Jika kita menelusuri sejarah pendidikan ala Eropa di Minangkabau, tentu kita akan tersua dengan nama Nawawi Soetan Ma’moer. Beliau adalah guru pribumi yang paling menonjol di Kweekschool (Sekolah Radja) Fort de Kock. Beliau sering pula dipanggil Engkoe Nawawi. Guru atau Angkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer dilahirkan di Padang Panjang tahun 1859 dari pasangan Malim Maradjo, seorang menteri cacar, asal Koto Gadang dengan istrinya yang berasal dari Tiku. Awalnya ia masuk sekolah rendah (2 tahun) di bawah asuhan keras ayah tirinya, Soetan Radjo Ameh. Tahun 1873 ia tamat dari sekolah rendah dan langsung melanjutkan studinya ke Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi tahun 1873. Waktu itu Pemerintah berencana untuk mengirim Nawawi melanjutkan studinya ke Belanda, tapi entah kenapa tiba-tiba rencana itu tidak jadi (lihat: Java Bode, 20 November 1928). Tahun 1877 Nawawi lulus dan berhasil menggondol ijazah guru. Kemudian beliau diangkat menjadi guru sekolah rendah dengan gaji 20 gulden (f 20) sebulan. Pada tahun 1879 beliau diangkat menjadi guru bahasa Melayu di almamaternya dengan gaji f 75 sebulan. Pada tahun 1883 Nawawi lulus ujian menjadi guru pembantu (hulponderwijzer). Dengan ijazah hulpacte, kemudian beliau diangkat menjadi guru pembantu (hulponderwijzer) tingkat satu di almamaternya, suatu posisi yang cukup tinggi bagi orang pribumi dalam struktur pendidikan sekuler di Hindia Belanda zaman itu. Gajinya naik menjadi f 150 sampai f 400 sebulan.
Nawawi menulis beberapa buku dalam bahasa Melayu dengan J.L.van der Toorn, salah seorang kepala sekolah Kweekschool Bukittinggi dan T. Kramer, salah seorang kolega Belandanya yang lain. Nawawi juga pernah menjadi anggota (lid) Komisi Sekolah Belanda di Sumatra Barat dan anggota Dewan Kotapraja (Gemeenteraad) Bukittinggi. Karena dedikasinya yang tinggi di bidang pendidikan, Nawawi menerima penghargaan bintang perak dari Departemen Pendidikan dan Ibadat (Departement van Onderwijs en EĆ«redienst), bintang emas dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, dan bintang Oranje Nassau dari Ratu Belanda, Wilhelmina. Pada tahun 1907 Departemen Pendidikan dan Ibadat memberi kesempatan kepada Nawawi untuk mengunjungi Pulau Jawa untuk menambah wawasan. Ia mengunjungi Candi Borobudur dan Mendut. Nawawi adalah salah seorang feminis laki-laki dari Minangkabau. Beliaulah ayah Minangkabau pertama yang menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah Eropa. Di akhir abad ke-19 umumnya gadis-gadis Minang dipingit oleh orang tua dan keluarga matrilinealnya di rumah, untuk kemudian dikawinkan dalam usia muda. Nawawi melangggar tabu: anak perempuannya, Syarifah (anak ke-4, putri ke-3), disekolahkan di E.L.S. (De Europeesche Lagere School di Bukittinggi, lalu diteruskan ke Kweekschool Bukittinggi tahun 1907. Kemudian Nawawi mengirim Syarifah ke sekolah Kristen Salemba School di Batavia. Nawawi meninggal pada hari Minggu, 11 November 1928, di Bukittinggi, setelah menderita sakit tidak begitu lama. ”Semua pemuka setempat, polisi, pandu, murid-muridnya dan banyak orang lain datang melawat [melayat]” begitu kenang cucunya Mien Soedarpo (1994:24). Nawawi Soetan Ma’moer adalah seberkas jejak dalam sejarah transfer ilmu pengetahuan Barat kepada masyarakat Minangkabau. Sebagaimana suratan tangan kaum guru pada umumnya, jasa-jasa Engkoe Nawawi mungkin tak begitu banyak disebut dalam hingar bingar wacana politik : jasa seorang guru lebih banyak tercatat dalam hati murid-muridnya.
Sumber : (c) Suryadi - diketik ulang dari Singgalang/Minggu-13 Februari 2011
Nawawi menulis beberapa buku dalam bahasa Melayu dengan J.L.van der Toorn, salah seorang kepala sekolah Kweekschool Bukittinggi dan T. Kramer, salah seorang kolega Belandanya yang lain. Nawawi juga pernah menjadi anggota (lid) Komisi Sekolah Belanda di Sumatra Barat dan anggota Dewan Kotapraja (Gemeenteraad) Bukittinggi. Karena dedikasinya yang tinggi di bidang pendidikan, Nawawi menerima penghargaan bintang perak dari Departemen Pendidikan dan Ibadat (Departement van Onderwijs en EĆ«redienst), bintang emas dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, dan bintang Oranje Nassau dari Ratu Belanda, Wilhelmina. Pada tahun 1907 Departemen Pendidikan dan Ibadat memberi kesempatan kepada Nawawi untuk mengunjungi Pulau Jawa untuk menambah wawasan. Ia mengunjungi Candi Borobudur dan Mendut. Nawawi adalah salah seorang feminis laki-laki dari Minangkabau. Beliaulah ayah Minangkabau pertama yang menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah Eropa. Di akhir abad ke-19 umumnya gadis-gadis Minang dipingit oleh orang tua dan keluarga matrilinealnya di rumah, untuk kemudian dikawinkan dalam usia muda. Nawawi melangggar tabu: anak perempuannya, Syarifah (anak ke-4, putri ke-3), disekolahkan di E.L.S. (De Europeesche Lagere School di Bukittinggi, lalu diteruskan ke Kweekschool Bukittinggi tahun 1907. Kemudian Nawawi mengirim Syarifah ke sekolah Kristen Salemba School di Batavia. Nawawi meninggal pada hari Minggu, 11 November 1928, di Bukittinggi, setelah menderita sakit tidak begitu lama. ”Semua pemuka setempat, polisi, pandu, murid-muridnya dan banyak orang lain datang melawat [melayat]” begitu kenang cucunya Mien Soedarpo (1994:24). Nawawi Soetan Ma’moer adalah seberkas jejak dalam sejarah transfer ilmu pengetahuan Barat kepada masyarakat Minangkabau. Sebagaimana suratan tangan kaum guru pada umumnya, jasa-jasa Engkoe Nawawi mungkin tak begitu banyak disebut dalam hingar bingar wacana politik : jasa seorang guru lebih banyak tercatat dalam hati murid-muridnya.
Sumber : (c) Suryadi - diketik ulang dari Singgalang/Minggu-13 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar