yang diterbangkannya, mungkin karena soak, jatuh. Si prajurit muda ini kemudian meninggal di tempat (artinya, meninggal setelah menghantam daratan). Sebagaimana biasa, beberapa media televisi kemudian memberitakan peristiwa tragis ini. Prajurit muda ini meninggal dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara, latihan menerbangkan pesawat/jet tempur. Saya merasakan, porsi pemberitaan antara kematian dokter muda dan prajurit muda ini relatif seimbang. Tapi ada yang cukup berbeda. Si dokter muda yang meninggal sebagai abdi negara, dimakamkan di TPU, sementara prajurit (pasti militer) ini dimakamkan di Taman Pahlawan (saya lagi-lagi lupa, di Taman Makam Pahlawan mana ia dimakamkan).

Mayoritas Pahlawan berasal dari kalangan militer. Taman Makam Pahlawan Kalibata, misalnya, "dihuni" oleh lebih kurang sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya, lebih kurang, berasal dari kalangan militer. Ini-pun didominasi Angkatan Darat. Dari kalangan sipil hanya berjumlah 1/7-nya. Di antara 1/7 dari kalangan sipil ini, hanya 23 orang yang merupakan Pahlawan Nasional, diantaranya Haji Agus Salim. Di Taman Pahlawan Kalibata ini pula, bersemayam pahlawan "tercepat", yaitu Jenderal Basuki Rahmad (yang kala saya belajar PSPB waktu SD dahulu dianggap sebagai orang yang "menggertak" Sukarno mengeluarkan Supersemar bersama-sama dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Yusuf). Jenderal Basuki Rahmad dinyatakan Soeharto sebagai pahlawan pada hari kematiannya. Pada era Demokrasi Terpimpin, 36 orang dari 49 pahlawan berasal dari ernis Jawa. Pada masa Orde Baru, dua pahlawan yang "terdorong" diberi label pahlawan oleh rezim Soekarno yaitu Alimin dan Tan Malaka, justru "dicekal". Nama mereka berdua yang dianggap tokoh "kiri" ini tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah-sekolah. Dan biasanya, para pahlawan yang sering terlihat gagah dalam buku ini adalah pahlawan-pahlawan dengan baju-baju militer (khususnya Angkatan Darat).

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hingga hari ini (setahu saya), belum diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY).

Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer. Dan si dokter muda yang dedikatif didaerah pedalaman Papua, meninggal karena menjalankan tugas negara dan kemanusiaan, "belum pantas" mendapatkan "kapling" di Taman Makam Pahlawan, karena ia sipil. Titik.

Referensi - Asvi Warman Adam (2006)

Kamis, 18 November 2010

Sejarah Inspiratif, bukan Apologia : "Dari Peradaban Islam Masa Lalu"

Oleh : Muhammad Ilham

Mempelajari mengapa "masa dulu" itu bisa sedemikian maju. Bukan, selalu "berfantasi" dan ber-apologia bahwa kita pernah memiliki "masa dulu". Kalau hanya sebatas ini, lebih baik kita menjadi fosil.

Bukan apologia, tapi sejarah "sepakat", bahwa pada abad ke-12 M., Eropa mulai belajar dari peradaban Islam. Tercatat, beberapa nama tokoh Eropa masa itu, menjadi "murid intelektual" peradaban Islam sebutlah seperti pendeta terkenal Gerbert d'Aurillac yang kemudian menjadi Paus. Lalu ada nama Adelard of Bath yang kemudian mempelopori gerakan keilmuan di Inggris. Ia dianggap sebagai ilmuan Inggris pertama, menterjemahkan buku matematika Al-Khawarizmi. Lalu ada Gerard of Cremoda yang menterjemahkan buku astronomi karya Al-Zarqaly, yang kemudian menjadi karya astronomi paling akurat Eropa masa itu. Lalu siapa yang tak kenal dengan Ibnu Khaldun. Tak hanya dikenal sebagai ahli sejarah dunia dan sosiologi, ia juga tajam dalam analisa ekonomi. Muqaddimah menjadi salah satu "mahakarya"nya yang selalu jadi sebutan hingga sekarang. Tak salah, jika kemudian Adam Smith, sang Bapak Kapitalisme dunia dalam bukunya yang (asli) menjadi "kitab suci para kaum kapitalis", Nation of Wealth mencantumkan Ibnu Khaldun sebagai inspirator. Lalu pandanglah angka "Nol". Angka ini memiliki daya "pembeda" signifikan dalam deretan dan kumpulan angka-angka. Siapa penemunya ?. Ada yang mengatakan, angka Nol ditemukan tradisi-peradaban lembah Sungai Indus India. Tapi, mayoritas ahli sejarah Eropa dan dunia mengakui bahwa angka Nol merupakan kreasi dari ahli matematika muslim, Al-Khawarizmi namanya. Di gerbang masuk Universitas Paris Perancis, terpahat nama dan wajah Ibnu Sina. Karyanya Al-Qanun (the Cannon) menjadi rujukan kedokteran dunia hampir 700 tahun lamanya.

Bila abad 21 M. ini, orang mengenal Harvard, Cambridge, MIT, Sorbonne dan Stanford sebagai pusat/univesitas ternama di planet bumi nan bulat ini, maka pada beberapa abad yang lalu, dunia mengenal tradisi peradaban Islam Damaskus (Dinasti Umayyah), Baghdad (Dinasti Abbasiyah) dan tradisi Islam Spanyol (Cordoba) sebagai "avant garde". Dinasti Abbasiyah menyulap Baghdad menjadi menjadi metropolis dunia, lalu di Spanyol, Cordoba, Toledo dan Malaga menjadi Cahaya Paeradaban Eropa. Henry Lucas, sejarawan Eropa klasik mengatakan bahwa kekhalifahan Abbasiyah barangkali merupakan periode yang makmur dalam sejarah ummat manusia pada masa itu. Baghdad tak hanya menjadi cahaya ilmu, tapi juga pusat perekonomian. Kota yang diapit Sungai Eufrat dan Tigris ini menjadi penghubung pusat-pusat ekonomi lainnya. baghdad bak pemilik Jalur Sutera (silk road). Baghdad, Bashrah dan Iskandariyah di Mesir seperti Tokyo, New York dan London di zaman sekarang.(ni kata Lucas, bukan kata saya). Mereka mengembangkan kertas dari China, berdagang sampai ke Nusantara, membangun industri dan pertanian.

Sementara Islam di Andalusia-pun ilmiah. Saking cintanya dengan ilmu, salah seorang khalifahnya, Al Hakam II, memiliki perpustakaan pribadi 400.000 koleksi buku (belum apa-apa dibandingkan dengan perpustakaan Hassanal Bolkiah yang kaya raya itu apatah lagi dibandingkan dengan perpustakaan pribadi Obama atau SBY). Pada masanya, Cordoba maju pesat. Kertas dan buku merupakan salah satu kunci kemajuannya. Dari peradaban Cordoba inilah kemudian lahir ilmuan besar seperti Ibnu Rusyd yang ahli filsafat, An-Nafis si penemu sirkulasi darah, Ibnu Haitam yang dikenal sebagai bapak optik, Ar-Razi penemu cacar, Al-Farabi si ahli musik, Al-Battani yang pakar astronomi, Ibnu Batuta penjelajah dunia dan ahli geografi, dan mungkin begitu banyak lagi yang pantas untuk diketengahkan. Marshal GS. Hodgson beserta William M. Watt, pernah menginventarisir nama-nama ilmuan yang berasal dari tradisi peradaban Islam klasik yang hingga hari ini, nama mereka masih dirujuk dan disebut oleh kalangan ilmuan dalam bidang mereka masing-masing. Peter Jenning, dalam bukunya yang terkenal - "Beauty of Learning" - secara terbuka mengakui peradaban Islam "masa dulu" memiliki potensi besar bagi pencerahan dan kemajuan ummat manusia. Sebuah pengakuan yang berbasis data dan tentunya, tulus. Tapi ada yang cukup membuat kita termenung, "masa dulu". Hanya "masa dulu". Cerita manis diatas-pun juga "masa dulu". Biarlah itu menjadi masa lalu. Tugas kita sekarang, terutama umat Islam masa kini, untuk me-renaisance-kan peradaban. Sebetapapun kecil yang bisa kita lakukan. Mempelajari mengapa "masa dulu" itu bisa sedemikian maju. Bukan, selalu "berfantasi" dan ber-apologia bahwa kita pernah memiliki "masa dulu". Kalau hanya sebatas ini, lebih baik kita menjadi fosil.

:: (artikel lengkap telah diterbitkan dalam Jurnal KHAZANAH Vol. I/Nomor 3 : Januari-Juni 2010)

Kitab dibantah Kitab, Mengharumkan Tradisi Tulis

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

/orang lain merampas bunga/biarlah aku memetik kuntum .. !!

"Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas-merdeka" (Mohammad Hatta)

Teringat kita dengan ucapan Syekh Muhammad Djamil Djambek : Kitab dibantah dengan kitab. Dan itu ia kemukakan pada akhir kolonial Belanda bercokol di nusantara. Sebuah "sikap" intelektual yang sangat inspiratif. Ulama "modernis" Minangkabau ini ingin mengajarkan bahwa tradisi tulis harus terus ditumbuhkembangkan. Sebetapapun sebuah tulisan sungguh menyakitkan, harus dibalas dengan tulisan. Buku versus buku. Karena ini pulalah mungkin, penyair Kahlil Gibran suatu ketika pernah berkata, "Jangan kau tangisi hilangnya harus mawar di taman, tapi tangisilah kehilangan tradisi menanam mawar itu". Bukan harumnya, tapi tradisi untuk menciptakan keharuman itu. Dari mana datangnya harum, bila kita tak menanam sumber harum tersebut ?. Indonesia, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku.

Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini : "Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas." Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936. Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer. Bukti konkrit dari kutipan Hatta itu bisa kita temukan dalam buku Alam Pikiran Yunani. Buku itu ditulis selama pembuangan Hatta di Digul yang berlanjut di Ende. Hatta memang memutuskan untuk menghabiskan waktu pembuangannya dengan melakukan studi mendalam ihwal filsafat Yunani klasik. Untuk keperluan itu, Hatta meminta bantuan kawan-kawannya di Batavia untuk mengirimkan buku-buku yang ia butuhkan yang sudah ia kumpulkan sedari ia sendiri masih berada di Belanda. Tiga peti besar datang sewaktu Hatta sedang berada di Digul. Satu peti buku menyusul sewaktu Hatta sudah berada di pulau Ende.

Bagi para intelektual yang banyak melakukan aktivitas politik, pengasingan justru menjadi momentum terbaik untuk lebih memerkaya batin dan memertajam perspektif. Bagi orang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Gramsci hingga Jamaluddin al-Afghani, pengasingan dan pemenjaraan dihayati tak ubahnya sebagai laku yogi. Laiknya seorang empu keris, waktu yang lapang, tenaga yang penuh dan laku batin yang khidmat, digunakan untuk menempa-lipat bahan baku keris yang beratnya puluhan kilo menjadi keris yang siap pakai dengan bobot hanya ratusan gram saja. Penjara, dengan menggunakan analogi empu keris, adalah tempat terbaik bagi para intelektual untuk menempa-lipat bahan baku yang dimilikinya untuk dijadikan ratusan helai tulisan yang punya pamor cemerlang. Maka, begitu kurun pengasingan itu usai terlewati, ketajaman perspektif, kedalaman batin serta kekukuhan keyakinan menjadi modal berharga untuk melanjutkan jalan hidup yang dengan sesadarnya diabdikan untuk hidup dan kehidupan banyak orang. Bersamaan dengan Hatta menulis Alam Pikiran Yunani, Sjahrir dari hari ke hari menuliskan catatan ihwal banyak pokok yang ia minati, dari soal kebudayaan, politik, seni, kesusastraan, psikologi massa hingga ekonomi politik. Catatan-catatan itu ia kirimkan dalam bentuk surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau. Surat-surat inilah yang kelak terbit dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul Rantau dan Perjuangan yang diterjemahkan oleh HB Jassin dan dikatapengantari oleh Charles Wolf Jr.). Saya tidak ragu untuk menyebut karya ini sebagai salah satu renungan kebudayaan cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini dipenuhi oleh refleksi dan komentar Sjahrir atas pelbagai gagasan kebudayaan yang serius. Kita akan menjumpai bagaimana Sjahrir membelejeti pokok pikiran sekaligus kepribadian Johan Huizinga dengan Ortega y Gasset. Berkali-kali Sjahrir bercerita bagaimana impresinya atas karya-karya Nietzsche, Dante, Dostoyevski hingga Benedotte Croce. Sjahrir mampu menjelaskan seperti apa "hubungan darah" antara satu filsuf dengan filsuf yang lain.

Dari pembacaan yang lebih detail ketimbang sebelumnya, Sjahrir lebih punya kecenderungan memihak pragmatisme yang menjadi khas pemikiran di Britania Raya ketimbang rasionalisme Prancis atau romantisme Jerman. Sjahrir memang lebih dekat dengan Julian Huxley, John Stuart Mill atau Gustav Meyer dari Britania ketimbang Kant, Hegel, dan Goethe dari Jerman atau Andre Malraux dan Rosseau dari Prancis. Orang yang sama ini pula yang dalam pekik perang kemerdekaan, persis saat pertempuran 10 November di Surabaya baru saja dimulai, masih sempat-sempatnya menerbitkan buku yang berjudul Perjuangan Kita. Perjuangan Kita memang buku yang relatif tipis, tapi ini bukan buku sembarangan. Beberapa karib dekat Sjahrir menyebut pamflet itu menunjukkan cara berpikir Sjahrir yang ternyata begitu dekat dengan Mao Tse Tung sehingga bahkan ada yang berpikir kalau dua orang itu sempat bertemu. Franklin Weinstein, sarjana Amerika yang menulis disertasi seputar kaum elit Indonesia, menyebut Perjoeangan Kita sering dibandingkan dengan On New Democracy-nya Mao dan bahkan rakyat di dunia komunis menerima Perjoeangan Kita sebagai sumbangan yang setaraf dengan sumbangan Mao. Seorang sejarawan yang mengkaji politik Indonesia pasca proklamasi nyaris mustahil melewatkan Perjuangan Kita. Pamflet politik Sjahrir ini amat membantu menjelaskan bagaimana garis perjuangan Republik menghadapi tekanan politik, ekonomi dan militer Belanda yang berniat kembali menduduki koloni terbesarnya ini.

Sejumlah ilmuwan yang mengkaji politik Indonesia pada periode 1945-1949, semisal Ben Anderson dan George Kahin, punya kesimpulan yang nyaris sama kendati dengan impresi yang berbeda, Perjuangan untuk keluar dari jepitan Belanda nyaris sepenuhnya bergerak di sepanjang garis yang dirumuskan Perjuangan Kita. Buku Perjuangan Kita inilah yang memaksa seorang penulis tangguh lainnya untuk menulis dan menerbitkan buku tandingan berjudul Moeslihat. Penulisnya adalah Tan Malaka. Tan Malaka, saya kira, harus masuk dalam deret teratas para penulis Indonesia yang paling tangguh dan prolifik. Produktivitas dan stamina orang ini betul-betul tanpa tanding. Saya bahkan berani bilang, hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tak akan pernah mampu membuatnya berhenti menulis. Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog. Tan Malaka menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa buku-buku acuan, yang seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dan dalam persembunyian penuh marabahaya yang memaksanya menulis Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil. Madilog adalah suara modern dari seorang Asia, seorang Timur, yang juga diperuntukkan bagi bangsa Asia, bangsa Timur, persisnya bangsa dan rakyat Indonesia yang masih diselimuti pola pikir mitis dan irasional. Madilog berbicara nyaris tentang semua aspek kehidupan, dari mulai filsafat, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, sejarah hingga sains modern, yang meliputi dari matematika, kimia, fisika hingga astronomi. Dengan menulis Madilog, tampak benar betapa Tan Malaka sedang berambisi menguraikan keyakinan filsafat, politik dan ideologisnya secara terus terang, terbuka, dan komprehensif. Ini pekerjaan yang tak sepele dan terbilang langka dalam tradisi intelektual Indonesia.

Sejarah Indonesia juga mengenal kisah buku yang tragis dari seorang Amir Sjarifuddin. Amir adalah Perdana Menteri kedua dalam sejarah Indonesia. Dia naik sebagai Perdana Menteri menggantikan Soetan Sjahrir. Amir bukan orang baru dalam pergerakan nasional. Namanya sudah meroket sejak ia aktf di Gerindo. Dia ikut aktif membangun gerakan anti-Jepang pada masa Jepang sendiri sedang berkuasa di Indonesia. Sayangnya Amir tertangkap dan divonis mati oleh pengadilan militer Jepang. Hanya atas intervensi Soekarno dan Hatta sajalah Amir diampuni. Sebagai Perdana Menteri Amir tak banyak berbuat. Perundingan Renville memaksa dirinya lengser dari kekuasaan. Sejak itulah Amir makin bergerak ke "kiri", terutama setelah Moesso datang kembali ke Indonesia pada Agustus 1945. Kenyataan itulah yang membuat namanya tersangkut dalam peristiwa Madiun 1948. Beberapa jam sebelum di ekseskusi mati di Solo, Amir sempat mampir di Jogjakarta. Dalam pengawalan yang sangat ketat, Amir duduk sendirian di Stasiun Tugu, menunggu kedatangan kereta yang akan membawanya ke Solo untuk ditembak mati. Ketika perwira yang bertugas menjaganya bertanya apakah membutuhkan sesuatu, Amir tidak meminta makan, minum, pakaian, atau apa pun. Permintaan terakhirnya adalah meminta buku. Maka disodorkanlah buku Romeo and Juliet karangan William Shakespeare, satu-satunya buku yang dibawa oleh perwira yang menjaganya (bahkan seorang perwira dalam situasi perang masih sempat-sempatnya membawa buku!). Dikisahkan, Amir menghabiskan waktunya di Stasiun Tugu dengan buku di tangannya. Ketika kereta yang akan membawanya ke Solo untuk dieksekusi mati datang, Amir langsung naik ke gerbong yang sengaja dikosongkan. Ketika kereta bergerak ke arah timur dengan perlahan, tampak jelas ratusan orang berjubel di sepanjang rel ingin menyaksikan wajah mantan Perdana Menteri mereka yang hendak dihukum mati. Amir, dikisahkan oleh Soe Hok Gie, tetap tenang dan penuh khidmat membaca buku Romeo and Juliet yang sedang berada di tangannya.

Saya kehabisan tenaga dan waktu kalau harus mengisahkan satu demi satu fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hubungan yang intens antara Indonesia dengan buku. Betapa banyak. Betapa melimpah. Salah satu anugerah yang bisa dinikmati para pecinta buku negeri ini adalah kenyataan di mana mereka berhayat di sebuah negeri yang kemerdekaannya diusahakan oleh orang-orang yang begitu mencintai buku. Sebagai para pecinta buku, mereka mewariskan banyak sekali buku yang mereka tulis sendiri. Dalam bayangan saya, membaca kembali warisan-warisan tak ternilai yang ditinggalkan para pendiri republik ini adalah salah satu cara terbaik mengkhidmati kemerdekaan yang diusahakan sekuat tenaga oleh orang-orang yang begitu mencintai buku dan menuliskan apa pun yang mereka anggap perlu untuk ditulis, tanpa pandang kapan waktunya dan di mana tempatnya. Politik dan gagasan, bagi mereka, adalah dua keping mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Sebab, politik tanpa gagasan hanya menjadi gerak sempoyongan orang-orang kebingungan. Sementara gagasan tanpa politik (baca: pergerakan) tak ubahnya kepala yang gentayangan tanpa kaki yang menjejak bumi. Dari buku ke buku, sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Sayangnya, itu Indonesia zaman dulu. Hari ini, ada Profesor Sejarah yang bangga ikut-ikutan membakar buku sejarah. Memalukan!

Sumber utama : (c) politikana/kalangwan/09/2009; M. Hatta (1979); Tan Malaka (1999a, 1999b); Agustus (Tempo & Kompas Edisi Hari Pahlawan - 2005). Foto (Hatta di perpustakaan pribadi, Tan Malaka sedang membaca - sumber : www.google.picture)