Perang menyisakan satu kesimpulan sederhana, bahwa untuk melumpuhkan mental musuh, perempuan mereka terlebih dahulu harus ‘dilumpuhkan’. Dalam kasus ini, untuk melumpuhkan mental kaum pemberontak, perempuan mereka harus dinistai. Dalam Saraswati si Gadis dalam Sunyi AA Navis mencatatkan bahwa hal itu benar adanya. Perempuan telah menjadi korban ‘perang laki-laki’. Tentara pusat menistai perempuan di hadapan keluarga laki-lakinya sendiri untuk meruntuhkan mental dan menyurutkan dukungan terhadap pasukan PRRI. Saraswati yang remaja, di antaranya, telah menjadi korban pelecehan dan penistaan. Rumah Angahnya dikepung dan digeledah tentara pusat. Saraswati juga turut ‘digeledah’ di hadapan Angah dan Busra. Seorang prajurit mencoba memperkosanya. “Tangannya diulurkan ke dadaku. Ketika aku mengelak dan hendak menyingkir, aku didesaknya ke dinding. Sehingga aku tergencet dan menjerit-jerit,” tulis Navis. Ketika Saraswati yang bisu dan tuli itu melawan, prajurit APRI itu berlaku serupa ini: “…pangkal bedil yang dihantamkan ke kepalaku, hingga aku terjerongkang. Aku berteriak-teriak dan memaki-maki. Kepalaku berdarah dan darahnya mengalir menutupi mataku.”
Ular Keempat Gus tf Sakai juga mencatat tentang perempuan yang diperkosa tentara pendudukan. Ibu dan kakak perempuan Janir, misalnya, diperkosa dan dibunuh tentara pusat karena dituduh mempunyai hubungan dengan kaum pemberontak. “Tentara APRI membunuh mamakmu yang dituduh tentara pusat itu mata-mata, membunuh ibumu yang karena mamakmu dibunuh jadi gelap mata, membunuh ayahmu yang dengan kalap ingin membalas kematian istrinya, membunuh kakak perempuanmu setelah berulang-ulang diperkosa,” tulis Gus tf Sakai. Perlakuan buruk terhadap perempuan di daerah pendudukan tidak saja dilakukan tentara pusat. Kaum pemberontak pun ada juga yang berlaku demikian kepada ‘orang kampungnya’ sendiri. Ini dilakukan baik karena keterpaksaan bathiniah terpisah dari istri selama bertahun-tahun atau karena moralitas kaum pemberontak yang terus memang merosot di tengah himpitan beratnya medan gerilya.
Di Luar Dugaan Soewardi Idris mencatat, setelah dua tahun lebih bergerilya di hutan-hutan dan terdesak di mana-mana, diceritakan Soewardi, kehidupan kaum pemberontak semakin terjepit. Hal ini mengakibatkan perbuatan mereka semakin nekat. Soewardi mencatat bagaimana kaum pemberontak mendatarkan sebuah kampung menjadi abu karena tak mau membantu menyediakan perbekalan. Dalam pada itu, “Anak-anak gadisnya kami seret untuk memuaskan nafsu,” tulis Soewardi pula. Di Luar Dugaan sendiri berkisah tentang seorang prajurit PRRI bernama Hadi. Dia bersama pasukannya melakukan pencegatan terhadap sebuah bus yang penuh muatan di Lubuk Silasih. Bus itu dicegat, lalu penumpang dan muatannya diturunkan. Pasukan yang mencegat membariskan penumpang perempuan dan menelanjangi mereka. Bagi prajurit-prajurit itu, perempuan-perempuan itu merupakan “hasil pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami mabuk karena gembira,” tulis Soewardi. “Mereka ingin agar wanita-wanita itu dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus.” Tokoh Hadi sesungguhnya telah ingin memperkosa seorang di antaranya. Tapi Halimah, begitu perempuan itu memperkenalkan diri, ternyata adalah istri adiknya. Hasrat-birahinya yang telah sampai ke ubun-ubun surut seketika. AA Navis dalam cerita pendek Sang Guru Juki (1990), juga berkisah tentang perlakuan buruk yang diterima perempuan. Mayor Ancok yang PRRI membiarkan anak buahnya memperkosa perempuan di desa-desa yang mereka duduki. “Apa salahnya bila anak buahku hanya memakai, bukan merampas perempuan itu?” alasan sang Mayor ketika berdebat dengan Si Dali, anak buahnya yang moralis, dalam sebuah kesempatan. Sang Mayor menganggap prajurit yang memperkosa sebagai “itulah resiko perang!”
Sumber : (Note FB : Deddy Arsa)
Ular Keempat Gus tf Sakai juga mencatat tentang perempuan yang diperkosa tentara pendudukan. Ibu dan kakak perempuan Janir, misalnya, diperkosa dan dibunuh tentara pusat karena dituduh mempunyai hubungan dengan kaum pemberontak. “Tentara APRI membunuh mamakmu yang dituduh tentara pusat itu mata-mata, membunuh ibumu yang karena mamakmu dibunuh jadi gelap mata, membunuh ayahmu yang dengan kalap ingin membalas kematian istrinya, membunuh kakak perempuanmu setelah berulang-ulang diperkosa,” tulis Gus tf Sakai. Perlakuan buruk terhadap perempuan di daerah pendudukan tidak saja dilakukan tentara pusat. Kaum pemberontak pun ada juga yang berlaku demikian kepada ‘orang kampungnya’ sendiri. Ini dilakukan baik karena keterpaksaan bathiniah terpisah dari istri selama bertahun-tahun atau karena moralitas kaum pemberontak yang terus memang merosot di tengah himpitan beratnya medan gerilya.
Di Luar Dugaan Soewardi Idris mencatat, setelah dua tahun lebih bergerilya di hutan-hutan dan terdesak di mana-mana, diceritakan Soewardi, kehidupan kaum pemberontak semakin terjepit. Hal ini mengakibatkan perbuatan mereka semakin nekat. Soewardi mencatat bagaimana kaum pemberontak mendatarkan sebuah kampung menjadi abu karena tak mau membantu menyediakan perbekalan. Dalam pada itu, “Anak-anak gadisnya kami seret untuk memuaskan nafsu,” tulis Soewardi pula. Di Luar Dugaan sendiri berkisah tentang seorang prajurit PRRI bernama Hadi. Dia bersama pasukannya melakukan pencegatan terhadap sebuah bus yang penuh muatan di Lubuk Silasih. Bus itu dicegat, lalu penumpang dan muatannya diturunkan. Pasukan yang mencegat membariskan penumpang perempuan dan menelanjangi mereka. Bagi prajurit-prajurit itu, perempuan-perempuan itu merupakan “hasil pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami mabuk karena gembira,” tulis Soewardi. “Mereka ingin agar wanita-wanita itu dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus.” Tokoh Hadi sesungguhnya telah ingin memperkosa seorang di antaranya. Tapi Halimah, begitu perempuan itu memperkenalkan diri, ternyata adalah istri adiknya. Hasrat-birahinya yang telah sampai ke ubun-ubun surut seketika. AA Navis dalam cerita pendek Sang Guru Juki (1990), juga berkisah tentang perlakuan buruk yang diterima perempuan. Mayor Ancok yang PRRI membiarkan anak buahnya memperkosa perempuan di desa-desa yang mereka duduki. “Apa salahnya bila anak buahku hanya memakai, bukan merampas perempuan itu?” alasan sang Mayor ketika berdebat dengan Si Dali, anak buahnya yang moralis, dalam sebuah kesempatan. Sang Mayor menganggap prajurit yang memperkosa sebagai “itulah resiko perang!”
Sumber : (Note FB : Deddy Arsa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar