Ahmad Husein menegaskan langkahnya. Ia seakan beradu dengan waktu. Ada sesuatu kecamuk dalam dirinya. Ultimatum yang ia layangkan lima hari lalu pada Kabinet Djuanda untuk menyerahkan mandatnya, lalu meminta Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk suatu kabinet hingga pemilu selanjutnya. Serta meminta Presiden Soekarno untuk kembali kepada posisi konstitusionalnya. Tuntutan ini tak digubris oleh Pusat. Tak ada pilihan lain, pikirnya. Kami bebas dari kewajiban patuh kepada Soekarno sebagai Kepala Negara. 15 Februari 1958, di Padang, Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafrudin Prawiranegara—yang sebelumnya merupakan pemimpin PDRI—terpilih sebagai Perdana Menteri. Piagam Palembang, yang sebelumnya diserukan pada tanggal 8 September, merupakan satu kesepakatan antara petinggi militer Sumatera dan intelektual sipil bahwa ada sesuatu yang salah dengan Indonesia saat itu—terutama kisruh politik antara Pusat dan Daerah. Kolonel Barlian, Husein, Sumual (dari militer) menuntut enam hal; (1) pemulihan dwitunggal Soekarno-Hatta, (2) penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) melaksanakan otonomi daerah, (4) pembentukan senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah melaksanakan otonomi daerah, (5) meremajakan dan menyederhanakan pemerintah dan (6) melarang komunisme di Indonesia. Kehadiran M. Natsir, yang tengah berseberangan dengan Soekarno terkait dengan isu Nasakom, dalam pertemuan Palembang itu memberi pengaruh besar di dalam sidang tersebut. Bahkan, Natsir tetap berdiri terus bersama PRRI hingga konflik ini berakhir. Benar-benar seorang pembangkang sejati.
Isu komunisme kemudian menjadi isu yang berkembang yang semakin meruncingkan perbedaan antara Pusat dan Daerah. Sebelumnya, sejak tahun 50-an, konflik kepentingan sesungguhnya sudah sangat intens di kalangan partai-partai politik yang anti dan pro-komunis. Kesadaran akan bahaya komunisme gencar dilakukan, terutama oleh Natsir dengan Masyumi-nya. Namun, Soekarno sepertinya semakin cenderung memihak ke PKI. Soekarno semakin otoriter di mata banyak kalangan. Bahkan, sinyalemen itu semakin kuat dan Hatta pun akhirnya mundur sebagai “rem” Soekarno di awal Desember 1957. Belum lagi masalah intern di Angkatan Darat yang semakin menunjukkan krisis multidimensi saat itu. Masalah kemiskinan yang berlarut seakan hanya sebagai bumbu saja untuk semakin mempersedap perpecahan republik. Perpecahan ini dilihat berbeda oleh Amerika yang memang sangat ingin menghilangkan komunisme di Indonesia. Melalui CIA dan Departemen Luar Negeri disusunlah rencana besar untuk membantu pergolakan daerah itu. “Negara Sumatera” menjadi opsi yang lebih baik ketimbang terus bersatu dengan republik yang pro-komunis. Laporan-laporan dari Howard P. Jones, selaku dutabesar Amerika, semakin mempertegas bahwa di kalangan Angkatan Darat mulai terpecah dua dan ia menyimpulkan bahwa benar adanya satu gerakan nyata tentang antikomunis di kubu militer. Dean Almy, seorang Konsul AS di Medan, segera menemui para pembangkang tersebut. Selain menyerahkan uang tunai sebesar 50.000 dollar AS, juga dibahas realisasi bantuan senjata bagi 8.000 personil militer pembangkang Sumatera. Allan Dulles, Direktur CIA yang juga otak dari segala aksi di belakang upaya pembunuhan Soekarno, kemudian bertemu dengan Presiden Eisenhower mengenai kemungkinan operasi militer ‘skala kecil’ di Sumatera yang disebut dengan ‘Haik Operation’. Dengan dalih mengamankan instalasi perusahaan pengeboran minyak Caltex di Pekanbaru, Eisenhower kemudian menggelar operasi intervensi ke bumi Andalas secara amat rahasia. Despotisme komunis yang diusung Soekarno sungguh mengancam hegemoni Amerika di kawasan Asia Tenggara. Ini harus dihentikan.
Melalui pesawat amfibi PBY 5 Catalina, CIA memasok senjata dan aneka perbekalan ke Danau Singkarak dan lapangan terbang Tabing. Tak puas memberi dana, senjata dan perbekalan, militer Amerika kemudian melatih pasukan PRRI di beberapa tempat rahasia sebelum ditempatkan di sekitar Danau Singkarak. Setelah merasa kuat dan mapan, barulah Ahmad Husein mendeklarasikan PRRI di Februari itu. Namun, tak butuh waktu lama bagi Pusat untuk bertindak. Esoknya, Perdana Menteri Djuanda memerintahkan penangkapan Sjafruddin dan yang lainnya. Nasution, selaku KASAD, pun memecat semua pemimpin militer yang terlibat dengan PRRI. Lalu, pada tanggal 21 dan 22 Februari, Painan, Padang dan Bukittinggi diserang melalui udara. Serangan pemerintah ke Sumatera Barat diberi nama “Operasi 17 Agustus” dan dipimpin langsung oleh Kolonel Ahmad Yani—orang yang kini namanya jadi salah satu nama jalan utama di kota Padang. 17 April kota Padang dibombardir dengan skala besar, yang bahkan tak diperhitungkan oleh Eisenhower sekalipun. Mungkin, tak pernah ada pembasmian pembangkang republik yang sebesar ini di Indonesia jika dilihat dari banyaknya jumlah korban. Entah kenapa Pusat begitu semangat menghancurkan Sumatera Barat—berbeda dengan Sumatera Utara atau Sumatera Selatan—yang memang tak memiliki aset Amerika di daerahnya. Amerika sepertinya membiarkan saja Sumatera Barat digempur habis-habisan. Atau inikah taktik Eisenhower? Nasution saja melaporkan sebanyak 22.174 korban sebagai laporan resminya. Angka itu belum termasuk korban sipil yang mungkin pula puluhan ribu jumlahnya. Inilah kemudian yang disebut Audrey Kahin sebagai momen mundurnya Sumatera Barat di republik ini—the lost of intellectual groups.
Jika Mestika Zed menggambarkan bagaimana terhinanya masyarakat Minangkabau setelah penumpasan PRRI oleh pusat atas julukan pemberontak ataupun pembangkang yang kemudian dilekatkan atas diri mereka—seakan-akan ini adalah bentuk diskriminasi sosial—maka tenanglah, hari ini tak akan ada lagi pemberontak yang lahir di Sumatera Barat. Sjafruddin, selaku pemimpin PRRI, mengatakan “sesungguhnya perjuangan kita mencoba memberi isi pada kata-kata dalam lambang Indonesia; Bhinneka Tunggal Ika… sampai sekarang, berbagai pemerintahan di Jakarta tidak memberi isi kata-kata ini, dan pemerintahan Soekarno bahkan kelihatan ingin menghancurkannya semua…sebelumnya kita membuang warna biru dari bendera tiga warna menjadi merah putih, tapi sekarang rezim Soekarno mencoba membuang putih menjadi tinggal bendera merah.” Apakah orang yang ingin meluruskan cita-cita kemerdekaan ketika pendapatnya berseberangan dengan penguasa harus selalu dicap pemberontak? Dicap pembangkang? Bukankah Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, M.Yamin, M.Natsir, Abdul Muis, Hamka, Agus Salim dan lain-lainya itu adalah para pembangkang terbesar yang pernah ada? Jika mereka tak membangkang pada praktik-praktik kolonialisme sungguh tak mungkin kita bisa merasakan Indonesia seperti saat ini—yang tentunya sudah keluar dari apa yang mereka perjuangkan dulu. Tapi tenanglah. Pembangkang-pembangkang itu takkan lahir lagi dari nagari ini lagi. Karena jiwa-jiwa resah itu kini sudah berganti dengan jiwa-jiwa yang nyaman dalam ketidaknyamanannya. Orang Sumatera Barat takkan menjadi seperti orang Jawa Barat yang meniadakan jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk di provinsi mereka karena mereka takkan mengganti jalan Ahmad Yani—orang yang melumatkan nagari para pembangkang atas panggilan tugas—dengan Ahmad Husein. Nagari yang pernah dikutuk untuk tidak bisa tidak memikirkan republik ini mulai dari kelahirannya kini sudah cukup puas hanya dengan mengantar ke gerbang saja. Tidak untuk selamanya. Tenanglah, tak perlu lagi peluru itu dibeli dan dimuntahkan untuk membunuhi saudara sendiri yang mencoba mengkritisi penguasa—melalui pajak yang justru kami bayar sendiri. Jadi, tenanglah. Pembangkang sudah tak lahir lagi di nagari ini. Nagari ini sudah damai dalam ketidakdamaiannya. Semoga saya salah.
Isu komunisme kemudian menjadi isu yang berkembang yang semakin meruncingkan perbedaan antara Pusat dan Daerah. Sebelumnya, sejak tahun 50-an, konflik kepentingan sesungguhnya sudah sangat intens di kalangan partai-partai politik yang anti dan pro-komunis. Kesadaran akan bahaya komunisme gencar dilakukan, terutama oleh Natsir dengan Masyumi-nya. Namun, Soekarno sepertinya semakin cenderung memihak ke PKI. Soekarno semakin otoriter di mata banyak kalangan. Bahkan, sinyalemen itu semakin kuat dan Hatta pun akhirnya mundur sebagai “rem” Soekarno di awal Desember 1957. Belum lagi masalah intern di Angkatan Darat yang semakin menunjukkan krisis multidimensi saat itu. Masalah kemiskinan yang berlarut seakan hanya sebagai bumbu saja untuk semakin mempersedap perpecahan republik. Perpecahan ini dilihat berbeda oleh Amerika yang memang sangat ingin menghilangkan komunisme di Indonesia. Melalui CIA dan Departemen Luar Negeri disusunlah rencana besar untuk membantu pergolakan daerah itu. “Negara Sumatera” menjadi opsi yang lebih baik ketimbang terus bersatu dengan republik yang pro-komunis. Laporan-laporan dari Howard P. Jones, selaku dutabesar Amerika, semakin mempertegas bahwa di kalangan Angkatan Darat mulai terpecah dua dan ia menyimpulkan bahwa benar adanya satu gerakan nyata tentang antikomunis di kubu militer. Dean Almy, seorang Konsul AS di Medan, segera menemui para pembangkang tersebut. Selain menyerahkan uang tunai sebesar 50.000 dollar AS, juga dibahas realisasi bantuan senjata bagi 8.000 personil militer pembangkang Sumatera. Allan Dulles, Direktur CIA yang juga otak dari segala aksi di belakang upaya pembunuhan Soekarno, kemudian bertemu dengan Presiden Eisenhower mengenai kemungkinan operasi militer ‘skala kecil’ di Sumatera yang disebut dengan ‘Haik Operation’. Dengan dalih mengamankan instalasi perusahaan pengeboran minyak Caltex di Pekanbaru, Eisenhower kemudian menggelar operasi intervensi ke bumi Andalas secara amat rahasia. Despotisme komunis yang diusung Soekarno sungguh mengancam hegemoni Amerika di kawasan Asia Tenggara. Ini harus dihentikan.
Melalui pesawat amfibi PBY 5 Catalina, CIA memasok senjata dan aneka perbekalan ke Danau Singkarak dan lapangan terbang Tabing. Tak puas memberi dana, senjata dan perbekalan, militer Amerika kemudian melatih pasukan PRRI di beberapa tempat rahasia sebelum ditempatkan di sekitar Danau Singkarak. Setelah merasa kuat dan mapan, barulah Ahmad Husein mendeklarasikan PRRI di Februari itu. Namun, tak butuh waktu lama bagi Pusat untuk bertindak. Esoknya, Perdana Menteri Djuanda memerintahkan penangkapan Sjafruddin dan yang lainnya. Nasution, selaku KASAD, pun memecat semua pemimpin militer yang terlibat dengan PRRI. Lalu, pada tanggal 21 dan 22 Februari, Painan, Padang dan Bukittinggi diserang melalui udara. Serangan pemerintah ke Sumatera Barat diberi nama “Operasi 17 Agustus” dan dipimpin langsung oleh Kolonel Ahmad Yani—orang yang kini namanya jadi salah satu nama jalan utama di kota Padang. 17 April kota Padang dibombardir dengan skala besar, yang bahkan tak diperhitungkan oleh Eisenhower sekalipun. Mungkin, tak pernah ada pembasmian pembangkang republik yang sebesar ini di Indonesia jika dilihat dari banyaknya jumlah korban. Entah kenapa Pusat begitu semangat menghancurkan Sumatera Barat—berbeda dengan Sumatera Utara atau Sumatera Selatan—yang memang tak memiliki aset Amerika di daerahnya. Amerika sepertinya membiarkan saja Sumatera Barat digempur habis-habisan. Atau inikah taktik Eisenhower? Nasution saja melaporkan sebanyak 22.174 korban sebagai laporan resminya. Angka itu belum termasuk korban sipil yang mungkin pula puluhan ribu jumlahnya. Inilah kemudian yang disebut Audrey Kahin sebagai momen mundurnya Sumatera Barat di republik ini—the lost of intellectual groups.
Jika Mestika Zed menggambarkan bagaimana terhinanya masyarakat Minangkabau setelah penumpasan PRRI oleh pusat atas julukan pemberontak ataupun pembangkang yang kemudian dilekatkan atas diri mereka—seakan-akan ini adalah bentuk diskriminasi sosial—maka tenanglah, hari ini tak akan ada lagi pemberontak yang lahir di Sumatera Barat. Sjafruddin, selaku pemimpin PRRI, mengatakan “sesungguhnya perjuangan kita mencoba memberi isi pada kata-kata dalam lambang Indonesia; Bhinneka Tunggal Ika… sampai sekarang, berbagai pemerintahan di Jakarta tidak memberi isi kata-kata ini, dan pemerintahan Soekarno bahkan kelihatan ingin menghancurkannya semua…sebelumnya kita membuang warna biru dari bendera tiga warna menjadi merah putih, tapi sekarang rezim Soekarno mencoba membuang putih menjadi tinggal bendera merah.” Apakah orang yang ingin meluruskan cita-cita kemerdekaan ketika pendapatnya berseberangan dengan penguasa harus selalu dicap pemberontak? Dicap pembangkang? Bukankah Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, M.Yamin, M.Natsir, Abdul Muis, Hamka, Agus Salim dan lain-lainya itu adalah para pembangkang terbesar yang pernah ada? Jika mereka tak membangkang pada praktik-praktik kolonialisme sungguh tak mungkin kita bisa merasakan Indonesia seperti saat ini—yang tentunya sudah keluar dari apa yang mereka perjuangkan dulu. Tapi tenanglah. Pembangkang-pembangkang itu takkan lahir lagi dari nagari ini lagi. Karena jiwa-jiwa resah itu kini sudah berganti dengan jiwa-jiwa yang nyaman dalam ketidaknyamanannya. Orang Sumatera Barat takkan menjadi seperti orang Jawa Barat yang meniadakan jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk di provinsi mereka karena mereka takkan mengganti jalan Ahmad Yani—orang yang melumatkan nagari para pembangkang atas panggilan tugas—dengan Ahmad Husein. Nagari yang pernah dikutuk untuk tidak bisa tidak memikirkan republik ini mulai dari kelahirannya kini sudah cukup puas hanya dengan mengantar ke gerbang saja. Tidak untuk selamanya. Tenanglah, tak perlu lagi peluru itu dibeli dan dimuntahkan untuk membunuhi saudara sendiri yang mencoba mengkritisi penguasa—melalui pajak yang justru kami bayar sendiri. Jadi, tenanglah. Pembangkang sudah tak lahir lagi di nagari ini. Nagari ini sudah damai dalam ketidakdamaiannya. Semoga saya salah.
(c) Note & diskusi via FB Devy Kurnia K. Foto : kabinet PRRI dan Tokoh PRRI (sumber : www.historia-online.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar