Nasser, lengkapnya Gamal Abdel Nasser, adalah tipikal pemimpin Arab yang menarik. Pemimpin Arab, karena Nasser-lah yang melahirkan konsep imagine community ala-nya sendiri, Pan Arabisme. Menarik, karena dianggap sebagai Presiden Mesir yang menghukum mati ulama-aktifis kharismatik pada zamannya, Hassan Al-Banna dan Sayyid Qutb. Dua ulama-aktifis yang dikenal sebagai icon Ikhwanul Muslimin dicatat dalam sejarah “dibungkam” oleh Presiden yang memiliki postur tubuh besar ini. Karena alasan ini, Nasser sering dibenci oleh aktifis Islam, khususnya yang memiliki kedekatan ideologis dengan Ikhwanul Muslimin. Tapi pada sisi lain, Nasser-lah mungkin satu-satunya Presiden di “ranah Arab” sana yang mampu membuat Israel “bergetar”. Sebagai sebuah entitas negara-bangsa di Timur Tengah, Israel dianggap sebagai representasi praktek kolonialisme modern. Kehadirannya membuat Palestina tak memiliki “rumah”, dan karena kehadirannya itu pula, dunia Arab selalu dilanda ketidakstabilan sosial politik, bahkan hingga sekarang. Dengan dukungan politik serta financial luar biasa dari Amerika Serikat, Israel memiliki “daya tawar” politik tinggi di Timur Tengah. Amerika Serikat adalah alasan utama mengapa negara yang dibentuk Ben Gurion dan kawan-kawan ini seakan-akan menjadi negara tak tersentuh. Nasser-lah yang mampu berada pada garis yang jelas, konfrontasi bersenjata dengan Israel. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Iran sejak rezim para Mullah berkuasa. Ahmadinedjad yang dianggap sebagai figur paling ditakuti Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah sekarang ini, hanya memainkan politik konfrontasi kata-kata, tanpa pernah melakukan konfrontasi bersenjata. Keberanian Nasser inilah yang kemudian dikenang oleh sejarah, walau ia tidak begitu menang sepenuhnya. Ia kalah dalam menyatukan orang-orang Arab yang tercerai berai dalam upaya mewujudkan “mimpi” Pan-Arabisme-nya.
Bermula dari keprihatinan Nasser pada dunia Arab. Sebuah ranah – yang dalam bahasa Nurcholish Madjid – sebagai ranah-geografis kecil tapi dihuni oleh entitas negara-negara seukuran negeri “liliput”. Nasser ingin Arab milik orang Arab, bukan “milik” (tanda kutip) Amerika Serikat melalui Israel. Tapi Nasser bersedih di bulan Oktober 1967. “Mengapa seratus juta orang Arab masih tercerai berai ?”, keluhnya. Nasser kehilangan harapan dan optimism untuk menghancurkan kecongkakan Israel. Arab Saudi yang dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah pada masa itu, tidak pernah sungguh-sungguh membantu impian Nasser untuk mewujudkan Pan-Arabisme dan “mencungkil” pengaruh Israel di Timur Tengah. Ganjalannya memang ada – Nasser menerima Raja Suud berdiam di Kairo – setelah melarikan diri dari Arab Saudi. Ini membuat Raja Faisal yang menggantikannya, geram. Sementara itu, Israel yang telah menganggap Nasser sebagai “musuh” terbesar, terus melakukan tekanan. Karena melihat kesungguhan bertindak negara-negara Arab tidak ada, maka Nasser akhirnya terpaksa menggantungkan harapannya pada Uni Sovyet. Nasser tak memiliki pilihan lain. Ia beranggapan, Arab akan selamanya tenggelam dalam kehinaan bila Angkatan Bersenjata Mesir tidak dibangun. Konsekuensinya, Uni Sovyet harus ditarik secara menyeluruh kedalam masalah Timur Tengah/Dunia Arab. Sesuatu yang sebenarnya tidak dibayangkan oleh Nasser pada awal ia mencentuskan keinginan untuk menghabisi kecongkakan negara Israel. Ia berharap banyak pada persatuan Arab. Itu tidak didapatkannya.
Apa yang dialami Nasser ini, untuk kasus yang berbeda, rada-rada “mirip” dengan apa yang dialami oleh sahabatnya – Soekarno (mereka berdua dikenal sebagai diantara tokoh yang mendirikan Gerakan Non-Blok, sebuah organisasi lintas bangsa yang mengedepankan spirit kemandirian dan independensi). Soekarno terpaksa mendekat ke Uni Sovyet dan Cina karena butuh senjata untuk memuluskan “revolusinya” dan Ganyang Malaysia. Tapi apa nyana, negara Paman Sam justru “mengetawakan” Soekarno, karena tak mungkin senjata yang akan diberikan untuk menghantam Malaysia, negara commonwealth yang berada dibawah naungan Inggris, sahabat Amerika Serikat. Karena itulah, apa yang dilakukan Soekarno, juga dilakukan oleh Nasser, bolak-balik ke Moscow. Nasser memiliki alasan. Secara geografis, sekujur Mesir telanjang tak terlindungi. Israel akan mudah menembakkan senjata mereka ke Mesir. Bendungan Aswan pun telah diincar oleh Israel. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana Nasser melindungi Mesir dari Israel ? Tambahan lagi, Pelabuhan yang tersisa tinggal satu : Iskandariyah, setelah Port Said luluh lantak, tersebabkan oleh perang sebelumnya dengan Israel. Bila Iskandariyah di bom, Mesir tak punya harapan. Usaha Nasser menarik Uni Sovyet masuk kedalam masalah Timur Tengah nampaknya tidak tanggung-tanggung. Ini dibuktikan kala Uni Sovyet merasa ragu, Nasser mendapat alasan untuk marah. “Baiklah, jika Mesir tidak memperoleh apa yang dimintanya, maka dunia akan tahu, satu-satunya keputusan ada di tangan Amerika Serikat. Saya akan mengatakan kepada rakyat saya bahwa sudah tiba masanya bagi saya untuk mundur. Tempat saya akan digantikan oleh orang yang pro-Amerika Serikat”, kata Nasser. Presiden Uni Sovyet kala itu, Leonid Ilyich Brezhnev tersentak. “Kamerad Nasser, baiklah !”, katanya.
Akhirnya, persoalan bantuan senjata menjadi beres. Bantuan senjata dari Uni Sovyet ini membuat Nasser menjadi leluasa membangun angkatan bersenjatanya. Suatu pembangunan yang kemudian membuahkan hasil luar biasa dalam Perang Yom Kippur nan terkenal itu. Suatu perang yang “menggetarkan” dan menghancurkan kedigdayaan serta kepongahan Israel. Moshe “si mata satu” Dayan – panglima legendaries angkatan bersenjata Israel – dibuat malu. Kemenangan Nasser dalam Perang Yom Kippur tersebut membuat dunia Arab muncul – dalam istilah Riza Sihbudi – dari lumpur kehinaan. Inilah fungsi hubungan Nasser dengan Uni Sovyet. Dan setelah era Nasser berakhir, Anwar Sadat sangat berhati-hati menjalin hubungan dengan Uni Sovyet hingga keruntuhan negara Tirai Besi ini. Haluan Anwar Sadat dan Husni Mubarak akhirnya beralih ke Amerika Serikat. Mereka berdua dianggap sebagai “penjaga” Perjanjian Perdamaian Camp David. Berdamai dengan Israel dan Amerika Serikat. Sesuatu yang tidak dibayangkan oleh Nasser pada masa hidupnya. Mungkin ini-lah yang membuat garis perbedaan : “Mengapa Nasser begitu dipuja bukan oleh rakyat Mesir saja, tapi hampir seluruh dunia Arab. Sementara Anwar Sadat ditembak mati oleh Khalid Islambouli. Sedangkan Husni Mubarak sedang menghitung hari ............ dan betul-betul "dijatuhkan" revolusi rakyat Mesir” (kalimat terakhir saya tulis Jum'at pukul 11.30 WIB, kala Mubarak "terpaksa" mundur).
Foto : Gamal Abdel Nasser, Husni Mubarak dan Jenderal Moshe Dayan (sumber : time.com)
Bermula dari keprihatinan Nasser pada dunia Arab. Sebuah ranah – yang dalam bahasa Nurcholish Madjid – sebagai ranah-geografis kecil tapi dihuni oleh entitas negara-negara seukuran negeri “liliput”. Nasser ingin Arab milik orang Arab, bukan “milik” (tanda kutip) Amerika Serikat melalui Israel. Tapi Nasser bersedih di bulan Oktober 1967. “Mengapa seratus juta orang Arab masih tercerai berai ?”, keluhnya. Nasser kehilangan harapan dan optimism untuk menghancurkan kecongkakan Israel. Arab Saudi yang dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah pada masa itu, tidak pernah sungguh-sungguh membantu impian Nasser untuk mewujudkan Pan-Arabisme dan “mencungkil” pengaruh Israel di Timur Tengah. Ganjalannya memang ada – Nasser menerima Raja Suud berdiam di Kairo – setelah melarikan diri dari Arab Saudi. Ini membuat Raja Faisal yang menggantikannya, geram. Sementara itu, Israel yang telah menganggap Nasser sebagai “musuh” terbesar, terus melakukan tekanan. Karena melihat kesungguhan bertindak negara-negara Arab tidak ada, maka Nasser akhirnya terpaksa menggantungkan harapannya pada Uni Sovyet. Nasser tak memiliki pilihan lain. Ia beranggapan, Arab akan selamanya tenggelam dalam kehinaan bila Angkatan Bersenjata Mesir tidak dibangun. Konsekuensinya, Uni Sovyet harus ditarik secara menyeluruh kedalam masalah Timur Tengah/Dunia Arab. Sesuatu yang sebenarnya tidak dibayangkan oleh Nasser pada awal ia mencentuskan keinginan untuk menghabisi kecongkakan negara Israel. Ia berharap banyak pada persatuan Arab. Itu tidak didapatkannya.
Apa yang dialami Nasser ini, untuk kasus yang berbeda, rada-rada “mirip” dengan apa yang dialami oleh sahabatnya – Soekarno (mereka berdua dikenal sebagai diantara tokoh yang mendirikan Gerakan Non-Blok, sebuah organisasi lintas bangsa yang mengedepankan spirit kemandirian dan independensi). Soekarno terpaksa mendekat ke Uni Sovyet dan Cina karena butuh senjata untuk memuluskan “revolusinya” dan Ganyang Malaysia. Tapi apa nyana, negara Paman Sam justru “mengetawakan” Soekarno, karena tak mungkin senjata yang akan diberikan untuk menghantam Malaysia, negara commonwealth yang berada dibawah naungan Inggris, sahabat Amerika Serikat. Karena itulah, apa yang dilakukan Soekarno, juga dilakukan oleh Nasser, bolak-balik ke Moscow. Nasser memiliki alasan. Secara geografis, sekujur Mesir telanjang tak terlindungi. Israel akan mudah menembakkan senjata mereka ke Mesir. Bendungan Aswan pun telah diincar oleh Israel. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana Nasser melindungi Mesir dari Israel ? Tambahan lagi, Pelabuhan yang tersisa tinggal satu : Iskandariyah, setelah Port Said luluh lantak, tersebabkan oleh perang sebelumnya dengan Israel. Bila Iskandariyah di bom, Mesir tak punya harapan. Usaha Nasser menarik Uni Sovyet masuk kedalam masalah Timur Tengah nampaknya tidak tanggung-tanggung. Ini dibuktikan kala Uni Sovyet merasa ragu, Nasser mendapat alasan untuk marah. “Baiklah, jika Mesir tidak memperoleh apa yang dimintanya, maka dunia akan tahu, satu-satunya keputusan ada di tangan Amerika Serikat. Saya akan mengatakan kepada rakyat saya bahwa sudah tiba masanya bagi saya untuk mundur. Tempat saya akan digantikan oleh orang yang pro-Amerika Serikat”, kata Nasser. Presiden Uni Sovyet kala itu, Leonid Ilyich Brezhnev tersentak. “Kamerad Nasser, baiklah !”, katanya.
Akhirnya, persoalan bantuan senjata menjadi beres. Bantuan senjata dari Uni Sovyet ini membuat Nasser menjadi leluasa membangun angkatan bersenjatanya. Suatu pembangunan yang kemudian membuahkan hasil luar biasa dalam Perang Yom Kippur nan terkenal itu. Suatu perang yang “menggetarkan” dan menghancurkan kedigdayaan serta kepongahan Israel. Moshe “si mata satu” Dayan – panglima legendaries angkatan bersenjata Israel – dibuat malu. Kemenangan Nasser dalam Perang Yom Kippur tersebut membuat dunia Arab muncul – dalam istilah Riza Sihbudi – dari lumpur kehinaan. Inilah fungsi hubungan Nasser dengan Uni Sovyet. Dan setelah era Nasser berakhir, Anwar Sadat sangat berhati-hati menjalin hubungan dengan Uni Sovyet hingga keruntuhan negara Tirai Besi ini. Haluan Anwar Sadat dan Husni Mubarak akhirnya beralih ke Amerika Serikat. Mereka berdua dianggap sebagai “penjaga” Perjanjian Perdamaian Camp David. Berdamai dengan Israel dan Amerika Serikat. Sesuatu yang tidak dibayangkan oleh Nasser pada masa hidupnya. Mungkin ini-lah yang membuat garis perbedaan : “Mengapa Nasser begitu dipuja bukan oleh rakyat Mesir saja, tapi hampir seluruh dunia Arab. Sementara Anwar Sadat ditembak mati oleh Khalid Islambouli. Sedangkan Husni Mubarak sedang menghitung hari ............ dan betul-betul "dijatuhkan" revolusi rakyat Mesir” (kalimat terakhir saya tulis Jum'at pukul 11.30 WIB, kala Mubarak "terpaksa" mundur).
Foto : Gamal Abdel Nasser, Husni Mubarak dan Jenderal Moshe Dayan (sumber : time.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar