"Indonesia bukanlah penjumlahan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan seterusnya. Indonesia bukanlah sambungan seperti itu. Bangsa Indonesia adalah kreasi abad ke-20 yang sepenuhnya baru!" (Sutan Takdir Alisyahbana, 1930-an)
Sejak buku sejarah "terkembang" menjadi bacaan wajib di tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, ada satu entitas budaya yang hampir tak pernah disebut secara jernih - Cina. Cina yang lebih akrab "disapa" dengan Tionghoa itu (setahu saya) sejak saya lepas dari balita dan mulai belajar PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) kala di SD hingga memamah buku Sejarah Nasional Indonesia produk Nugroho Notosusanto cs., hampir tak ada yang menarasikan posisi historis etnik Tionghoa dalam membentuk dan mempengaruhi jalannya roda sejarah nusantara ini. Nebula (megabudaya) Tionghoa di Indonesia bahkan hingga hari ini tak pernah dimasukkan dalam kurikulum sejarah. Asvi Warman Adam (2010) dengan tegas mengkritisi penghilangan kontribusi etnik Tionghoa dalam layar sejarah bangsa ini. Sejarah etnik Tionghoa di Indonesia bukan hanya berkutat pada sejarah "candu" yang selama ini sering di-blowup. Selama ini hanya diajarkan bahwa "pembentuk" sejarah dan budaya bangsa ini hanyalah budaya India (Hindu-Budha), Arab (Islam) dan Eropa (Kristen) yang mempengaruhi budaya lokal. Bila budaya India secara bening menonjolkan aspek spritulitas dan kerukunan, walaupun sebenarnya ada hirarkis (kasta), maka dari budaya Cina-Tionghoa ini bisa kita lihat juga secara bening bagaimana budaya Tionghoa ini mengajarkan kepada kita tentang kreatifitas dan inovasi teknologi.
Asvi Warman Adam (2010) memaparkan bahwa etnik Tionghoa-lah kali pertama berimprovisasi mengolah timah dan emas di pulau Bangka dan Kalimantan Barat pada paruh abad ke-19. Mereka juga memperkenalkan teknik irigasi yang efisien. Kuali juga diperkenalkan oleh etnik mata sipit ini. Bahkan, di Pattani Thailand dan perang Aceh dulu, etnik Tionghoa-lah yang berperan sebagai pengecor logam "jempolan" untuk membuat meriam. Mereka juga tercatat dalam sejarah sebagai penyumbang pembuatan kapal yang inovatif. Bila orang Bugis terkenal dengan Phinisi yang gagah dan estetik, maka etnik Tionghoa memperkenalkan kapal yang efisien. Pati Unus, Pangeran dari Jepara itu, dulunya untuk menyerang Malaka menggunakan kapal hasil kreasi etnik Tonghoa. Perahu Mayang dengan teknik sekat kedap air. Di Gresik dan Sumenep pada abad ke-19, etnik Tionghoa mengembangkan teknik efisiensi dalam pembuatan garam secara modern. Dan mungkin, bila kita runut satu demi satu, akan terlihat "benang merah" karakteristik sumbangan etnik Cina-Tionghoa pada sejarah kita - "inspirasi pada kreatifitas dan kewirausahaan", yang pada tradisi Hindu-Budha India apatah lagi Eropa (Kristen) tidak kita jumpai.
Tapi entah kenapa, sumbangan etnik Cina-Tionghoa dalam sejarah dilihat dengan "mata sipit", untuk tidak mengatakan "dibutakan". Sejarah Indonesia seakan-akan hanya dibentuk oleh tradisi Animisme-Dinamisme, Hindu Budha India, Islam (Arab) dan Eropa (Kristen) serta budaya lokal. Dengan (selalu) menggunakan patron seperti inilah kemudian, nasionalisme di rumuskan. Di negeri kita ini, nasionalisme itu seakan-akan telah mendapat rumusan baku, bahkan amat sangat gamblang. Disamakan dengan etnisitas. Nasionalitas dianggap sebagai bentuk takdir lewat keturunan, maka bangsa ini hanya diibaratkan sebagai keluarga. Bukan seperti organisasi modern dengan keanggotaan yang bisa masuk-keluar. Dan keluarga itu hanya terpaku pada sebuah konsep yang bernama "pribumi" dan itu dibentuk oleh tradisi selain nebula Tionghoa. Padahal, bila kita (jujur) melihat kebeningan dan kejernihan berfikir para founding fathers kita pada proses pembentukan negara bangsa ini, mereka secara jelas ingin mengajarkan kepada kita bahwa tak ada yang "pribumi" dalam sebuah bangsa. Bangsa adalah adonan baru dari berbagai unsur dari berbagai sumber. Semuanya selalu non-pribumi. Secara teoritis, siapapun orangnya, sewaktu-waktu bisa mengganti kebangsaannya, katakanlah seumpama "naturalisasi" seperti Gonzales, Kim Kurniawan dan Irfan Bachim yang "ngganteng" itu, seperti orang mengganti partai politik, warna rambut ataupun pacar, bahkan jenis kelamin. Kamus resmi Bahasa Indonesia merekam dengan baik bagaimana sejarah nasional itu haruslah diberlakukan seperti bahasa nasional. Bahasa nasional yang unsurnya tidak hanya terbentuk dari bahasa Jawa, Melayu, Arab maupun Sanskerta. Tapi juga ada kontribusi bahasa Portugis, Inggris, Belanda dan Cina. Semuanya melebur menjadi bahasa nasional yang bernama Bahasa Indonesia, tentunya, sesudah dan karena mengalami perobahan. Itulah Indonesia.
Semuanya punya kontribusi dan amatlah tidak fair kita meletakkan posisi sebuah unsur pembentuk sejarah kita dibalik "tikar sejarah" dan dipandang dengan "mata sipit". "Indonesia, bak kata Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an, bukanlah penjumlahan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan seterusnya. Indonesia bukanlah sambungan seperti itu. Bangsa Indonesia adalah kreasi abad ke-20 yang sepenuhnya baru!". Nampaknya lagu "Dari Sabang Sampai Merauke/Berjajar Pulau-Pulau .... perlu direkonstruksi, bahkan didekonstruksi).
Referensi : Asvi WA. (2010)
Tapi entah kenapa, sumbangan etnik Cina-Tionghoa dalam sejarah dilihat dengan "mata sipit", untuk tidak mengatakan "dibutakan". Sejarah Indonesia seakan-akan hanya dibentuk oleh tradisi Animisme-Dinamisme, Hindu Budha India, Islam (Arab) dan Eropa (Kristen) serta budaya lokal. Dengan (selalu) menggunakan patron seperti inilah kemudian, nasionalisme di rumuskan. Di negeri kita ini, nasionalisme itu seakan-akan telah mendapat rumusan baku, bahkan amat sangat gamblang. Disamakan dengan etnisitas. Nasionalitas dianggap sebagai bentuk takdir lewat keturunan, maka bangsa ini hanya diibaratkan sebagai keluarga. Bukan seperti organisasi modern dengan keanggotaan yang bisa masuk-keluar. Dan keluarga itu hanya terpaku pada sebuah konsep yang bernama "pribumi" dan itu dibentuk oleh tradisi selain nebula Tionghoa. Padahal, bila kita (jujur) melihat kebeningan dan kejernihan berfikir para founding fathers kita pada proses pembentukan negara bangsa ini, mereka secara jelas ingin mengajarkan kepada kita bahwa tak ada yang "pribumi" dalam sebuah bangsa. Bangsa adalah adonan baru dari berbagai unsur dari berbagai sumber. Semuanya selalu non-pribumi. Secara teoritis, siapapun orangnya, sewaktu-waktu bisa mengganti kebangsaannya, katakanlah seumpama "naturalisasi" seperti Gonzales, Kim Kurniawan dan Irfan Bachim yang "ngganteng" itu, seperti orang mengganti partai politik, warna rambut ataupun pacar, bahkan jenis kelamin. Kamus resmi Bahasa Indonesia merekam dengan baik bagaimana sejarah nasional itu haruslah diberlakukan seperti bahasa nasional. Bahasa nasional yang unsurnya tidak hanya terbentuk dari bahasa Jawa, Melayu, Arab maupun Sanskerta. Tapi juga ada kontribusi bahasa Portugis, Inggris, Belanda dan Cina. Semuanya melebur menjadi bahasa nasional yang bernama Bahasa Indonesia, tentunya, sesudah dan karena mengalami perobahan. Itulah Indonesia.
Semuanya punya kontribusi dan amatlah tidak fair kita meletakkan posisi sebuah unsur pembentuk sejarah kita dibalik "tikar sejarah" dan dipandang dengan "mata sipit". "Indonesia, bak kata Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an, bukanlah penjumlahan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan seterusnya. Indonesia bukanlah sambungan seperti itu. Bangsa Indonesia adalah kreasi abad ke-20 yang sepenuhnya baru!". Nampaknya lagu "Dari Sabang Sampai Merauke/Berjajar Pulau-Pulau .... perlu direkonstruksi, bahkan didekonstruksi).
Referensi : Asvi WA. (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar