Berbeda dengan Afrika Selatan yang akhirnya berhasil melakukan rekonsiliasi di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, Indonesia hingga kini masih terus berjuang mewujudkannya – terkait kasus 1965. Berbagai upaya terus dilakukan. Namun, hanya pemerintahan Gus Dur yang berani dan mau melakukannya. Selebihnya, upaya rekonsiliasi dikerjakan hanya oleh bagian-bagian kecil yang ada di negeri ini. Tentu tidak adil membandingkan upaya dan hasil rekonsiliasi kedua negara. Meskipun sama-sama bekas negara jajahan, Indonesia dan Afrika Selatan punya banyak perbedaan. Dalam banyak hal, Indonesia jauh lebih beragam dibanding Afrika Selatan. Yang tidak kalah penting adalah, pemahaman terhadap Peristiwa 1965 sendiri. Sebagaimana berwarnanya kehidupan yang dimiliki Indonesia, masalah 1965 pun sangat berwarna sudut pandang dan penafsirannya. Peristiwanya sendiri pun sangat kaya warna kepentingan. Tidak hanya kepentingan-kepentingan dari dalam negeri, dari luar negeripun turut serta, berkait kelindan. Konteks perpolitikan global dekade 1960-an yang diwarnai oleh makin meningginya intensitas Perang Dingin, jelas sangat berandil terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia. Kedua blok berupaya mempengaruhi Indonesia menjadi sekutunya. Berbagai upaya terus mereka lakukan.
Bagi Indonesia sendiri, kemerdekaan dari “cengkeraman” kedua blok tetap masih kuat. Presiden Sukarno yang sejak Juli 1959 menjadi semakin kuat, terus mencoba menjaga keseimbangan posisi Indonesia. Sukarno bahkan menggalang negara-negara baru untuk membentuk blok tersendiri di luar Blok Barat dan Timur. Bersama PM Nehru (India), Marsekal Tito (Yugoslavia) dan beberapa tokoh negara-negara dunia ketiga lain, Sukarno berhasil membentuk Non Blok. Sepakterjangnya di pentas perpolitikan global kian menguat. Sukarno terus mengupayakan terbentuknya satu tatanan global yang baru. Soekarno terus membangun kesan sebagai motor terwujudnya dunia baru. Selain Ganefo, “Ganyang Malaysia” menjadi salah satu kampanye terpopuler Sukarno saat itu. Bagi Barat, upaya pengencangan pengaruh kepada Indonesia makin penting. Melalui jenderal-jenderal di Angkatan Darat dan beberapa intelektual, kerjasama terus mereka upayakan. Bantuan juga terus mereka kucurkan –dan yang lebih besar tetap mereka janjikan. Mereka juga aktif merekayasa berita. Inggris melakukannnya dengan tujuan untuk membuat situasi jadi chaos. Dengan begitu, “Ganyang Malaysia” bisa dilupakan. Sedangkan AS, selain tetap tidak menginginkan Indonesia jadi komunis, juga tetap ingin mengendalikan sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah. Halangan terbesar bagi Barat dalam mewujudkan kepentingannya, tentu saja Sukarno dan PKI. Tidak bisa tidak, keduanya harus disingkirkan. Mereka terus memanfaatkan orang-orang yang berseberangan dengan Sukarno dan PKI, terutama yang di Angkatan Darat. Mereka juga terus menunggu momentum yang tepat. Dalam periode yang sama, perpecahan antara Soviet dan China terjadi. China tidak ingin kekuasaan terpusat di Moscow saja. Selain itu, China menganggap dirinya merupakan satu kekuatan tersendiri. Soviet terancam. Baginya, ancaman dari China jauh lebih penting diperhatikan.
Indonesia yang awalnya condong ke blok Timur, terpaksa harus lebih keras menjaga keseimbangan terhadap kedua negara itu. Ada kalanya Indonesia lebih “mesra” dengan Soviet, ada kalanya juga lebih “romantis” dengan China. Dan, “mereka saat itu berhasil mengatur hal tersebut,” tulis Bernd Schafer dalam makalahnya, “Setting of the Cold War”, yang dipresentasikan pada Konferensi internasional “Indonesia and the World in 1965” yang dihelat dari 18 -21 Januari 2011. Dan, “di situlah PKI memainkan peran, PKI lebih condong ke China,” tulis Schafer. Kondisi dalam negeri Indonesia sendiri terus memanas sejak kabar sakitnya Sukarno tersiar luas. Pihak-pihak yang berada di sekitar Sukarno mulai resah mengenai siapa penggantinya. Yang juga tidak kalah penting, perekonomian nasional terus memburuk hari demi hari. Inflasi membumbung hingga 600 persen. Pemotongan nilai uang terpaksa dilakukan. Pihak-pihak yang tidak puas kepada Sukarno terus memanfaatkan momentum tersebut untuk terus merongrong Sukarno. Dari dalam, terutama perwira-perwira di AD terus bermanuver. Dari luar, AS pun makin aktif mengontak orang-orangnya –ini dibuktikan dari banyaknya dokumen yang kemudian ditemukan. Lalu ada China yang memanfaatkan hubungan partai komunisnya dengan PKI. Sementara Soviet sendiri hubungannya dengan Indonesia kian menurun semenjak Indonesia lebih condong ke Peking. Ketika G30S pecah, sebagaimana ditulis Ragna Boden dalam “The Soviet Union and the Gestapu Events” yang dipresentasikan, Soviet hampir tidak memiliki keterlibatan. “Dukungan Soviet kepada PKI itu tidak bersifat resmi. Jadi reaksi pada saat itu bersifat oportunistik,” tulis Boden.
Pecahnya G30 menjadi titik balik bagi kekuatan-kekuatan utama di dalam segitiga politik Indonesia saat itu –PKI, Sukarno, dan Angkatan Darat – dan juga banyak orang di tingkat bawah. PKI dipecundangi, Sukarno disingkirkan, dan Angkatan Darat memegang kendali kekuasaan. Orang-orang yang terkait atau yang dikaitkan dengan PKI, lalu diburu dan ditangkapi. Partainya dibubarkan dan jutaan dari anggota atau simpatisannya dibunuh atau hilang tanpa pernah diadili. Momen tersebut juga dijadikan ajang balas dendam orang-orang yang tidak suka kepada PKI atau dalam banyak kasus, ajang fitnah. Sebagaimana dikatakan Baskara T. Wardaya, perintah pembunuhan datang dari atas. Pembantaian terhadap mereka menjadi peristiwa berdarah terkelam dalam sejarah perjalanan Republik. Apa yang terjadi pada 30 September (dini hari 1 Oktober) dan pembantaian massal yang mengikutinya, menurut John Roosa merupakan dua hal yang berlainan. Dalam paper-nya, “Soeharto, Faust, Yudhisthira and the Killing of Prisoners”, Roosa tetap ingin mempertahankan argumennya bahwa G30S merupakan dalih untuk membantai para anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI. Pemahaman lebih jernih atas kedua peristiwa tersebut bagi Roosa sangat penting. Sebab, hingga kini banyak hal yang belum bisa kita pahami. Tujuannya, untuk mencapai harmonisasi antara internal-internasional. “Dikotomi tersebut,” jelas Roosa, “tidak bisa kita tiadakan, tetapi kita bisa memandangnya lebih terstruktur.”
(c) Sumber : Majalah Historia-Online/Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar