Senin, 14 Februari 2011

11 Februari 1979 - 2011 : Syah Reza Pahlevi dan Husni Mubarak

Oleh : Muhammad Ilham

Bukan sebuah kebetulan, tanggal 11 Februari begitu "keramat", setidaknya bagi saudara-saudara kita di Timur Tengah sana. Bermula pada tahun 1979, Syah Reza Pahlevi terpaksa melarikan diri ke luar Iran. Revolusi Islam Iran "menggelora". Syah Reza Pahlevi yang amat sangat dekat dengan Amerika Serikat (plus Israel tentunya) dan (selalu) mengklaim dirinya sebagai penerus Cyrus Agung runtuh karena kharisma Ayatullah Ruhullah Khomeini. Tanggal 11 Februari 2011, Hosni Mubarak "layu" karena Revolusi Rakyat Mesir. Sungguh, faktor kebetulan sulit untuk kita cerna. Faktor "langit" dan campur tangan Tuhan, setidaknya memungkinkan bagi kita mendapat sebuah jawaban, walau kalangan positivis "mencibir" alasan ini.


Februari 1979, seorang penjual koran di Teheran menjajakan koran dengan headline : "Syah Iran ... kabur !"

Husni Mubarak dalam masa dua periode jabatan Presiden AS (Ronald Reagan)

Husni Mubarak dalam masa satu periode jabatan Presiden AS (George Bush)

Husni Mubarak dalam masa dua periode jabatan Presiden AS (Bill Clinton)

Husni Mubarak dalam masa dua periode jabatan Presiden AS (George W. Bush Jr.)

Husni Mubarak dalam masa dua tahun jabatan Presiden AS (Barrack Husein Obama)


Berikut artikel yang ditulis Guntur Romli di Majalah TEMPO edisi Februari 2011 tentang "Masa Depan Politik Mesir Pasca Mubarak".

Tamat sudah era Mubarak. Kini kekuasaan di tangan junta militer Mesir, yang telah menangguhkan konstitusi, membubarkan parlemen, dan berjanji menggelar pemilu, enam bulan mendatang. Kubu militer yang merupakan kroni Mubarak akan berhadapan dengan oposisi dari kubu reformis dan "islamis". Lalu bagaimana masa depan demokrasi dan Islam? Apakah kelompok "politisasi Islam" seperti Ikhwanul Muslimin (IM) akan berkuasa, seperti yang sering diramalkan, melalui pemilu nanti? Tak sedikit yang ketakutan IM akan mudah berkuasa dan menerapkan syariat Islam, atau bahkan mendirikan "negara Islam" di Mesir. Kekhawatiran ini paling tidak karena dua alasan. Pertama, kekuatan IM sebagai kelompok oposisi yang tidak dimiliki kelompok sipil lainnya. Pada pemilu 2005, IM bisa meloloskan 84 anggota parlemen melalui jalur independen-IM adalah parpol terlarang di era Mubarak. Namun sukses itu tak bisa terulang di pemilu 2010 karena kecurangan rezim Mubarak. Tak satu pun calon IM bisa kembali ke parlemen. IM, yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada 1929, terbukti menjadi kekuatan oposisi politik yang mampu bertahan hidup, meski ditindas. Kedua, tidak adanya kekuatan penyeimbang di Mesir. Tidak seperti di Turki, meskipun AKP-yang basisnya berasal dari politisi Islam-menang pemilu, menguasai parlemen dan pemerintahan, tidak berani "jualan syariat Islam" karena adanya militer yang sekuler. Militer Turki terus menunggu dan mencari-cari kesalahan politikus AKP. Sekali politikus AKP terbukti "jualan syariat Islam", hal itu akan dijadikan dalih oleh pihak militer untuk kudeta, seperti yang dialami Erbakan dengan partai Refah-nya. Sedangkan junta militer Mesir, yang saat ini memegang kendali kekuasaan, diramalkan hanya bertahan sementara. Militer Mesir pun terkenal "pragmatis", tidak "ideologis" seperti militer Turki. Konstitusi Mesir pun bukan konstitusi sekuler seperti di Turki.

Bagi saya, kelompok "politisasi Islam" tidak akan menang mudah di Mesir. Apalagi sampai mau mengubah konstitusi Mesir, kecuali melalui revolusi seperti di Iran atau kudeta militer seperti di Afganistan era Taliban, atau dukungan militer seperti Bashir di Sudan. Saat ini yang menjadi tuntutan rakyat Mesir adalah reformasi total. Meski sukses menggulingkan Mubarak, kroninya masih berkuasa, undang-undang belum diamendemen, perbaikan pada sektor ekonomi dan dibukanya kebebasan belum berjalan sesuai tuntutan. Karena itu, kampanye politik yang hanya berpusat pada "politisasi Islam" tidak akan menarik masyarakat Mesir. Andai "politisasi Islam" berkuasa dengan cara apa pun, seperti rezim Saudi, Taliban, dan Bashir, mereka dipastikan akan berhadapan kembali dengan gerakan rakyat sipil, karena dianggap mengulangi era otoriter Mubarak. Tidak mudah mengelola negeri seperti Mesir, yang fakir minyak dan menggantungkan pendapatan negara dari bidang jasa serta pariwisata. Karena itu, mengandalkan kampanye "politisasi Islam" tidak akan laku di pasaran. Rezim-rezim "politisasi Islam" di Teluk bisa bertahan karena mukjizat minyak yang melimpah-ruah, bukan karena rakyatnya benar-benar tertarik pada "ideologi Islam". Dengan minyak, rezimnya dengan mudah memanjakan rakyat dengan subsidi dan fasilitas sosial yang gratis. Rezim militer Presiden Bashir di Sudan masih bertahan dan melakukan "politisasi Islam" karena didukung militer dan menyedot minyak dari Sudan Selatan. Di Mesir, kelompok "politisasi Islam" akan menemukan tantangan berat karena ketiadaan minyak dan tidak bisa mengandalkan produk "syariat Islam".

Jadi, kekuatan penyeimbang bagi kelompok "politisasi Islam" di Mesir-kalau mereka mau merampas kembali kebebasan dan berlindung di balik otoritarianisme Islam-adalah gerakan masyarakat sipil yang terbukti bisa menjatuhkan Mubarak. Dengan alasan ini, tidak bisa dibenarkan dalih: dibutuhkan rezim baru seperti Mubarak untuk mengimbangi kelompok "politisasi Islam". Dalih inilah yang sebelumnya menjadi jualan Mubarak yang menawarkan dua pilihan ekstrem agar bisa bertahan: "pilih aku meski otoriter tapi sekuler" atau "demokrasi yang akan memunculkan IM yang islamis". Sebagai penyeimbang ideologi politik Islam IM, tidak bisa dinafikan pula peran lembaga Al-Azhar yang sudah hidup lebih dari seribu tahun. Lembaga pendidikan Islam ini memiliki akar sejarah yang panjang dan kuat, serta mempunyai fasilitas-fasilitas pendidikan dan sosial yang tidak dimiliki oleh IM. Ideologi Al-Azhar adalah Sunni yang Asyarian dan Ghazalian, berbeda dari IM yang Salafi dan anti-mazhab. Basis aktivis IM pun bukan di lembaga-lembaga Al-Azhar, melainkan di fakultas-fakultas umum negeri. Pemimpin tertinggi IM, yang disebut "mursyid" setelah Hasan al-Banna, semuanya bukan lulusan fakultas agama, tapi fakultas sekuler. Mursyid IM sekarang, Mohamed Badei', adalah dokter, yang menggantikan Mahdi Akef, guru olahraga. Di era reformasi Mesir citra politik Al-Azhar dianggap lemah dan cenderung cacat karena terlalu dekat dengan pemerintah sebelumnya. Alasan ini bisa dimaklumi: karena negara yang memberikan sumbangan terbesar terhadap lembaga Al-Azhar selain wakaf dan donatur. Namun, dengan sejarah panjang dan lembaga pendidikan yang tersebar luas di Mesir, Al-Azhar telah memperkuat "ideologi Islam" yang berbeda dari ideologi IM. "Ideologi Islam" versi Al-Azhar mengembangkan Islam yang moderat, nonpolitis, cinta damai, dan terbuka terhadap yang lain. Kunci keharmonisan antara Kristen Koptik dan muslim Mesir adalah kuatnya "ideologi Islam" ala Al-Azhar, bukan versi IM. Walhasil, tidak mudah bagi kelompok "politisasi Islam" membajak gerakan reformasi Mesir dengan mendirikan suatu rezim teokrasi atas nama Islam, seperti Saudi atau Taliban di Mesir. Kekuatan-kekuatan baru telah muncul berkat demokrasi dan kebebasan, yakni "gerakan sipil baru" yang rasional, demokratis, serta mementingkan tuntutan perbaikan ekonomi dan sosial, bukan formalisasi "syariat Islam".

Sumber foto : google.picture.com/time.com

Tidak ada komentar: