Senin, 29 Oktober 2012

Cerita TKI : "Indonesia Maids Now on SALE"


Oleh : Muhammad Ilham 

Beberapa puluh tahun lalu, Douwes Dekker (pernah) berkata : " .... bangsa kuli dan kuli bangsa". Apa yang diungkapkan Dekker tersebut, menjadi aktual (lagi) dalam bentuk lain, ketika membahas mengenai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Cerita Tenaga Kerja Indonesia (baca : TKI) seumpama cerita "telenovela", ada kisah bahagia penuh tawa, tapi tak sedikit kita disuguhkan cerita miris-sedih penuh air mata. Para TKI di negeri seberang, pada dasarnya merupakan inspirasi bagi semua orang, anak bangsa ini, untuk tidak hanya bertepuk dada. Mereka sukses di negeri orang, karena negerinya tak memberikan ranah untuk membuatnya sukses. Demikian juga halnya dengan cerita duka "pahlawan devisa" (ah ... gelar usang !), ketika mereka dinistakan di negeri orang lain, telunjuk juga harus dan mutlak dihadapkan kepada bangsa ini, mereka pergi dan dinistakan di negeri orang karena mereka tak memiliki kesempatan untuk sekedar menaikkan taraf hidup di negeri yang mungkin dibangun "peluh-keringat" orang tua mereka. Berbagai kisah sedih yang dialami oleh TKI dan bagaimana bangsa ini memberikan "solusi" seakan-akan membuat kita nelangsa.

Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain. Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap-tiap majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Titik.

Apa yang termaktub dalam "selebaran" yang beredar di Malaysia beberapa hari belakangan ini dan membuat "heboh" ranah publik (lihat foto : dibawah), kembali menjadi bukti.


sumber : detik.news.com

Dalam selebaran yang beredar di Malaysia tertulis, "Indonesia Maids Now on SALE". Di situ dijelaskan, TKI dilabeli harga 7.500 ringgit Malaysia atau diskon 40 persen dari tarif semula. Jika ingin menggunakan jasa TKI, calon pengguna bisa menyetor deposit 3.500 ringgit. Iklan tersebut juga memuat nomor telepon yang bisa dihubungi.

Alur Politik


Alur politik Amerika Serikat - Israel  dan Negara-Negara di Timur Tengah

sumber foto : international politics

Kamis, 25 Oktober 2012

Akar Masalah

Oleh : Muhammad Ilham 

Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan mengubah semua orang menjadi sampah".

Analogi tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian banyak orang? Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan di berbagai wilayah tetap berlanjut dan Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya.
Wallahu 'alam !

Foto :  J_pollock____Open Art

______ Ketika (kita) seringkali menyalahkan variabel permukaan, bukan variabel substansial, maka saya ingat dengan anekdot berikut :

Pernah ada anekdot feminis yang bagus yang saya kutip dari Ariel Heryanto (2000). (Saya modifikasi "sedikit). Intinya kira-kira begini : 

Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjungdan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasamaa. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menjelaskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alas an keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.


Hans Jochem Bakker ___ Open Art


___________ lalu apa hubungannya dengan FOTO/PIC diatas  ?
Lihatlah, berdebat masalah cantiknya wanita pada foto ini, selalu mata tertumpu pada ranum merah merekahnya bibir si wanita. Padahal, bibir hanyalah artifisial, bagian kecil dari kumulasi variabel kecantikan.

Apakah Islam Itu ?

Oleh : Muhammad Ilham

Suatu waktu dulu, mantan Presiden Republik Indonesia yang juga tokoh sentral Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid, pernah ditanya, "Gus, menurut Gus, apakah Islam itu ?". Ayah Yenny Wahid ini-pun menjawab : "Islam itu ibarat mozaik, seumpama foto yang terpampang di dalamnya foto-foto para wanita yang menutup aurat mereka. Ada yang pakai sari seperti India, ada yang menggunakan kimono, sebagian menggunakan kebaya, ada juga yang memakai kerudung. Intinya, Islam itu ibarat mozaik. Dan Islam itu, memperkaya dan membungkus budaya, bukan menghabisi dan menganggap semuanya itu bid'ah". 

Islam di Indonesia itu, ibarat jilbaber di bawah ini, sangat indah dan variatif :




















Sumber foto : Stefano Romano Portrait

Rabu, 24 Oktober 2012

Gendang Kuasa Hegemonik AS dan Sekutunya

Oleh : Muhammad Ilham 

Sehubungan dengan artikel di Global Review : 

Direktur Eksekutif Global Future Institute Hendrajit mengatakan, Pidato Presiden SBY di depan peserta Musyawarah Nasional PBNU September lalu mengenai sikap Indonesia terkait krisis di Suriah, sangat mengecewakan.  "Meskipun tidak secara terang-terangan mendukung skema global Amerika menggusur Presiden Bashar Assaad, namun penekannya pada upaya dunia internasional untuk menghentikan konflik bersenjata di Suriah, bisa ditafsirkan tetap memberi angin bagi kekuatan-kekuatan pro Amerika dan Eropa Barat untuk menggusur Presiden Assaad dari kursi kepresidenan," terang Hendrajit kepada NU Online di Jakarta, siang tadi (18/10). Dia berpendapat, pernyataan Presiden SBY sangat pro Amerika dan para sekutunya yang menggunakan dalih demokrasi dan pelanggaran hak-hak asassi manusia sebagai pembenaran agar dunia internasional melakukan isolasi total terhadap Presiden Assaad.

"Presiden Hugo Chavez justru memberikan sikap yang jauh lebih progresif daripada Presiden SBY. Dengan menyatakan diri berada dalam satu sikap dan haluan dengan Rusia dan Cina yang sudah terlebih dahulu mengecam campur-tangan AS di Suriah, Hugo Chavez menegaskan bahwa mendukung gerakan penggulingan kekuasaan Presiden Bashar Assaad berarti secara terang-terangan melakukan pelanggaran kedaulatan nasional Suriah," paparnya.Cina dan Rusia, kata Hendrajit, cukup punya alasan kuat mengecam campur tangan AS di Suriah. "Presiden  Venezuela Hugo Chavez juga tidak omong kosong ketika mengatakan penggusuran Presiden Bashar Assaad merupakan pelanggaran kehormatan dan kedaulatan nasional terhadap Suriah," lanjutnya.Lebih jauh Hendrajit berharap bahwa Pemerintah Indonesia tidak bisa netral dan acuh tak acuh. Harus ada sebuah tindakan nyata dan bersifat ofensif baik dari jajaran kementerian luar negeri, maupun elemen-elemen masyrakat, terutama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah, untuk menyatukan sikap menentang campur tangan AS dalam urusan dalam negeri Suriah. Dikatakannya, konflik di Suriah terus berkecamuk karena keseimbangan antara AS dan sekutunya, Rusia dan Cina cukup terjaga dan ini bikin AS dan Inggris jadi kebakaran jenggot belum lagi Iran yang pakai selat Hormuz sebagai kartu truf. 

Maka saya berpendapat :

Apapun tentang Bashar al-Assad, pemimpin seluruh dunia dan lembaga-lembaga dunia yang otoritatif, seharusnya EQUAL. Bak kata Ruhut Sitompul, "jangan ikut gendang politisi ketika melihat kasus hukum di Indonesia." Maka bila kita pakai pola Ruhut ini, maka Pendapat yang sama: "Indonesia harusnya tak mengikuti gendang kuasa hegemonik dunia - meminjam Gramschy, dalam hal ini AS dan sekutunya. 

Bagaimanapun Juga, Assad memiliki latar untuk menjaga otoritas dan kewibawaannya, dan ia memiliki nilai sendiri terhadap para "pemberontak" (oposisi istilah Erdogan dan AS). Kuasa hegemonik, dengan mudah "membentuk opini". Defenisi "brutal, barbar, mana oposisi-mana pemberontak, "dipaksakan" untuk diterima oleh penafsir tunggal, dalam hal ini kuasa hegemonik tadi. "Saya menjaga kewibawaan dan kedaulatan negara saya", demikian yang sering diucapkan Bashaar al-Assad, justru diterjemahkan oleh banyak pihak sebgai "pelanggaran HAM tragis". Bila ini dipertanyakan, akan memunculkan banyak pertanyaan-pertanyaan "bumerang". Bagaimana dengan kasus Irak, Libya dan seterusnya. Akhirnya kita ingat dengan "cerita Alexander Agung dengan seorang Nelayan": "Saya mengambil ikan di laut ini, tuan Alexander anggap sebagai pencuri, tapi kalian menjarah laut ini justru dianggap sebagai pahlawan".

Kesimpulannya, saya kutip kata Assad di reuter: "Saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya: negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan". Naaaaahhhhh !!. 


Lebih lanjut : 
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9933&type=100#.UIif7Gf5vIU
Muhammad Ilham Fadli


Konsepsi demokrasi-pun sangat kontekstual, tergantung kompromi "waktu" dan "budaya" ...... dalam bahasa lain : tergantung latar historis dan kultural. Karena itu, sangat tidak adil, bila dalam dunia yang pluralis, dipaksakan untuk mengaplikasikan "defenisi tunggal". Tapi sekali lagi, kuasa hegemonik, selalu melakukan hal itu, dan terkadang kita secara latah mengikutinya. nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis. Bak kata teman saya ....... "Menganggap PIZZA sebagai makanan universal dan melihat kualitas makanan orang Mentawai yang suka Sagu dari kacamat PIZZA"

You are "Here"


Untuk Imla Wifra Ilham dan Aura Izzatul Afifa & Aura Malika Asy-Syifa
Kalian adalah anugerah terindah dari Sang Maha Pemilik



Sumber foto : Lisa Jones (cc: Anonymous ART of Revolution)

Minggu, 14 Oktober 2012

Selera Tak Mengenal Nasionalisme


Padahal, kita tahu dan sejarah mencatat (bahawasanya) Fidel Castro (pemimpin Cuba) 
menjadi salah satu "musuh" abadi JFK. 
Tapi lihatlah, selera dan rasa, 
tak mengenal pilihan ideologi ataupun nasionalisme.



Jenderal dan Uniform Baru

Oleh : Muhammad Ilham




Presiden
Republik Indonesia


JM (Jang Mulia) Panglima Besar
Saudaraku,
Hari Nasional 17 Agustus sudah mendekat. Saja kira saudara ta’ mempunyai lagi uniform jang bagus. Maka bersama ini saja kirim bahan untuk uniform baru.
Haraplah terima sebagai tanda persaudaraan.
Merdeka !
(tanda tangan Soekarno)
9/8 ‘49
Empat tahun setelah Proklamasi kita pada 17 Agustus 1945, Panglima Besar Jenderal Soedirman, ternyata tidak memiliki seragam resmi yang bagus (layak) dikenakan oleh seorang Pemimpin TNI, Jenderal (lagi).  
Tentang hal diatas, saya teringat dengan Asrul Sani, sastrawan dan sutradara film jempolan yang pernah dimiliki Indonesia, begitu sederhana melihat manusia. Bagi putra Rao Pasaman yang merupakan sahabat karib Chairil Anwar ini, jenis manusia itu hanya ada dua : “Ada orang yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang luks, dan berfikir atau berbuat sebagai hal yang biasa. Kemudian, ada yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang biasa, tapi berfikir dan berbuat sebagai sesuatu yang luks”.

sumber foto arsip : cahjengkol.multiply

"Hening" a-la Nagari Minangkabau



Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Adyan's Photography

Kisah Pemburu Kepala

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Marco Polo, avonturir dari Italia, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya di Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia. Sangat berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala menjadi pengikut ajaran Muhammad. Dia menuliskan itu dalam catatan perjalanannya. Dia tahu catatannya akan mengejutkan, dan mungkin tak dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai bersumpah untuk meyakinkan pembacanya. Selang lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh badan seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya yakinkan Anda bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara Pada 1920-an” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.  Berbeda dari Marco Polo di Sumatra, dalam naskah Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 323, diceritakan sebuah suku pemburu kepala di Wu-long-li-dan, pedalaman Banjarmasin. Suku pemburu kepala itu disebut orang Beaju –Be-oa-jiu dalam lafal Hokkian (Fujian) selatan–, sebuah suku besar orang Dayak di pedalaman. Mereka berkeliaran saat malam hari untuk memenggal dan mengoleksi kepala manusia. “Kepala ini mereka bawa lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang sangat takut terhadap mereka,” demikian dikutip W.P. Groeneveldt dalam Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.

Kala itu, kisah perburuan kepala manusia di wilayah pedalaman tengah dan timur Nusantara telah tersebar luas di kalangan penjelajah dari mancanegara, serupa dengan kisah kanibalisme. Tapi minat mereka terhadap Nusantara tak pernah surut. Kapal-kapal dari pelabuhan penting di Eropa tetap berlayar menuju Nusantara untuk berdagang. Perlahan mereka menjelajah kepulauan Nusantara hingga ke pedalamannya dan bertemu dengan suku pemburu kepala manusia. Maret 1648. Perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari di Seram. Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah pantai dan orang gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti, VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas. Korban dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon Robert Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian. Selain itu, dia meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang Alifuru. 

Tim kembali ke Ambon tanpa hasil. Perang tetap berkobar. Dan mereka tak bisa menjelaskan secara pasti mengapa orang Alifuru memburu dan mengoleksi kepala musuhnya. “Di hadapan gubernur, tim itu melaporkan hasil penelitiannya mengenai kepercayaan orang Alifuru. Meski mengaku telah bekerja dengan baik, mereka tak berhasil menjelaskannya secara gamblang karena orang Alifuru sangat klenik. Mereka tak bisa memahaminya,” tulis Gerrit J. Knaap dalam “The Saniri Tiga Air (Seram)”, Jurnal KITLV Vol. 149 No. 2 (1993). Tim hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui kapan mulanya. Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati posisi penting dalam kehidupan sosial dan kepercayaannya. Anehnya, adat itu tak mereka lakukan terhadap orang asing, baik Eropa maupun wilayah Nusantara lainnya. Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat baik. Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC meski usaha itu akhirnya gagal. Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama. Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995). 

Perburuan kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa. Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi Manado pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari penduduk lokal (Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam dan rumah. “Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di Kalimantan... Ketika seorang kepala suku meninggal, dua potong kepala manusia yang baru dipenggal digunakan sebagai penghias makamnya... Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling disukai untuk rumah kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller. Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.” Adat berburu kepala tak selamanya dipertahankan oleh suku-suku pedalaman. Di Borneo misalnya, sebuah perjanjian antarsuku dibuat untuk menghentikan saling bunuh (habunu), memenggal kepala (hakayau), dan memperbudak (hajipen). Perjanjian pada 1894 itu termashyur dengan nama Rapat Damai Tumbang Anoi. Sebelumnya, beberapa suku di Borneo terkenal sebagai pemburu kepala musuh. Seorang penulis berkebangsaan Norwegia mengukuhkan citra itu melalui bukunya yang terbit pada 1881, The Head-Hunters of Borneo. Dalam bukunya ini, Carl Bock menuliskan suku-suku itu berburu kepala dengan mandau, tombak, dan perisai. Setelah mendapatkan kepala musuh, seseorang berhak mendapatkan tato simbol kedewasaan. Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala). “Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”

(c) : Majalah-Historia/Hendaru Tri H.

Assad dan Konflik Suriah

Oleh : Muhammad Ilham 

Ketika Opini "si pembunuh" terbentuk oleh media terhadap Bashaar al-Asaad, Presiden Suriah, izinkan saya untuk memiliki pandangan lain. Bashaar al-Asaad, dikenal tak segarang ayahnya, Hafeez al-Assaad. Hafeez al-Assaad, dikenal sebagai salah satu penentu konstelasi politik Timur Tengah pada era 1980-an bersama-sama dengan Anwar Sadat, sehingga (pernah) muncul diktum : "Di Timur Tengah tak ada damai tanpa Mesir, tak ada perang tanpa Suriah".  

Siapa Bashaar al-Assaad ? 

Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Syiria - Asad adalah ‘ayah’ bagi jutaan pengungsi Palestina dan Irak. Sejak 63 tahun yang lalu, Syria adalah tempat berlindung bagi orang-orang Palestina yang terusir dari tanah air mereka sendiri. Syria bahkan menjadi markas perjuangan Hamas untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Kondisi 500.000 pengungsi Palestina di Syria jauh lebih baik daripada kondisi pengungsi Palestina di Lebanon atau Jordan. Para pengungsi itu mendapat layanan kesehatan dan perumahan yang sama sebagaimana rakyat Syria. Lebih dari itu, perang Irak pun membawa dampak membanjirnya pengungsi ke Syria. AS yang konon datang ke Irak untuk menyelamatkan rakyat Irak, justru telah menyebabkan 1,5 juta warga Irak terpaksa mengungsi, menjauhkan diri dari berbagai aksi kekerasan di Irak. Bagi Syria yang berpenduduk 18 juta jiwa itu, kedatangan 2000 pengungsi per hari (data tahun 2007) , jelas memerlukan sebuah kelapangan hati yang luar biasa. Bandingkan dengan Mesir era Mubarak yang dengan bengis menutup pintu perbatasan Rafah, menghalangi pengungsi Palestina, yang sekarat sekalipun, untuk mendapatkan pertolongan. 

Menurut UNHCR, kedatangan pengungsi dalam jumlah sangat besar itu menambah berat beban Syria karena mereka diberi layanan sebagaimana warga Syria: pendidikan, kesehatan, rumah, dan subsidi minyak. Tak heran bila Syria disebut sebagai negara yang terbaik di kawasan Timur Tengah dalam memberikan layanan sosial dan ekonomi bagi para pengungsi. Dan kini, AS dan sekutu-sekutunya berupaya menggulingkan Assad dengan alasan demokrasi. Namun, alasan sesungguhnya adalah jelas: Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Asad adalah duri dalam daging. Dan kepada AS-lah Israel meminta bantuan untuk menyingkirkan Asad. AS, lagi-lagi, menggunakan cara lama, membiayai kelompok-kelompok oposan di Syria untuk melawan Asad. Media pun digunakan untuk membesar-besarkan demo di Syria (bahkan dengan cara curang sekalipun, dengan menggunakan kamuflase gambar- gambar dan video). Bahkan, untuk kasus Libya dan Syria, justru Al Jazeera (yang sering dicitrakan sebagai media non-Barat) yang menjadi ujung tombak untuk menggalang opini dunia agar AS diberi hak untuk melakukan ‘humanitarian intervention’: menyerbu Libya dan Syria, menggulingkan Qaddafi dan Asad, dan mengganti keduanya dengan pemimpin yang bisa ‘diatur’.

Sumber/Referensi tulisan miring : 
http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/05/23/syria-prahara-di-negeri-kaum-pengungsi/
& Cakrawala Sains  Facebook
Foto : presidenassad.net

Jumat, 12 Oktober 2012

Politic is Who Get What How and When

Oleh : Muhammad Ilham

Kaidah umum dalam ilmu politik, dan itu tidak terbantahkan dalam realitas dan entitas interaksi politik adalah "tak ada makan siang yang gratis"....... who get what how and when, kata Harold Lasswel. 


(c : rationalist)
(c : rationalist)

KLIK (artikel saya) :


(c : AFPNews)

Rabu, 10 Oktober 2012

Indonesia, Lukamu Luka Dalam

Oleh : Muhammad Ilham


Publik (nampaknya) saat ini, mulai menagih janji Presiden yang mengumandangkan untuk berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi ketika kekuatan anti pemberantasan korupsi menguat. Ketika memainkan formula "tak ingin mencampuri ranah hukum" ___ maka jangan salahkan bila publik memiliki tafsiran sendiri sebagai keberpihakan Presiden dalam kekuatan anti pemberantasan korupsi.


Indonesia, lukamu luka dalam
Cantik di luar, redam remuk di dalam
Presidennya dipuja-puji di negara-negara sana
Tapi mendiam-tuli di negara sini
Penegak hukum bicara atas nama hukum
Tak mau bicara atas nama keadilan
Politisinya bicara atas nama rakyat
Malu tak mau bicara atas nama wakil partai
Ulama sibuk bicara siapa yang bersih dan siapa yang sesat
Tak mau bicara siapa yang korupsi siapa yang tidak
Indonesia, belakangan ini, rasanya kamu Yatim Piatu 

(Teringat) dengan Ali bin Abi Thalib :
 "kebathilan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir".

(c) kompasiana

sumber foto : search google (cc. rationalist)

(Masih) Tentang TAN


… “apa yang bisa kalian katakan tentang penjajahan? Kau menyebutnya Barat. Aku menyebutnya kekalahan kepada teropong 10 inci yang bisa melihat ke semua penjuru alam pada jarak 500 juta tahun cahaya.”

(Tan Malaka: Sebuah Esai, Sebuah Opera)

Kawan-Kawan!!!
Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah!!
 
Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Di sini bersemayam Semangat Revolusioner"

(Tan Malaka, Tokyo Januari 1926 dalam "Semangat Muda")
 


sumber foto : repro PDIKM Padang Panjang

Namanya (titik dua) CHAVEZ

Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Venezuela mendapat predikat “negara dengan misi/program sosial terbanyak”.

Chavez, tepatnya Hugo Chavez, kembali terpilih sebagai Presidan. Dengan demikian, Chavez sudah empat kali dipercaya oleh rakyat Venezuela untuk memimpin perubahan di negeri itu. Chavez bilang, kemenangan itu membuat Venezuela tidak akan pe rnah kembali ke alam neoliberalisme. Sebaliknya, Venezuela semakin mantap melakukan transisi menuju sosialisme abad-21. Sementara itu, negeri-negeri imperialis kembali harus mengelus dada lantaran gagal membalikkan Venezuela sebagai “negara jajahan”. Imperialisme, terutama imperialis AS, memang sedang sibuk-sibuknya bergerilya di Amerika Latin. Mereka berjuang keras untuk mengembalikan Amerika Latin sebagai halaman belakangnya. Baru-baru ini mereka berhasil menggulingkan pemerintahan kerakyatan di Paraguay. Ya, Fernando Lugo, pastor kaum miskin itu, digulingkan dengan cara-cara licik dan kotor.

Sejak memerintah tahun 1999, Chavez telah mengubah ‘negeri penghasil minyak’ itu makin berdaulat dan bermartabat. Ia pertama-tama mengubah struktur politik negeri itu dengan membuat konstitusi baru. Perlahanan-lahan politik Punto Fijo (puntofijismo), sebuah demokrasi yang dikarakterisasikan oleh pembagian kekuasaan diantara dua partai: Accion Democratica (AD) dan COPEI, ditumpas oleh politik kerakyatan. Sektor-sektor sosial, seperti kaum buruh, petani, miskin kota, perempuan, masyarakat adat, pemuda, dan lain-lain, yang selama puluhan tahun dikeluarkan dari politik formal, mulai muncul sebagai aktor utama (protagonis) pembangunan kembali Venezuela. Pada tahun 2006, Chavez membentuk “Dewan Komunal”. Pemerintahan komunal ini adalah pemerintahan Rakyat.

Menurut konstitusi, Dewan Komunal adalah sarana dari rakyat terorganisir untuk mengambil-alih dan menjalankan langsung kebijakan administrasi dan proyek pembangunan. Dewan Komunal merespon aspirasi dan kebutuhan langsung dari komunitas. Pada tahun 2006, sudah berdiri 4000 dewan komunal di seluruh Venezuela. Angka ini meningkat menjadi 19,500 pada tahun 2007 dan sekitar 30 000 pada tahun 2011. Banyak rakyat yang sudah mendapat keuntungan langsung dari model demokrasi partisipatif ini. Venezuela juga berhasil memulihkan kontrol atas kekayaan nasionalnya. Sejak 2004, setelah pemerintah berhasil meraih kontrol atas minyak dan ekonomi nasional lainnya, pemerintah Venezuela berhasil menghilangkan kemiskinan ekstrem hingga 70%. Jutaan orang juga bisa mengakses layanan kebutuhan dasar secara gratis: pendidikan, kesehatan, air bersih, perumahan, dan lain-lain.
(c) BerdikariOnline (cc: Bismo G.)

Adnan Buyung Nasution : 23 April 1977

Oleh : Muhammad Ilham

Bagi pembela, kepentingan klien adalah yang paling utama. Setidaknya demikian yang sering kita saksikan dalam TalkShow Indonesia La wyers Club - dengan segala tingkah polah para lawyers nan parlente itu. Saya masih ingat, bagaimana advokat "papan atas" seumpama Otto Cornelis Kaligis, Hotma Sitompul, Hotman Paris Hutapea, Indra Shahnun Lubis, Junivers Girsang, Assegaf, Tommy Sihotang, dan lain-lain, dengan lantang mengatakan, "KITA MEMBELA UNTUK KEPENTINGAN KLIEN, BOHONG BILA ADA ADVOKAT YANG MEMBELA BUKAN UNTUK KEPENTINGAN KLIEN MEREKA".

Dan, dari ARSIP yang saya dapatkan (penggalan Majalah TEMPO, tanggal 23 April 1977), Advokat papan atas lainnya - ADNAN BUYUNG NASUTION - (baik pada masa sekarang dan masa itu), dengan lantang mengatakan, "Saya tidak mau diperbudak Klien". Ketika seorang tokoh nasional masa itu terlibat Korupsi, Buyung diminta menjadi pembela. Dalam proses selanjutnya, ketika si tokoh yang terlibat korupsi ini meminta agar Buyung mencari celah untuk meringankan hukuman seringan-ringannya, Buyung berkata, "Saya bukan budak klien. Saya kembalikan uangnya, saya buang berkasnya dan saya suruh ia mencari pembela lain". Dan ini dipublish di Majalah Tempo, lebih kurang 35 tahun yang lalu. Buyung sebenarnya telah memberikan batasan, siapa dan untuk apa pembela itu hadir. 
 
 
 

Senin, 08 Oktober 2012

Minyak (yang) Maha Kuasa


Oleh : Muhammad Ilham

Minyak bagi Negara Paman Sam, begitu berarti. Politik luar negeri negara ini, bisa dilihat pada dua variabel, yaitu variabel Israel sebagai sebuah entitas negara-formal dan minyak.

KLIK (artikel saya) :
http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/201103/article_24.html



sumber foto : search google (cc. rationalist)

KPK vs Polri, (Masa Depan) Korupsi dan SBY

Oleh : Muhammad Ilham

Sebelum pukul 20.00 WIB Senin malam (8/10/2012), saya begitu gundah melihat SBY yang "terkesan" tidak tegas menghadapi kisruh KPK vs Polri, yang juga diistilahkan banyak pihak sebagai (bentuk baru) Cicak vs Buaya. Saya juga menduga-duga, bahkan berkhusnudzon bahwa SBY pasti membela "anak kandungnya" - Polri. Kalau tidak, masa diam seribu basa. Bukankah orang-orang saisuak mengatakan, "diam tanda setuju"  atau setidaknya "diam tanpa lepas tangan ?". Tapi apa yang terjadi malam itu, justru membuat saya memberikan apresiasi. Ini bukan persoalan  like and dislike. Pada beberapa kawan yang underestimate pada SBY, saya katakan, "saya membandingkan SBY dengan sebanding dengan beliau, (katakanlah) dengan Habibie, Gus Dur, Megawati dan jangan bandingkan dengan para pengamat ataupun aktifis LSM .... tak nyambunglah". Apapun yang dilakukan seseorang, walaupun kita tak suka padanya, kalau itu baik dan implikatif pantas untuk diapresiasi. Malam itu, apa yang dilakukan oleh SBY, bagi saya pantas dihargai dan menjadi catatan baik untuk penegakan hukum di Indonesia pada masa-masa yang akan datang. Pidatonya tadi malam, telah membuka kebekuan dan kebuntuan "jalan keluar" konflik KPK vs Polri dan RUU KPK. SBY nampaknya memahami apa yang diinginkan publik, dan ia memberikan solusi sesuai dengan apa yang menjadi ekspektasi publik.

(c) rationalist

Berikut artikel yang dipublish oleh detik.com, mensikapi Pidato SBY pada Senin malam lalu yang umumnya senada dan seirama dengan headline beberapa media massa nasional dan daerah pada hari Selasa (9/10/2012) :

Insiden penangkapan penyidik Polri di KPK, Kompol Novel Baswedan, di kantor KPK pada Jumat (5/10) lalu oleh Polda Bengkulu memanaskan hubungan KPK-Polri. Pidato SBY yang memberikan solusi penyelesaian masalah tersebut menuai pujian. Permasalahan KPK-Polri sebenarnya mulai memanas jauh hari saat KPK mulai pengusutan kasus Korlantas Polri. Situasi bertambah memanas saat Polri mendadak menarik 20 penyidiknya di KPK. Urusan bertambah panjang saat penyidik Polri yang ditugaskan di KPK menolak pulang kandang, mereka dituding membangkang dan melakukan tugas secara ilegal. Namun pimpinan KPK justru membela mati-matian penyidik Polri yang tengah bertahan di KPK. Pimpinan KPK menegaskan sejumlah penyidik telah diangkat menjadi pegawai tetap KPK melalui mekanisme alih status. Situasi bertambah panas ketika Polda Bengkulu mengirim dua kompi pasukan untuk menangkap Kompol Novel Baswedan di Kantor KPK. Insiden yang kemudian disebut oleh sejumlah LSM antikorupsi sebagai 'penyerangan' terhadap KPK ini menuai protes keras dari masyarakat. Masyarakat pun kemudian mendesak Presiden SBY untuk turun tangan. 

Tak sabar menunggu SBY turun tangan, masyarakat pun menggelar sejumlah aksi demonstrasi baik di kantor KPK, hingga di bundaran HI. Yang mereka suarakan, adalah KPK yang artinya 'Kemana Presiden Kita'. Spanduk besar bretulis 'KPK Kemana Presiden Kita' di atas papan hitam dielu-elukan, menanti munculnya solusi dari sang Presiden. Presiden SBY pun akhirnya tergugah dan meminta Menko Polhukam Djoko Suyanto turun tangan, mewakilinya menuntaskan konflik KPK-Polri. Menko Polhukam pun berencana menggelar pertemuan antara KPK dan Polri, namun pertemuan itu belum sempat terlaksana karena pimpinan KPK sedang di luar kota pada Minggu (7/10/2012) kemarin. Hingga desakan agar SBY segera turun tangan kian meluas. Presiden SBY akhirnya memutuskan untuk ambil bagian dalam penuntasan kasus ini. SBY sengaja memangkas waktu kunjungannya ke Istana Cipanas Bogor, Senin (8/10), untuk bergegas ke Jakarta mengikuti pertemuan antara Pimpinan KPK dan Kapolri di Istana Negara. Usai pertemuan, SBY melalui Mensesneg Sudi Silalahi mengumumkan akan menyampaikan hasil pertemuan malam harinya. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Presiden SBY menyampaikan sikap resminya dalam pidato di Istana Negara. Dalam pidatonya, Presiden SBY menunjukkan dukungan untuk penguatan fungsi KPK. Menekankan sejumlah hal penting menyangkut penanganan kasus korupsi Korlantas agar ditangani KPK, SBY juga menilai penanganan kasus yang diduga melibatkan Kompol Novel saat ini tidak tepat. 

Secara luar biasa Presiden SBY juga menjanjikan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menambah masa kerja penyidik Polri di KPK menjadi 4 tahun. Dalam PP tersebut juga diatur mengenai kemungkinan KPK mengangkat penyidik Polri menjadi pegawai tetap. Presiden SBY juga meminta Polri tidak menarik sembarangan penyidiknya yang masih bertugas di KPK. Secara khusus Presiden SBY juga menilai saat ini revisi UU KPK tidak perlu dilakukan. Menurut SBY lebih penting dilakukan adalah penguatan koordinasi Polri, KPK, dan Kejagung dalam penanganan kasus korupsi. Secara menakjubkan pidato SBY tentang KPK-Polri selama 41 menit sontak membuat banyak pihak berdecak kagum. SBY dinilai telah memberikan pernyataan yang sangat tegas dalam menuntaskan polemik KPK-Polri. Presiden SBY pun menuai pujian. Sejumlah pihak menilai Presiden SBY memang layak mendapat pujian. Meskipun cukup lama dalam mengambil keputusan untuk turun tangan, namun sikap tegas SBY dianggap melegakan masyarakat yang memang menginginkannya turun tangan. "Saya mendengarkan pidato Pak SBY dan menurut saya beliau sangat cemerlang," puji Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, yang mendengarkan penuh pidato SBY yang didampingi para meneri jajaran Polhukam. Kini semua mata tertuju ke Polri. Semua berharap Kapolri melaksanakan pesan penting Presiden SBY. Agar ketegangan penegak hukum ini tak terulang kembali. Namun masyarakat bisa sedikit menarik nafas lega, karena Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo secara resmi ke Presiden SBY telah menyatakan akan segera menindaklanjuti pesan SBY.

sumber teks miring : http://news.detik.com/read/2012/10/09/065802/2057818/10/sby-pantas-menuai-pujian?

Rabu, 03 Oktober 2012

Mendekonstruksi Konsep 350 Tahun Indonesia Dijajah

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Saya mulai dengan Sutan Takdir Alisyahbana tahun 1930-an. "Indonesia, kata Pujangga Balai Pustaka ini, bukanlah penjumlahan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan seterusnya. Indonesia, lanjut pengarang Layar Terkembang dan Grotta Azzura tersebut, bukanlah sambungan seperti itu. Bangsa Indonesia adalah kreasi abad ke-20 yang sepenuhnya baru!". 

__________ Karena itu,  konsep 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, harus direkonstruksi bahkan didekonstruksi. Indonesia adalah konsepsi baru. Dalam konteks ini, buku GJ. Resink harus ditempatkan. Berikut resensi-nya, yang ditulis oleh Hendry FI (cc. historia-online).

(c) historia.co.id
Suatu ketika, ahli hukum, sejarawan, dan penyair GJ Resink mendengar cerita seorang tua di Bali tentang kedamaian sebelum perjuangan penuh keberanian berakhir dengan kematian ribuan orang Bali di Badung pada 1906 dan Klungkung pada 1908. Orangtua itu juga menyebut zaman sebelum kedatangan Belanda ketika di Bali selatan masih ada negara-negara kecil yang merdeka dan hubungan lalulintas dengan Bali utara masih demikian sulit. Dari penyataan itu Resink menangkap bahwa, “gambaran mengenai penjajahan di seluruh Indonesia selama berabad-abad lamanya adalah sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat.”  Generalisasi tersebut diolah berdasarkan gambaran penjajahan seluruh Jawa selama abad ke-19 yang diperluas dengan cara pars-pro-toto menjadi penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad lebih. Pandangan ini dibentuk oleh sejarawan kolonial asal Belanda karena pemerintah kolonial di Hindia Belanda awal abad ke-20 memerlukan pandangan demikian.  Resink sendiri memperoleh pandangan tentang masa lalu “negeri-negeri Pribumi” di Nusantara yang merdeka berdasarkan hukum internasional pada 1930 saat dia menjadi anggota kelompok Stuwgroep (Pendorong) termuda dan mahasiswa muda. Lalu, sebagai seorang ahli hukum, dia memandang tak ada yang lebih tepat untuk menghapus gambaran itu selain dengan alat-alat buatan Belanda, yaitu perundang-undangan dan penjelasannya.   
 
Dia menyodorkan Peraturan Tata Pemerintahan Hindia Belanda (Regeeringsreglement) tahun 1854. Pada pasal 44 tercantum pernyataan pemerintah tertinggi di Belanda yang memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian serta membuat perjanjian dengan raja-raja dan bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara.  Pengakuan pemerintah Hindia Belanda atas kedaulatan “negeri-negeri Pribumi” di Nusantara juga ditunjukkan pada beberapa kasus di mana pengadilan dan Mahkamah Agung Hindia Belanda tak mau mengadili warga negara dari negeri-negeri merdeka. Pada 1904, misalnya, seorang pangeran dari Kerajaan Kutai yang melakukan perbuatan pidana di dalam swapraja Gunung Tabur dibawa ke Pengadilan Tinggi Surabaya, tapi ditolak Mahkamah Agung.  Sialnya, mitos penjajahan 3,5 abad dilanggengkan buku pelajaran sejarah, baik yang diterbitkan dan dipakai pada masa Hindia Belanda maupun Indonesia. Resink sendiri menganggap mitos semacam ini sebagai hal lumrah. Dalam perkembangan waktu, gambaran masa lalu itu akan menjadi lapuk, seperti ditunjukan dalam kasus kebesaran Majapahit dan Kongsi Dagang Belanda (VOC). 

Dia juga mengingatkan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia sudah tentu akan memunculkan mitos-mitos baru, yang bisa dihambat oleh kemajuan dan perkembangan ilmu sejarah. Jika bukan 3,5 abad, lalu berapa lama Belanda menjajah Indonesia? Resink menyebut penjajahan seluruh Nusantara berlangsung selama 40-50 tahun, dengan tetap melihat perbedaan waktu untuk wilayah-wilayah tertentu. Dengan sendirinya, melalui karya-karyanya, Resink hendak menghancurkan citra atau mitos yang sudah berakar itu bahwa Hindia Belanda sejak dulu sebesar dan seluas yang dikenal saat itu.  Ada satu pandangan Resink yang mengelitik terkait pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949. “Menurut saya, di masa-masa peralihan dari bekas jajahan menjadi republik merdeka –dalam bidang hukum internasional saat itu– banyak dari negara dan kerajaan di Indonesia yang pernah satu jajahan di masa Hindia Belanda justru tidak merdeka,” tulisnya dalam buku ini.  Anda bisa tak setuju tapi sebaiknya membaca dulu argumentasi Resink dalam buku ini, sebuah karya yang memberikan cara pandang baru terhadap sejarah Indonesia. Sayangnya, “dialog yang tak kunjung putus” Resink ini terkadang sulit dipahami justru oleh penerjemahan buku ini yang buruk. Beruntung ada kata pengantar sejarawan Adrian B. Lapian yang sedikit-banyak merangkum pemikiran Resink dengan lebih jernih.