Rabu, 26 Mei 2010

Gagalnya Pemberontakan Banten dan Silungkang : 1926 - 1927

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah. Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu. Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung. Pemberontakan yang gagal di dua tempat (Banten dan Sumatera Barat) pada 1926-1927 itu cukup mengguncang rezim kolonial di Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan onderbouw-nya, juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu penguasa kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap anasir pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses ini berjalan sampai akhir 1930-an. Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky-nya Indonesia. Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun (1899-1971), Alimin Prawirodirdjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897-?), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, awal 1926. Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Ibrahim Datuk Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.

Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi ”pemanasan” dan agitasi di tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada Alimin dan kawan-kawannya. Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926, terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis. Nyatanya memang demikian. PKI, yang didirikan pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau dibuang ke Digul. Kondisi ekonomi Hindia Belanda saat itu juga sedang membaik. Buruh cukup mudah mendapat pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan mempelajari bahasa Belanda dan menduduki kursi yang agak empuk sebagai juru tulis. Pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda dengan 1942-1945, ketika sebagian besar pabrik gula tutup, kebun-kebun binasa, mesin pabrik mati, rakyat tenggelam dalam penderitaan romusha Jepang. Pendek kata, gagasan pemberontakan di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku. Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan memikirkan diri dan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut :

Pertama, selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir ke luar Indonesia, ia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal lelah ”menjual” gagasannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang tak dijejakinya. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme. Ia hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secara diam-diam pada zaman Jepang (1942). Kedua, baginya partai hanyalah alat untuk mencapai perjuangan, yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas pemberontakan yang gagal itu, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927. Pari kemudian mati suri. Pada masa perang kemerdekaan (1947), ia mendirikan Partai Murba. Alasan keluar dari PKI lalu mendirikan Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan separtainya yang lama. Di lain pihak ia menentang kebijakan Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli memanfaatkan Komintern bagi kepentingan ”hegemoni” internasional Uni Soviet ketimbang kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga cenderung mencurigai Pan Islamisme sebagai pesaing internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka. Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian karena pola asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian lain, karena memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis. Ketiga, Tan Malaka dianggap sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang konstruksi masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di masa depan. Lewat sebuah risalah berjudul Naar de Republiek Indonesia (Kanton, 1925) ia sudah membentangkan betapa pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan.

”Ini harus kita cegah,” tulisnya. ”Akan tetapi tidak dengan [cara] memberi khotbah tentang hikmah-hikmah yang kosong. Hanya satu program yang benar-benar ingin memajukan kepentingan-kepentingan materiil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan secara jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas yang tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya...” (halaman 26, 28). Meskipun tak menyembunyikan pendirian Marxisnya, Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu. Pemikirannya lebih dini juga lebih radikal daripada Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian juga Soekarno yang menulis MIM (Menuju Indonesia Merdeka, 1933). Dalam pemikiran ketiga tokoh ini, gambaran tentang masa depan Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang masih memerlukan penyempurnaan sampai ”cetak-biru” Indonesia Merdeka dapat dirumuskan, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu, sebab ”aksi untuk mencapai kemerdekaan nasional ini,” tulis Tan dalam Naar de Republiek Indonesia, ”akan berlangsung lama, tetapi pasti membawa kemenangan (1925: 65). Sayangnya, Tan Malaka tak sempat melihat tahap akhir perjuangan kemerdekaan, karena ia tewas secara tragis. Ironis, karena setelah malang-melintang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu ”dihujat dan dilupakan” oleh bangsanya sendiri.
::: Secara keseluruhan merupakan artikel Prof.DR. Mestika Zed yang dipresentasikan dalam suatu acara yang saya sudah lupa. Pada bagian tertentu, saya robah, terutama yang berhubungan dengan narasi dan tata bahasa, tanpa mengurangi substansi.

Senin, 24 Mei 2010

MADILOG : Sebuah Sintesis Perantauan

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sampai kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah warisannya yang paling otentik. Tan menginginkan Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Inilah warisan perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir, mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains.

Madilog adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi ilmiah melalui serangkaian proses berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis, dan logis dalam mewujudkan sebuah tujuan secara sistematis dan struktural. Segala dinamika permasalahan duniawi dapat terus dikaji dan diuji sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas sains; yang batas-batasnya bisa ditangkap oleh indra manusia. Namun, lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah juga sintesis perantauan dari seorang Tan yang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terjabarkan ke dalam dua sense of extreme urgency point pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog dalam ranah Indonesia. Pertama, Madilog lahir melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting daripada matter (benda). Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting daripada ide.

Nah, dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran mistis. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses ”merantau” secara pemikiran karena berbagai benturan ide yang terjadi. Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan antiparokial. Konflik batin khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup; yang tersusun dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan (Mrazeck, 1999). Sebagai sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka. Lembar demi lembar ditulisnya di bawah suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun Madilog-lah yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dari Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati (1943).

Sumber : (c) Buku Madilog & Rizal Aditya (2008)

Republik Dalam Mimpi Tan Malaka

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tan Malaka adalah revolusioner kesepian (Dr. Alfian, 1981: 37). Rasanya apa yang diungkapkan Alfian bahwa Tan Malaka sebagai revolusioner mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan. Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk.

Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit mencari manusia yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik, misalnya, adalah kader Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan Malaka. Namun, di tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi superfleksibel. M. Yamin adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan Persatuan Perjuangan pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon diplomasi bambu runcing. Organisasi ini didirikan sebagai antitesis politik berunding yang dirintis oleh Kabinet Sjahrir I. Tapi, belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang dalam ”Program Minimum” Persatuan Perjuangan Tan Malaka. Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut yang kukuh itulah ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli, bahkan mengagetkan. Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti, tapi jelas penuh inspirasi. Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan keadaan yang berkembang. Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun, lewat antara lain buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau Parlemen (1922), serta Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik gagasan republik yang tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan mozaik ini, karena Tan selalu menunjukkan pola pemikirannya.

Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa. Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik. Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.

Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi. Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).

Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat. Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan. Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain. Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi. Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen.

Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak. Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan. Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara si pembuat aturan dan si pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.

Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka. Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar. Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan lembaga yang tak demokratis. Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan gagasan Tan Malaka naif dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar. Seperti pernyataan penulis di awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan total mengikuti Tan Malaka. Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak bisa lepas dari belenggu zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.

::: Sumber : Substansi tulisan ini dari H. Nasbi A (2008) dan Alfian (1981)

Jumat, 21 Mei 2010

"Merahnya" Minangkabau : Ranah Bersemainya Komunisme

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Berdiri di tempat tinggi, seorang sejarawan Belanda menadahkan kedua tangannya, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poetze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu (Zulhasri Nasir : 2010)


Ya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, mempertanyakan posisi historis Tan Malaka. Ia yang dibesarkan oleh sejarah, justru dicatat dalam ”ranah” politik sebagai pemberontak. Padahal, nagari Pandan Gadang tempat lahirnya Ibrahim yang Tan Malaka ini, adalah nagari yang menawarkan kesejukan dan kedamaian. Namun Roger Tol lupa – untuk tidak mengatakan a-historis, Minangkabau merupakan ”rahim paling dinamis”, memberikan peluang besar bagi ”putra-putri”nya untuk membentuk diri mereka sendiri. Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Dalam bahasa sosiologis, nagari meniadakan pelapisan sosial. Yang ada hanyalah fungsi sosial. Jadi janganlah kemudian kita heran, apabila dari ”rahim Minangkabau”, sejarah mencatat lahir penggerak-penggerak dan aktor-aktor sejarah ideologis besar, baik yang berhaluan ”putih” maupun ”merah” (kalau boleh saya mendikotomikan demikian).

Membicarakan gerakan pembaharuan Islam nusantara, konteks dialektika Minangkabau tidak bisa dilepaskan. Minangkabau menjadi salah satu episentrum - meminjam istilah Naquib al-Attas - gerakan pembaharuan Islam di Nusantara. Pengaruh gerakan pembaharuan ini terasa pada gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob. Demikian juga, ketika mendudukkan jaringan Wahhabiyah di kawasan Asia Tenggara, Minangkabau juga menjadi salah satu episentrumnya. Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol.

Demikian halnya dengan perdebatan-perdebatan ideologi merah, Minangkabau menyumbangkan ”putra-putra” terbaiknya, salah satunya Ibrahim yang Tan Malaka itu. Mengikuti sepak terjang Ibrahim Datuk Tan Malaka seperti membuka sejarah merahnya Minangkabau. Meski terkenal sebagai negeri yang kuat menganut Islam, siapa nyana justru ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme yang bercokol kuat. Menurut Zulhasril Nasir, Islam-lah yang menjadi basis persemaian ideologi kiri di Minangkabau. Kebanyakan tokoh pergerakan kemerdekaan pernah sekolah di sekolah-sekolah agama. Zulhasril mengatakan bahwa munculnya gerakan kiri radikal di Minangkabau berpangkal di sekolah menengah agama di Padangpanjang (Sumatera Thawalib dan Diniyah), Padang (Adabiyah dan Islamic College) dan Bukittinggi (Sumatera Thawalib Parabek)," ujar Zulhasril Nasir dalam diskusi ”Pemutaran Film Dokumenter Selopanggung di IAIN Padang beberapa waktu yang lalu. 'Koalisi' Islam dan sosialisme/komunisme itu disokong oleh motif yang sama untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Di sinilah peran Tan Malaka sebagai seorang tokoh kiri yang menghubungkan kedua arus itu. Faktor lain adalah sistem pendidikan di Minangkabau merupakan yang termaju di Hindia Belanda setelah pulau Jawa.

Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma. Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua orang ? Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim.

Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Pidato Tan Malaka di Forum Komunis Internasional (Komintern) tahun 1920 memperkuat tesis ini. Ketika sebagian "anak-anak Marx" mencurigai agama dalam denyut nadi perjuangan mereka, Tan Malaka justru memberikan apresiasi terhadap signifikannya pengaruh agama (Islam) dalam menstimuli kesadaran kelas. Bagi Tan Malaka, Pan-Islamisme berpotensi membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi). Pada tahun 1920-an itu, telah muncul puluhan intelektual Minangkabau yang bukan hanya hidup di kampung, tapi menyebar di seluruh Sumatera, Jawa, Belanda, Malaysia dan Singapura. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja. Zulhasril (2009) kemudian membagi puluhan aktivis pergerakan kemerdekaan tersebut dalam 5 tipe ideologi. Pertama, Islam-komunis. Mereka berasas pada ajaran Tan Malaka yang menghubungkan ajaran tentang kesamaan dan kebersamaan manusia dalam Islam dan komunis. Masuk dalam kelompok pertama ini adalah pemimpin PKI Sumbar tahun 1948 Haji Datuak Batuah dan mantan Ketua Umum Partai Murba Djamaluddin Tamin. Kelompok kedua berideologi Islam-nasionalis. Kelompok ini diwakili organisasi Permi, PSII, Muhammadiyah dan Masyumi. Tokoh-tokohnya, M Sjafei, AR Sutan Mansyur, Rasuna Said dan ayahanda Hamka, Haji Rasul. Tipe ketiga adalah Sosialis Demokrat. Walau hanya sedikit, tapi menonjol. Mereka mengikuti kepemimpinan Sjahrir dan Hatta di Batavia, seperti M Rasjid. Tipe keempat adalah nasionalis-kiri. Tipe ini baru bermunculan setelah kegagalan pemberontakan 1926 di Silungkang. Mereka masuk dalam Gyu Gun (militer Jepang). Tokoh-tokohnya adalah Chatib Sulaiman, Dahlan Djambek, dan Ahmad Husein. Tipe terakhir adalah komunis. Kalangan ini berasal dari gerakan kiri Tan Malaka yang kemudian dipengaruhi Marxisme-Leninisme. Masuk ke dalam tipe ini adalah Ketua PKI Sumatera Timur Natar Zainuddin dan pimpinan PKI Sumbar Bachtaruddin.

Lima kelompok diatas, Zulhasril secara metodologis-epistimologis, hanya mengelompokkan berdasarkan pada orang yang beraktivitas di Minangkabau saja. Jika dimasukkan yang beraktivitas di tingkat nasional dan luar negeri, masuklah beberapa nama terkenal. Mereka adalah Nazir Sutan Pamoentjak, Hamka, DN Aidit, Hatta, M Yamin, Sjahrir, M Natsir, Agus Salim, Abdul Muis, Asaat, A Rivai dan Tan Malaka sendiri. Ya, Dipa Nusantara Aidit yang sebenarnya bernama asli Dja'far Nawawi Aidit ini termasuk karena meski dilahirkan di Belitung, orang tuanya, Haji Aidit berasal dari Maninjau, Sumatera Barat. "Tokoh pergerakan yang paling dekat dengan Tan Malaka hanyalah Muhammad Yamin," ungkap Zulhasril.

Sementara, meski sama-sama Minang dan mendalami sosialisme/komunisme, Tan Malaka dan Sjahrir memiliki hubungan yang buruk. Mereka berseteru kencang pasca Indonesia merdeka. Keduanya saling culik. Tan Malaka mengerahkan Persatuan Perjuangan yang memiliki simpatisan dari kalangan militer termasuk Jenderal Sudirman. Sementara Sjahrir memiliki Pesindo dan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang patuh padanya selaku Perdana Menteri. Perseteruan ini mencapai puncaknya pasca perjanjian Linggarjati 1947. Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan mengerahkan gerilya bersenjata menentang perjanjian Indonesia-Belanda itu. Tan Malaka dikejar-kejar oleh pasukan Sjahrir – yang juga lahir dari ”rahim” Minangkabau. Dan, sejak 21 Februari 1949, Tan Malaka si Putra Pandan Gadang ”divonis” sejarah, lenyap. Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poetze merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Tragis !

Sumber : Sebagian besar dari (c) Zulhasril Nasir (2009 & 2010)

Selasa, 18 Mei 2010

Sebab Sesat "Kanan" atau "Kiri" : Monolog Katak Bertempurung Kecil


Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Saya terpaku ketika membaca realita di tengah-tengah masyarakat bahwa telah lama berkembang pemikiran bahwa selalu ada aliran kanan dan aliran kiri. Entah kebetulan atau tidak, saya juga pernah diajarkan bahwa ketika sebuah produk pemikiran atau kelompok sedang memakai istilah “arah direksi” di dalam perkembangannya, maka akan ada kelompok lain yang menjadi korban cara pikir mereka. Kita tentu pernah mendengar istilah sosialis kanan atau agamais kiri bukan? Dua istilah yang sempat membuat saya terpekur, mengira-ngira apa maksud orang yang membuat istilah ini, kira-kira kemana arah keadaan yang dia inginkan dengan memperkenalkan dua nama ini. Namun, tiba-tiba pemikiran tentang visi atau misi para pencetus istilah ini mengabur dalam kepala saya dan tidak lama kemudian sudah berganti dengan keasyikan mempelajari cara pikir “penganut”kelompok-kelompok direksi ini. Teringat dialog dengan salah satu penganut yang menamakan dirinya “Islam kanan”, saya bertanya tentang keuntungan apakah yang didapat dengan menyandang nama-nama berdireksi ini? Dia menjawab bahwa setiap nama yang dimasukkan ke dalam sebuah kelompok akan menjadi identitas bagi kelompok itu sendiri. Saya cukup setuju dalam tataran ini, namun ketika dia kemudian menambahkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa kelompok Islam yang benar adalah kelompok kanan ini, saya langsung menarik persetujuan saya tadi.

Agak miris melihat hal ini, mengapa kemudian sesuatu seperti agamapun menjadi semakin bertambah banyak pilihannya?? Tentang produk Tuhan ini, apakah memang harus sebanyak inikah pilihannya? Lalu kebenaran manakah yang satu itu?? Atau satu yang manakah kebenaran itu?? Atau memang kita sering lupa mengadakan semacam penghubungan suatu hal dengan hal yang lain?membuat semacam kajian korelasi sebelum menunjuk final sebuah hasil. Dalam masalah pendireksian kelompok ini (kiri dan kanan ini), apakah kita bisa langsung lupa bahwa ketika ada yang memakai nama kanan tentu harus ada yang kiri atau tengah. Yang saya maksud adalah, apa kita ingin mengatakan sesuatu yang sudah memiliki adat fitrah sebagai sesuatu yang berdua (duet) tiba-tiba kita buatkan versi solonya secara sekonyong-konyong?

Masih lekat dalam ingatan saya ketika kelompok jubah dan cadar mulai masuk ke Indonesia ketika saya masih duduk di bangku “esde” kala itu. Saya bertemu dengan dua orang yang menutup sekujur tubuhnya dengan pakaian hitam, hanya keliatan matanya saja. Dan mereka berdua ini sedang belanja sayur di pokan sotu (pasar sabtu), sebuah pasar tradisional yang sampai sekarang masih eksis di kampung kecil saya, Barulak. Kami yang masih sangat muda ketika itu melihatnya dengan wajah heran bercampur jahil. Apalagi setelah seorang kawan bersorak “HOI ADO POWER RANGER!!” yang kami sambut dengan tawa renyah. Setelah sampai di kedai bibi, ramai orang langsung membicarakan masalah ini, dan beberapa kali saya mendengar kata-kata “itu ughang islam murni ma, jan dokek-dokek wak lai, tabowok lo dik nyie beko” (itu orang islam murni, kita jangan dekat-dekat nanti bisa diajak oleh mereka). Itulah kali pertama saya mengetahui bahwa ternyata ada “ Islam Murni”. Sebelumnya saya hanya mengira Islam itu hanya“MUHAMMADIYAH” saja yang kantor berikut mushallahnya berdiri anggun di tengah kampung kecil ini.

Dan saya membutuhkan waktu 10 tahun untuk kemudian bisa tersenyum-senyum sebab sadar betapa “katak”nya saya waktu itu dikarenakan “tempurung” saya yang masih kecil. Sebuah fakta melalui sanggahan, “Pada scene Islam murni ini, kira-kira alasan apalagikah yang digunakan para pencetusnya??” apa mereka tidak berpikir tentang efek yang kemudian mungkin saja bisa menimbulkan dan membuah gaduh di ranah perislaman?? Coba kita renungkan dan pikirkan. Jika ada kelompok “Islam Murni” tentu akan ada “Islam Tidak Murni”, atau “Islam Indo” (campuran). Atau jangan-jangan perkembangan keadaan dunia nyata di ranah kita ini tidak ubahnya dengan dunia periklanan yang marak di televisi. Setiap merk me”logo”kan produknya dengan “nomer wahid” atau “yang paling higienis”. Jika hanya pada iklan tentu tidak akan masalah, sebab semua orang juga sudah tahu lebih dari 80 persen dari kata-kata ini adalah bualan, dan sisanya 20 persenpun kita masih dan boleh percaya ataupun tidak. Ditambah kenyataan bahwa produk-produk lain juga akan mengkabarkan merk mereka dengan slogan yang tidak kurang hebatnya. Sehingga tidak akan ada yang bertanya atau mempermasalahkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Lalu jika ada yang nomer wahid, ada yang nomer itsnain (dua) donk?” atau “lalu jika ada yang paling higienis, ada yang higeinis biasa, atau yang tidak higienis donk?” pertanyaan ulah dari keanehan tentunya, karena ketika sebuah barang dengan kadar dan kualitas yang tidak berbeda, tidak akan pernah mau menerima label kedua atau pun sebuah label dengan kata “tidak” didepannya. Namun, apakah akan begitu juga halnya dengan merk-merk yang dipakaikan pada sebuah hal yang mengkerandai hampir seluruh hidup bahkan dunia setelah hidup kita ini? Relevankah?

Sedikit cerita, Saya pernah merasa bangga menjadi orang yang disebut Islam kanan, (dahulunya) well, karena kanan sering diidentikan dengan kebaikan, kesantunan dan kebersihan. Namun kemudian saya membaca, dan juga mendengar bahwa sebahagian dari pendapat yang saya lontarkan, ambil dan bahkan kembangkan adalah bentuk produksi pandangan orang-orang yang bukan merupakan “kanan” versi massal. Tiba-tiba saja ada yang menepuk bahu saya, “selamat datang di komunitas “kiri kami” dan kemudian “selamat bergabung di “poros tengah”. Dan untuk pertama kalinya di dunia ini saya merasa pilihan “sebelah kanan” tidak menjadi benar-benar betul dan mengenakkan. Juga, saya seperti sadar bahwa perangkap dan perangkat sosial yang entah juga agama ini menjadikan saya terjebak dalam alur kanan, kiri dan tengah, dan itu sangat padat. Saya sering bermimpi dalam perandai-andaian, apakah tidak bisa nama-nama ini beserta isi kepala orang-orangnya disatukan saja dengan nama yang kita telah sepakati bersama sebelumnya? Saya rasa tanpa embel-embel “murni” “tidak murni” “ortodok” “kiri” “kanan” atau “tengah” bahkan “higienis sekalipun, apapun itu tidak akan hilang pesonanya bahkan akan semakin elegan karena menggambarkan sebuah gerakan, komunitas atau pihak yang besar, padat dengan ideologi dan yang paling penting penuh dengan ide-ide pemersatuan kehendak dan misi tentunya, bukankah dengan semua ini akan makin mendekatkan kita pada keberhasilan? Saya bukannya lupa tentang kenyataan yang akan terjadi sebagaimana yang digambarkan oleh Muhammad Saw. dalam hadisnya tentang kelompok-kelompok yang akan hadir di zaman-zaman setelah zaman beliau. Namun, bukankah dunia ini juga megalir, mengalir dengan cara-cara yang bisa kita perjuangkan. Berusaha dengan sebaik-baik perjuangan dan kemudian jika masih saja tidak sempurna, mungkin memang disanalah ujung ketetapanNya. Atau (kalau kata orang tak percaya takdir) inilah akhir dari sebuah keberuntungan yang ternyata tidak beruntung.

Sekarang bisa sedikit bersyukur dengan maraknya tokoh-tokoh yang muncul dengan nama-nama induk dan mulai mengurangi sikap dan sifat berdireksi. Semoga semuanya ini betul-betul kosong dengan misi turunan yang biasanya hanya mengundang sinis, dan paling tidaknya bisa menjawab tentang rasa penasaran yang sering membuat masyarakat awam bingung-bingung. Tentu saja tentang klimaks masalah perut dan “recehan” yang seolah tak pernah hilang. Sudah saatnya kita memikirkan permasalahan umum dan rinci tentang kehidupan masyarakat kita, dengan kata lain kita harus keluar dari arah-arah yang tidak terarah sebelum ini. Menggambarkan kemajemukan, luasnya cakupan kelompok atau pengenalan bertahap tentang kemajuan sebuah lingkungan toh tidak membutuhkan banyak cabang-cabang baru, tentu berbeda dengan teknik marketing dan publishing restoran padang. Karena inilah bedanya penyebaran sebuah produk kepala yang juga akan dikonsumsi kepala dibandingkan dengan yang akan dikonsumsi perut. Sehingga jika kita memang telah atau akan sepakat untuk mengembalikan jati diri bangsa dengan cara menghidupkan semangat keberagamaan di dalam masyarakat kita, maka salah satu yang menjadi tugas awal kita adalah menyingkirkan direksi-direksi keegoisan ini, pembuat kesalah pahaman ini, dan direksi-direksi pengumbar keinginan pribadi ini. Kita berharap dengan cara masing-masing, semoga kesempatan itu masih selalu ada. Semangat untuk perjuangan ini masih selalu hidup dan semoga impian warna passport kita tidak lagi “berwarna hijau” cepat terwujud. Semoga selalu ada, berkobar dan berhasil.

(c) Substansi ide dari "adinda" tercerahkan : Andri Azis

Minggu, 16 Mei 2010

Drama Sri Mulyani "Dicerai", Aburizal Bakri "Dikawini"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi gonjang-ganjing politik yang paling membuat kaget publik belakangan ini. Sri Mulyani lebih memilih memenuhi pinangan Bank Dunia untuk menjadi managing director ketimbang melanjutkan tugasnya menjadi Menteri Keuangan. Meskipun belakangan ini dia terus menjadi sorotan publik karena kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan dan Skandal Century. Sri Mulyani memilih pergi ke Washington DC, tempat kantor Bank Dunia berada dan meninggalkan tuntutan para politisi Senayan yang meminta dia bertanggung jawab atas kasus bailout Bank Century. Publik menjadi bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat Sri Mulyani mundur? Mereka pun jadi penuh praduga. Belum terjawab pertanyaan publik di atas, hanya berselang hari, publik kembali dikejutkan 'drama' baru. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie alias Ical ditunjuk SBY menjadi ketua pelaksana harian Sekretariat Gabungan (Setgab) partai koalisi. Faktor timing dari dua kejadian ini seperti sebuah drama yang sudah disusun rapi alur ceritanya. Benarkah mundurnya Sri Mulyani dan diangkatnya Ical sebuah rekayasa politik untuk menutup kasus Century dan gonjang-ganjing politik yang ditimbulkan?

Pertanyaan itu mulai terjawab, saat salah satu Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengusulkan penutupan kasus Century, setelah Sri Mulyani memastikan diri mundur. Golkar bahkan mengajak semua kekuatan politik untuk cooling down dan tidak lagi mengunakan hak-hak dewan, seperti menyatakan pendapat atau hak lainnya yang bisa berujung kepada pelengseran Boediono sebagai Wapres. Pernyataan Priyo ini, menurut saya semakin meyakinkan publik, bahwa hengkangnya Sri Mulyani dari Menkeu adalah penyelamatan dan win-win solution dari pertarungan elit dalam kasus Century. Lantas, siapa penyusun cerita yang saling sambung-menyambung menjadi satu ini? Siapa yang membuat skenario? Siapa yang diuntungkan dari semua drama ini? Menurut saya, mundurnya Sri Mulyani merupakan bukti nyata kemenangan Golkar, yang selama ini memang ingin menyingkirkan sosok reformis di Kemkeu ini. Apalagi sebelumnya Sri Mulyani dalam wawancaranya dengan Wall Street Journal secara tegas menyatakan dibalik hiruk-pikuknya pengungkapan Skandal Century ini ada Golkar dan Ical di belakangnya. Analisa ini akan didukung dengan fakta masuknya Golkar ke barisan inti kekuatan SBY lewat penunjukan Ical sebagai ketua pelaksana harian Setgab parpol koalisi. Rangkaian ini, saya kira sudah cukup membuktikan dalam lingkaran dalam SBY telah terjadi pergeseran peta. Posisi Hatta Rajasa yang sebelumnya selalu dipasrahi urusan 'mengerem' parpol yang melawan pemerintah, kini akan digantikan dengan Ical.

Lalu, apakah benar SBY tidak menghitung semua risiko dari pilihan politiknya ini? Golkar yang juga sudah menjadi bagian dari partai koalisi, terbukti licin dan susah dikendalikan, misalnya dalam kasus Century. Menurut saya, sebagai presiden yang menang dalam 2 kali pilpres, SBY tentu tidak mungkin gegabah. Semua pasti sudah diukur, karena SBY sangat cerdas dan lihai. Atas dasar inilah, saya menilai justru Golkar yang sedang dibonsai oleh SBY. Dengan menunjuk Ical sebagai ketua pelaksana harian, SBY akan semakin leluasa mengendalikan Ical dan Golkar untuk bisa ikut dengan kemauan 'sang pemimpin'. Ini juga yang membuat internal Golkar mulai goncang. Sebab, ada beberapa kader yang tidak setuju dengan Ical menjadi ketua Setgab, karena dianggap hanya menguntungkan SBY dan PD. Golkar yang selama ini bisa bermain kritis dan bebas, menjadi terkekang dengan posisi Ical sebagai ketua Setgab itu. Lalu kenapa Ical mau menerima tawaran SBY? Bukankah dia politisi yang sudah makan asam garam dan memimpin Golkar yang terkenal karena pengalamannya berkuasa selama 32 tahun? Spekulasi publik pun muncul, jangan-jangan SBY dan Ical sedang merancang satu skenario tertentu untuk Pilpres 2014?

Dengan alur cerita di atas, bisa jadi Ical sedang diplot SBY untuk disiapkan dalam Pilpres 2014. Mungkin karena PD tidak memiliki kader yang kuat betul didorong sebagai capres pasca SBY, PD cukup puas dengan posisi wapres dengan syarat Golkar dan PD harus berkoalisi. Belum tahu siapa yang akan didorong, apakah Ical sendiri atau kader lain di Golkar. Dugaan itu ternyata diamini oleh elit Golkar. Kalau memang demikian adanya, bagaimana nasib Boediono setelah ada Ical? Akankah Boediono dipertahankan sampai akhir masa jabatannya sebagai wapres dengan sekian persoalan yang masih melingkupinya, termasuk skandal Century? Pengamat politik dari LSI Burhanudin Muhtadi menilai dugaan ancaman tergusurnya Boediono itu mungkin saja terjadi. Sebab dalam politik, tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Apalagi peran Ical dinilai cukup strategis karena bisa berkomunikasi langsung dengan SBY setiap saat dan bisa rapat dengan para ketua umum partai koalisi setiap waktu. Namun, untuk mengusur Boediono bukanlah hal yang mudah. Meski secara citra, kekuasaan Wapres Boediono teramputasi dengan peran Ical. Boediono praktis tinggal mengurusi tugas sebagai pembantu presiden. Ical mengambil alih tugas membantu SBY dalam hal konsolidasi parpol koalisi seperti yang dulu dilakukan Wapres Jusuf Kalla saat itu. Jadi, menurut saya spekulasi publik sah-sah saja mengatakan SBY dan Ical telah, bersepakat atas satu hal. Namun, para politisi itu harus ingat, rakyat telah memiliki rasionalitasnya sendiri. Rakyat telah memiliki ukuran-ukuran mereka untuk memberikan dukungan atau menolak sama sekali. Kalau memang ada kesepakatan antar SBY dan Ical, semoga itu didasarkan atas niat dan komitmen menyejahterakan rakyat. Bukan membuat oligarki kekuasaan baru dengan kawinnya kekuatan penguasa dan pengusaha. Semoga....!

(c) M. Nur Hasyid/detikcom

Jumat, 07 Mei 2010

Sejarah yang (di)Sembunyikan

Oleh : Muhammad Ilham

"Ketika tembok Cina selesai didirikan, kemanakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan ?", demikian kata Ernst Bloch.

Untuk logika pertanyaan yang sama (diatas), akan timbul gugatan, kemanakah para mahasiswa bersembunyi atau disembunyikan setelah Suharto beserta rezimnya runtuh ? Kemanakah orang-orang yang dengan idealisme adiluhung mau secara tegar dihabiskan oleh ganas-garangnya Pembuangan Digul? Kemanakah mereka yang selama ini berjuang dengan “hati”, namun karena berbeda prinsip politik, mereka akhirnya dijadikan kambing hitam sejarah ?. Pertanyaan-demi pertanyaan akan terus bergulir. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini. Berapa ribu budak menjadi “martir sejarah” hanya demi ambisi Fir’aun dengan proyek mercusuarnya, piramida. Suharto dan rezimnya telah jatuh, namun nama reformasi justru identik dengan segelintir orang. Terkadang, sejarah butuh tumbal untuk merubah arah geraknya. Bak kata RZ. Leirissa, gerakan-gerakan nativis, ratu adil dan gerakan-gerakan yang dikompori oleh komunis yang nyata-nyata membuat daya dan energi kolonial Belanda “letih”, justru tidak diapresiasi secara proporsional oleh sejarah. Siapa yang kenal dengan Chalid Salim ? Adik “old-man greatest” H. Agus Salim ini, oleh Takashi Shiraisi, dianggap sebagai pribadi konsekuen. Chalid yang menghabiskan masa-masa produktif intelektualnya menggeluti komunis-sosialis, menjadi salah satu penghuni Digul pada tahun 1920-an s/d 1930-an. Masa itu, Digul adalah “daerah hantu pembuangan” yang ditakuti oleh para pejuang Indonesia. Bersama-sama teman-temannya, Chalid yang diakhir hidupnya menganut agama Nasrani (dan ini disyukuri oleh kakaknya Agus Salim karena selama ini Chalid memproklamirkan dirinya sebagai atheis), menghabiskan hari-harinya di daerah zona 3 Digul. Ketika itu, Pembuangan Digul oleh Belanda dibagi atas 3 zona. Zona 1 untuk para digulis (orang buangan) yang setelah dibuang ke Digul memperlihatkan kompromi dan bisa “dibina” oleh kolonial Belanda. Mereka ini diberi insentif untuk biaya hidup. Zona 2 bagi digulis yang dianggap “abu-abu”, antara melawan dan kompromi. Zona 3 merupakan zona bagi digulis yang nyata-nyata melawan kepada Belanda. Mereka tidak diberi biaya hidup. Survival in the fittest nyata terjadi di Zona 3 tersebut. Di Zona 3 ini, para digulis banyak berasal dari Minangkabau, diantaranya Hatta, Syahrir dan Chalid Salim. Tapi sayang, Chalid Salim hilang entah kemana dari catatan sejarah. Sejarah pada akhirnya, meminjam istilah dedengkot mazhab Frankfurt-Juergen Habermass, adalah sejarah yang dikondisikan oleh pemegang hegemoni.

Sejarah secara umum dipahami sebagai suatu studi tentang manusia dalam dimensi waktu (the study of man in time). Dalam konteks ini, disiplin ilmu sejarah berusaha untuk melihat perubahan-perubahan yang berada dalam konteks waktu. Apabila dikoloborasikan dengan ilmu lain, maka pendekatan multi-disipliner merupakan suatu keharusan, karena perubahan merupakan suatu struktur terpenting dalam struktur sosial. Namun, banyak orang yang selalu menghindari kata-kata perubahan, bahkan agak dikhawatirkan. Hal ini terutama terjadi karena kalangan tertentu dalam masyarakat melihat perubahan sebagai suatu ancaman. Stabilitas, menurut pemahaman sebagia orang yang menghindari perubahan tersebut, adalah menegakkan sebuah konsensus, atau dalam bahasa mazhab struktural fungsional, "equilibrium". Untuk itu, orang akan selalu dan terus mencari justifikasi historis dimana kelanggengan, stabilitas danb sejenisnya bisa hancur karena perubahan. Justifikasi intelektual yang mencari pegangan ke masa lampau sangat jelas terlihat dalam perjalanan panjang sejarah "anak bangsa" Indonesia. Kita sebagai bangsa yang merdeka, senantiasa berhadapan dengan ketentuan-ketentuan politik dan ekonomi-global yang tidak dapat dikendalikan, bahkan cenderung tidak disadari seperti yang dikatakan oleh Adam Smith -- "tangan-tangan yang tak terlihat". Ada perasan hanyut dalam arus global itu dan obat untuk menstabilkan semua itu adalah masa lampau yang diharapkan dan dapat menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah historisisme, sebuah pandangan yang mengabaikan sama sekali sejarah sebagai suatu perubahan dan dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang bisa diupayakan untuk masa yang akan datang.

Dalam sejarah Indonesia, pandangan historisisme itu juga pernah ada dan masih dominan. Salah satu sumbernya adalah pandangan sejarah Sukarno yang dilahirkannya pada masa pergerakan. Baginya masa kini adalah masa penderitaan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dan masa yang akan datang adalah revival dari masa lampau dengan segala kearifannya. Sedikit banyaknya, pandangan sejarah ini pernah dominan bahkan pada masa Orde Baru hal ini juga terlihat seperti yang terungkap dari jargon masa datang atau sasaran yang dituju "masyarakat adil makmur". Bahkan, dalam konteks isu politik Indonesia belakangan ini, gagasan untuk kembali ke "nilai-nilai 1945" tergolong dalam wawasan historisisme. Lalu bagaimana dengan Hizbut Tahrir dengan "back to khilafah ????".

Pandangan-pandangan historisisme seperti ini yang melihat dan menginginkan pelajaran moral dan masa lampau untuk legitimasi politik masa kini, itu dengan sendirinya akan menghambat demokrasi. Sejarah dalam paradigma ini berguna untuk menciptakan rasa stabilitas dan kesadaran akan adanya kontinuitas dengan masa lampau. Penulisan sejarah yang berlandaskan wawasan historisisme yang membangkitkan masa lampau sebagai jalan keluar dari segala permasalahan itu, menghambat pandangan ke masa depan. Padahal, Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin (sang arsitek USSR) pernah mengatakan bahwa yang paling ditakutinya adalah sejarawan. Kadang-kadang sejarawan tidak merasakan bahwa kehadiran mereka dalam belantara ilmu sebenarnya mampu meluluhlantakkan kebekuan dan ketidakadilan politik penguasa. Fakta-fakta a-la penguasa politik yang hampir banyak terjadi diberbagai belahan negara bangsa, sebagaimana halnya juga terjadi di Indonesia seperti yang terdeskripsi dalam prolog tulisan ini, bisa diluruskan secara objektif oleh sejarawan. Tapi sayang, justru ilmu sejarah kadang-kadang memberikan kontribusi besar menciptakan kemunafikan besar.

Rabu, 05 Mei 2010

IA yang bernama SRI MULYANI

Oleh : Muhammad Ilham

(Hari ini, seluruh media massa tanah air memberitakan Sri Mulyani mundur jadi Menteri Keuangan per tanggal 1 Juni 2010 yang akan datang, dan Menteri wanita Smart ini "diminta" mengisi pos baru-nya yang telah lama "dielus-elus" oleh World Bank, sebuah posisi strategis dan "mencorong", jadi Managing Director World Bank. Posisi yang rasanya seperti "mukjizat" bagi bangsa seumpama Indonesia. Nanti, Sri akan memantau regulasi dan pertumbuhan ekonomi 70 negara di kawasan Amerika Latin dan Asia dari tempatnya di Washinton DC. Menteri Keuangan Terbaik Dunia ini, adalah sedikit diantara sangat sedikit anak bangsa yang memiliki kepintaran dan kinerja serta integritasluar biasa. Ia "disayangi" di luar negeri dengan nama yang sangat harum, tapi di caci maki oleh politisi-politisi kampret (buktinya : setelah SBY merestui Sri Mulyani mundur jadi Menkeu, beberapa Partai Politik yang selama ini "keras" terhadap Sri Mulyani seperti Golkar, PDI-P dan PKS "ramai-ramai" berwacana siapa pengganti Sri Mulyani versi mereka. Mereka lupa, bahwa publik tidak sedang terjangkiti amnesia (penyakit lupa) sebagaimana halnya penyakit yang diderita oleh Nunun Nurbaeti, istri politisi PKS Adang Daradjatun yang dianggap sebagai "perantara" suap anggota DPR-RI yang mayoritas dari PDI-P melalui "Travel cequegate". Nunun bahkan dianggap mengalahkan ratu suap, Arthalita Suryani. Yaa, publik tidak bodoh dan diam, publik merekam dalam memori mereka, siapa yang kampret, busuk .... siapa yang betul-betul profesional. Ketika isu Neo-Liberal di"bebankan" pada Sri Mulyani (dan Beodiono), ternyata, ketika Sri Mulyani (mau) mundur, justru yang terjadi adalah Partai-Partai yang getol menggunakan istilah Neo-Liberal justru ramai-ramai "menaikkan" tokoh-tokoh yang juga dikategorikan Neo-Liberal. Karena itu, bak kata Sejarawan (yang saya lupa) : "mari kita lawan amnesia sejarah". Jangan lupa-kah peristiwa sekarang untuk menjadi pedoman pada Pemilihan Umum 2014 yang akan datang. Historia vitae Magistra !!

Artikel ini pernah saya publish beberapa bulan yang lalu, namun menjadi aktual kembali hari ini !)


Hati kecil saya “menangis” ketika foto Sri Mulyani dirobah dan dibakar oleh para demonstran (yang mungkin tidak mengerti untuk apa mereka demonstrasi) seperti Vampir dengan gigi panjang dan dua tanduk menakutkan. Hati kecil saya “menangis” karena Sri Mulyani pernah menolak keinginan Abu Rizal Bakrie untuk menjadikan Tragedi Lumpur Lapindo sebagai tanggung Jawab pemerintah (dan bukan tanggung jawab PT. Minarak yang merupakan “anak kandung” PT. Bakrie) karena berpotensi menghacurkan ekonomi Negara, namun kemudian setelah Aburizal Bakrie jadi Ketua Golkar, Sri Mulyani dijadikan Target untuk dijatuhkan …… Padahal banyak politisi DPR dari Golkar yang terlibat suap Pemilihan Deputi Gubernur BI, justru dibiarkan Aburizal. Hati kecil saya “menangis” ketika Sri Mulyani di ”setting” sebagai musuh bangsa oleh DPR-RI yang konon dimotori oleh PDI-P dan Partai Golkar via Pansus Angket, karena konon – sekali lagi konon – Aburizal Bakri “dendam” pada Sri Mulyani dan Budiono karena Sri Mulyani pernah suatu waktu menolak keinginan Aburizal Bakrioe untuk mengambil sebuah kebijakan agar saham perusahaannya tidak jatuh ….. dan Sri Mulyani tidak mau karena justru melanggar regulasi nasional.

Hati kecil saya masih berharap mudah-mudahan hasil pemeriksaan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century itu tidak seluruhnya benar. Sebab, kalau memang tidak ada yang salah, akibatnya akan sangat dramatis: kita bisa kehilangan menteri keuangan yang sangat kita banggakan. Seorang menteri, Sri Mulyani, yang reputasinya begitu hebat. Baik di dunia internasional maupun dalam mengendalikan keuangan negara. Secara internasional dia terpilih sebagai menteri keuangan terbaik di dunia dua tahun berturut-turut. Di dalam negeri dia dikenal sebagai menteri pertama yang berani mereformasi birokrasi di departemennya. Juga menteri yang sangat ketat mengendalikan anggaran negara. Bahkan, dialah satu-satunya menteri yang berani minta berhenti ketika ada gelagat pemerintah akan membela seorang konglomerat yang dia anggap tidak seharusnya dibela.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada yang tiba-tiba mengatakan: kesimpulan BPK itu diperoleh dengan cara kerja yang kurang benar. Maka kita tidak akan kehilangan menteri keuangan yang pandainya bukan main itu. Pandai dalam ilmunya, pandai dalam menjelaskan pikirannya, dan pintar bersilat kata. Saya melihat kecepatan berpikirnya sama dengan kecepatan bicaranya. Kalau lagi melihat cara dia mengemukakan pikiran, seolah-olah otak dan bibirnya berada di tempat yang sama.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang tiba-tiba menemukan data bahwa BPK telah salah ketik. Maka, kita tidak akan kehilangan menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop untuk menyelamatkan keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti karena lengah sedikit berakibat pada kebangkrutan ekonomi nasional. Rapat itu tentu melelahkan karena angka-angkalah yang akan terus berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya. Angak-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih salah satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua angka yang saling merugikan itu. Padahal, dia baru saja tiba dari Washington, AS, untuk berbicara di forum KTT G-20 yang amat penting itu. Di Washington dia tahu bahayanya ekonomi dunia. Tapi, dia mampu memikirkan keuangan internasional sekaligus keuangan nasional dalam waktu yang sama di belahan dunia yang berbeda. Dia harus menghadiri KTT G-20 di Washington saat itu saat rupiah tiba-tiba melonjak menjadi Rp 12.000 per dolar AS. Dia harus tampil cool di forum dunia yang Singapura pun tidak boleh ikut di dalamnya itu sambil tegang bagaimana harus mengendalikan rupiah yang sudah membuat warga negara Indonesia panik semuanya. Dialah menteri yang datang ke Washington hanya untuk mengemukakan pikiran briliannya dan harus langsung kembali ke tanah air pada hari yang sama untuk mencurahkan perhatian pada ekonomi yang hampir bangkrut itu.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang mengatakan bukan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi, ada pihak lainlah yang harus mendapat hukuman. Kalau tidak, kita akan kehilangan seorang menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 menit penerbangan di Semarang sana. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak hancur dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.

Maka hati kecil saya masih berharap ada data di kemudian hari bahwa kebijaksanaan itu sendiri tidak salah. Sebab, sebuah kebijaksanaan bisa diperdebatkan salah benarnya. Saya masih berharap yang salah itu dalam pelaksanaan kebijaksanaannya. Yakni, saat mendistribusikan uangnya yang Rp 6,7 triliun itu. Dan saya sangat-sangat yakin dia tidak mendapatkan bagian serupiah pun. Maka saya sangat bersedih karena sampai hari ini belum ada satu pihak pun yang berhasil mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK itu salah. Belum ada yang membantah bahwa hasil pemeriksaan BPK itu keliru. Semua masih mengatakan, hasil pemeriksaan BPK itu menunjukkan bahwa dia bersalah dalam mengambil keputusan. Dan hukum harus ditegakkan.

Insert : Foto Sri Mulyani - www.newyorktimes.com

(Mayoritas tulisan ini terinspirasi/rewrite dari Artikel Dahlan Iskan)

Sabtu, 01 Mei 2010

Meletakkan SAGU dari Kacamata PIZZA : "Setiap Jalan Memiliki Sejarahnya"

Oleh : Muhammad Ilham


/Setiap jalan memiliki sejarahnya/Setiap jalan memiliki bahan bakunya sendiri/Dan ..... setiap jalan, tidak selalu disukai semua orang/ ..... (Murtadha Mutahhari, dalam Masyarakat dan Sejarah, edisi terjemahan, 1999)


Cerita satu :
beberapa malam terdahulu, ada diskusi-dialog di TVRI yang bertajuk "Suara Anda". Topik kala itu berkaitan dengan isu terhangat dalam "ranah politik" Indonesia, banyak-nya calon-calon Kepala Daerah yang berpotensi ter/dihambat dengan wacana Rancangan Undang-Undang "Peraturan Zina" yang dihembuskan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dalam acara itu, bertindak sebagai narasumber di antaranya Refli Harun (peneliti senior Centro) dan Yudi Lathief (cendekiawan muda Islam/pengamat politik) serta Chairuman Harahap (anggota DPR-RI dari Golkar). Secara umum, para pengamat ini sangat sepakat bahwa Rancangan Undang-Undang "Peraturan Zina" yang kontroversi sekaligus menyentak ini, mengangkangi asas-asas demokrasi. Negara, kata Yudi Lathif dan Refli Harun, tidak boleh mengatur atau mengintervensi dengan peraturan-peraturan sejenis ini, biarlah masyarakat yang menilai. Konkritnya, mereka ingin mengatakan : "Jangan hambat calon yang dalam pandangan masyarakat sudah "rusak" secara moral untuk maju, serahkan saja pada masyarakat dan jangan dijadikan parameter agama untuk menghakimi seseorang untuk berpartisipasi dalam kompetisi politik. Dalam kesempatan itu pula, Gamawan Fauzi menanggapi-nya via Telpon dan menyimpulkan : "Jangan dianggap pemerintah mengintervensi, namun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Jangan berbicara atas nama demokrasi dengan mengetepikan nilai-nilai kultural dan normatif teologis. Dan jangan pula, menganggap bahwa nilai-nilai demokrasi yang lahir dan tumbuh berkembang di dunia barat sana, harus dipaksa dipraktekkan secara totaliti di Indonesia yang pada dasarnya memiliki latar historis berbeda dengan tempat lahirnya nilai-nilai demokrasi yang "digadang-gadangkan" sebagai demokrasi universal sekarang. Apalagi, kata Gamawan Fauzi, apresiasi terhadap nilai-nilai teologis-kultural di dunia Timur, khususnya Indonesia, berbeda dengan apresiasi yang diberikan oleh "dunia" dimana demokrasi universal itu lahir. Ada perbedaan signifikan karena faktor historis".

Cerita 2 : Beberapa minggu yang lalu, dilaksanakan Kongres Gay dan Lesbian di Surabaya, kongres ini kemudian "dibreidel". Malam tadi juga diberitakan bagaimana Lokakarya Waria Indonesia dibubarkan di Tangerang. Forum Pembela Islam dan beberapa organisasi Islam lainnya dianggap sebagai "biang" dari pembubaran dua event kontroversial ini. Beberapa tokoh, menyayangkan kejadian pembubaran paksa dua acara tersebut. Atas nama HAM dan nilai-nilai demokrasi, para tokoh ini menganggap bahwa Kongres Gay, Lesbian, Heteroseksual dan waria juga harus dihormati .... karena itulah amanat dan nilai-nilai luhur HAM dan demokrasi itu sendiri, kata tokoh-tokoh ini yang sebagaian besar dikenal selama ini sebagai aktifis demokrasi dan HAM. Lalu, beberapa orang yang "suka" dan menyetujui pembubaran acara ini memberikan statemen beda dengan apa yang diberikan oleh tokoh/aktifis HAM dengan mengatakan : "itu nilai-nilai demokrasi barat, nilai-nilai itu tumbuh dan berkembang di negara di mana nilai-nilai agama dari awal sudah dipandang dengan curiga bahkan penuh benci, dan itu beda dengan latar historis kita".

Sejarah mencatat, kebangkitan peradaban dunia "barat" berawal dari zaman pencerahan, pasca renaisan. Salah satu issu sentral dalam abad pencerahan adalah apresiasi yang maksimal terhadap potensi akal (rasio) dan upaya minimalisir peranan agama bahkan sampai pada titik yang terkesan menyederhanakan - untuk tidak menyebut melecehkan. Gerakan ini dipelopori oleh para filsof, terutama Immanuel Kant (1724-1804) dan Voltaire (1694-1778). Voltaire, misalnya, mengabdikan dirinya pada "jihad intelektual" melawan fanatisme agama. Kesemua surat-surat dan karya tulisnya yang hampir 30.000 halaman, senantiasa ditutupnya dengan kalimat yang maknanya kira-kira "ganyang barang brengsek itu!". Yang dimaksud Voltaire dengan "barang brengsek" tersebut adalah kejumudan dan fanatisme. Karyanya Ecraszed L'infameLetters on the English yang diterbitkan tahun 1734 (?) merupakan tanda sesungguhnya dari era pembaharuan Perancis yang kemudian memberikan inspirasi bagi pembaharuan dunia barat pada umumnya. Pada masa ini berkembang dua macam aliran yang menghargai posisi akal yaitu di bidang agama dan di bidang filsafat. Pada abad Pencerahan, aliran ini melahirkan perlawanan pada otoritas gereja dan dipergunakan untuk mengkritisi ajaran agama. Namun, sebetapapun sinisnya pandangan para filosof terhadap agama, semangat sekuler gerakan pencerahan sama sekali tak mampu melenyapkan agama, dalam artian agama sebagai ajaran normatif dan institutif. Gerakan pencerahan hanya berhasil mengurangi pengaruh agama yang demikian besar terhadap kehidupan kemanusiaan sebagaimana yang terjadi pada abad pertengahan. Implikasi abad pencerahan terhadap agama lebih terasa dalam aspek pemikiran dan politik. Abad pencerahan melahirkan kondisi marginalisasi peran agama. Perhatian agama beralih dari "centre of life" ke "phery-phery of life" - meminjam istilah sejarawan Immanuel Wallerstein. Secara historis, hal ini tak terlepas dari peran signifikan Isaac Newton yang "menyerang" otoritas kebenaran agama dengan pendekatan ilmiah-saintifik.

Diantara sebab-sebab di atas, ada sebab lain yang begitu penting yaitu orang mulai berpergian lebih jauh menjelajahi bumi dan menemukan bahwa di belahan dunia lain ditemui peradaban dari bangsa dan kepercayaan lain. Bahkan interaksi dengan dunia luar out siders mereka, menimbulkan anggapan ada peradaban lain yang setinggi peradaban barat. Anggapan bahwa agama Kristen sebagai satu-satunya agama dan iman yang benar, mulai diragukan bahkan dipertanyakan. Dalam ketenangan abad ke 18, demikian kata sejarawan-orientalis William Montgomery Watt, orang dapat membuang rasa takut, rasa bebas dari intimidasi dan teror serta ketidakpastian karena perang dan mulai mengejar kesenangan (yang dalam filsafat sejarah dikenal dengan aliran pragmatisme-hedonistisme). Di Inggris pada abad ke 17, para penganut Plato di Universitas Cambidge nan fenomenal itu, memberikan anjuran agar ajaran Kristen dirangkum kembali dan di re-interpretasi dalam beberapa bentuk dan rumusan logis-rasional, yang kemudian dikenal dengan teologi rasional. Teologi rasional ini dianut oleh kelompok yang cukup besar yang kemudian dalam sejarah pemikiran agama-agama dikenal dengan kelompok Latitudarian. Kaum ini menganggap diri mereka sebagai orang Kristiani yang baik, tapi kesahalehan mereka sedang-sedang saja sehingga hampir tidak kelihatan bedanya dengan sopan santun masyarakat awam pada umumnya. Jadi janganlah heran, bila ada individu "barat" sana yang dalam kesehariannya sangat baik-humanis, namun tidak mau terkooptasi atau diberikan label dengan aturan-aturan agama tertentu. Perjalanan historis mereka memberikan justifikasi. John Locke, seorang cendekiawan Inggris pada masa ini adalah figur yang menyebarluaskan gagasan-gagasan Latitudarian. Bahkan John Locke dianggap oleh filosof sejarah abad ini, Bertrand Russel (1872-1970) sebagai filosof yang paling beruntung karena pandangan filsafat dan politiknya dipahami secara luas dan disambut hangat oleh orang-orang semasanya. John Locke dianggap sebagai filosof yang mempopulerkan bahwa manusia haruslah bersikap "tahu batas" terhadap rahasia-rahasia alam dan beranggapan bahwa wahyu agama hanyalah merupakan sebuah kelanjutan dari akal budi. Mukjizat katanya, adalah sesuatu kejadian alam biasa, bukan unik apalagi sesuatu yang luar biasa.

Beberapa buku diterbitkan untuk memperkuat dan menyebarkan pendapat-pendapat se"irama" dengan pendapat John Locke di atas. Tahun 1696, buku yang berjudul Agama Kristen Bukan Rahasia karangan John Tolland dipublikasikan kepada publik. Menyusul kemudian buku Thomas Waltson yang mengarang buku Enam Ulasan Mengenai Mukjizat. Buku-buku tersebut mendapat respon antusias masyarakat, tapi disisi lain dianggap melecehkan agama (dalam hal in : institusi gereja). Namun buku yang paling terkenal sekaligus kontroversial adalah Philosophy Dictionary yang terbit pada tahun 1764, tanpa pengarang. Substansi buku ini menyangkal adanya campur tangan nilai-normatif teologis dalam peristiwa-peristiwa alam. Berangkat dari spirit buku ini pula, kemudian berkembang wacana "liar" yang mulai meragui adanya peranan Tuhan bahkan lebih ekstrimnya, mulai meragui adanya eksistensi dan "adanya" Tuhan itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa tanpa campur tangan (intervensi) Tuhan-pun, mereka mampu untuk mewujudkan impian dan cita-cita mereka. Cita-cita, tujuan dan keinginan kehidupan tidak bergantung, menurut mereka, secara mutlak dengan takdir ke-illahi-an. Tidak ada intervensi Tuhan terhadap proses kehidupan manusia, atau dalam bahasa sederhananya, manusialah yang sebenarnya mengatur proses kehidupannya. manusia mampu untuk mendisain tujuan kehidupannya. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran-pemikiran ini, pada gilirannya, mereka meninggalkan agama Kristen dan kemudian mereka menggantikan sorga yang sesungguhnya dengan masyarakat yang baik .... di dunia. Nilai-nilai yang berpusat kepada transedental normatif-teologis kemudian digantikan oleh nilai-nilai yang berpusat pada kebaikan dan potensi manusia (antropomorphisme).

::: Intinya, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis. Bak kata teman saya ....... "Menganggap PIZZA sebagai makanan universal dan melihat kualitas makanan orang Mentawai yang suka Sagu dari kacamat PIZZA"

Bung Karno The Trendsetter

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tak terbantah lagi Bung Karno adalah trend setter terkemuka dalam gaya busana di Indonesia, baik dalam masa pemerintahannya, masa-masa perjuang-an politik di zaman penjajahan maupun masa reformasi sekarang ini ketika pengaruh itu masih terasa. Bung Karno malah merupakan penentu trend bagi tata busana perempuan, khususnya dalam peran Bung Karno memadukan motif-motif klasik pada Batik Kraton dengan corak warna Batik Pesiran dalam format baru yang dikenal sebagai Batik Indonesia, cikal bakal berkembangnya batik sebagai salah satu trend tersendiri dalam dunia fashion. Kopiah adalah perangkat busana yang dipopulerkan Bung Karno sebagai identitas nasional. Kopiah - asal katanya kaffiyeh yang secara harafiah berarti penutup kepala - pada pertengahan dasawarsa 20an dikenakan oleh kalangan bawah, rakyat jelata di lingkungan Jawa Barat, Jakarta serta pesisir utara pulau Jawa. Ketika Bung Karno membentuk Partai Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, dalam suatu rapat pimpinan partai di-usulkannya agar tiap warga PNI mengenakan kopiah sebagai identitas nasional. Usul ini segera diterima secara bulat, meski ada beberapa di antara pimpinan partai - antara lain Ali Sastroamidjojo - yang menolak. Segera setelah keputusan itu, kopiah menjadi penutup kepala yang popular di kalangan kaum pergerakan.

Meski mengenakan tata busana Jawa-Eropa - di kepalanya bertengger ikat kepala Jawa - ketika berse-kolah di ELS dan HBS, Bung Karno sudah mengenakan stelan Eropa sejak muda. Ke-tika kuliah di THS (Technische Hoge School) di Bandung, Bung Karno tampil gundulan alias tidak memakai tutup kepala sama sekali. Namun, dalam deret busana barat yang dimilikinya, tidak ada satu pun yang bergaya kolonial tropikal - stelan safari putih, celana pendek, kaus kaki tinggi dan topi gabus. Bung Karno memilih stelan pantalon-jas-dasi putih dan kopiah hitam, gaya busana yang dikenakannya sampai zaman Jepang dan awal zaman merdeka. Gaya busana ini mencapai po-pularitas tinggi karena dijadikan standar busana bagi kaum pergerakan di Indonesia. Popularitas tinggi itu juga dicapai berkat seringnya Bung Karno - karena sering diperkarakan oleh pemerintahan kolonial - tampil dalam sosok foto di surat-surat kabar. Bukan cuma itu, sampai dasawarsa 30an, foto-foto Bung Karno dalam pelbagai gaya ditampilkan pada etalase sebuah studio foto terkemuka langganannya di Bandung. Siswi-siswi sekolah MULO di Jl. Sunda, Bandung, sering berlama-lama berdiri di depan etalase tersebut mengagumi sang foto model amatir itu.

Secara umum tata busana para pejuang di zaman revolusi dan perang kemerdekaan 1945-1949 banyak dipengaruhi uniform militer Prancis. Antara lain perwira yang mengenakan celana berkuda dan riding boots, para anggota mengenakan muts hitam berujung runcing. Dalam suasana yang demikian ini, Bung Karno mendefinisikan sendiri tata busana bagi warga sipil yang berjuang. Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sementara tanda kepresidenan - bintang bersudut lima dalam lingkaran - disematkan di kedua kelepak. Dengan varian warna yang terbatas - putih, broken white sampai khaki - jadilah tata busana ini - tetap dengan kopiah hitam - pakaian resmi warga sipil di masa perjuangan bersenjata. Tata busana yang demikian ini - bagi instansi sipil, namun ada secercah uniform militer di dalamnya - bertahan hingga tahun-tahun pertama di Istana Merdeka. Ketika peran Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia makin menonjol, tata busana ini lebih condong ke arah uniform militer dengan pencantuman pita-pita tanda jasa di dada. Namun tidaklah style ini menjadi militeristik karena Bung Karno lebih menempatkannya dalam kategori busana sipil melalui kopiah yang sangat merakyat. Trend yang unik ini - penggabungan elemen-elemen militer dan citra sederhana warga negara kebanyakan - dikembangkan tidak hanya dalam jajaran pemerintahan, namun juga diadaptasi oleh Gerakan Pramuka. Seragam pramuka tidak banyak berbeda dengan seragam boy scouts dan girl guides di negeri-negeri barat, namun pen-cantuman kopiah memberikan citra keindonesiaan yang kental.

Dalam tata busana yang khas Bung Karno ini, sang trend setter tidak berhenti sampai di situ. Bung Karno menghadirkan kembali stelan dengan jas berlengan pendek tanpa dasi yang disalahartikan sebagai safari, sebuah trend yang kemudian diikuti oleh jajaran menteri pada Kabinet Dwikora, para direktur jenderal sampai ke camat dan lurah. Bung Karno juga menghadirkan stelan semi-uniform dalam pelbagai warna. Biru, cokelat, dan abu-abu sesuai kebutuhan pada acara-acara tertentu di kalangan ADRI, AURI dan ALRI, ataupun two-tone jas biru tua dan celana biru muda pada acara pembukaan Games of the New Emerging Forces, GANEFO. Bung Karno, the trendsetter, berperan penting dalam menggalakkan aneka busana daerah ke ajang nasional dan internasional melalui pembentukan barisan Bhineka Tunggal Ika, receiving line pada upacara resmi yang mengenakan ragam kostum khas tersebut.

(c) http://www.gentasuararevolusi.com

(Tak Harus) Nomor Satu

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam teori perubahan sosial, “virus” N-Ach pernah diperkenalkan oleh David C Mc. Clleland. Perubahan masyarakat tergantung pada potensi Need of Achievement, kebutuhan masyarakat untuk berprestasi. Apabila ingin meningkatkan kualitas sebuah komunitas masyarakat maka injeksikan virus motivasi berprestasi. Virus ini disatu sisi sangat motivatif, merangsang siapa saja untuk selalu berprestasi, bahkan terus mencapai puncak yang tinggi. Namun dalam perkembangannya, virus ini justru mengkondisikan manusia untuk terus selalu menjadi yang “terdepan”, “terunggul” bahkan “harus nomor satu”. Di satu sisi, apa yang diharapkan oleh “virus” Mc. Clellad ini sangat bagus sekali, namun pasti memiliki implikasi serius karena tak ada keinginan manusia untuk “mengalah”. Dan ini terasa di negeri Zamrud Khatulistiwa, khususnya pasca reformasi hingga kini. Elit, dimanapun kasusnya, berebut menjadi nomor satu. Dan, hampir tak ada yang berkeinginan jadi nomor dua. Kalaupun ada, keinginan nomor dua itu hanya “batu loncatan” untuk jadi nomor satu. Lihatlah, apakah ada pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Gubernur/Wakil Gubernur bahkan Presiden/Wakil Presiden yang selalu “bersama-sama” untuk periode kedua. Dijamin, Wakil-nya ingin jadi nomor satu pada kesempatan pertarungan berikutnya. Rakyat teramat sibuk melayani elit yang semuanya mau nomer satu.

Bacalah buku “Budaya Ekonomi Jepang” yang ditulis Daoed Joesoef . Mantan Menteri Pendidikan Republik Indonesia beberapakali pada era Soeharto ini menunjukkan kekagumannya terhadap budaya Jepang yang juga “Timur-Oriental” sebagaimana halnya dengan Kita yang Indonesia ini. Tiang penopang kemajuan Jepang yang mengagumkan itu adalah ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas keibuannya dengan rasa bangga dan bahagia. Serupa dan persis dengan “pesan” kunci yang ingin disampaikan Daoed Joesoef di atas, kita juga ingat dengan sang pencetus “Ahimsa”, Mohandas Karamachand Mahatma Gandhi. Seketika India merdeka dari Inggris, dengan ikhlas Mahatma Gandhi memberikan kursi perdana menteri kepada Jawaharlal Nehru, yang karib Soekarno ini.Sebuah keputusan yang menyelamatkan India, sekaligus memberikan kesempatan India bertumbuh tanpa diganggu virus perseteruan menjadi nomer satu. Disamping Gandhi, kita juga mengenal kisah manis seorang Muhammad Hatta. Tokoh “cool” ini – untuk tidak menyebut legendaris - sangat berbahagia sekali mengisi hidupnya dengan menjadi nomer dua. Beberapa kali pun terjadi perselisihan dengan Soekarno, orang nomer satu ketika itu, ia selamatkan negeri ini dengan cara berbahagia menjadi nomer dua. Bahkan, ketika ia merasa tidak bisa lagi menjadi bahagian dari orang nomor satu, dengan gentle ia melepaskan diri jadi nomor dua untuk kemudian tidak diperhitungkan lagi. Permintaan ini ia sampaikan dengan hati yang bersahabat pada secondannya, yang selama ini membuat ia berada pada nomor dua.

Dalam konteks di atas, rasanya mendapatkan tempatnya bila saya kutip sebuah cerita yang pernah diungkapkan oleh Gde Prama. Di Timur, kata Prama,pernah lahir guru agung dengan cahaya terang benderang. Jauh sebelum ia mengalami pencerahan, guru ini pernah lahir sebagai kura-kura. Suatu hari di tengah lautan, kura-kura ini melihat manusia terapung. Hanya karena menempatkan hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia gendong manusia ini ke pinggir pantai. Setelah kelelahan di pantai, ia tertidur. Dan terbangun dalam keadaan tubuh yang sudah diselimuti ribuan semut. Lagi-lagi karena menganggap hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia biarkan ribuan semut ini memakan tubuhnya sampai mati. Padahal, hanya dengan sebuah gerakan ke arah laut, ia selamat dan ribuan semut ini mati. Terinspirasi dari kehidupan seperti inilah, kemudian lahir orang-orang seperti Master Hsing Yun. Dalam karya indahnyaThe Philosophy of Being Second, guru rendah hati yang banyak dipuji ini bertutur mengenai rahasia hidupnya. Di salah satu pojokan bukunya ia menulis: ’you are important, he is important, I am not’. Terdengar aneh memang, terutama bagi mereka yang biasa menyembah ego, meletakkan nomer satu sebagai satu-satunya kelayakan kehidupan. Namun bagi raksasa pelayanan kelas dunia seperti Singapore Airlines dll, keberhasilan mereka disebabkan karena rajin mengajari orang-orangnya: ’orang lain penting, saya tidak penting’. Dalai Lama is a living spiritual giant. Mendapat hadiah nobel perdamaian dan penghargaan sivil tertinggi di AS yang membuatnya sejajar dengan George Washington. Rahasia di balik semua ini juga serupa: musnahnya semua ego, kemudian hanya menyisakan kebajikan.

Motivator ulung, Mario Teguh dalam sebuah episode Golden Ways mengatakan bahwa alam ciptaan Tuhan memang penuh dengan tanda. Mungkin karena ini pula Allah selalu “mengendorse”manusia dalam Al-Qur’an untuk “Mengapa Tidak Kamu fikirkan?”, “Mengapa Tidak Kamu Perhatikan?” dan seterusnya. Ia tidak melarang manusia menjadi nomer satu. Jumlah batu yang menjadi puncak gunung jauh lebih sedikit dibandingkan batu yang menjadi lereng dan dasar gunung. Bila usaha hanya berujung pada nomer dua, ia sebuah pertanda mulya: kita sedang menjadi lereng dan membuat orang lain jadi nomer satu di puncak gunung. Bukankah ini sebuah sikap yang menyentuh? Gde Prama mengingatkan juga pada kita perlambang alam lain, kelapa tumbuh di pantai, cemara tumbuh di gunung. Mc. Clleland telah membuat banyak manusia jadi nomer satu, lengkap dengan hawa panas ala kelapa di pantai. Bila pencinta nomer satu berfokus pada menjadi benar dan hebat, kesejukan ala cemara berfokus pada menjadi baik dan menyentuh. Ia serupa dengan kisah tiga anak yang memilih tiga buah pir pemberian tetangga. Murid Mc.Clleland akan memilih yang terbesar dan tersegar. Anak yang batinnya sejuk akan memilih yang terkecil dan terjelek. Ia berbahagia melihat orang lain menikmati buah pir yang besar dan segar. Dan Anda pun bebas memilih ikut yang mana.

(c) Sumber : Beberapa ungkapan motivatif Gde Prama dan Mario Teguh