Mungkin artikel ini terlambat saya posting. Sehingga "substansi" tulisan kehilangan momentum. Tapi bak kata "secondan-hidup" eksistensialist Jean-Paul Sartre, Simione de Beavoir, "tulisan tak pernah kehilangan momentum, momentum-lah terkadang yang tidak pernah ditulis". Ribet, tapi pas. Demikian halnya dengan artikel ini, bercerita tentang perempuan. Harusnya bukan bulan ini, walau bulan ini adalah bulan apresiasi terhadap IBU. Sementara, saya ingin bercerita tentang PEREMPUAN ...... sang EMPU yang tegar dalam sejarah. Tapi sayang, banyak para Empu ini yang tidak terekam dengan baik dalam layar sejarah. Ah ..... betul juga ungkapan Massima Haina, wanita pemikir Tunisia, "layar sejarah hanya merekam laki-laki". Indonesia mengenal tokoh-tokoh "Empu" tegar, namun tak mendapat porsi memadai dalam catatan sejarah. Sebutlah, Roehana Koedoes. Ia tak selalu muncul di layar radar sejarah. Atau, kalaupun ada yang mencatat, keberadaan catatannya sangat terbatas, atau terselip entah di mana.
Siapa Roehana Koeddoes? Dalam pengantar bukunya yang berjudul Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat (2001), Fitriyanti menuliskan demikian: "Di awal abad ke-19, di mana sekitar hampir 99 persen perempuan di Tanah Melayu masih buta huruf, hidup di tengah ajaran agama dan adat istiadat dengan penafsiran yang sempit dan cenderung picik, serba mengekang kemajuan perempuan, terpuruk dalam kebodohan, Roehana kecil sudah mengajari teman-temannya bermain sambil membaca di usia 8 tahun pada tahun 1892." Lalu: "Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan, mengalami berbagai benturan sosial dengan pemuka adat, agama, dan masyarakat umum, Roehana dipuji dan dikagumi tetapi sekaligus difitnah dan dicaci-maki sehingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya." Roehana, seperti disebutkan dalam subjudul buku yang sama tapi edisi yang diterbitkan empat tahun kemudian, adalah perempuan yang pernah menjadi wartawan pada masa hidupnya. Berdasarkan catatan yang tersedia, tak ada perempuan lain yang menjalani profesi yang sama sebelum itu, atau pada masa yang sama; dengan kata lain, dialah perempuan pertama yang berprofesi sebagai wartawan. Dia tak pernah bersekolah formal. Tapi dia mengerjakan sesuatu yang tak remeh bagi kaumnya, dan karena itu juga bagi bangsanya, walau luput masuk ke dalam buku sejarah dengan gegap gempita.
Perempuan lain bisa disebut juga, sebagai contoh: Keumala Hayati atau Malahayati. Pada masa kekuasaan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil di abad 16, persisnya selama 17 tahun antara 1589 dan 1604, Malahayati adalah panglima yang memimpin armada kerajaan. Pasukannya terdiri atas sekurang-sekurangnya seribu Inong Balee, pasukan yang terdiri atas para janda prajurit. Jabatan itu bukanlah hiasan belaka. Sebuah laporan dari masa itu menyebutkan armada di bawah pimpinan Malahayati berkekuatan 100 kapal perang bersenjata meriam. Sebagian dari kapal-kapal itu mampu mengangkut 400-500 orang. Ini termasuk armada yang terkuat di Asia Tenggara kala itu. Malahayati-lah, atas perintah Sultan, yang menyerbu armada kapal dagang bersenjata dari Belanda pimpinan Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada 1599. Sultan Aceh merasa kepercayaannya dikhianati oleh dua bersaudara ini, yang memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut.
Siapa Roehana Koeddoes? Dalam pengantar bukunya yang berjudul Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat (2001), Fitriyanti menuliskan demikian: "Di awal abad ke-19, di mana sekitar hampir 99 persen perempuan di Tanah Melayu masih buta huruf, hidup di tengah ajaran agama dan adat istiadat dengan penafsiran yang sempit dan cenderung picik, serba mengekang kemajuan perempuan, terpuruk dalam kebodohan, Roehana kecil sudah mengajari teman-temannya bermain sambil membaca di usia 8 tahun pada tahun 1892." Lalu: "Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan, mengalami berbagai benturan sosial dengan pemuka adat, agama, dan masyarakat umum, Roehana dipuji dan dikagumi tetapi sekaligus difitnah dan dicaci-maki sehingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya." Roehana, seperti disebutkan dalam subjudul buku yang sama tapi edisi yang diterbitkan empat tahun kemudian, adalah perempuan yang pernah menjadi wartawan pada masa hidupnya. Berdasarkan catatan yang tersedia, tak ada perempuan lain yang menjalani profesi yang sama sebelum itu, atau pada masa yang sama; dengan kata lain, dialah perempuan pertama yang berprofesi sebagai wartawan. Dia tak pernah bersekolah formal. Tapi dia mengerjakan sesuatu yang tak remeh bagi kaumnya, dan karena itu juga bagi bangsanya, walau luput masuk ke dalam buku sejarah dengan gegap gempita.
Perempuan lain bisa disebut juga, sebagai contoh: Keumala Hayati atau Malahayati. Pada masa kekuasaan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil di abad 16, persisnya selama 17 tahun antara 1589 dan 1604, Malahayati adalah panglima yang memimpin armada kerajaan. Pasukannya terdiri atas sekurang-sekurangnya seribu Inong Balee, pasukan yang terdiri atas para janda prajurit. Jabatan itu bukanlah hiasan belaka. Sebuah laporan dari masa itu menyebutkan armada di bawah pimpinan Malahayati berkekuatan 100 kapal perang bersenjata meriam. Sebagian dari kapal-kapal itu mampu mengangkut 400-500 orang. Ini termasuk armada yang terkuat di Asia Tenggara kala itu. Malahayati-lah, atas perintah Sultan, yang menyerbu armada kapal dagang bersenjata dari Belanda pimpinan Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada 1599. Sultan Aceh merasa kepercayaannya dikhianati oleh dua bersaudara ini, yang memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut.
Dua perempuan, dua macam perjuangan di medan laga, apa pun rupa medan laga itu, tidak selalu berupa perang. Tapi sesungguhnya mereka tak sendiri. Masih ada sejumlah perempuan lain, barangkali banyak, seperti mereka. Belum lagi yang masih absen dari berbagai wujud catatan historis dan hanya diketahui (atau malah hanya diingat) di lingkungan lokal. Dengan mereka itu, pastilah beragam pula rupa pertarungannya. Perjuangan, pergulatan, atau pertarungan mereka itu sesungguhnya sulit untuk diabaikan, atau dianggap biasa saja. Roehana memimpin Oetoesan Melajoe, koran khusus perempuan di Padang. Melalui tulisan-tulisan di koran yang terbit pertama kali pada 10 Juli 1912 ini, beraneka macam, kebanyakan menekankan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, Roehana berusaha memberikan pencerahan bagi kaumnya. Dan dia melakukannya tatkala belum ada seorang pun perempuan yang mendahuluinya. Tetapi kepeloporan seperti itu, yang bisa terjadi di mana saja, selalu menghadapi halangan yang kukuh. Secara tak langsung, apa yang dia lakukan telah menggoyahkan peraturan adat yang sudah mapan. Apalagi, "Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, yang mengubah sikap mereka mengenai perempuan," katanya. Yang menjadikan Roehana terlihat menonjol adalah keteguhan hatinya betapapun tekanan yang mesti dihadapi luar biasa. Roehana sebenarnya beruntung. Juga Malahayati. Atau perempuan-perempuan lain yang telah mendapatkan tempat dalam sejarah, sekalipun mungkin belum sepadan dengan apa yang mereka lakukan; sebagian dari mereka pun bisa dibaca riwayatnya dalam buku. Walau begitu, mesti diakui bahwa pengetahuan mengenai mereka belum sepenuhnya tersiar luas. Dan kenyataannya, setiap kali orang bicara mengenai perempuan dan kepeloporan atau kepahlawanan, nama yang selalu disebut ya itu-itu juga.
Demi menyebarkan pengetahuan yang telah ada itu diperlukan lebih banyak lagi tindakan. Pada saat yang sama, usaha yang lebih keras juga merupakan keniscayaan demi memberi "kesempatan sejarah" bagi mereka yang kebetulan namanya belum terdengar, atau malah hanya terdengar dan belum ada satu dokumentasi pun yang merekam perjuangan mereka. Kita memerlukan lebih banyak warga di "kampung para perempuan perkasa" demi menunjukkan kenyataan penting: bahwa di negeri ini, di masa lalu yang gelap pun, ada perempuan yang telah sadar akan hak-haknya dan karenanya, dengan melawan segenap resistensi tradisi, adat, dan agama, berusaha memberikan penerangan bagi kaumnya. Kenyataan itu seharusnya bisa menjadi dasar bagi tegaknya kesempatan yang lebih baik yang lebih luas bagi perempuan di masa modern ini.
Foto : Rohana Koedoes dan suaminya, Abdoel Koedoes/Kemala Hayati (Sumber : google.picture.com)
Demi menyebarkan pengetahuan yang telah ada itu diperlukan lebih banyak lagi tindakan. Pada saat yang sama, usaha yang lebih keras juga merupakan keniscayaan demi memberi "kesempatan sejarah" bagi mereka yang kebetulan namanya belum terdengar, atau malah hanya terdengar dan belum ada satu dokumentasi pun yang merekam perjuangan mereka. Kita memerlukan lebih banyak warga di "kampung para perempuan perkasa" demi menunjukkan kenyataan penting: bahwa di negeri ini, di masa lalu yang gelap pun, ada perempuan yang telah sadar akan hak-haknya dan karenanya, dengan melawan segenap resistensi tradisi, adat, dan agama, berusaha memberikan penerangan bagi kaumnya. Kenyataan itu seharusnya bisa menjadi dasar bagi tegaknya kesempatan yang lebih baik yang lebih luas bagi perempuan di masa modern ini.
Foto : Rohana Koedoes dan suaminya, Abdoel Koedoes/Kemala Hayati (Sumber : google.picture.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar