Jumat, 31 Januari 2014

Lawak dan Sinisme (Lain) Terhadap Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Begitulah ............. !!

Acara Parodi Politik Sentilan Sentilun dan acara sejenisnya, justru melawan dengan melawak. Sayatannya, sayatan daging, masyarakat bisa ketawa, jualan pun terjual pula. ada sarkasme dan sinisme dalam bahasa "ketawa" yang terkandung didalamnya. 

Dengarlah, ketika Butet Kertaradjasa (Sentilan Sentilun) berkisah dengan sedikit improvisasi : Bertanyalah seorang anak 10 tahun pada si ayah, "Ayah, apa itu politik?" Sebuah pertanyaan "high" bagi anak seusianya. Setelah cukup lama terdiam, sang ayah-pun menjawab dengan improvisasi, "Politik itu seperti keluarga kita. Ayah mendapatkan uang untuk keluarga kita, ayah adalah KAPITALIS. Sedangkan IBUmu memakai uang yang ayah cari itu untuk menguruskan keluarga kita, jadi IBU adalah NEGARA. Sedangkan, kak IRA (nama imajiner : Pembantu Rumah Tangga) adalah golongan pekerja. Kamu adalah rakyat dan adik kamu adalah generasi masa depan. Lai paham wang ??" Si anak bingung. Ia tak paham sedikitpun. Lantas si ibu menyela, "Tak apa, malam ini waktu hendak tidur, kamu fikirkan apa yang ayah ucapkan itu, kemudian coba pahami. Oke. ayo, habiskan makanan, cuci kaki, gosok gigi ... bobok !" 

Si Anak yang 10 tahun ????? ........... semalaman si anak berusia 10 tahun itu tidak dapat lelapkan matanya gara-gara memikirkan, apa itu politik. Ia resah, dan mengambil kesimpulan, "ingin tidur dekat ayah dan ibunya". Ketika sampai di kamar orang tuanya itu, si anak melihat ibunya telah lena-lelap, sementara sang ayah entah kemana. Akhirnya, ia mengambil keputusan, "tidur saja di kamar Kak IRA (si pembantu rumah tangga). Ketika ia membuka kamar si pembantu, terlihat ayahnya lagi main "cacing gila" dengan si Kak IRA. Terpana, ia lantas menuju kamarnya. Tidur !! 

Sewaktu bersarapan esok pagi, si ayah bertanya, "Sudah tahu apa itu politik?" 

Si anak menjawab dengan ketus, "sudah !". 

Si anak tanpa mengangkat muka melihat ayah dan ibunya, dengan tenang menjawab. "Sewaktu NEGARA sedang asyik tidur, golongan KAPITALIS menodai golongan PEKERJA. Akibatnya rakyat diabaikan dan masa depan bergelumang najis ! Itulah POLITIK".

Sumber foto : aris thofihara fb

In Memoriam Sang Guru

Oleh : Muhammad Ilham

Bulan ini, tiga tahun yang lalu, guru dan "lawan tanding" diskusi yang menarik itu, wafat. Teruntuk, Al-Muqarram, Buya Drs. H. Syamsir Roust, M.Ag.  

" .... politik itu, tahu bila mau kanai dan bilo manganai"
(defenisi sederhana a-la Buya Syamsir Roust) 

Mengingat Buya Syamsir, demikian selalu kami panggil beliau di kampus, teringat saya dengan ungkapan Penyair Latino, Gabriel Marcia-Marquez: "Kehadiran yang diharapkan/kehadiran yang membahagiakan". Buya Syamsir Roust ditakdirkan Tuhan untuk selalu disambut bahagia orang-orang yang berinteraksi dengannya. Setiap ia datang ke kampus, hampir dimanapun ia duduk, orang akan merasa bahagia dan senang untuk berinteraksi, berdiskusi bahkan berdebat dengannya. Sebagai akademisi, ia mampu menyederhanakan tema diskusi yang pelik, dengan "joke-joke" yang mengena dan masih terkenang di benak hampir semua koleganya. Dalam ketebatasan fisik beberapa tahun menjelang beliau wafat, beliau tetap datang ke kampus untuk mengajar dan berdiskusi dengan mahasiswa dan teman sejawatnya. Kedatangannya akan membuat semua orang bahagia. Sesekali ia sakit, maka akan keluar ungkapan dari mulut koleganya : "rindu nian kita pada Buya Syamsir Roust". Beruntung-lah almarhum, kehadirannya dirindukan orang.  

Ia akademisi tulen. Sifat dan substansi akademisi ada pada dirinya. Mau mendengar, mau bertanya dan mau berargumentasi. Ia akan bertanya bila ia tak tahu tentang sesuatu hal. Saya merasakan hal demikian. Setiap ia datang ke kampus, selalu saja ada hal-hal baru yang didiskusikan-nya dengan saya. Saya yang murid, dan ia yang guru, justru bila ia tak tahu, ia akan bertanya.... !. Ia yang begitu bangga (pernah) menjadi "murid" antropolog kondang Parsudi Suparlan ini, ibarat pengikut aliran de-konstruksionisme dalam berdiskusi. Ia mampu mengemas suatu argumentasi yang berlawanan dengan pendapat umum atau pendapat yang mapan. Ia mampu membungkusnya dengan contoh-contoh "sederhana" tapi mengena (suatu kelebihan yang bermula karena beliau juga seorang muballigh Muhammadiyah kondang ini).  

Rest in Peace Buya !. Buya orang baik, Insya Allah, Allah Robbi Izzati akan menempatkan Buya bersama-sama dengan orang baik. Secara pribadi, saya amat sangat kehilangan seorang guru dan teman diskusi yang "menyentak".  

Buya nan ispiratif Drs.H. Syamsir Roust, M.Ag (wafat pada Sabtu/22 Januari 2011 Pukul 14.00 WIB siang, lebih kurang, di Rumah Sakit M. Djamil Padang. Dikebumikan di kampung halamannya tercinta, Taram Payakumbuh, kampung kecil yang ia banggakan dan selalu jadi buah bibirnya di kala hidup.

Jumat, 27 Desember 2013

Politic .... ?

Sore itu :
bertanyalah seorang mahasiswa saya, "dalam pemahaman yang teramat sederhana, berdasarkan apa yang sering terjadi selama ini di lingkungan kita, apa sebenarnya praktek politik itu ?". 

(Maka) .... seumpama gambar inilah, dinda. Bentuk wajahnya jelas.  
Tapi lihatlah, begitu banyak kepentingan dan tarik menarik.

artgallery

Kang (D)jalal dan PDI-P

Oleh : Muhammad Ilham

Dr. KH. Djalaluddin Rahmat atau biasa dipanggil Kang Djalal ini, ketika saya menjadi mahasiswa (1992-1999), merupakan idola banyak orang-orang kampus, khususnya berbasis keilmuan (Islam) berbarengan dengan Cak Nur, Cak Nun, Amien Rais dan Gus Dur. Beliau adalah "referensi" sangat menarik tentang Islam dan Peradaban. Saya bangga padanya. Pikirannya bernas, cerdas, memiliki kedalaman ilmu agama yang luar biasa (padahal ia Doktor Komunikasi Politik .... jadi ingat dengan kedalaman ilmu Imaduddin Abdulrahim yang Doktor matematik itu). Analisisnya tajam, bahasa Arab bagus, bukunya banyak dibaca dan gaya bahasanya amat menarik. Ia idola banyak mahasiswa dan orang Indonesia. Belakangan Saya terpana, mengapa pengarang buku "Islam Aktual" dan "Islam Alternatif" serta Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ini melabuhkan aspirasi politiknya ke PDI-P, mengapa bukan ke Partai Islam ?

Suatu ketika, disebuah media online, Kang Djalal yang pintar dan zuhud ini, ditanya mengapa mau menjadi calon legislatif partai yang bukan berbasis Islam ?. Pendiri Yayasan Mutahhari Bandung yang terkenal itu, kemudian menjawab, "hanya PDI-P yang tidak mengkafirkan saya. Hanya PDI-P yang selama ini melindungi kebebasan berpendapat kami. Partai Islam serta Menteri Agama, hanya menjadikan kami sebagai komoditas politik dan memonopoli sorga".
 
Konon, ummat Islam di Indonesia berkurang drastis secara statistik. Mengapa ? ...... karena Syi'ah dianggap bukan Islam.  hehe !!! 

(c) muhsin labib

Sang Ibu (Anumerta)


"Melihat foto ibu, aku percaya tentang kebaikan hati manusia".
[WS. Rendra]

Dengan ibunda terkasih, (almarhumah) Nurlian binti Ibnu Fudhil. Wisuda, September 1998. dalam ringisan sakit akibat penyakit, ia tak tersenyum. padahal wanita penyuka bedak beras ini, adalah wanita yang selalu senyum pada siapapun. ibunda saya gendong ke atas panggung, pasca wisuda.


AL-FATIHAH .... !!
Nurlian binti Ibnu Fudhil
(1947 - 2000)




Foto yang saya dapatkan beberapa hari lalu, di susun selip buku mahasiswa saya dulu yang lusuh. Seperti Archimedes yang berteriak "EUREKA .. !", saya juga berteriak dengan linangan air mata. Bagi saya, Ibu @ Umak, adalah mata air yang melimpah, sejak dari pelukan sampai ke penghujung kehidupannya. Di akhir hidupnya, saya merasa bahagia, karena (sempat) mentunaikan keinginannya sejak masa gadis, "naik bendi keliling kota Padang".

"Media Darling" Zaman

Oleh : Muhammad Ilham

hbr.org
Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega, Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams. Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah (hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang "besar" itu (tetap) terus disalahpahami.

Jokowi sekarang menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah, Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam "zikir" publik. begitulah ........ kita dan termasuk saya, kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak. Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak dan semoga saya salah.

>>> merupakan penggalan artikel saya di Kompasiana dengan judul, "SBY, Jokowi & Objektifitas". Dalam bentuk makalah lengkap, diterbitkan oleh Jurnal Fakultas Adab IAIN STS Jambi, Desember 2013 dengan judul, "Aktor Sejarah dan Politisi : Dimensi Subjektifitas Historis dan Subjektifitas Politik".

Doa (dari) Hati


" .... Dalam berdoa, lebih baik menghadirkan hati meskipun tanpa kata-kata, 
ketimbang menghadirkan kata-kata tanpa hati."
[Mahatma Gandhi]


(c) ikhsan santana

Berkonflik Dengan "Saudara" Sendiri

Oleh : Muhammad Ilham

"Mengapa Ken Dedes mau menikah dengan si Sudra Ken Arok yang telah membunuh suaminya (baca : Tunggul Ametung)?". Padahal Tunggul Ametung satu kasta dengan Ken Dedes, sementara Ken Arok berasal dari kasta rendah, kasta Sudra ?. (Rupanya), bagi Ken Dedes, menikah dengan Tunggul Ametung yang satu kasta dengannya merupakan "aib" karena berbeda aliran. Bagi Dedes, biar menikah dan "berdamai" dengan "lain kasta" dibandingklan dengan beda aliran, walau satu kasta. "Kisah" ini (walau butuh verifikasi), terasa memiliki "benang merah" dengan apa yang berlaku dengan sesama muslim, antara Arab Saudi dan Iran di Jazirah Timur Tengah yang "tak pernah damai" itu. Arab Saudi mau bekerjasama dengan Israel (hanya) untuk menghancurkan "kawan" seagamanya. Lalu, argumentasi apa yang pantas untuk kita ketengahkan, kalau bukan alasan politis dan dominasi (dengan mengatasnamakan ajaran Islam) ?. 

Dulu, Arab Saudi menyediakan tempat di Dahran (hanya) untuk pasukan Jenderal Norman Schwarzkopf (maaf bila salah ejaan), hanya untuk menyerang Saddam Hussein. Kini, Arab Saudi berjabaterat saling bermutalissimbiotik dengan rezim Yahudi Israel, hanya untuk menyerang Iran ....... Lantas, dalam konteks ini, mengapa kita berbusa berbuih-buih memuja muji rezim Arab Saudi, Mengapa kita menjadikan Palestina sebagai komoditas politik, padahal yang "terdekat" (baca : Arab Saudi) tak sedikitpun menaruh simpati terhadap perjuangan rakyat Palestina. Arab Saudi yang Ken Dedes, mau bekerjasama dengan Israel hanya untuk membunuh "orang terdekatnya" bernama Tunggul Ametung. Berbeda aliran dalam satu kasta, (mungkin) jauh lebih memiliki kualitas aib tinggi dibandingkan berbeda kasta.

Berikut laporan TribunNews.com (cc : SundayTimes) : " .............. Israel dan Arab Saudi akan Bekerjasama Menyerang Iran".

TRIBUNNEWS.COM – Sebuah surat kabar Inggris, minggu pagi melaporkan bahwa Israel akan bekerjasama dengan Arab Saudiuntuk serangan militer melawan Iran. Kedua negara, yakni Israel dan Arab Saudi, ingin bersatu melawan Iran, karena khawatir negara-negara Barat akan datang untuk berdamai dengan Iran, meringankan sanksi, dan memungkinkan Republik Islam Iran melanjutkan program nuklirnya. Menurut Sunday Times, Riyadh telah setuju membiarkan Israelmenggunakan wilayah udaranya dalam serangan militer terhadap Iran, dan bekerja sama atas penggunaan helikopter penyelamat, pesawat tanker dan drone. "Arab Saudi ikut geram dan bersedia untuk memberikan Israel semua bantuan yang dibutuhkan," ungkap sebuah sumber diplomatik yang tak disebutkan namanya kepada koran itu. Laporan itu muncul ketika Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sedang melobi kesepakatan bersama sebuah aliansi internasional menentang perjanjian yang memungkinkan Iran untuk terus memperkaya uranium. 

Pada hari Minggu, Israel akan menyambut Presiden Prancis Francois Hollande, yang pekan sebelumnya memberikan omong kosong pada kesepakatan antara enam kekuatan dunia dan Iranyang akan meringankan sanksi dengan imbalan langkah awal menuju batas pengayaan. Netanyahu pada hari Jumat mendesak Prancis untuk tetap teguh dalam tekanan pada Iran menjelang babak baru pembicaraan mengenai program nuklir Republik Islam itu di Jenewa. Setelah bertemu Hollande, Netanyahu akan pergi ke Moskow pada hari Rabu untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin dan akan melobi kesepakatan. “Sebagai perdana menteri Israel, saya harus menjaga keberlangsungan hidup negara saya,” tegas Netanyahu. CNN melaporkan bahwa Netanyahu juga mengatakan dalam wawancara bahwa ia akan melakukan apa pun yang perlu dilakukan untuk melindungi Israel.

Sumber Foto: Dodi Esvandi

Kriminalisasi Pemikiran Kelompok Intoleran


Menurut Muhammad Ilham, fenomena tersebut sebagai bentuk "Kriminalisasi Pemikiran" yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak mengakui kebhinekaan di Indonesia.  Dalam aspek manapun, penyerangan termasuk rencana penyerangan, adalah sesuatu yang menyalahi 'semangat bernegara'. Tidak ada dasar juridis maupun historis orang melakukan penghancuran sebuah tradisi keilmuan, ujar dosen sejarah dan sosiologi politik itu, Sabtu (23/11). 


IRAN RADIO BROADCASTING (irib) - Sebuah lembaga kecil di Yogyakarta baru-baru ini menjadi target ancaman penyerangan oleh kelompok intoleran yang menuding tempat berdiskusinya para mahasiswa itu sebagai agen penyebaran ajaran Syiah kota pelajar itu. Tapi rencana aksi anarkis terhadap Institut Rausyan Fikr berhasil digagalkan berkat kesigapan aparat keamanan dan pemerintah Yogyakarta. Sebelumnya, beredar ancaman penyerangan yang sudah merebak sejak Kamis, 21 November 2013. Yayasan yang berlokasi di jalan Kaliurang ini menerima peringatan dari kepolisian dan Kantor Wilayah Kementerian Agama, Sleman, tentang adanya ancaman serangan yang diduga akan dilakukan kelompok yang mengklaim sebagai Majelis Mujahidin Indonesia, Forum Umat Islam dan Front Jihad Islam usai shalat Jumat. Sejumlah spanduk terpampang di berbagai lokasi strategis di Yogyakarta yang menyatakan Syiah bukan Islam, dan Rausyan Fikr sebagai agen penyebar ajaran Syiah. 

"Mereka tidak hanya keliru, tetapi sudah sesat," kata komandan lapangan Front Jihad Islam Yogyakarta Nurohman  dengan nada berapi-api, Jumat, (22/11), seperti dilansir media lokal.

Sementara itu, Juru bicara Rausyan Fikr, Edy Syarif membantah tudingan tersebut. Menurut Edy, yayasan yang berdiri sejak tahun 1995 ini hanya forum kajian pemikiran Islam dari berbagai aliran, termasuk Syiah. Selain aktif membuka kelas filsafat dan pemikiran Islam, Rausyan Fikr juga menerbitkan buku-buku filsafat dan keagamaan, termasuk Syiah yang mencapai 20 buku.  "Secara institusi tidak Syiah, tetapi orang-orangnya ada yang Syiah" ujar Edy. 

Mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta ini menolak anggapan bahwa Yayasan Rausyan Fikr sebagai bagian dari lembaga Syiah Indonesia. Menurutnya, Rausyan Fikr bukan anggota IJABI maupun ABI, dua organisasi payung penganut Syiah di Indonesia. "Yayasan ini hanya rajin menggelar kajian terhadap pemikiran tokoh Syiah seperti Muthahhari, Ali Syariati dan lain-lain, " tegasnya. Pernyataan Edy diamini oleh beberapa orang yang pernah terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan Rausyan Fikr. Iqbal Aji Daryono, yang pernah mengikuti kursus filsafat Islam di Rausyan Fikr mengungkapkan institusi itu sangat terbuka dan tidak ada ajakan menjadi Syiah. 

"Saya pernah ikut kursus filsafat Islam di Rausyan Fikr. Kami diskusi secara sangat sehat dengan tradisi rasionalisme yang menyenangkan. Semua berpikir terbuka. Buku-buku yang dipelajari di sana juga sangat beragam dari Mutadha Muthahhari hingga Karl Marx. Tak ada sama sekali ajakan untuk menjadi Syiah, dan di sana saya tetap bisa nyaman dengan ke-Sunnni-an saya, " tutur alumnus Jurusan Jurnalistik UGM yang saat ini berdomisili di Australia, Sabtu (23/11) di jejaring sosial. Ketua Dukuh Manggung, Depok, Sleman, Sujiman mengatakan mereka yang belajar di Rausyan Fikr, yang dituding Syiah oleh sejumlah kalangan intoleran, adalah warga negara yang baik dan terbuka, serta berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Sujiman juga membantah tudingan kelompok intoleran bahwa aktivitas keagamaan di Institut Rausyan Fikr berbeda dengan penganut Islam lainnya. "Saya kira tidak, wong mereka juga shalat jamaah di masjid kampung kok. Kayaknya sama aja tu. Tapi saya tidak tahu kalau ada pihak yang menilai beda. Sebagai penganut Islam, saya kok menilai sama aja tu," kata Sujiman, seperti dilansir sorot jogja Jumat (22/11). Seperti menimpa Rausyan Fikr, seorang dosen di Bandung yang Sunni Ahad (23/11) mengeluhkan beredarnya pesan singkat melalui BBM bahwa lembaga Quran miliknya mengajarkan Syiah. Serangan kubu intoleran juga dilancarkan tehadap Ketua PB NU yang dituding melindungi Syiah di Indonesia. Pada 9 November lalu, situs Arrahmah secara keras menyerang Ketua PB NU dalam tulisan berjudul "Dr. Said Aqil Siradj Dulu dan Kini". Situs Islam garis keras pimpinan Muhammad Jibril, yang pernah ditahan polisi karena terlibat aksi terorisme, menyerang ketua PB NU gara-gara kiai Said menyebut Syiah sebagai bagian dari Islam dalam sebuah pernyataannya beberapa waktu lalu. 

Eskalasi gelombang tekanan kelompok intoleran terhadap minoritas Muslim Syiah di Tanah Air semakin meningkat belakangan ini. Menurut Muhammad Ilham, fenomena tersebut sebagai bentuk "Kriminalisasi Pemikiran" yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak mengakui kebhinekaan di Indonesia. "..dalam aspek manapun, ...penyerangan termasuk rencana penyerangan, adalah sesuatu yang menyalahi 'semangat bernegara'. Tidak ada dasar juridis maupun historis orang melakukan penghancuran sebuah tradisi keilmuan," ujar dosen sejarah dan sosiologi politik itu, Sabtu (23/11). "Bila ini dilakukan, seperti ancaman penyerangan terhadap Rusyan Fikr, [maka] termasuk 'kriminalisasi tradisi keilmuan'," tegas dosen IAIN Imam Bonjol Padang. (IRIB Indonesia)

Buat Sahabat Saya : Afifa & Malika Ilham

Oleh : Muhammad Ilham

Nak .... tadi malam, ayah menonton film "The Day After Tomorrow". Ada satu penggal dialog yang pantas untuk ayah sampaikan pada ayunda berdua :

" ....... apakah kalian ingin terlihat cantik, berumur panjang, dikenang indah dan dihargai oleh generasi setelah kalian ?. Tirulah langit dan bumi, nak. Langit dan bumi berumur panjang dan bisa bertahan dengan sangat lama, karena mereka ada tidak untuk kepentingan diri mereka sendiri, mereka ada untuk kepentingan yang lain. Langit dan bumi rendah hati dan tanpa pamrih. Semua manusia ingin dirinya dihargai, oleh karenanya demi penghargaan kepada orang lain, selalu berusaha untuk menempatkan diri rendah hati di depan orang lain. Orang yg berbuat demikian justru akan mendapat tempat terdepan ". 

Memang benar, kalian adalah kertas putih, awalnya. Tapi ayah terus belajar untuk mengetahui, kertas putih jenis apakah kalian. Apakah kertas putih HVS, Kertas Buram, Art Paper, Kertas Minyak, Duplex dan lain-lain. Tanpa mengetahui jenis kertasnya, berarti ayah "mendustai" zaman kalian.


Salam sahabat. Kalian berdua, adalah sahabat terbaik ayah.




Inspirasi : Film "The Day After Tomorrow", Minggu Malam, GlobalTV, pukul 23.00 - 00.30 WIB

Muaro Jambi Temple


Desember, 8-11/12/2013







Minggu, 03 November 2013

Sejarah "Udang di Balik Batu" : Selamat Memasuki Bulan Para Pahlawan

Oleh : Muhammad Ilham

(Artikel ini telah diterbitkan oleh Harian Singgalang dalam Rubrik Opini/17-11-2011)

Dan jika ada pihak yang getol mengajukan daftar antrian pahlawan seolah terdesak momentum, ada-kah "Udang Di balik Batu?"

Setiap komunitas - apakah itu kelompok ataupun golongan - membutuhkan collective of identity yang terbangun dari collective of memory. Dua hal ini menjadi dasar untuk memberikan collectif of action. Tidaklah mengherankan kemudian, setiap kelompok masyarakat, "berlomba-lomba" mengajukan pahlawan bagi daerah/golongan mereka "sendiri" (saya katakan "sendiri," karena terkadang nama-nama pahlawan yang diajukan itu, terasa "asing" dalam memory publik). Tapi sudahlah, manusia sudah ditakdirkan sebagai "homo-simbolic" yang butuh icon-identity. Saya tak bisa bayangkan, beberapa tahun ke depan, karena stock pahlawan lama-lama akan mulai habis, maka terjadi pemaksaan, atau setidaknya, pahlawan yang diterima secara parsial-lokal. Ada pahlawan di atas kertas dan ada pahlawan di dalam hati. Maka tak sulit menduga bahwa usulan gelar pahlawan mirip seumpama pesta launching new product dari bisnis yang namanya Taman Makam Pahlawan. Sebuah pesta meriah di mana Agency Event Organizer pahlawan pasti meraup untung, terutama untung politis. Tak peduli rakyat bingung dan penonton linglung.

Teringatlah saya debat antara Chaeruman Harahap yang politisi Golkar dengan sejarawan Anhar Gonggong di TV One. Perdebatan di seputar, "Apakah Soeharto Layak Jadi Pahlawan?". Perdebatannya tak perlu saya deskripsikan. Dalam tulisan terdahulu telah saya publish bagaimana "aroma" debat yang sulit mencari titik temu, karena pendekatannya sungguh berbeda - satu politis-pragmatis, satu lagi akademik-indikator-metodologis. Si akademisi terlampau "kaku" dengan indikator-indikator, sementara si politisi seperti menyuguhkan "politik balas budi", mengemukakan "Cara baik Pak Harto" (maklum dari Golkar dan sudah menjadi "hukum kemanusiaan", orang yang telah meninggal, yang baiknya saja dikenang dan dieladani, yang buruk, disembunyikan dibalik layar sejarah).

(c) cartoon.com
Kita tahu bahwa baik buruknya mantan Presiden Soeharto selama berkuasa 30 tahun jaman Orde Baru harus dibuka lebar sesuai dengan fakta sejarah. Masa jaya ekonomi dan ketertiban umum - yang selalu disebut sebagai kelebihan ayah Hutomo Mandala Putra ini - memang benar. Sebuah sumbangsih besar Orde Baru yang darinya kita bisa belajar. Tapi juga harus "diajarkan" pada publik, bahwa pada masanya juga terjadi rangkaian pemalsuan sejarah, sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh etnik tertentu serta orang dekatnya, hukum yang penuh rekayasa dan penyakit akut korupsi yang hingga hari ini masih sulit untuk dihabisi. Golkar yang terang terangan memanipulasi Pemilu - dan ini sudah menjadi "rahasia umum" yang tak perlu lagi diperdebatkan. Pendekatan militeristik dalam menyelesaikan gerakan-gerakan separatis. Cerita Aceh dan Irian Jaya menjadi catatan kelabu pendekatan militeristik ini. Kemudian tak kurang 600 ribu rakyat dibiarkan tewas dibantai ketika awal masa Orde Baru berkuasa. Mungkin cuma Gus Dur yang berani minta maaf kepada kaum komunis yang darahnya sempat “menghiasi” pekarangan, danau dan sungai di dusun-dusun pulau Jawa. Terlampau naif hanya melihat sisi ekonomi sambil mengesampingkan sisi kemanusiaan.

Bila calon pejabat tinggi membutuhkan fit and propert test, seluruh cara baik nan inspiratif serta "koda dan tukak"-nya harus diungkapkan pada publik, maka pahlawan sudah seharusnya diberlakukan hal yang demikian. Fit and propert test melalui "dialog sejarah" yang dinikmati publik, bukan pemalsuan sejarah apatah lagi ungkapan balas budi. Karena itu, sudah selayaknyalah sejarah diluruskan terlebih dahulu sebelum menentukan sosok yang layak jadi pahlawan. Terakhir, sudah seharusnya kita mengajukan pertanyaan, manakala sejarah palsu di pangkuan kita, manakala penegakan hukum menunjang palsunya sejarah, adakah pahlawan yang layak kita junjung dan kita teladani? Dan jika ada pihak yang getol mengajukan daftar antrian pahlawan seolah terdesak momentum, ada-kah "Udang Di balik Batu?". Wallahu a'lam.

Selasa, 27 Agustus 2013

Catatan Mencerahkan dari Tetralogi Pramoedya Ananta Toer


"Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, 
dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia".
(Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia : Mama, 204)
 
Salam "sendu" dan do'a saya buat saudara-saudara Sesama Muslim di Mesir, Syiria dan entah dimanapun berada, apatah mereka Ikhwanul Muslimin ataupun tidak, apakah mereka Alawi, Sunni maupun Syi'ah. Sejarah (politik) Islam mendeskripsikan dengan teramat jelas bahwa pengelompokkan/aliran yang tercipta, adalah upaya Kapitalisasi Politik oleh segelintir pihak dengan (selanjutnya) dibumbui oleh justifikasi normatif-agama. Memang, ummat manusia pada akhirnya menciut pada satu keturunan ............ KETURUNAN QABIL !!

(c) adityawarman thaib


satu dua kalimat, pantas untuk dicatat-direnungkan :

- "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya
(Pangemanann, 46)

- "Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik".
(Minke, 420)

- "Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut".
(Pangemanann, 443)

- "Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan".
(Bunda/Minke, 46)

- "...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai"
(Raden Tomo, 277)

- "Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan".
(Bunda, 65)

:: SATU HAL yang membuat saya suka dengan karya "bernuansa historis" Pram adalah kemampuannya yang apik menukilkan kalam, dengan dukungan fakta-fakta (walau tak rijid secara metodologis), sehingga diktum yang dikemukakan oleh antropolog Levi-Strauss : "manusia itu lebih mirip dengan zamannya dibandingkan dengan nenek moyangnya" menjadi tepat.


_____ duhai, seandainya generasi muda suka karya Pram ..... ?

Ada Kesyahduan di Subuh Akhir Ramadhan


Sungguh, Azan subuh tadi begitu syahdu ..... !!

(Teringat) hamba dengan satu kalimat novelis Rusia, Leon Tolstoy : 

"Ada Iman dan kesyahduan dalam hening bukan pada kebisingan, hiruk pikuk dan teriakan".

Saya sekeluarga, mengucapkan Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Semoga kita semua sehat-bugar lahir bathin. (Selalu) Menjadi hamba Allah yang sentiasa berbaik sangka dengan sesama.

SELAMAT HARI LEBARAN 1434 H./2013 M.


(c) djajusman erlangga

rindu kampung halaman/rindu dengan pusara ayah ibu/
rindu sohib-kerabat-kawan-sanak/rindu membasahi rambut dengan air laut/
rindu pada mata kail 

Kamis, 18 Juli 2013

SBY, Jokowi & Subjektifitas

Oleh : Muhammad Ilham

Sudah sekian generasi  kita melakukan (termasuk saya) : "ketika seorang pemimpin yang satu dijulang disanjung setinggi bintang, sementara pada sisi lain, seorang pemimpin dihantam-teruk, tak ada yang baik sedikitpun apa yang ia lakukan".    

(c) istockphoto.com
Lihatlah, seperti bumi dan langit perlakuan publik dan media kepada dua tokoh terbaik kita saat ini - JOKOWI dan SBY. Secara personal, saya mengagumi kedua orang ini, terlepas baik buruknya mereka berdua, sebagaimana saya juga menyukai nilai-nilai baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur dan Megawati. Mereka PASTI disukai publik pada masa mereka, kalau-lah tidak, mana mungkin mereka menjadi pemimpin negeri 220 juta jiwa ini.  Jokowi rajin blusukan, melakukan kunjungan yang "non-elit" dan bercengkerama dengan masyarakat di pinggir kali. Publik secara serentak akan mengatakan Jokowi sebagai prototipe pemimpin terbaik dan "luar biasa". Media dalam headline-nya akan sepakat memberitakan mantan Walikota Solo ini, "tipikal pemimpin bekerja nyata" (demikian kira-kira). Lalu, ketika SBY dan anggota kabinetnya (katakanlah : Dahlan Iskan, Hatta Rajasa dan seterusnya) melakukan hal yang serupa, maka suara mayoritas publik yang dituntun oleh media akan sepakat mengatakan : PENCITRAAN. Ketika Jokowi asyik bermain gitar dan menonton konser Heavy Metal, Insyinyur Kehutanan tamatan UGM ini akan dikatakan sebagai pemimpin yang gaul, mengikuti selera zaman dan seterusnya. Pada sisi lain, ketika SBY yang putra Pacitan itu memetik gitar, bernyanyi bersama dan membuat album (ini juga dilakukan banyak pemimpin-pemimpin daerah belakangan ini), maka SBY akan dikatakan "lebih mengurus musik dibandingkan negara". SBY teramat dilekatkan dengan pencitraan, apapun yang dilakukannya. Beda dengan Jokowi. Apapun yang dilakukannya, masuk ke dalam gorong-gorong sekalipun, akan dianggap sebagai peristiwa luar biasa ..... (ketika Dahlan Iskan melakukan hal serupa, ia justru dihantam dengan label pencitraan murahan). Ketika banjir, sampah dan persoalan sosial lainnya masih tak beranjak dari Jakarta, Jokowi selalu "dimaafkan". Ketika SBY menghardik Gubernur yang tertidur pada waktu rapat kordinasi pimpinan daerah, media justru menganggap SBY bukan pemimpin yang baik. Bandingkan dengan Ahok (secondan Jokowi) yang menghardik "keras" dan mempublishnya di you.tube .......... publik dan media mengapresiasinya.  

Sekali lagi, saya bukan mendikotomikan antara Jokowi dan SBY. Tapi begitulah kita, termasuk saya, kadang-kadang. Ketika SBY mencalonkan diri menjadi Presiden pada tahun 2004, suami Ani binti Sarwo Edhie Wibowo ini dianggap media dan publik sebagai "Imam Mahdi" karena Presiden petahana (incumbent) waktu itu - Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai Presiden "lemah", banyak diam dan sulit berdamai dengan emosi kewanitaannya (baca : pendendam dan sedikit introvert). SBY dijulang tinggi, Megawati dihantam teruk. Pada periode sebelumnya, justru Megawati dianggap sebagai "solusi" dari "kenyelenehan" Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur "dikubak" aib personalnya. Kecerdasan serta kepintaran luar biasa cucu pendiri NU ini, dianggap tidak berguna. Hal yang sama juga berlaku ketika Habibie menggantikan Soeharto. Dalam rentang waktu satu tahun lebih beberapa bulan, Teknokrat jebolan Aanchen Universitet Jerman yang bergelar "Mr. Crack" ini dianggap sebagai figur muslim "borjuis" panutan dan dibanggakan. Suami Ainun "si mata indah" Besari juga dipandang kaum muslim Indonesia sebagai orang yang mampu "menghijaukan" ranah politik Indonesia era 1990-an. Pokoknya, ayah Ilham dan Tareq Habibie, walau badannya pendek, tapi otaknya cemerlang, bening sebening bola matanya. Bahkan penyanyi balada Iwan Fals merasa perlu untuk menulis satu bait dalam lagunya Guru Omar Bakrie : ....... lahirkan otak orang seperti otak Habibie. Habibie bahkan ditahbiskan sebagai "orang paling berpengaruh" di lingkaran Soeharto pasca kematian ibu Tien. Putra Mahkota Politik Soeharto, demikian kata indonesianist William Liddle di jelang Pemilu 1998. Pada era ini, perbincangan terpusat pada Habibie. Kecuali bagi yang iri-dengki, khususnya kalangan militer (maklum Habibie berasal dari kalangan sipil), hampir tak ada cela founding father Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut. Tapi, "mata indah bola pingpong" Habibie ini (kemudian) kehilangan kebeningan pada era 1999-an, seketika ia menjadi Presiden RI setelah lengser keprabon-nya Soeharto. Habibie yang dijulang tinggi pada masa Orde Baru, justru dipojokkan dari segala mata angin. "Bola matanya" yang bak bola pingpong diplesetkan jadi pemikiran bulat yang tak punya ujung pangkal. Bulat, memang tak bersegi. Mana pangkal, mana ujung tak dijumpai. Dan, kebeningan Habibie selama ini berubah drastis menjadi figur yang tidak menarik lagi bagi lawan politiknya. Habibie yang dianggap sebagai Presiden RI pembuka "kran" demokrasi ini, dituding-hina. Ia salah, mengapa Habibie jadi Presiden. Habibie justru dianggap sebagai sebagi Presiden gagal, dengan indikator yang jelas : Timor-Timur lepas dari pangkuan NKRI.  

Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega, Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams. Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah (hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang "besar" itu (tetap) terus disalahpahami.  

Jokowi sekarang menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah, Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam "zikir" publik.  begitulah ........ kita dan termasuk saya, kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak. Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak dan semoga saya salah.  

Catatan akhir : 
Seandainya DN. Aidit-Nyoto-Syam Kamaruzzaman berhasil "memerahkan" sistem politik Indonesia tahun 1965, niscaya kita tak akan menemukan Jalan Soedirman, Jalan Hamka dan seterusnya di jalan-jalan protokol. Pasti yang akan dijumpai adalah Jalan Tan Malaka, jalan Moeso, jalan Sneevliet, jalan Misbach, dan bisa jadi jalan Karl Marx. Tapi itu tak terjadi. 1965 seterusnya, "ideologi merah" adalah public enemy yang dibungkus cantik dalam bungkusan politik. Dan lihatlah beberapa tahun belakangan, justru ideologi merah sedang menjadi "cantik" di kalangan anak muda yang justru nantinya akan menjadi usang pada anak muda generasi berikutnya.

Malala Yousafzai : Nominem Nobelis 2013

One child
One teacher
One pen and one book
........... can change the world.
Education is the only solution.
Education First !
(Malala Yousafzai  nominem Nobelis 2013)

Siapa Malala Yousafzai ?
Berikut AFP, Sabtu (13/7/2013) : 

(c) time
Sosok remaja Pakistan Malala Yousafzai dikenal sebagai gadis remaja yang selamat dari penembakan kelompok Taliban, yang tidak suka melihatnya sekolah. Namun Malala bangkit dan bersumpah dirinya tidak akan bisa dibungkam. Malala Yousufzai dikenal namanya setelah berani menentang Taliban di saat Pemerintah Pakistan tidak memiliki kendali terhadap kelompok militan tersebut. Remaja perempuan yang masih bersekolah itu, aktif mendukung pendidikan untuk perempuan di Pakistan. Penembakan terhadap Malala terjadi ketika seorang pria bersenjata naik ke atas bus yang membawa anak-anak dari rumah menuju sekolah di Lembah Swat, pada Oktober 2012 silam. Tiba-tiba pria itu melepaskan tembakan ke arah Malala di bagian kepala dan lehernya. Pelaku pun melepaskan tembakan ke arah remaja lainnya di dalam bus tersebut. Setelah dirawat di Inggris, kondisi Malala akhirnya berangsur sembuh.  Setelah sembuh, Malala makin aktif menyuarakan pentingnya pendidikan untuk perempuan, khususnya di Pakistan. Dirinya pun diundang berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jumat 12 April. Dalam pidatonya, Malala akan terus melawan diskriminasi terhadap perempuan.

"Mereka (Taliban) berpikir sebuah peluru akan membungkam kami, tetapi mereka gagal," tegas Malala, seperti dikutip AFP, Sabtu (13/7/2013).

"Para teroris berpikir mereka akan mampu mengubah tujuan hidup dan menghentikan ambisi saya. Tetapi tidak ada yang berubah dalam hidup saya, kecuali kelemahan, ketakutan dan keputusasaan, semuanya sudah mati. Kekuatan dan keberanian lahir kembali," lanjutnya.

Berpidato tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-16, Malala mengaku dirinya tidak punya dendam pribadi dengan Taliban dan kelompok militan lainnya. Dia bahkan tidak membenci pelaku yang telah menyarangkan peluru di kepalanya.

"Saya menginginkan pendidikan untuk putra dan putri dari kelompok Taliban serta kelompok esktrimis lainnya. Saya bahkan tidak membenci Taliban yang telah menembak saya. Meskipun ada pistol ditangan, saya tidak akan menembaknya," tuturnya.
  

Jumat, 12 Juli 2013

Dikotomi yang Mencederai Persaudaraan Muslim

Oleh : Muhammad Ilham 

Seandainya rezim Bashaar al-Assad tidak dekat dengan Iran, tentunya Arab Saudi dan Mesir tidak menganggap putra Hafeez al-Assad tersebut wajib diperangi. Tapi ia sahabat sejati Iran yang Syi'ah dan Heezbollah yang juga Syi'ah, sehingga pada akhirnya, sesama saudara muslimnya (Mesir, Arab Saudi dan Turki serta negara aristokrat-absolut teluk lainnya) menempatkan negara yang dulu dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. sebagai Damsyik ini, sebagai "out-group". Sementara NATO dan Israel, justru kebalikannya. Teruslah kalian berperang, berperanglah terus. Ketika manusia di belahan dunia lain sedang membangun peradaban, berusaha melahirkan para pemenang Nobel, mewujudkan mimpi manusia untuk hidup di luar angkasa, memikirkan ozon yang demi kepentingan generasi mendatang, berlomba-lomba membahagiakan manusia dengan capaian-capaian tinggi dan ulung dalam bidang teknologi ...... pada sisi lain negeri-negeri "kelahiran" pada Nabi ini sedang berlomba untuk membeli senjata negara-negara "pusat peradaban modern" untuk dihabiskan dan dimuntahkan kedalam tubuh sesama saudara muslim mereka. Teruslah berperang, berperanglah terus ....... !!

(Ketika saya masih Sekolah Dasar dahulu, saya paling suka memandang foto seorang aristokrat Arab Saudi yang pendek-tambun di majalah Tempo milik ayah saya. Sang aristokrat itu bernama Adnan Khasogi. Ia flamboyan, dekat dengan wanita-wanita cantik dan berprofesi sebagai Pialang Senjata. Ia pernah berkata (kira-kira begini) : "Timur Tengah merupakan pasar persenjataan paling potensial untuk jangka waktu yang tidak bisa dipastikan, tapi yang jelas, untuk jangka waktu yang lama". 

Ketika menonton ILC beberapa malam yang lalu, teringat saya dengan novel AROK-DEDES-nya Pramoedya Ananta Toer. "Mengapa Ken Dedes mau menikah dengan Ken Arok yang telah membunuh suaminya (baca : Tunggul Ametung)?". Padahal Tunggul Ametung satu kasta dengan Ken Dedes, sementara Ken Arok berasal dari kasta Sudra ?. (Rupanya), bagi Ken Dedes, menikah dengan Tunggul Ametung yang satu kasta dengannya merupakan "aib" karena berbeda aliran. Bagi Dedes, biar menikah dan "berdamai" dengan "lain kasta" dibandingklan dengan beda aliran, walau satu kasta. "Kisah" ini (walau butuh verifikasi), terasa memiliki "benang merah" dengan apa yang berlaku dengan realitas Sunni-Syi'ah sebagaimana yang terefleksi dalam acara ILC tersebut.

Tulisan ini, kemudian saya posting di Facebook Muhammad Ilham Fadli, untuk mengkritisi sebuah artikel IST (cc : http://international.okezone.com), tentang "Mesir : Izinkan Warganya untuk Berperang di Suriah" : 

Pejabat senior di kantor Presiden Mesir mengatakan, seluruh warga diizinkan untuk bergabung dalam peperangan di Suriah. Warga-warga itu tidak akan dihukum sepulangnya mereka dari Suriah. "Hak bepergian akan terus terbuka untuk seluruh warga Mesir," ujar salah satu penasihat Presiden Mesir Khaled al-Qazzaz, ketika menanggapi pertanyaan seputar konflik Suriah dan sikap warga Mesir atas peristiwa itu, demikian seperti diberitakan Associated Press, Jumat (14/6/2013). Qazzaz menegaskan, Pemerintah Mesir tidak khawatir akan munculnya radikalisasi warga Mesir setelah mereka pulang dari Suriah. Meski militansi kian berkembang di Semenanjung Sinai kian meningkat, Mesir belum menganggapnya sebagai ancaman. "Kami tidak memandang hal itu sebagai ancaman. Kami bisa mengontrol situasi di Sinai, Mujahidin itu tidak akan kembali," papar Qazzaz. Sebelumnya, salah satu ulama Sunni Mesir Yusuf Qardawi turut menyerukan warga agar mendukung oposisi Suriah dengan tenaganya. Ulama itu berupaya untuk menekan kekuatan Hizbullah yang membantu pasukan Presiden Bashar al-Assad. "Semuanya yang memiliki keahlian dan pernah mendapat pelatihan untuk membunuh, diwajibkan untuk pergi (ke Suriah)," ujar Qardawi. Namun dorongan-dorongan itu dinilai akan semakin meningkatkan eskalasi perang saudara di Suriah. Kelompok bersenjata asing justru akan memainkan peranan yang sangat besar dalam konflik tersebut. Sejauh ini, Mesir belum tahu berapa jumlah warganya yang berperang di Suriah. Warga-warga yang berperang umumnya adalah anggota dari kelompok Salafi.

Kembalikan putihnya sang Dwi Warna

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Kafeel Yamin

(c) erepublik.com
Suatu saat saya menerima kiriman tautan-tautan dari seorang fesbuker yang tak saya kenal, ke inbox. Tautan-tautan itu terhubung kepada  situs-situs yang mempromosikan Aceh merdeka, di penuhi foto-foto para  demonstran di Eropa yang membawa spanduk menuntut berpisah dari NKRI. “Aceh mau pisah dari NKRI?” tanya saya, yang langsung dia jawab: “Tak ada bukti hitam diatas putih (Referendum) kalau Aceh bersatu dengan  NKRI. Aceh bisa hidup tanpa NKRI tapi NKRI tdk bisa hidup tanpa Aceh.” Saya bilang Juga tidak ada bukti hitam di atas putih kalau Sumatra Utara, Riau, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Timur, Bali, bersatu dengan NKRI. Tapi faktanya bersatu karena kehendak bersama. Tidak semua integritas nasional ditentukan oleh referendum. Negara-negara bagian di AS masuk The United States of America tidak melalui referendum, tapi kehendak bersama semua negara bagian.

Saya bilang anda itu hidup dengan pikiran negatif. Aceh sekarang sudah merdeka. Semua kekuasaan pemda dipegang orang Aceh. Royalti perusahaan-perusahaan masuk ke pemda Aceh. Orang Aceh sebagai individu pun lebih merdeka daripada anda yang dipenjara oleh pikiran sendiri.

Orang Aceh bisa pergi ke daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan usaha. Anak-anak bisa sekolah. Pendeknya, tak ada yang menghambat orang Aceh untuk maju dan berkembang.

Sebagaian orang Papua berpikir sama: Pepera itu tidak sah. Papua bukan bagian dari NKRI. Sejarah, budaya, ras, berbeda dengan ‘NKRI’. Dan yang mereka maksud NKRI itu Jawa. Mereka ‘berjuang’ untuk lepas dari NKRI yang penjajah dan penindas.

Papua sekarang adalah kawasan paling merdeka dan otonom. Seluruh pejabat provinsi, kabupaten, anggota DPRD adalah orang Papua. Dana Otsus [Otonomi Khusus] Papua paling besar: 30 trilyun rupiah per tahun, sementara jumlah penduduknya paling sedikit: tak sampai 3 juta. Tapi kebanyakan dari dana-dana itu dikorupsi orang Papua sendiri.

Seorang Papua berkomentar: “Di seluruh dunia, kelompok minoritas yang berambut kriting seperti kita ini, orang papua yg paling maju dan paling hebat. jadi harus disyukuri..”

Tentu, yang mengembangkan sikap dan cara pandang negatif ini bukan hanya orang Aceh atau Papua, juga orang-orang dari negara ‘maju’: Australia, New Zealand, Belanda, Inggris, Swedia, Amerika. Mereka menggosok-gosok kaum pribumi supaya lepas dari negaranya dan mereka bantu mencari dukungan internasional.
Padahal, dengan cara pandang itu, orang-orang kulit putih harus angkat kaki dari benua Amerika, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan. Itu semua penjarahan yang sangat telanjang. Genosida asli. Bahkan di Tasmania, Selatan Australia, seluruh penduduk asli Tasmania dibantai habis. Punah sama sekali. Prinsip-prinsip dasar dan konvensi Hak Asasi Manusia bisa berlaku surut. Dan kalo itu dilakukan, perang dan konflik tak berkesudahan.
Bagaimana dengan kelompok keagamaan? Sama: ada kelompok Islam yang ‘berjuang’ mendirikan kekhalifahan di Indonesia. Mereka pun mengembangkan sikap negatif: NKRI itu sekuler, Pancasila itu batil, pemerintah itu togut. Pokok jahat bin biadab.

Saya tanya salah seorang dari mereka: “coba sebutkan satu saja perintah Allah dan Rasul-Nya yang tak bisa dilaksanakan di Indonesia.”

Tidak ada. Semua orang bisa melaksanakan ajaran agamanya dengan leluasa. Tentu buka ajaran Islam bila mendesakkan syari’ah jadi hukum negara, karena Allah dan rasul-Nya melarang pemaksaan dalam agama.
Ada juga kelompok Nasrani yang selalu merasa ‘dimusuhi’ di mana-mana di Indonesia ini, terutama oleh kelompok Islam yang radikal, yang jumlahnya tak sampai 20persen dari ummat Islam Indonesia keseluruhan.
Bila di tempat permukiman kaum Islam radikal didirikan gereja, hampir  bisa dipastikan menimbulkan konflik — apalagi bila dipaksakan.

Bila yang demikian terjadi, mereka beranggapan bahwa ‘ummat Islam’ menentang pendirian gereja, tidak toleran. Padahal,  berkali-kali lipat pendirian gereja berjalan mulus tanpa konflik.
Ironisnya, agama yang menekankan sikap positif dan toleran justru sering menjadi sumber sikap bermusuhan dan kebencian.

Ironisnya lagi, kekerasan berdasarkan agama itu sering timbul antar kelompok dalam satu agama: seperti syi’ah dan sunni, wahabi dan syi’ah. Bahkan dalam satu gereja HKBP jama’ah saling berseteru.

Mayoritas kita kehilangan sikap positif dan kemampuan bersyukur. Betapa banyak yang ‘wajib’ disyukuri dari Indonesia, tapi kita hanya tertarik kepada yang negatif-negatifnya. Kita pun kehilangan kemampuan menghargai prestasi para pendahulu, kita lebih pandai mengorek-orek kesalahan dan cacat mereka. Soekarno bagi Soeharto adalah ‘penyelewengan dari Pancasila dan UUD-45’, Soeharto bagi kaum reformis adalah tiran penindas dan pembunuh; dan seterusnya. Setiap ganti kekuasaan, penguasa baru menghabisi program-program penguasa sebelumnya, termasuk yang baik-baik.

Padahal, tak ada yang sempurna dalam sejarah.
Bukan berarti NKRI sekarang sudah sempurna, tapi ia harus dibangun, dibenahi, dire-orientasi di atas kebersihan dan kesucian jiwa. Utopis ya?

Merahnya darah NKRI bertumpu di atas putihnya kalbu manusia Indonesia. Warna putih itu kini agak kelam, dia harus dibersihkan kembali. Dan…tetaplah NKRI.

Inklusivisme dan Simbolisme yang "Membumi"


Sebuah rapat umum yang dilaksanakan Sarekat Islam (biasa disingkat dengan SI). SI yang merupakan "kelanjutan" dari Sarekat Dagang Islam ini dianggap dalam sejarah sebagai Organisasi Politik Pertama di Indonesia. Mayoritas anggotanya adalah para pedagang batik muslim dan buruh kereta api. Elit organisasi ini merupakan tokoh-tokoh Islam terkemuka di daerah mereka masing-masing. Tak saya komentari lebih lanjut tapak-historis organisasi ini. Sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi (1999) menjelaskan dengan menarik dalam bukunya dengan judul yang terkesan garang, "Zaman Bergerak". Bagi saya yang paling menarik adalah ..... tak terlihat para elit SI ini menggunakan jubah ataupun jenggot lebat. Mereka justru terlihat "membumi".



(c : rumli adnan)
c: ulil abshar abdalla fb.

Nelson "Statesman" Mandela

Oleh : Muhammad Ilham 

Nelson Mandela @ Madiba, siapa yang tak kenal dengan beliau. Tokoh anti apartheid dan  mantan Presiden Afrika Selatan  yang menjadi icon perlawanan diskriminasi ras ini  adalah contoh terbaik politisi (politician) yang mampu bermetamorfosis dengan paripurna menjadi seorang negarawan (statesman). Mandela mengajarkan bahwa seorang politisi itu bukanlah seorang insan yang pendendam, hedonis dan munafik atas nama ideologi ataupun agama. 

Melihat "catatan hidup" Mandela, saya kemudian teringat dengan teoritisi ilmu politik, Samuel P. Huntington (1993 : 77) yang mengatakan bahwa demokrasi tak akan pernah mencapai paripurna jika para politikusnya gagal bertransformasi menjadi seorang negarawan. Point-nya, melihat dinamika dan praktek demokrasi di Indonesia belakangan ini - yang teramat sulit, untuk tidak mengatakan tidak ada negarawan seumpama Mandela - rasanya demokrasi masih dalam tahap "jualan politik" ataupun "eksperimen trial and error". Padahal, Indonesia pernah dalam sejarah mempraktekkan demokrasi secara paripurna, walau dalam waktu yang tak terlalu lama, ketika para negarawan-negarawan seperti Mohammad Hatta, St. Syahrir, IJ. Kasimo, Agus Salim, Mohammad Natsir dan lain-lain mewarnai pentas politik Indonesia. Mereka ini, bisa dikatakan sama, bahkan lebih dibandingkan dengan Nelson Mandela. 


wallpaperschould.com