Sabtu, 29 Desember 2012

2013 Menjelang



Izinkan saya pamit  beberapa waktu ke depan, untuk tidak menulis di Blog ini. 
"Allah menciptakan dua mata, dua telinga dan satu mulut, maka banyaklah belajar mendengar", 
kata almarhum Raja Arab Saudi - Faisal.
Saya sudah mulai kurang menyimak dan mendengar. 
Bacaan saya semakin berkurang karena rutinitas kerja yang tak bisa dihindari. 
Tulang sudah menua yang tak bisa dielakkan. Tak kuat lagi "bertenggang", begadang istilah Rhoma Irama. Karena itulah, beberapa waktu ke depan, saya ingin istirahat menulis sambil menambah isi "cingkunat" saya yang  mulai mengering dengan bacaan. Saya juga ingin fokus mempersiapkan beberapa proposal (riset) untuk "puzzle" berikut yang Insya Allah akan saya tapaki.

Selamat menjelang dan memasuki Tahun 2013
Semoga Allah Azza wa Jalla sentiasa menyayangi kita semua

sumber foto : catperku.info

Rabu, 26 Desember 2012

Aceng, Jenderal David Petraeus & Lembaga Perkawinan

Oleh : Muhammad Ilham

Ada dua hal yang kontradiktif : 

(c) luv-islam.com
Pertama, Direktur CIA David Petraeus mundur sebagai pimpinan CIA, sebuah jabatan prestisius-strategis, pimpinan agen mata-mata terdepan AS. Tak ada apa-apanya dibandingkan dengan BIN, KGB ataupun Mossad. Jenderal pintar ini mengatakan (bahwa) ia terlibat perselingkuhan dan mengakui telah melakukan kesalahan fatal. Ia berkata, "setelah 37 tahun menikah, saya melakukan tindakan yang salah dengan terlibat skandal di luar pernikahan. Perilaku seperti itu tidak bisa diterima, baik saya sebagai suami maupun sebagai pimpinan organisasi." Ia kemudian minta maaf masyarakat AS .......... dan pada keluarganya. Obama mengatakan bisa menerima pengunduran diri itu sembari memuji atas karyanya di CIA, dan atas jasanya pernah memimpin tentara AS di Irak dan Afganistan. Fox News memberitakan bahwa dia berselingkuh dengan Paula Broadwell, seorang penulis biografi. Intinya, David Petraeus yang Jenderal itu mundur karena menghargai sebuah lembaga yang bernama perkawinan, dan ia menyadari bahwa secara personal dan status, ia adalah figur publik dan publik referen. Ia tak mau berdebat di tataran legalitas-juridis, tapi ia lebih mengedepankan sesuatu yang "mahal" bernama ETIKA. 

Kedua, Aceng HM. Fikri, Bupati Garut nan fenomenal itu, melalui pengacaranya, tak mau mengundurkan diri atas nama legalitas-yuridis. Menyikapi pernikahan 5 harinya, si Bupati ini menganggap pernikahannya secara agama sah, dan tak berbuat salah menurut kacamata Fiqh Munakahat. Mantan Secondan Dicky Candra yang artis itu, juga mengatakan bahwa pernikahannya dengan remaja putri 18 tahun itu, ibarat "membeli barang". "Kalau tak sesuai dengan Spek-nya, buat apa diteruskan". Sebuah argumen yang CETAR - meminjam istilah Syahrini ... hehehe. Dan dalam acara Indonesia Lawyer Club, saya "terkezzut" (pakai huruf "zz"), beberapa ulama kaliber nasional yang dijadikan narasumber oleh Karni Ilyas pun berkomentar tentang Pernikahan Siri si Aceng. Pendapat ulama-ulama ini, si Aceng yang selalu berkopiah hitam tersebut : Pernikahan Aceng dan Fanny Octara secara Fiqh Munakahat, sah. Jangan diperdebatkan, karena sama denga memperdebatkan ketentuan agama (Islam). Mau "satu jam, atau satu hari" pun, perkawinan tersebut tetap sah. Biasa kok, mau diceraikan Aceng mau tidak, terserah ia. Tak perlu harus minta izin sama atasan atau pimpinannya bila ia ingin poligami dan nikah siri ". Poligami itu, kata seorang Imam Besar Masjid terkenal Indonesia yang dibangun oleh arsitek Batak-Kristen (Frederick Silaban), Masjid Istiqlal, berkata, "Orang yang poligami tersebut adalah orang yang memiliki keberanian. Aceng Fikri adalah orang yang Berani".

___________ Dan, tak satu-pun ulama-ulama gadang itu mempersoalkan "begitu rendahnya wanita" dalam proses Aceng Gate tersebut. Bahkan secara langsung justru menganggap Aceng itu pemberani, orang berpoligami adalah orang "Bagak". Karena Rasulullah juga berpoligami, menurut ulama-ulama yang membuat saya miris-terkezut tersebut. Saya akhirnya berfikir, bukankah orang yang mampu menghargai lembaga perkawinan,menyanyangi anak dan (satu) istrinya dengan baik ..... tidakkah orang itu berani dan jantan ? ...... Tidakkah justru orang seumpama Aceng adalah tipikal manusia Pengecut dan berlindung dibalik nash agama yang ditafsirkan secara parsial ? Harusnya para ulama-ulama dan "pengikut" Aceng itu belajar secara totalitas sejarah nabi Muhammad dalam konteks poligami-nya, bukan "membatasi" episode kehidupan nabi pada fase ia berpoligami. Berapa tahun nabi SAW. Monogami ? Bukankah cukup panjang waktu yang ia lalui bersama Khadidjah seorang ? Bukankah masa-masa panjang "berdua" Muhammad-Khadidjah itu, putra Abdullah tersebut sedang "kuat-subur", masa penuh bergolak ? Lalu, kapan ia berpoligami ? Dengan siapa dan konteks (ashbab)-nya apa ? Urusan Syahwat, nash agama dibawa-dibawa. Urusan Syahwat, argumen legalitas-normatif, dipakai secara mati-matian tanpa melihat untuk apa nash (legalitas-normatif) itu hadir ? Seharusnya Fiqh tidak berhenti di analisis makna nash, tapi juga melihat ujung-nya yaitu ETIKA !!

Tapi sudahlah, saya tak banyak punya pengetahuan tentang Fiqh Munakahat. Ilmu saya dangkal tentang ini. Saya hanya ingat nasehat ibu saya (almarhumah) yang buta huruf pada saya beberapa tahun lalu menjelang ia meninggal.
"Untuk apa orang Sholat, nak ?, " tanyanya.
"Agar etika orang tersebut terjaga. Bukankah ujung dari sholat tersebut mencegah perbuatan keji dan munkar ?", jawabnya
"Untuk apa orang puasa, nak ?, " tanyanya kembali.
"Agar orang merasa kasihan pada orang yang tak punya. Agar kita amanah pada Tuhan", jawabnya kembali.
"Bila kamu nanti menikah, untuk apa menikah itu nak ?," tanyanya pada saya yang terpana.
"Perkawinan itu bukan Ijab Qabul, mahar, wali dan saksi saja nak. Tapi ada ujung dari perkawinan atau pernikahan itu, yaitu menciptakan kedamaian, keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah. Perkawinan tidak akan damai bila kamu menyakiti istri dan anak-anakmu nanti. Perkawinan tidak akan indah bila kamu berbohong dan berselingkuh. Bila istri-mu memiliki kekurangan, kamu harus menutupinya. Jangan ketika ia sehat dan cantik, kamu mau. Namun ketika ia berkeriput, kamu tinggalkan. Kesalahan istri kamu pada dasarnya juga kesalahan kamu", jawabnya dengan panjang.

Malam kemaren, sebelum tadi malam, selepas saya menonton dengan istri acara ILC (Nikah Siri : Kasus Aceng), UPIK BANUN saya bertanya waktu mau tidur.
"Bang, bagaimana abang melihat lembaga perkawinan itu ?", katanya.
(Mungkin ia sedikit takut mendengar ulama-ulama "gadang" dalam acara ILC tersebut mengatakan lelaki berpoligami adalah lelaki pemberani .... Hiiiks)

Saya-pun tersenyum dan berkata, "ente dan anak-anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada saya, dan sombong teramat besar saya pada Tuhan bila, anugerah terindah saya sia-siakan. bagi saya itu makna JANTAN". Titik, dan tak perlu kita bahas argumen ulama-ulama gadang di ILC itu, kata saya sambil memadamkan lampu, dan mulai memasuki "keheningan" tidur.

_______ Ujung FIQH adalah Etika, demikian kata almarhumah UMAK saya. Sehingga tak salah, bila perdebatan masalah Nikah Siri, Aceng dan Poligami di ILC, tak memberikan "inspirasi". Jenderal David Petraeus mengedepankan Etika, bukan formal-legalistik. Sementara (belajar dari kasus Aceng), nampaknya kita lebih menyukai berada pada tataran Fiqh, ujungnya-outputnya (baca : Etika), kita kesampingkan. Padahal, karena Etika itulah Rasul di utus ke muka bumi ini. Simpulan saya, "pengajian" almarhumah umak saya yang buta huruf itu jauh lebih ber-ETIKA dibandingkan ulama-ulama gadang yang, menurut saya, tercermin "syahwat tersembunyi". Buktinya, ketika ditanya Karni Ilyas, mengapa harus poligami ? .... jawab mereka umumnya sama, "daripada berzina, kan lebih baik poligami ? (standar mereka hanya-lah Zina). Memangnya nabi berpoligami karena, "daripada berzina ?".

:: Sekali lagi, kita semua terserah berpendapat.

Walaupun agamaku memberikan daya tawar tinggi padaku yang berjenis kelamin laki-laki, namun yakinlah, saya ingin meneladani Baginda Yang Mulia, Muhammad SAW. Beliau yang rajin berolah raga (tentunya olah fisik masa itu : berkuda dan memanah) dan mempraktekkan hidup sehat tersebut, tak memberikan contoh bahwa Khadijah-lah yang harus meminta maaf padanya terlebih dahulu. Muhammad SAW. yang rajin meminum susu kambing itu justru memuliakan wanita. Bukan menganggap wanita sebagai "mainan" dan assesoris "freudian" kelelakiannya.

Referensi : Foxnews (cc : ABCNews) cc. detik.com

Pramoedya Ananta Toer : "Saya Bukan Nelson Mandela"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham 

(c) nasional-list
Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan presiden Abdurrahman Wahid, seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia. Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokat menindas kulit coklat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semuanya yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa basi. Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunya lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu. Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa basi.

Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar. Basa basi baik saja, tapi hanya basa basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki. Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa basi minta maaf.

Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya. Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan. Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orba. Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa basi tak lagi bisa menghibur saya.

Sumber :  [nasional-list] Pramoedya Ananta Toer: "Saya Bukan Nelson Mandela"

Kamis, 20 Desember 2012

Harga Diri dan Magnitude Soekarno

Oleh : Muhammad Ilham

Bangsa yang tidak percaya diri untuk tegak mandiri, tidak percaya pada kekuatannya sendiri, menjadi bangsa penjiplak, maka bangsa itu tidak bisa menjadi bangsa merdeka !  
(Pidato HUT Proklamasi, 1963) 

Biarlah foto-foto ini "berbicara", bagaimana seorang "Putra Fajar" menjadi magnet bagi kawan dan lawannya di dunia internasional. Memang banyak orang mengatakan, bahwa Soekarno adalah Presiden ultra-flamboyan - dalam bentuk lain dari "pencitraan" - tapi harga diri dan kemandirian merupakan kata kunci dari perjuangannya. Ia merasakan derita dan mengeluarkan "peluh keringat" untuk sebuah bangsa bernama Indonesia. Ia dan bangsanya tak ingin jadi "pinggiran", ia ingin jadi "ingatan" orang banyak, menjadi "magnet" bagi pemimpin dunia lainnya. Dan, Indonesia berawal dari harga diri yang tercabik dan dihinakan oleh yang namanya kolonialisme - buah dari "kapitalisme", karena itulah, "muka tengadah" arah kedepan sambil tertunduk melihat "masa lalu" menjadi icon pemikiran putra tersayang Idayu Agus Rai ini.


(c) historia-online.com

Presiden Sukarno berdiri berdampingan dengan 4 pemimpin negara Non Blok setelah mereka selesai mengadakan pertemuan. Dari kiri kekanan : Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Kwame Nkrumah (Presiden Ghana), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Bung Karno, dan Tito (Presiden Yugoslavia).  Kelima pemimpin negara non blok ini mengadakan pertemuan yang menghasilkan seruan kepada Presiden AS, Eisenhower (Presiden AS) dan Perdana Menteri "Uni Soviet"/Rusia, Nikita Khruschev, 
agar mereka melakukan perundingan diplomasi kembali 
(Foto: 29 September 1960).

Kamis, 13 Desember 2012

Habibie itu Pengkhianat, (Bahkan) "The Dog of Imperialism"

Oleh : Muhammad Ilham

(c) kompasiana.com
Belakangan ini, media massa dan media elektronik mendapat berita empuk berkaitan dengan statement seorang (mantan) menteri Malaysia yang mengatakan Bacharuddin Joesoef (BJ) Habibie - mantan Presiden Indonesia ketiga - sebagai pengkhianat bangsa Indonesia. Bahkan Presiden dengan mata bak bola pingpong ini dianggap sebagai budak kaum imperialis. Koran Republika, misalnya menjadikan berita ini sebagai headline (tanggal 10/12 dan 11/12-2012). Pemerintah Malaysia, menurut Republika,  untuk kesekian kalinya melecahkan bangsa Indonesia. Setelah tidak pernah serius menyelesaikan kasus tenaga kerja Indonesia (TKI), kali ini mereka menghina presiden Republik Indonesia ketiga, BJ Habibie. Dalam tulisan opini yang dikutip Utusan Malaysia (kemudian dihapus), awal pekan ini, Menteri Penerangan Malaysia Tan Sri Zainuddin Maidin menuding, Habibie sebagai pengkhianat bangsa. Itu lantaran semasa menjabat presiden, Indonesia harus kehilangan Timor Timur (sekarang Timor Leste). Bahkan, dengan kasarnya Zainuddin menyebut, lengsernya Habibie yang merupakan pemerintahan tersingkat dan jatuh dalam kehinaan. "Habibie sebagai 'The Dog of Imperialism' serta pengkhianat bangsa Indonesia. (Habibie) adalah ibarat gunting dalam lipatan ketika pemerintahan Soeharto," demikian pernyataan Zainuddin. 

Meski dalam tulisan itu, ia menekankan hal itu merupakan pandangan pribadi, bukan pemerintah, sontak saja sepertinya kontroversi bakal memanaskan hubungan kedua negara. Kedatangan Habibie ke Selangor, Malaysia atas undangan Anwar Ibrahim. Wakil presiden di era Soeharto itu memberi pidato akademik di Dewan Pro Canselor Universiti Selangor (Unisel) Shah Alam Selangor. Pemerintah Malaysia menyoroti kedatangan Habibie ke Malaysia yang di undang Partai Keadilan Rakyat (PKR). Itu lantaran PKR dikenal sebagai partai oposisi yang dipimpin mantan deputi perdana menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim.

Dan ketika wartawan/reporter TV One mewawancarai Zainuddin Maidin yang bergelar Tan Sri, apakah beliau ingin mengkoreksi pernyataannya di salah satu media massa, akbar istilah negara Cik puna Siti Norhaliza, Zainuddin Maidin yang biasa dipanggil ZAM ini tak bersedia minta maaf.  Bagi saya tidak masalah,  karena bagaimanapun juga, itu bukan pendapat resmi pemerintah Malaysia. Masyarakat Indonesia-pun tak perlu bereaksi berlebihan. Lebih baik opini dibalas dengan opini, itu jauh lebih elegant dan smart. Namun yang saya cengangkan adalah ketika si-ZAM ini mengungkapkan kepada si reporter TV One tersebut bahwa beliau sangat mengagumi Soekarno dan Soeharto. Soeharto tidak masalah, ia (bahkan) dianggap oleh Mahathir Mohammad sebagai sahabat sekaligus guru. Tapi Soekarno ? ......... contradictio. Nampaknya, si-ZAM harus kembali membaca buku sejarah.

Biografer Cindy Adams, pernah menukilkan beberapa paragraf tentang Soekarno - begini :

(c) historia-online

Seorang tokoh pernah berkata, kata Cindy Adams dalam bukunya tersebut, bahwa :

"Jika beliau (maksudnya : Soekarno) berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di atas bumi ini". "Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!", atau Go to hell with your aid. Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malaya itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu".

Kebencian Soekarno terhadap Malaysia, besar sekali. Kalau si ZAM belajar sejarah, ia akan tahu, bahwa Soekarno pada masa pemerintahannya, pernah ingin menghajar Malaysia. Dan, mengapa Tan Sri Zainuddin Maidin itu justru underestimate dengan Habibie, padahal Habibie tak pernah melontarkan kata-kata profokatif terhadap pemerintahan dan elit politik Malaysia. Mengapa harus Habibie ? Habibie bahkan terkesan soft pada Malaysia ketika beliau menjadi Presiden ? ................................ Nampaknya analisis dari Zaenal A. Budiono/detik.com (15/12/2012) ada benarnya :

detiknews.com - The dog of imperialism. Frasa inilah yang akhir-akhir ini membuat panas kuping sejumlah elit di Indonesia. Gara-garanya, kalimat itu ditujukan untuk mantan Presiden RI ke-3, Baharudin Jusuf Habibie. Penulisnya adalah Tan Sri Zainudin Maidin, mantan Menteri Penerangan Malaysia. Walaupun tulisan Maidin bukan sikap resmi Kuala Lumpur, tetap saja frasa tersebut terlalu kasar sebagai bahasa diplomasi. Apalagi ditilik dari rekam jejak hubungan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, riak-riak selalu menyertai, mulai dari isu TKI, Sipadan-Ligitan, Ambalat, hingga reog. Maka jangan heran jika orang Indonesia sangat sensitif jika ada komentar miring dari jirannya itu. Terkait kedatangan Habibie di Malaysia, itu atas undangan tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim. Beliau didaulat untuk memberikan ceramah di Universiti Selangor. Namun sepertinya hal tersebut tak mendapat restu pemerintah setempat yang dikuasai UMNO. Anwar selama ini dianggap sebagai tokoh reformis Malaysia yang “menganggu” status quo. Beragam cara digunakan pihak penguasa untuk menekan Anwar. Mulai dari isu rekening miliaran ringgit hingga yang menghebohkan soal sodomi. Namun pada akhirnya pengadilan Malaysia membebaskan Anwar karena tak terbukti. Momen kebebasan Anwar makin menyiutkan nyali penguasa Malaysia. Anwar diramal akan menjadi ikon baru demokrasi Malaysia yang hingga kini berjalan bak siput—terlalu lamban. Di sisi lain, kalangan muda dan kelas menengah Malaysia mulai mendukung Anwar. Mereka tak mau dibodohi oleh rejim yang terlalu takut dengan demokrasi. Lebih-lebih, hubungan Anwar dengan sejumlah tokoh reformis Indonesia dikenal dekat. Ia bersahabat baik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bahkan menjadi komentator saat Presiden SBY masuk dalam Time 100, tahun 2006 silam. Anwar juga dekat dengan Amien Rais, Gus Dur dan tokoh-tokoh penting Indonesia lainnya. Suasana demikian tak ia temui di Malaysia, dimana antar tokoh pemerintah dan oposisi bisa berdikusi bersama, saling kritik dan tukar pendapat atas nama demokrasi.

Di Indonesia sendiri, partai-partai oposisi bebas mengundang tokoh-tokoh dari luar negeri, menggelar diskusi, kritik, bahkan demonstrasi. Semua disikapi sebagai bagian dari keniscayaan demokrasi. Pada akhirnya iklim yang demikian, akan membuat bangsa ini dewasa dan siap dengan perbedaan. Kembali ke Anwar, salah satu tokoh penting lain yang tak pernah lupa dikunjungi Anwar saat di Jakarta adalah BJ Habibie. Mengapa Anwar dan Partai Keadilan Rakyat Malaysia (PKR) dekat dengan Indonesia? Mereka sadar bahwa kekolotan politik yang anti demokrasi tak akan bisa bertahan lama. Malaysia sekarang boleh mengklaim ekonomi mereka stabil dan terus tumbuh. Namun itu bukan jaminan stabilitas. Kelas menengah dan kalangan terdidik di sana juga memiliki hak-hak politik yang harus diberi saluran. Maka dua kali demonstrasi besar berujung kerusuhan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tak semua klaim tersebut liear dengan realita. Di sisi lain, Indonesia yang sempat terpuruk pasca reformasi—dan berkomitmen menggelar demokrasi—kini terus menunjukkan performance positif dalam ekonomi. Indonesia kini adalah negara dengan GDP nomor 16 di dunia, yakni sebesar US $ 800 Milyar. Makanya kita sekarang masuk kelompok G-20, forum strategis yang menentukan arah pembangunan ekonomi dunia. Indonesia juga sedikit dari negara yang ekonominya terus tumbuh di tengah ketidakpastian global. Saat ini pertumbuhan kita mencapai 6,5%, jauh di atas Malaysia. Investment grade Indonesia pun—yang diberikan R&I, Moddy’s dan Fitch—terus membaik dan bahkan masuk kategori "layak investasi". Tak hanya di bidang ekonomi, Indonesia juga dipandang sebagai "cermin demokrasi" bagi negara-negara berkembang. Keberadaan Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya menjadi ajang sharing demokrasi negara-negara non Barat membuktikan kita menjadi kutub baru demokrasi Asia. Bahkan tahun 2012 ini, BDF dihadiri 14 pemimpin tertinggi (kepala Negara) dan 43 delegasi lainnya. 


Penasbihan Indonesia sebagai negara demokrasi sudah muncul bebeapa tahun lalu, ketika Freedom House menyamakan level demokrasi Indonesia dengan negara-negara Barat yang demokrasinya sudah maju. The point is, Indonesia yang awalnya tertatih, dimana ekonominya terpuruk di awal-awal reformasi, kini mampu bangkit dan tumbuh dengan menerapkan demokrasi. Hal ini juga sekaligus antitesa bagi sebagian kalangan yang percaya demokrasi di dunia ketiga (negara berkembang) berlawanan dengan kinerja ekonomi. Mengenai isu Timor Timur yang diangkat Maidin, ia seakan “buta” sejarah Indonesia. Sebagai mantan menteri, seharusnya ia tahu bahwa kasus Timor Timur tak sesederhana tuduhannya kepada Habibie yang ia sebut sebagai “pengkhianat”. Rakyat Indonesia menjadi saksi bagaimana Habibie berani membuka pintu bagi demokrasi di Indonesia. Sejak itu era otoritarian orde baru yang mencekam dapat diakhiri. Lepasnya Timor Timur pada 1999 lebih disebabkan tiga hal, pertama, sejarah Timor sendiri yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Kedua, kegagalan pendekatan keamanan ala orde baru yang otoriter. Ketiga, kemungkinan adanya “intervensi” dalam jajak pendapat, dimana penghitungan dilakukan di New York, dan bukan di Dili ataupun Jakarta. Jadi Habibie di sini hanya ketiban tanggung jawab untuk memimpin Indonesia di tengah keterpurukan ekonomi dan keterbukaan politik sekaligus. Sebuah era yang sangat tidak mudah. Rakyat Timor Leste kini juga melihat Indonesia sebagai negara sahabat. Kedua pemimpin negara sepakat menyelesaikan problem masa lalu melalui dialog dan rekonsiliasi. 


Para pengusaha Indonesia juga banyak masuk ke Timor Leste untuk membantu derap ekonomi negara baru tersebut. Tak ada dendam, tak ada permusuhan. Bahkan Xanana Guamao dan Ramos Horta, dua pemimpin Timor berkali-kali datang ke Jakarta dan Bali untuk membangun hubungan baik. Presiden SBY saat melawat ke Dili pertengahan tahun ini disambut sebagai “tamu agung” dengan perayaan besar di sepanjang jalan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi dan dialog bisa menjadi elemen soft power yang menentukan dalam diplomasi modern. Jika demikian keadannya, dapat disimpulkan bahwa tuduhan Maidin benar-benar lucu dan ahistoris. Atau ada agenda lain? Mungkin saja. Sebab kalau kita cermati lebih dalam, serangan Maidin sejatinya bukan ke Habibie. Mantan Presiden ketiga Indonesia itu hanya dijadikan media untuk menyerang lawan politiknya di dalam negeri yang paling tangguh: Anwar Ibrahim. Sebagaimana di atas, Anwar tak mudah ditundukkan dengan berbagai cara, bahkan sekarang popularitasnya terus menanjak. Apalagi setelah “serangan isu sodomi” tak terbukti. Anwar sendiri mengatakan bahwa artikel Maidin tersebut menunjukkan bahwa UMNO sangat panik. Kedatangan Habibie demikian dikhawatirkan akan mampu memompa semangat perlawanan para pemuda dan mahasiswa Malaysia. Ia juga menyamakan rejim UMNO dengan orde baru yang tumbang di Indonesia. Akankah ini tanda bahwa UMNO akan tumbang? Rakyat Malaysia yang bisa menjawabnya. Sementara di pusat keramaian Jakarta, sejumlah remaja dan orang tua tengah berkumpul untuk mengantri tiket. Mereka tak sabar menyaksikan film yang diprediksi akan “meledak” di pasaran di akhir tahun ini. Sebuah cerita tentang tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Tak melulu cerita heroik, tapi justru tentang perjalanan cinta, kesetiaan dan pengorbanan anak manusia. “Habibie dan Ainun”, itulah judul film yang tengah happening di Indonesia saat ini. Film tentang betapa idealnya hubungan Habibie dan istrinya Ainun hingga ajal memisahkan keduanya. Di lantai lobi XXI Premiere, kritik Maidin tak banyak “dianggap sesuatu” oleh kaum muda Indonesia. Mereka tetap ramai mengantri. Mereka melihat Habibie sebagai sosok yang berjasa besar dalam pembangunan dan perubahan Indonesia. Bapak teknologi, Bapak demokrasi. "Ah Maidin… kemana aja selama ini hingga tak tahu reputasi BJ Habibie".

_________ Ini bukan tulisan bertendensi provokatif. Saya hanya mengkomparasi dan mengkonfirmasi fakta sejarah.

Seminar Nasional Fak. Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau": Rasionalisasi Kegiatan

Oleh : Muhammad Ilham 

1.    RASIONALISASI KEGIATAN 

FIB-Adab Site
Sepanjang lebih kurang 67 tahun kemerdekaan Indonesia, nama Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya : TIB) hadir di ruang publik bangsa ini—sebagai nama jalan di banyak kota, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran 5000-an rupiah keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.   TIB (1772-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973, adalah salah seorang pemimpin utama Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1837) yang gigih melawan kolonialis Belanda. Namun, baru-baru ini muncul petisi yang menggugat gelar kepahlawanan TIB. Menurut petisi itu sosok TIB tak layak jadi Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau dituduh melanggar hak azasi manusia (HAM) karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (lihat http://www.petitiononline.com /bonjol/petition.html). 

Kekejaman Kaum Paderi disorot lagi dengan diterbitkannya kembali buku M.O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi oleh Hamka, 1974), menyusul kemudian karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyang mereka dan orang Batak pada umumnya selama serangan tentara Paderi antara 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan sekitarnya (Tempo edisi 34/36/15-21 Oktober 2007). Tempo menurunkan laporan khusus mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi dalam perang di dataran tinggi Minangkabau (1803-1837). Laporan itu dipicu oleh dipublikasikannya kembali buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006) (pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan, Djakarta, [1964]) dan satu buku lain karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Komunitas Bambu, 2007). Ketiganya terkenal sebagai penerbit kaum pengusung liberalisme agama.   

Dalam buku itu, dan merujuk laporan Tempo di atas, diceritakan kembali kekejaman dan kebrutalan yang telah dilakukan Kaum Paderi waktu mereka melakukan invasi ke Tanah Batak.  Dikatakan pula bahwa Kaum Paderi mengembangkan gerakan Wahabi di Sumatera setelah tiga pendirinya, Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang terpengaruh oleh gerakan itu sewaktu mereka berada di Tanah Arab dan kembali ke Minangkabau tahun 1803. Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (Journal of Asian Studies 67.3, 2008, cf. Suryadi Sunuri, 2011) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, dan hal itu setidaknya terkait tiga kepentingan Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).  

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu bahwa pada zaman itu perbudakan adalah bagian dari sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangganya. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu. Tak dapat dimungkiri bahwa Perang Paderi telah meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatik dalam memori kolektif bangsa Indonesia.  Seorang tokoh seperti TIB muncul, eksis, dan kemudian ‘runtuh’ oleh kombinasi antara keinginan, takdir, dan kehendak zaman. Ada yang menganggap beliau telah “berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagaruyung, […] memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan” banyak orang, “[…] menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X“, seperti yang dituduhkan si pembuat petisi yang telah disebutkan di atas. (Djohan, “Zaman Paderi”, Jong Sumatra, No.1, 2de Jrg., 15 Djanuari 1919: 113, cf. Suryadi Sunuri, 2011). 

Di hari-hari terakhirnya di Minangkabau, TIB diusung di atas tandu oleh rakyat dalam perjalanannya dari Bukittinggi ke Padang menuju tanah pembuangan (MTIB, hlm.176-78, cf. Suryadi Sunuri, 2011). Walau sudah dalam tawanan Belanda keyakinan agama TIB tak goyah: “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang apa gunanya hidup, lebih baik mati“, demikian kata beliau kepada tentara Belanda yang melarangnya berhenti untuk shalat Zuhur ketika tandu usungan sampai di Kayu Tanam (MTIB hlm.176, cf. Suryadi Sunuri, 2011). Kini terserah kepada Bangsa Indonesia—bangsa-bangsa lain jelas tak ambil pusing—apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi-gerasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.  Namun, kehadiran TIB sebagai salah satu icon kepahlawanan Indonesia, khususnya Minangkabau, dijadikan kemudian sebagai justifikasi atau akar historis radikalisme Islam yang berkembang beberapa tahun belakangan ini, khususnya di Indonesia.  Wahabisme diidentikkan dengan TIB dan Gerakan Paderi. Pada gilirannya, Diktum kultural Minangkabau, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, juga dianggap sebagai refleksi purifikasi kultural dan eksklusifisme kultural di Minangkabau.  Dalam konteks di atas, maka Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol Padang berkeinginan untuk melakukan Seminar Nasional tentang Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di  Minangkabau.


2. BENTUK KEGIATAN 

Seminar Nasional dengan Grand-Topic : “Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di  Minangkabau”.   Tema umum seminar ini dibagi kepada beberapa pokok bahasan utama, yaitu :

1.       Islam di Minangkabau : Landasan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam Diktum Hukum Adat Basandi Syarak, Syara’ Basandi Kitabullah.

2.       Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Masa Depan Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah di Minangkabau.


3.       TUJUAN KEGIATAN
1.      Seminar Nasional bertujuan untuk mengungkap fakta sejarah Tuanku Imam Bonjol dalam memberikan inspirasi dan kesadaran sejarah  kepada masyarakat lokal serta institusi IAIN Imam Bonjol sebagai pengguna branding Imam Bonjol.
2.      Seminar Nasional juga bertujuan mengkritisi literatur yang ada dimana gugatan terhadap Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional bertendensi a-historis.
3.      Seminar Nasional ini diharapkan dapat melihat secara jernih benang merah sejarah antara Gerakan Paderi sebagai sebuah entitas historis, Wahabisme sebagai entitas global-politik dan diktum ABS-SBK sebagai entitas kultural Minangkabau.
4.      Diharapkan Seminar Nasional ini menghasilkan temuan-temuan epistimologis yang  akan ditindaklanjuti oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol Padang sebagai lembaga akademik dalam bentuk kerja-ilmiah.

Referensi : sebagian besar "Rasionalisasi Kegiatan" dari (c) Suryadi Sunuri


Seminar Nasional Fak. Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau": Makalah (2)


Ditulis ulang : Muhammad Ilham

FIB-Adab Site
Seminar Nasional Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang yang bertemakan "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau", dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2012, dengan rasionalisasi kegiatan untuk mencari benang merah Tuanku Imam Bonjol (yang kepahlawanannya digugat oleh beberapa kelompok masyarakat) sebagai tokoh hitoris dan adagium kultural Minangkabau, "Adat Basandi Syara' Syara' Basandi Kitabullah". Lebih lanjut, rasionalisasi kegiatan Seminar ini, lihat tulisan diatas !. Ada beberapa makalah utama yang dipresentasikan dalam acara tersebut. Bersama ini, saya publish 2 makalah :   

Makalah (2) :  

Kondisi Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah dalam Realitas Sosial : Proses Tanpa Henti Purifikasi Islam di Minangkabau

Oleh :
Prof. Dr. rer.soz. H. Nursyirwan Effendi


Karakteristik masyarakat Minangkabau seperti yang diuraikan di atas dan kondisi perkembangan nilai ekonomi yang merasuk akan sedikit banyak berpengaruh kepada posisi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai suatu acuan dan standar nilai universal dalam konteks Minangkabau. Berkait dengan membina karakter Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dalam masyarakat Minangkabau, maka diperlukan upaya pembudayaan nilai dan filosofi dari Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tersebut. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dibangun dalam konteks ini yaitu :

(1). Memperkuat otoritas lembaga adat dan agama. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang kendali dari pihak yang dianggap paling paham tentang implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dalam masyarakat.
(2). Membangun kapasitas pembina Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah untuk dapat mengajarkan „membudayakan“nya kepada masyarakat.
(3). Membuat model dan praktek pengajaran „pembudayaan“ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah  yang standard dan applicable  dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Hal ini didasarkan kepada realitas sosial Minangkabau memiliki keanekaragaman dari satu nagari ke nagari lainnya.
(4). Menyusun paramater nilai dan praktek yang benar dari Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang dapat dicerna dan dimengerti tidak hanya kalangan orang tua, tetapi juga remaja dan anak-anak.
(5). Membuka ruang analisis dan interpretasi tentang Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah secara praktis, agar nilai dan filosofinya dapat disesuaikan dengan perkembangan sosial yang mengikuti perubahan zaman, seperti ekonomi global. 

Terkait dengan poin no 5 diatas, tidak dipungkiri bahwa masyarakat Minangkabau telah lama terlibat dalam ekonomi pasar tingkat global (Oki 1977: 34-61). Oki menemukan salah satu bukti bahwa pada akhir abad ke 18 orang Minangkabau telah mengembangkan penanaman kopi untuk kepentingan pasar global, karena semakin meningkatnya permintaan kopi di pasar Eropa. Perkebunan kopi terus meluas antara tahun 1820an sampai 1830an, meskipun diiringi dengan pergolakan Padri yang berlangsung awal abad ke 19 (Oki 1977: 35). Pada masa itu perkebunan kopi banyak terdapat di daerah Rao, Maninjau dan Solok. Daerah-daerah tersebut sangat cocok untuk penanaman kopi jenis arabika yang diminati pasar global. Para pedagang yang ada di daerah-daerah tersebut seluruhnya adalah orang Minangkabau. Mereka mengekspor kopi ke luar negeri melalui jalur sungai ke pantai timur Sumatera melewati selat Malaka (Oki 1977: 35). 

Nilai dasar dan acuan tertinggi dari Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah mungkin perlu direposisi dalam memantapkan karakter budaya dan kehidupan Minangkabau. Perlu ada kesepakatan yang tidak ditawar-tawar lagi dari semua pendukung kebudayaan Minangakabau untuk menjadikan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah  dianggap memiliki otoritas tinggi. Pada tataran perilaku, strategi pembudayaan karakter Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadi ukuran proses purifikasi ajaran Islam dan semangat perjuangan Imam Bonjol dalam menjernihkan perilaku masyarakat dari kotoran dan benalu perilaku yang tidak sejalan dengan nilai Islam dalam „rumah“ kebudayaan Minangakabau. Penjernihan, atau namanya, purifikasi nilai dan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dalam kompleksitas perilaku masyarakat adalah suatu proses panjang yang berkesinambungan dan tanpa henti. Dengan demikian praktek penanaman nilai dan filosofinya harus disengajakan, diatur dan dikendalikan secara eksplisit oleh lembaga atau individu yang memiliki otoritas besar dalam bidang agama dan adat. 

:: Tidak dipublish keseluruhan, (hanya) Kesimpulan makalah saja.

Seminar Nasional Fak. Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau": Makalah (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

FIB-Adab Site
Seminar Nasional Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang yang bertemakan "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau", dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2012, dengan rasionalisasi kegiatan untuk mencari benang merah Tuanku Imam Bonjol (yang kepahlawanannya digugat oleh beberapa kelompok masyarakat) sebagai tokoh hitoris dan adagium kultural Minangkabau, "Adat Basandi Syara' Syara' Basandi Kitabullah". Lebih lanjut, tentang rasionalisasi kegiatan Seminar Nasional ini diadakan, lihat tulisan diatas !. Ada beberapa makalah utama yang dipresentasikan dalam acara tersebut. Bersama ini, saya publish 2 makalah :   


Makalah (1) :  

Aplikasi Hukum Adat Basandi Syarak di Minangkabau  
(Kajian Naskah Tuanku Imam  Bonjol) 

Oleh :  
Syafnir Aboe Nain Datuk Kando Marajo  

Pergolakan suatu aspek sensitif dalam kehidupan kutural dapat menyebabkan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai yang dimiliki.  Sebab itulah kita mengayunkan langkah ke arah  pembangunan dan perubahan sosial, - yang memang bukanlah hal yang mudah- sangat penting dipelajari dan kemudian menerapkan aplikasinya dalam pendidikan sosial secara menyeluruh.  Bertitik tolak dari pra anggapan yang telah menjadi keyakinan bahwa kultural harus bersinergi dengan Islam, maka orang berusaha menemukan kembali cita-cita (modern)nya di dalam Islam. Tetapi, sekarang timbul pertanyaan, apakah Islam ada unsur-unsur yang bertaut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme? Memang unsur itu ada, meskipun kerapkali karena perkembangan sejarah atau diingkari atau terdesak ke belakang. (Schrieke, Leknas LIPI; 1973;45). 

Meskipun usaha untuk menggali kembali  seorang yang telah menjadi “pahlawan” itu mempunyai resiko, tetapi sejarah tidaklah  sekadar memberikan landasan bagi peneguhan  nilai integratif. Dari sejarah kita dimungkinkan  untuk mendapatkan kearifan dan hikmah dari pengalaman. Bukankah biografi, sebagai bagian  dari sejarah-  sebenarnya bisa dilihat  sebagai suatu panorama dinamis dari penghadapan manusia, dengan nasibnya?  Bagaimana seseorang mengadakan dialog dengan sejarah dan masyarakatnya? Dan memang tak  ada yang lebih intim  dari pada biografi dalam usaha untuk mengungkapkan sejarah sebagai panorama pergumulan manusia dengan nasib ini. Karena itulah usaha  meneliti kembali riwayat Tuanku Imam Bonjol perlu kita sambut. Memorie van Toeankoe Imam Bonjol, sesungguhnya telah diterjemahkan dalam Indische Gids No. 37 jilid ke-2 tahun 1915, yang berjudul Saksi-Saksi Pihak Pribumi mengenai Perang Padri”. suatu sumber yang selama ini kurang diperhatikan. 

Orang baru terkejut ketika: 

Pertama, tahun 1982 Yusuf Abdullah Puar menyangkal yang ditangkap Belanda dan dibuang pada akhir perang Padri, bukanlah Tuanku Imam Bonjol, tetapi Tuanku Syahbuddin, seorang Imam Perang dan sahabat karib Tuanku Imam Bonjol. Sanggahan ini ditulisnya dalam surat kabar Waspada (Medan), Singgalang (Padang) dan Jawa Post (Surabaya) yang masing-masing ditembuskan kepada Gubernur Sulawesi Utara di Manado. Pada tanggal 4 September ‘data domestik” dan  berjudul, Meluruskan Sejarah Imam Bonjol, Tidak benar wafat dan Dimakamkan di Lotak Pineleleng, Manado’. Polemik Zaidin Bakri alm. dengan Yusuf Abdulah Puar dapat diakhiri,  ketika Zaidin menulis, “kuda mancareteh melarikan Tuanku ke Kuala.................................................”, yang merupakan cuplikan “Memoire Naskah TIB” yang naskah aslinya sedang berada di tangan saya. 

Kedua, Muncul petisi seorang pemuda Samosir, Mudi Situmorang, yang akan mengumpulkan 500 tanda tangan agar gelar Pahlawan Nasional dicabut, Gerakan Padri disamakan dengan al Qaeda (?) karena  menewaskan jutaan (?) orang di tanah Batak. Majalah Tempo edisi 34-XXXVI 21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus kebrutalan Kaum Padri (1803-1837). Laporan ini dipicu atas terbitnya kembali buku Onggang Parlindungan, Pongkinangol-ngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak (1816-1833). Tulisan Mudi Sitomorang diakhiri dengan Seminar pada ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang diselenggarakan Gebu Minang di Jakarta, dengan judul Perspektif Sosil  Budaya, Sosial Psikologis, Agama, Dan  Manajemen Konflik, Jakarta 22 Januari 2008. Pada hari kedua tampil pemateri Prof. Dr. Taufik Abdulah, Prof. Dr. Azyumardi, Prof. Dr. Amir Sjarifuddin, dan saya Sjafnir Abu Nain dengan judul “Perang Minangkabau”. Saudara Mudi Situmorang menyatakan “menarik” inisiatifnya mengenai TIB, setelah saya memperlihatkan tentang Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai dari Kopi Memoire dalam tulisan Arab Melayu (Kopi ini diserahkan  pada Kepala Andri, Jakarta). Seminar ini menimbulkan polemik di dunia maya (Rantau Net)  tentang alih tulis  Naskah TIB oleh Sjafnir, perlu disempurnakan.  Dari Seminar di ANRI lahir dua kesimpulan, yaitu Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Tentang Penjabaran dan Operasional serta Kompilasi Hukum Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulah dalam Provinsi Sumatera Barat (Keputusan No. 141-171-2008) dan pembentukan Lembaga Kajian Gerakan Padri 1803-1837 oleh Gebu Minang (Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang). Seminar berlanjut dengan bedah buku Christinne Dobbin, Gejolak Ekonomi Kebangkitan Isam dan Gerakan Padri Minangkabau 1784 – 1847) oleh Prof Dr. Gusti Asnan, dan Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau 1784 – 1832 edisi revisi,  oleh Drs. Zuqayim, M.Hum. Dari kupasan Zulqayyim, “Monumen kata untuk Tuanku Imam Bonjol: meramu dari sumber lokal,  seperti Naskah Tuanku Imam Bonjol dan Naskah Faqih Saghir” 

Ketiga, “Hilangnya” Naskah Asli TIB dari Kantor Gubernur Sumatera Barat, yang diserahkan Naali Sutan Caniago, cucu Sutan Caniago, anak TIB pada tahun 1983, waktu Gubernur Azwar Anas. Bahkan Suryadi, dosen di Leiden, dalam tulisannya berjudul, Siapakah Kini yang Menyimpan Naskah Asli Tuanku Imam Bonjol? Suryadi menyatakan, “Yang kurang diketahui selama ini mengenai Perang Padri yang ditulis orang Minang sendiri,  sumber pribumi tersebut nilai historisnya jelas sangat tinggi.” (Singgalang 3 & 6 Desember 2006. Suryadi menyatakan orang yang mengetahui mengirapnya naskah tentu Sjafnir Aboe Nain. 

Keempat, tahun 2004 Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang menerbitkan transliterasi naskah TIB yang dikerjakan oleh Sjafnir Aboe Nain. Judulnya: Naskah Tuanku Imam Bonjol. Penerbitan buku itu patut disambut gembira, tetapi sekaligus juga memunculkan kembali pertanyaan tentang “hilangnya” naskah asli TIB (Suryadi, Singgalang, 3 & 6 Desember 2006 dan Ranah Minang.Net, 4 Oktober 2006;). 

Naskah asli itu dipinjamkan oleh Pemerintah Daerah  Sumatra Barat kepada Rusydi Ramli, dosen IAIN Imam Bonjol Padang, selaku Ketua Panitia Daerah Festival Istiqlal Provinsi Sumatra Barat untuk dipamerkan dalam acara Festival Istiqlal I, Jakarta, 15 Oktober-15 November 1991, Rusydi Ramli sempat memfotokopi naskah TIB atas izin Panitia Festival Istiqlal I (Rusydi Ramli, sms, 23-7-2006). Dalam kesempatan ceramah di IAIN Imam Bonjol tgl. 10 Juli 2006, Jeffrey Hadler memfotokopi lagi fotokopi naskah TIB milik Rusydi Ramli itu sebanyak 4 rangkap: untuk Jeffrey Hadler, untuk Perpustakaan Berkeley, untuk Datuak Buruak di Bonjol (yang sudah kehilangan naskah asli TIB), dan untuk Yasrul Huda, dosen IAIN Imam Bonjol (Jeffrey Hadler, email, 22-7-2006). Jeffri Haedler, mendapat durian runtuh, dari kopi naskah yang diberikan  Rusli Ramli, karena disertasinya dengan sumber asli dapat dicocokkan dengan alih tulis Naskah TIB yang diterbitkan PPIM, 2004. Sebaliknya kita mengenal “diri kita” sendiri (maksud nilai Minangkabau) dari disertasinya. 

Di samping memakai memoire dari salah seorang putra Imam Bonjol, Tambo Naali- sekarang kita mencoba menempatkan TIB dan perjuangannya dalam perkembangan konsep “nilai”, yang  kini menjadi  jati diri orang Minangkabau, yang lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui pergulatan yang panjang.  Memoire atau Naskah TIB sebagai historiografi tradisional ternyata dapat diperoleh fakta-fakta yang dapat dicek kebenaran sejarahnya dengan sumber kontemporer, terutama yang berasal dari orang Belanda.  Bahkan dapat diperoleh  fakta-fakta  dalam sumber lain. Publikasi terbaru mengenai Perang Padri oleh sejarawan militer G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Padri. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer. Dapat dibandingkan dengan taktik dan strategi yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol di Benteng Bonjol dan Benteng Bukit Tajadi. (Naskah hal. 90-120.) 

Cita-cita dan gagasan pembaruan yang berlangsung di kawasan Agam diketahui Imam Bonjol dari gurunya, Tuanku Bandaro. Tuanku Imam dan Tuanku Bandaro mendalami seluk beluk pembaruan masyarakat langsung  dari pencetus idenya, Tuanku Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh.  Selama tiga bulan mereka berada di surau Bansa, Kamang. Kesempatan terbuka baginya untuk menerapkan gagasan itu setelah  Datuk Bandaro, pemimpin surau Padang Kayu Kalek, meninggal dunia. Kepemimpinan Peto Syarif berkembang setelah diangkat sebagai pelindung desa Bonjol. Dalam satu tahun, penduduk Bonjol makin ramai. Peto Syarif berangkat ke Kamang untuk kedua kalinya bermufakat dengan Tuanku Nan Renceh. Hasilnya, rombongan Tuanku Nan Renceh datang ke Bonjol menghadiri “jamuan” peresmian Tuanku Mudo menjadi Tuanku Imam. Sekali gus sebagai pengakuan Tuanku Imam sebagai pemimpin gerakan Padri (1808). Niak Angku kemudian meresmikannya  menjadi Tuanku Imam. Sementara itu Niak Angku memancang gelanggang untuk balai-balai penaikan Datuk Bandaro yang baru, sebagai raja Alahan Panjang. 

Tuanku Imam Bonjol telah menoreh sikap kejuangan yang dapat kita tauladani. Delik persoalan ini dari dapat kita telaah dari sebuah “catatan harian” yang ditulisnya dengan huruf Arab Melayu. Tulisan ini dibawa kembali ke Minangkabau dari Lotak Pineleng, Manado, oleh anaknya Sutan Saidi. Sultan Caniago melanjutkan tulisan ini sampai 318 halaman yang ditulis oleh Sekretarisnya Malin Muhammad sehingga naskah itu dikenal juga dengan Tambo Naali. Naskah asli  awalnya ditemukan ketika kami ditugaskan meneliti kemungkinan pendirian Museum Imam Bonjol oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. tahun 1972. Memasuki abad ke-19, di Sumatra Barat mulai timbul suatu aliran baru yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Padri. (Rusli Amran 1985; 385).  Dobbin (1992) menulis, gerakan tersebut tumbuh tidak terlepas dari kemakmuran baru yang diperoleh dari perdagangan yang dialami oleh mayoritas masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu telah memungkinkan lebih banyak masyarakatnya untuk naik haji. Keadaan kota Mekah tempat naik haji tahun 1803 mengalami masa yang menggoncangkan; kota suci tersebut diserbu oleh pejuang-pejuang padang pasir yang tidak saja menyuarakan  “kembali ke syariat” tetapi juga menyerukan  tuntutan kembali ke ajaran sang Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya yang paling fundamental. Mereka ini adalah kaum Wahabi dari Arab Timur. Ajaran mereka sangat terkesan bagi para peziarah asal Minangkabau, sehingga mereka juga bertekad untuk melaksanakan pembaruan total apabila mereka tiba kembali di kampung halamannya. 

Di antara peziarah tersebut yang paling terkenal adalah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang (Sjafnir Aboe Nain,1988:41). Ketiga haji tersebut menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Koto. Pada setiap kesempatan berkhotbah, mereka menjelaskan bahwa aliran Wahabi di Mekah melaksanakan pembaruan. Mereka menganjurkan kembali ke syariat yang berdasarkan al Quran dan Hadis nabi. Daerah yang paling intensif menyebarkan ajaran tersebut adalah Rao dan Alahan Panjang (dikenal dengan nama Bonjol). Bonjol makin berkembang sebagai pusat pengajian (surau). Para tuanku disini mengajarkan murid-muridnya yang datang dari segala pelosok Minangkabau dan Tapanuli. Setelah menamatkan pengajian, mereka diantar dan diangkat menjadi imam besar di negerinya masing-masing dengan persetujuan  raja dan penghulu. Di antara mereka yang terkenal ialah Tuanku Imam Bonjol, seorang ulama keluaran Surau Tuanku Datuk Bandaro di Padang Laweh, Ganggo Mudik, di lembah Alahan Panjang. 

Tuanku Imam Bonjol adalah generasi kedua Gerakan Padri yang menerapkan pola pembaruan Islam yang dipelopori Tuanku Nan Renceh dan Haji Miskin dengan gagasan penanaman Imam Khatib dan Kadhi di setiap nagari. Ia berhasil melebarkan pengaruhnya ke wilayah sekitarnya sampai ke Rao-Mandahiling, hingga Tambusai, Tanah Tumbuh, sampai ke Kuok Bangkinang. Seorang di antara tokoh pembaru lainnya adalah, Fakih Muhammad yang berasal dari Padang Mattinggi.  Fakih Muhammad disetujui oleh Yang Dipertuan Padang Nunang dan Penghulu Nan Limo Baleh untuk menjadi Imam Besar di Rao. Semenjak itu, Fakih Muhammad dikenal sebagai Tuanku Rao dibantu oleh kemenakannya yakni Bagindo Usman sebagai kepala hulubalang. Sebagai sebuah ajaran maka aktivitas mendakwahkan ajaran Islam kepada orang lain menjadi tanggung jawab murid-murid tersebut. Bukan saja kepada orang yang sudah melaksanakan ajaran tersebut, namun juga kepada orang yang belum mengenal sekali pun. Dalam rangka mendakwahkan ajaran Islam tersebut, bersama dengan sahabatnya seperti Tuanku Tambusai serta kemenakannya sendiri Bagindo Usman melakukan penyebaran ajaran tersebut ke Mandahiling. Pada waktu itu tidak tertutup kemungkinan ikut juga Raja Gadumbang yang belajar bersama di Bonjol. Bahkan Parlindungan (1964)  dalam proses pengislaman yang terjadi  tahun 1816, hulubalang Padri menguasai daerah daerah Mandahiling, Angkola dan Sipirok yang berada di daerah Tapanuli Selatan Di Sipirok, berkuasa dari tahun 1816-1818. Pengusaan daerah tersebut tidak terlepas dari usaha memuluskan proses pengislaman ketiga daerah tersebut (Parlindungan, 1964;  188) 

Islam masuk ke Minangkabau mendapati kawasan yang tertata rapi dengan apa yang dikatakan “adat” yang mengatur kehidupan manusia dan menuntut masyarakat untuk terikat dan tunduk kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat ialah budi yang diikuti dengan akal, ilmu dan patut. Islam membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat yang disebut aqidah dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah atau syarak. Syariat Islam lahir dari keyakinan “tauhid” mengamalkan Islam secara hakikat dan ma’rifat. Dengan kemampuan dan kearifan orang Minangkabau membaca setiap gerak perubahan, akhirnya Adat dan Islam saling topang menopang seperti aur dengan tebing, membentuk  sebuah konfigurasi kebudayaan  Minangkabau. Nilai budaya merupakan  produk budaya zaman lampau itu masih menjadi warisan  budaya yang tetap dipakai hingga hari ini meskipun telah terjadi pergeseran. Sekali air bah, sekali tepian berubah. 

Adat Bersendikan Syarak, adalah nilai budaya, kerangka pandangan hidup orang Minangkabau yang memberi warna hubungan antara Manusia, Allah Maha Pencipta dan Alam Semesta.  Sebagai suatu konsep nilai, yang kini menjadi jati diri orang Minangkabau, lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui pergulatan yang panjang. Semenjak masuknya Islam ke dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat dengan Islam sebagai sebuah sistem dalam  kebudayaan Minangkabau yang melahirkan filsafah Adat Basandi Syarak. Adat Bersendikan Syarak, bertujuan memperjelas jati diri etnis Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan dan tolok ukur untuk melihat  dari ranah berbangsa dan bernegara, dan dalam pergaulan dunia

Kecintaan Tuanku Imam Bonjol atas keluhuran ajaran Islam tercermin dari kesadarannya atas tindakan sesama orang Minangkabau dan Mandahiling yang keluar dari ajaran Islam. Pada  awal  gerakan pembaruan, perlakuan perang yang dilakukan hulubalang Tuanku Nan Barampek terhadap nagari yang diperangi, antara lain terjadi tindakan-tindakan yang dilarang agama. Sikap musyawarah yang hidup subur daam  masyarakat Minangkabau melahirkan  rasa kebersamaan, saling tolong menolong dan dengan buah pikirmenggandakan teman (Q 49; 10). 

Tuanku Kadhi di Bonjol, Tuanku Imam mengemukakan pemikirannya, ”Hatta dengan takdir Allah, tumbuhlah pikiran oleh Tuanku Imam. Adapun kitabullah banyaklah nan terlampaui oleh kita. Bagaimana pikiran kita”, (Naskah; 41   ) 

Sadar akan kekeliruan itu lalu dikirim anak kemenakan Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai ke Mekah untuk mempelajari hukum ”kitabullah nan adil, yang haq. Berita yang dibawa oleh kemenakan dan Tuanku Tambusai disampaikan oleh Tuanku Imam Bonjol kepada hakim dan penghulu : 

“sebelum shalat Jum’at dan sekalian sudah tiba dalam masjid, antara belum lagi     sembahyang, maka beliau Tuanku Imam (dan) memulangkan anyolai masa itu beliau dan sekalian basa dan  penghulu dan segala raja-raja dalam negeri ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh basa dan penghulu. Dan saya hendak tinggal dituahnya anyolai dan tidak lagi saya amuah (mau) masuk dalam pekerjaan basa dan penghulu di dalan nagari Alahan Panjang ini. Semenjak itu masyhurlah di tiap-tiap nagari  berlaku ”HUKUM ADAT BERSENDI SYARAK” di Minangkabau (NTIB;55). Tuanku Imam berkata agar harta rampasan dikembalikan kepada yang empunya dan para tawanan dikembalikan kepada kerabatnya. 

Dalam menciptakan kedamaian, Tuanku (Imam) menyatakan tidak lagi akan mencampuri wewenang  basa dan penghulu yang memungkinkan dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Tuanku Imam kembali dalam kewenangan agama untuk hal-hal yang berhubungan dengan syariah. Dia ingin tinggal “dituahnya”, sebagai panutan kharisma Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin tetap tetap diakui.     Selanjutnya Jeffry Hadler pun menjelaskan hal yang sama. 

“In his wish for peace the Tuanku uses the term ”dituahnya” This is  a form of royal blessing usually delivered by thet sorts of nobles that the Padri had hoped to eliminate. The Tuanku Imam restores the status quo ante bellum, confining religious authority to matters of shariah and allowing costomary leaders to adjudicate social issues. He proclaims that “hukum adat basandi syarak”- shariah will fundamental even questions of social costum (Hadler;1, 16-170). 

Prinsip kebenaran dan keadilan, merupakan nilai dasar dalam (Hukum Adat Basandi Syarak) pergaulan umat manusia, pancaran tauhid dan modal dasar dalam jiwa manusia. Hakikat dari kebenaran dan keadian penting bagi terciptanya Kebangkitan  Minangkabau, khususnya Gerakan Pembaruan Padri. Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan kompeni. Intervensi kompeni menduduki Padang dan sejak  abad ke-19 telah bercokol di Pariaman, masuk kedalam  konflik internal Minangkabau. Sebelas tahun kemudian seakan-akan telah berakhir dengan kekalahan kaum Padri. Prilaku serdadu Kompeni menunjukkan  keyakinan mereka, bahwa perang yang melelahkan  itu telah berakhir dengan kemenangan mereka. Tidak ubahnya dengan gaya orang menang perang, para seradadu itu berbuat sekehendak hatinya. Mesjid dijadikan asrama dan ternak, bahan makanan lain dirampas begitu saja. Tetapi perasaan menang perang itu hanyalah  sebuah ilusi saja 

...........dan hari-hari dpukulnya penghulu dan orang Alahan Pajang tidak dengan salahnya dan meminta-minta sekali makanan dengan kuasanya ................................ (NTIB 71) .........syarak sudah lemah, tidak boleh lagi sembahyang karena mesjid sudah kotor oleh anjing-anjing banyak di dalam mesjid.Maka tersebutlah dari pada perasaian nasib orang-orang di negeri Bonjol selama komandan duduk di dalam nagari Alahan Panjang dan sekalian orang-orang Alahan Panjang terlalu susah sebab perintahnya sangat keras dan zalim tidak bertahan adanya (NTIB; 72) . 

Tiba-tiba suatu malam, seruan kaum gerakan pembaruan, “Allahu Akbar”  berkumandang. Mereka menyerbu serdadu yang sedang pulas dalam mabuk kemenangan itu. Hanya beberapa orang serdadu kompeni yang lolos untuk menceritakan  kisah tragis yang telah mereka alami. Genderang perlawanan baru bermula, dipalu  oleh Bagndo Tan Labih, seorang “dubalang”  yang mengungsi dari Kuraitaji, Pariaman ke Bonjol melalui Tujuh Koto dan Mudik Padang, Tandikek. Persatuan Minangkabau terjain kembali, dengan perang serentak di Minangkabau serangan ditetapkan Hari Jum”at, 3 Rajab 1429 H bertepatan dengan 11 Januari 1833, atas kesepakatan pemimpin: Tuanku Imam, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai dan Tuanku PamansianganBertolak dari pandangan falsafah Adat Basandi Syarak, yang merupakan rujukan dalam merumuskan  berbagai kebijakan terhadap keangsungan hidup Minangkabau yang beriman, beradat akal, berbudaya dan bermartabat. Watak dan sikap  berakal bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa pertimbangan akal. Raso jo areso, melakukan ketajaman pikiran, keseimbangan hakiki yang dicapai  daam mengembalikan harkat dan martabat melalui akal dan budi. Inilah doa seorang Muslim (Q 2;2o1) Segala kearifan dan nilai dasar Adat Bersendi Syarak,sebagai aplikasi melangkah ke masa depan. 

Watak dan sikap inilah yang dihadapi Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda semenjak 1935 dan baru berakhir 1836 setelah semuanya telah dihancurkan dengan serangan  Panglima Balatetara Belanda di Hindia Belanda, Jendral Cochius, yang turun langsung ke lapangan dan mengatur strategi. Tilikan akademis Jeffrey Hadler tentang masyarakat Minangkabau benar-benar dapat diketahui publik 15 tahun kemudian ketika pada tahun 2000, ia berhasil mempertahankan disertasinya ”Places Like Home: Islam, Matriliny and the History of Family in Minangkabau” di Cornell University. Disertasi tersebut, setelah direvisi, akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku, Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism” ( Penerbit: Cornell University Press, Ithaca, London, 2008). Jeffrey membongkar fakta di balik kolonialisme dan nasionalisme dengan memfokuskan pada tema kultural: perubahan konseptualisasi rumah (house) dan keluarga (family); gagasan modernitas yang berhubungan dengan budaya Minangkabau sendiri, agama Islam, dan kebudayaan Eropa; serta persaingan antara kekuasaan dan pendidikan. Dia menggunakan banyak sumber lokal, antara lain  Naskah Tuanku Imam Bonjol. 

Jeffrey menyatakan bahwa kini satu-satunya kelompok masyarakat matriarkal beragama Islam terbesar di dunia yang masih tersisa adalah etnis Minangkabau. Di tempat lain di dunia, sistem matriarkat punah karena serbuan berbagai ideologi dari luar dan pernah diramalkan akan terjadi juga di Minangkabau. Ternyata, sebaliknyalah yang terjadi: sistem matriarkat Minangkabau mampu bertahan. Jeffrey bertanya, Why does matriarchy persists?—has been dodged by scores of researchers who have been lured to Minangkabau by the seeming paradox of a matrilineal Muslim society (Jeffrey Hadler; 2008;hal 8). Jeffrey menganalisis bagaimana sistem matriarkat Minangkabau mampu melakukan resistensi terhadap serangan dua ideologi asing pada abad ke-19 dan ke-20: Islam dan kolonialisme (Belanda). Ia membahas sejarah ringkas Perang Paderi (1803-1837), yaitu usaha panglima Paderi yang kontroversial Tuanku Imam Bonjol (TIB) menggantikan sistem matriarkat di Minangkabau dengan model masyarakat Islam yang ketat merujuk pada Al Quran dan hadis. Tuanku Imam Bonjol berusaha mencari kompromi antara  Minangkabau dan hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai “doktrin adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Keputusannya itu membentuk debat berterusan di Minangkabau sepanjang abad ke-19 dan ke-20. 

Pengalaman sejarah telah menempa hidup orang Minangkabau dalam dialektika kritis antara nilai, ide Islam reformis, dan gagasan pembaruan Barat. Berkaca pada konflik berdarah selama Perang Paderi dalam menghadapi ketiga ideologi yang bertentangan itu, masyarakat Minangkabau lebih sering menempuh jalur kompromi ketimbang memilih konflik berdarah lagi. Dalam paragraf terakhir, Jeffrey menulis: ”The history of West Sumatran politics is of recurring defeat. But the story of Minangkabau culture is one of survival” (hal 180). Agaknya kata-kata Jeffrey itu tidaklah berlebihan. (Suryadi; 19 April 2009 ). 

Naskah Tuanku Imam Bonjol, sebuah sumber yang penting mengenai Gerakan Padri, selama ini cendrung diabaikan. Ternyata apa yang disebut Kaum Adat dan Kaum Agama bersatu melawan serdadu Belanda sesudah awal Januari 1833. Apa yang telah dirumuskan dalam ”adat basandi syarak” yang tertanam sebagai pondasi pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Rumusan tersebut sebagai awal makin memperkokohnya otonomi nagari di bawah pimpinan penghulu dan imam khatib dalam mempertahankan nagarinya. Keyakinan dan kecintaan terhadap agama tercermin juga dalam sikap hulubalang, sebagaimana diutarakan Boelhouwer dalam perjalanan menuju Pariaman. 

“Waktu tengah hari dan senja ia (kuli- orang Padri)  hanya mencari kesempatan baik agar berada dekat sungai. Meletakkan dengan tenang bebannya dekatnya, dan setelah bersuci, ia sembahyang. Terhadap ini kita tidak dapat berbuat apa-apa, dianjurkan dengan sangat  jangan mencegah ini. Orang menjauh. Sesudah sembahyang orang Padri mengangkat bebannya kembali.”   (Boelhouwer; 1841;81). 

Selama  enam bulan siang malam, benteng Bonjol dikepung oleh ribuan serdadu Belanda, pasukan bantuan dan pasukan ”pribumi, baru Bonjol jatuh. Pada saat itu Tuanku Imam Bonjol beserta beberapa orang keluarga dan delapan orang Jawa mengungsi ke dalam rimba selama 6 bulan penuh dengan penderitaan. Sementara di kalangan sesama penduduk terjadi dua paham menghadapi Belanda. 

Episode akhir perang Padri adalah kisah penuh haru. Hari terakhirnya, Tuanku Imam Bonjol ditandu ke tanah pembuangan dari Bukittinggi menuju tanah pembuangan. Walaupun sudah menjadi tawanan Belanda, keyakinannya terhadap agama Islam tidak tergoyahkan “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang, apa gunanya hidup lebih baik mati” ujarnya ketika dalam usungan menuju Kayu Tanam. (Naskah; 156). Artikel Suryadi, ”Tuanku Imam Bonjol Dikenang sekaligus Digugat, mencatat pandangan Djohan (Prof. DR.Bahder Djohan)  

“Tiada hajat kita akan mengembang kitab tambo yang ditulis dengan darah itoe (Perang Padri), tiada bermaksoed kita akan menuruti jejaknya senjata api yang bertahun-tahun bergemoeroeh dilembah dan didaratan (Minangkabau), hanya disini kita mengenang mereka-mereka yang bercahaya sebentar didalam zaman Padri, yang seperti sinar dilangit meroepakan dimata kita yang sedang memandangi koeblat yang hijaoe itoe soepaya dapat poela kita mengetahoei. Masya Allah yang terjadi diabad yang lepas yang selama-lamanya menjadi “ibarat kesesatan kemanoesiaan” (Djohan,  1919;113.”).  

Sisi kehidupan Tuanku Imam Bonjol penuh dengan nuansa kesejarahan yang mutlak dan perlu kita ketahui, pahami dan hayati. Bahkan kita ambil saripati yang bernilai untuk kehidupan kita. Begitulah pondasi dari hakekat mempelajari masa lalu itu sendiri Dengan dua landasan dasar itu, nilai budaya Minangkabau kemudian tumbuh dan berkembang, dan dengan adanya pola pikir dengan filsafah budaya, yang merefleksikan feonomena  alam  sebagai sumber inspirasi kehidupan yang dikenal dengan ungkapan “alam takambang menjadi guru” Penerapan nilai budaya yang bersendikan agama, adat dan belajar kepada alam pada masa lampau telah diaplikasikan masyarakat  dengan tatanan budaya  pengejawantahan syarak dan adat (Abdul Rahman; 211; hal.1). Dari panorama  kehidupan Tuanku Imam Bonjol, latar belakang keluarganya hingga ia ditawan, ada tiga strategi dasar pembaruan yang  lahir dari prinsip musyawarah yang menimbulkan sikap persamaan (uchuwah islamiyah). Prinsip ini melahirkan paham egaliter bahwa manusia ditakdirkan sama derajarnya. 

Pertama, Tuanku Imam bermusyawarah dengan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai untuk mengirim anak kemenakan mempelajari hukum Islam yang dapat menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. (NTIB;41). Kedua, menyebarluaskan kewenangan kepemimpinan Tuanku Nan Barampek, dengan penobatan Pakih Sutan menjadi Tuanku Mudik Padang dan Bagindo Marah Husen dari Natal menjadi Tuanku Mudo. (Naskah halaman 37).  Ketiga, musyawarah Bukit Tandikek dan kesepakatan nagari-nagari Minangkabau, Tanah Datar, Lawang, Rao, Lubuk Sikaping, Palembayan, Danau Maninjau dan Sipisang,  untuk menggalang persatuan “Perang Perlawanan Minangkabau”. Ketiga strategi inilah yang memperkuat  masyarakat matrilineal kuat memegang teguh agama Islam sebagai pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Menjawab pertanyaan adakah perangkat rasionalisme dalam Islam, khusus dalam gerakan pembaruan agama di Minangkabau, seperti yang dipelopori TIB. Kehadiran perangkat intelektualisme dalam  mobilisasi gerakan diberikan organisasi, peralatan, senjata, benteng dan sikap demokratis memberikan keterikatan  antara pemimpin dan pengikut gerakan. 

Dialektika berbagai kekuatan dan ragaman kehidupan mengantarkan dunia Minangkabau pada tatanan yang harmonis dan berada dalam keseimbangan. Dialektika bagi orang Minangkabau sebuah konsep  yang menempatkan orang berpikir dalam suatu totalitas. Dalam suatu struktur sosial, terdapat hal yang berbeda namun kemudian membentuk struktur baru. “Manusia   dijadikanNya berkaum, bersuku dan berbangsa untuk saling mengenal satu sama lain.” TIB, seorang tokoh pembaru agama (Islam) dengan semangat toleransi dan persatuan.  Bagindo Tan Labih yang masih muda berusia 42 tahun, dikawinkannya dengan seorang gadis Kokas bernama Watok Pantow, dalam lingkungan masyarakat Kristiani Bagindo Tan Labih (dubalangnya) dengan Watok Pantow. Demikian sekelumit warisan landasan dari ranah perjuangan gerakan pembaruan Tuanku Imam Bonjol, yang sampai saat ini masih tetap dipakai meskipun terjadi  terjadi pergeseran cara.

:: Artikel tidak dipublish lengkap, khususnya Daftar Kepustakaan dan beberapa catatan komplementer.