"Tidakkah kaulihat pemerintahan demokratis di Barat yang dari luar tampak cerah itu? Namun jika dijenguk lebih dalam akan kelihatan/jiwa mereka lebih kelam dari Jengis Khan"
(Muhammad Iqbal). (Abdul Hadi WM ) : Yang saya bahas adalah sikap etnosentrik Amerika yang berakar dalam kesadaran kolektif bangsa kulit putih. Sedang yang anda bahas adalah gaya hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, dll. Tentang humanismenya? Lain lagi. Humanisme mereka selalu cenderung ethosentrik, artinya kemanusiaannya hanya tertuju kepada orang sebangsa dan sekaum, tidak universal. Karena itu simak baik-baik apa yang dimaksudkan Iqbal, demokrasi Barat tak mampu menolong bangsa tertindas termanusiakan bahkan diperlakukan seperti hewan. Inilah paradoks humanisme Barat yang perlu kita jauhi. Ilmunya, teknologinya, sebagian gaya hidupnya --- boleh saja kita pelajari, bahkan kita kuasasi. Yang membuat kita bungkam adalah penguasa yang bermental inlander, juga kaum sarjana dan cendekiawan yang "western-oriented" dan mass-media yang merupakan penyambung politik imperialisme, serta pasar yang dikuasai kapitalisme pasar bebas.
(Beryl C. Syamwil) : Istilah "ethnocentric" ini jarang terdengar. Rupanya menyangkut kepentingan bangsa/kaum dalam lingkup politik. Itukah bedanya dengan "rasialis", Prof. Hadi. Salah satu kedok Amerika untuk merajalela di PBB adalah anti rasialisme, buktinya Obama dan Rice mantan Menlu, berkulit hitam. Apakah diciptakan semacam "Belanda Hitam" Ambon? Selama ini rasialisme terpusat pada kontradiksi hitam-putih. Di Afrika Selatan bahkan ada istilah "kulit berwarna" (coloured) untuk lebih menindas dan memperhinakan kulit hitam. Kaum "kulit berwarna" ini adalah yg selain kulit hitam, lebih "terangkat" sosial-ekonominya, tapi masih jauh dibawah kulit putih. Afsel sebelum Mandela, adalah pemegang rekor rasialisme dunia sepanjang sejarah. Ternyata banyak orang kulit putih turunan Yahudi. Dana Israel bahkan dipasok dari tambang berlian di Kimberley, Afrika Selatan. Sejak kelahiran Islam, ada tokoh Bilal, budak hitam bersuara merdu, perintis cara menghimbau shalat (azan), kemudian menjadi salah seorang Sahabat Nabi. Dalam perkembangan Islam, peran mereka yang berkulit hitam sangat luar biasa. Sumbangan Sudan dan Nubia (keturunan Fir'aun Mesir) dari kesuburan sungai Nil, adalah "kuda Arab", kuda perang yg tangkas dan cerdas, ras nomor satu yg dijadikan bibit unggul sedunia dan juga teknologi kelautan dengan perahu dari pohon2 kayu besar. Masalahnya, raja-raja Mesir Kuno yg berbudaya tinggi telah lebih dulu dipersepsi sebagai ras kulit putih spt Persia atau setidaknya Indian yg juga punya "piramid" (Inca/Maya/Aztec). Itu masuk ke dalam lukisan/film imajinatif tentang Fir'aun. Padahal sampai ke pedalaman hulu sungai Nil ada kuburan raja-raja berbentuk piramid yg lebih munjung tinggi seperti nasi tumpeng dan ada banyak relief raja-raja berkulit hitam yang tinggi-besar, subur-makmur. "Bangsa Moor" sebagai istilah menghina seiring dengan rasa "takut" orang Eropa (Spanyol dan Portugis) terhadap Islam di mana saja, adalah gara-gara yg "menjajah" mereka selama hampir 800 thn adalah Muslim Afrika Utara, bangsa Arab campuran kulit hitam. Justru karena Islam adalah anutan universal, 'rahmatan lil alamin' (rahmat bagi alam semesta, IAB) Maka yang terbukti anti-rasialisme dalam sejarah, baik teori maupun praktek, baru ajaran Islam. Diskriminasi sejarah ini, ketika terungkap, membangkitkan kesadaran gerakan Black Moslem yg lahir di Amerika.
(Sebuah penggalan diskusi facebook antara Abdul Hadi WM. dan Berryl CS) Foto : Prajurit Nubia di Kesultanan Daulah Islamiah. Lukisan Rudolf Johann Weiss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar