Kamis, 28 April 2011

"Demokrasi" Mohammad Natsir

Oleh : Muhammad Ilham

Sulit untuk dibantah, Muhammad Natsir menjadi salah satu "legenda" demokratisasi dan Islam politik Indonesia. Natsir yang dikatakan George Kahin sebagai demokrat-religius nan bersahaja (karena hanya memiliki sehelai kemeja ketika ditunjuk menjadi Menteri Penerangan tahun 1946 ini) sampai hari ini dianggap sebagai "Bapak" intelektual Islam Indonesia sekaligus figur utama dalam mengakomodasi partai a-la "barat" dengan keteguhan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan teologis (Islam). Ia bukan seperti Ba'asyir yang "mencita-citakan" negara ini seperti Taliban - sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahmad Syafii Maarif. Natsir adalah pribadi teguh dalam menyerukan nilai-nilai demokratisasi di Indonesia, dan ini secara intens diserukannya setelah beberapa saat Soekarno mengumumkan eksperimen Demokrasi Terpimpin-nya. Ketika Masyumi berada dibawah kendali putra Alahan Panjang Minangkabau ini, partai ini mampu mengharubirukan pentas politik Indonesia, di era 1950-an. Di saat posisi Islam politik Indonesia "terdesak" pada masa Orde Baru, Muhammad Natsir kembali menjelaskan posisinya, "Indonesia sudah menjauh dari demokrasi". Bukan itu saja, Ruth Mc Vey bahkan pernah mencatat ungkapan "pedih" dari Natsir tentang sikap rezim Orde Baru terhadap keinginan Islam politik mempraktekkan demokrasi, "Mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap". Dalam konteks ini, Natsir tetap memperjuangkan demokrasi yang konon merupakan "produk" historis dan kultural "barat" sono.

Begitu banyak intelektual-intelektual avant garde Islam Indonesia yang mengalami pencerahan di dunia "barat", sebutlah misalnya Deliar Noer, M. Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, merasa perlu untuk menegaskan bahwa "guru" mereka adalah Muhammad Natsir. Bahkan Dato' Seri Anwar Ibrahim - mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia - juga memproklamirkan diri sebagai murid ideologis Natsir. Lalu dimana "kekuatan" Natsir sehingga dianggap sebagai "guru ideologi" oleh intelektual-intelektual produk Barat namun dikenal sebagai pengusung ide Islam Politik (untuk kasus Cak Nur, mungkin sedikit beda) diatas ? Jika dilihat dalam konteks ini, Natsir merupakan representasi dari figur besar yang merangkum sekaligus dua peradaban ke dalam dirinya (Islam dan Barat). Pada Islam, ia menjadikannya sebagai basis fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai metodologi untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Ini secara terang teraktualisasi di dalam partai Masyumi. Masyumi tampil sebagai sebuah partai "Barat" modern, yang amat kaku memegang prinsip-prinsip demokratis, dan ini terlihat pada reaksi Natsir terhadap Soekarno dan Soeharto. Namun, Masyumi dengan teramat jelas menegaskan posisi mereka : memperjuangkan sebuah sistem politik, bahkan menjadikan Islam menjadi dasar negara. Maka belajar dari hal ini ada satu yang mungkin bisa kita petik bahwa demokrasi dengan seluruh "perangkat keras dan lunaknya" bukan-lah untuk diperdebatkan lagi di "rumah sakit" mana ia dilahirkan. Demokrasi dan perangkat-perangkatnya tersebut adalah "tool" yang melalui ini, siapapun boleh memperjuangkan ide-ide mereka. Barat dan Timur bukanlah untuk didikotomikan, apalagi dipolitisasi-kan. Natsir telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran bahwa ketika "barat" dan "timur" diakomodasi, akan melahirkan praktek-praktek politik yang mencerahkan.

Referensi : Ruth Mc. Vey (1989), Fachry Ali (1997). Foto : islamcity.com

Si Vis Pacem Para Bellum

Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Si Vis Pacem Para Bellum : If You Wish for Peace, Prepare for War


Jika kita membaca baik-baik sejarah umat manusia, sukar bagi kita untuk mengambil kesimpulan, apakah keadaan normal itu adalah perdamaian dengan perang sebagai selingan dari keadaan damai itu, ataukah keadaan normal itu adalah perang dengan keadaan damai sebagai selingan dari peperangan. Perang dan damai merupakan suatu kenyataan riil yang tidak dapat dibantah atau dihindari, dan merupakan suatu fakta berganda yang terjadi silih berganti dan berlangsung secara terus menerus dalam suatu continuum, sehingga menimbulkan adagium yang bersifat paradox yang berbunyi: Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang. Oleh karena itulah, sambil melanjutkan usaha untuk hidup sejahtera dalam suasana damai, pimpinan suatu bangsa dan negara harus mempersiapkan diri secara terus menerus menghadapi kekerasan yang potensial akan dilancarkan oleh bangsa dan negara lain, karena hampir dapat dipastikan dalam damai ada bibit perang, sedangkan perang cepat atau lambat akan – atau harus – diakhiri dengan perdamaian. Walaupun sejarah perang — dan sejarah damai — telah sama tuanya dengan sejarah kemanusiaan itu sendiri, namun perang sebagai fenomena kenegaraan baru dipelajari secara sistematik dan mendasar dari perspektif filsafat dan dari perspektif ilmu sejak abad ke 19, terutama di negara-negara Eropa Barat. Sebabnya ialah oleh karena sejak abad ke 19 itu anak benua Eropa Barat selain merupakan salah satu kawasan tempat tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai aliran filsafat, juga sebagai kawasan tempat tumbuh dan berkembangnya institusi negara-bangsa (nation-state) dalam artian modern, serta sarat dengan terjadinya perang antar negara dan perang saudara di dalam negeri. Lebih dari itu, perang yang dalam kurun sejarah sebelumnya sekedar merupakan pertempuran antara sesama kelas ksatria di suatu mandala perang yang terbatas, dalam era negara-bangsa telah melibatkan rakyat banyak dan mencakup wilayah yang lebih luas.

Secara historis memang ada hubungan kausal yang erat antara terjadinya rangkaian peperangan antar negara dengan lahirnya negara-bangsa modern di Eropa Barat. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai aliran filsafat dalam negara-bangsa di Eropa Barat tersebut, tumbuh dan berkembang pula filsafat perang dan ilmu perang. Dari sisi filsafat, khususnya dalam filsafat Barat, telah dikembangkan konsep perang adil (just war), dengan menampilkan argumen bahwa walaupun peperangan tetap merupakan pertarungan kekerasan — yang sesungguhnya tidaklah diinginkan — antara dua negara atau lebih, namun peperangan dapat dibenarkan apabila didasarkan pada alasan moral yang tepat. Dengan demikian dibedakan antara alasan pernyataan perang (jus ad bellum) serta aturan penyelenggaraan perang itu sendiri (jus in bello). Dari sisi ilmu perang telah dapat disarikan seperangkat prinsip-prinsip yang bersifat mendasar dan dipandang berlaku untuk segala zaman, walaupun sistem persenjataan dan taktik perang dan pertempuran bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Melalui bukunya yang berjudul Vom Kriege (Tentang Perang), yang membahas prinsip-prinsip perang secara komprehensif dan sekarang sudah menjadi klasik, seorang Jenderal Prussia Carl von Clausewitz dipandang sebagai ‘bapak ilmu perang modern’.

Suatu prinsip dasar yang pasti diingat oleh setiap orang yang membaca buku klasik Carl von Clausewitz tersebut adalah bahwa perang pada dasarnya adalah politik, hanya dengan cara lain. Maknanya adalah bahwa keputusan untuk memulai dan mengakhiri perang adalah merupakan ranah kewenangan para negarawan dan politisi, sedangkan tugas militer sebagai experts in violence adalah menindaklanjuti keputusan politik itu secara profesional, melalui penerapan doktrin, strategi, taktik, dan teknik militer, maksimal untuk menghancurkan musuh, minimal untuk mematahkan semangatnya untuk melakukan perlawanan. Oleh karena sekali dimulainya perang akan melibatkan seluruh warga negara serta pengerahan seluruh sumber daya nasional, maka kewenangan untuk mengambil keputusan untuk memulai atau mengakhiri perang harus berada di tangan pimpinan negara yang tertinggi. Militer tidak mempunyai kompetensi untuk menetapkan kapan mulai dan kapan berakhirnya perang. Suatu catatan yang penting untuk diingat adalah bahwa dalam filsafat perang dan ilmu perang klasik ini, sebagai refleksi dari teori kedaulatan raja atau kedaulatan negara yang melatarbelakangi suasana saat itu, Rakyat sama sekali bukanlah merupakan subyek, tetapi sekedar obyek yang tidak demikian perlu untuk diperhitungkan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pengakhiran perang. Aspirasi dan kepentingan rakyat hanyalah merupakan isu pinggiran belaka. Bahkan korban rakyat yang jatuh dalam pertempuran hanya disebut sebagai ‘collateral damage’ atau sebagai kerusakan tambahan belaka.

Dapat dikatakan bahwa seluruh pelaksanaan perang yang berlangsung sejak abad ke 19 sampai akhir Perang Dunia Kedua dipengaruhi oleh visi dan doktrin perang Carl von Clausewitz ini. Setiap negara membangun angkatan perangnya secara maksimal, baik untuk mempertahankan diri maupun untuk pada saatnya menyerang dan memaksakan kehendaknya kepada bangsa dan negara lain. Persepsi ini secara pelahan-lahan berubah dalam rangkaian perang konvensional dan non-konvensional yang terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Saat ini dunia sudah berubah, doktrin perang generasi pertama “people war” atau perang semesta sudah bertransformasi menjadi doktrin perang generasi ketiga “limited war under high-technology conditions”



Penggenerasian dari perang disepakati oleh para ahli sejarah, negarawan dan militer dimulai dari Perdamaian Westphalia tahun 1648. Generasi Pertama (Classical Nation State war), sangat tergantung pada banyaknya jumlah pasukan (manpower), senjata api perorangan, militer wajib dan latihan menembak dalam kelompok besar. Menggunakan strategi linier, karena bentuk linier akan menghasilkan daya tembak yang maksimal. Linier digunakan baik menyerang maupun bertahan. Kekuatan Angkatan Laut hanyalah merupakan perluasan/kepanjangan kekuatan darat dan melaksanakan tugas untuk membantu keberhasilan pasukan darat. Taktik yang digunakan adalah membentuk saf dan banjar. Disini belum terlihat adanya seni operasi.

Generasi Kedua (Industrial Wars of Attrition). Generasi kedua ini muncul sebagai jawaban atas penemuan teknologi baru dalam persenjataan di abad ke 19. Teknologi baru ini telah membawa pengaruh terhadap pelaksanaan perang. Volume daya tembak meningkat karena adanya senapan mesin/otomatis, senjata perorangan yang lebih akurat dan efisien, serta penggunaan tembakan tidak langsung dengan senjata artileri. Perang menjadi lebih atrisi (attrition), dimana tujuannya untuk menghancurkan dan menghalau musuh kemudian menduduki sebagai wilayah musuh. Medan tempur masih tetap linier namun daerahnya menjadi lebih luas disebabkan daya tembak senjata yg semakin jauh, penggunaan meriam artileri dan munculnya kekuatan udara. Generasi Ketiga (Maneuver War). Perang generasi ketiga kira-kira dimulai sejak tahun 1918. Pada fase perang ini ditandai dengan medan tempur menjadi non linier dan semakin luas, manuver pasukan yang cepat karena didukung oleh mesin-mesin perang yang modern. Seni Operasi (operational art) mulai diterapkan, ditandai dengan penggerakkan pasukan dalam jumlah besar kemudian melakukan pengepungan terhadap musuh. Ini dapat dilakukan karena telah adanya jaringan jalan kereta api (rel), serta adanya telegraf.(4GW), Beberapa ciri dari peperangan generasi keempat antara lain: Perang non linier yang mencapai ekstrimnya, dimana tidak mengenal medan perang atau fronts. Perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sulit membedakan antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak, diam-diam dan dapat mencakup suatu daerah yang luas. Generasi keempat ini merupakan perpaduan dari politik, sosial, militer, ekonomi bahkan budaya sebagai sarana yang bertujuan utama untuk mengalahkan/mematahkan wilayah (semangat dari lawannya).

Demikianlah, hukum internasional, yang disusun dan dikembangkan secara bertahap sejak abad ke 19 untuk mengatur hubungan antar negara dalam keadaan damai dan perang, tidaklah melarang perang sebagai salah satu bentuk hubungan antar negara, tetapi hanya sekedar melindungi para tawanan perang serta membatasi penggunaan jenis-jenis senjata tertentu. Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa, yang didirikan untuk mewujudkan perdamaian dunia pasca Perang Dunia Kedua, yang berlangsung antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 dan memakan korban jiwa sebanyak 25 juta orang itu, juga tidak melarang perang dan persiapan perang. Dalam keadaan tertentu, khususnya jika suatu negara tidak mampu menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di wilayahnya, bahkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat mengambil keputusan yang absah untuk melancarkan operasi intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) dalam wujud operasi militer. Perang akan selalu ada bersama kita. Esensinya, yang berwujud pemaksaaan kehendak suatu pihak kepada pihak lain akan selalu terjadi, walau strategi, taktik, dan logistiknya akan berubah sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa dewasa ini selain penggunaan jenis senjata yang berbasis teknologi perang, yang disebut sebagai hard power, juga sudah mulai digunakan pengaruh kuat terhadap pihak lain, dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, sebagai jenis senjata baru yang tidak mudah dikenal sebagai senjata untuk perang, yang disebut soft power. Setiap bangsa yang ingin tetap berlangsung hidup selain harus selalu siap perang, juga harus tanggap dengan perkembangan berbagai jenis senjata ini.

Referensi :

  1. Peran Krusial Rakyat dan Penduduk Sipil Lainnya Dalam Perang Non-Konvensional Masa Kini dan Implikasinya Pada Sistem Pertahanan Rakyat Semesta. Saafroedin Bahar, setneg.co.id
  2. Konsep Modernisasi dan Transformasi Menuju Kekuatan Artileri Medan Generasi Ketiga, Kapten Arm Oke Kistiyanto, S.AP, Danrai A Yonarmed-7 Kodam Jaya, tandef.net
  3. Fourth generation warfare. en.wikipedia.org
Sumber : serbasejarah.wordpress.com

Revolusi Itu ...... Ada !


Revolusi akan terus berjalan sampai mereka yang berada dalam status paling rendah di antara kamu menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling tinggi di antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang melampaui akan dilampaui (Ali bin Abi Thalib r.a)


Dari “Gerobak Sayur” ke “r e v o l u s i”

dari Facebook ke “r e v o l u s i"

dari Blog ke “r e v o l u s i” ….

tak ada yang tak mungkin ..

Tunisia telah mengajarkan bahwa r e v o l u s i itu ADA !!!

Kekuasaan selalu ada batasnya. Tidak ada manipulasi politik dan korupsi yang terus bisa bertahan lama.

Inspiring/Sumber : serbasejarah.wordpress.com

Selasa, 26 April 2011

"Kebisuan" Jugun Ianfu Indonesia

Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Secara universal potret dimaknai sebagai gambaran atau representasi dari individu. Di sinilah potret memiliki kompleksitas makna. China dan Jepang sebenarnya sudah memulai seni potret lebih awal dibanding peradaban lainnya, namun kemudian potret diklaim sebagai salah satu produk western art. Dalam konteks Sejarah Eropa, Seni Potret diklaim sebagai produk zaman Renaissance dimana self conciousness menjadi begitu penting, hal ini ditopang oleh kemakmuran yang terus meningkat. Tatkala kelas menengah turut bertambah jumlahnya, mereka inilah yang kemudian membutuhkan potret sebagai salah satu media pengejawantahan diri. Potret berkembang dan terus menerus berubah. Perkembangan seni potret tidak hanya meliputi perkembangan teknik, tetapi juga secara teori. Lebih lanjut, seni potret juga tidak hanya dimaknai sebagai copy dari tampilan fisik seseorang, tetapi kemudian terdapat dualitas didalamnya, dimana potret juga menampilkan karakteristik dari individu yang dipotret: siapakah mereka? Tentu saja orang-orang yang memproduksi potret adalah orang yang mampu secara finansial, sehingga potret ini kemudian juga memunculkan simbol-simbol lain yang berkorelasi dengan kedudukan seseorang. Salah satu negara di Eropa yang mempunyai tradisi potret yang sangat kuat adalah Belanda. Ini bisa dilihat dari begitu banyak rekam jejak yang ada. Seorang ahli potret yang mashsyur di Belanda di antaranya adalah Jan Van Eighty, dimana dia cenderung melihat potret secara mikroskopik.

Begitu pula dengan foto-foto para survivor (Jugun Ianfu) hasil jepretan Jan Banning yang menjadi (salah satunya : foto samping kiri bawah) – sangat fokus, wajah dan tubuh begitu kentara. Apa yang dilakukan Jan Banning semacam ini telah ada dalam tradisi potret di awal abad 17.
Potret Jan Banning juga menunjukkan bahwa tidak ada relasi lain selain wajah dari tokoh itu sendiri. Tidak ada kaitan lain seperti landscape, properti, dan perangkat lain yang menunjukkan identitas tokoh yang dipotret. Strategi ini menggugah keinginan berdialog, menimbulkan empati bagi yang melihatnya, serta keingintahuan mengenai siapa mereka, yakni mereka di balik wajah-wajah yang dipresentasikan itu. Ini sebagai cara awal untuk menarik perhatian publik terkait persoalan-persoalan Jugun Ianfu, yang mereka ini dalam wacana sejarah “ter/di senyapkan”. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah dualitas dari potret itu sendiri yang muncul karena pengaruh “si seniman”, baik dari pemilihan subjek yang ditampilkan, angle serta patron yang dianut oleh “sang seniman”. Terkait foto sebagai rekam jejak masa silam, sebuah foto bisa ditelusuri tokoh yang ditampilkan serta kondisi sosial, kultural dan politik saat foto itu diambil. Dalam perkembangan berikutnya, dengan menyitir Michael Angelo, konteks sejarah Eropa, bentuk seni potret yang hanya dimaknai sebagai copy diri dianggap sebagai bentuk seni yang rendah. Meski demikian, medium foto dengan salah satu bentuknya adalah seni potret menjadi begitu penting dan memiliki sejarah yang sangat panjang, karena keberadaannya dibutuhkan oleh sebagian komunitas dalam masyarakat untuk menunjukkan identitas (ke-aku-an). Dalam kaitan seni dan sejarah, antara visual dan teks, “foto” akan menjadi bentuk yang senyap jika hanya dimaknai sebagai copy diri (fisik). Hal demikian juga pada “teks”. Bila ia hanya berhenti pada “sejarah” atau narasi semata, dan tidak dikaitkan dengan konteks maka kegunaannya tidak akan banyak memberikan kontribusi pada kekinian.

Foto juga dapat dijadikan alternatif lain untuk memutus kebisuan atau kesenyapan dalam sejarah. Di sinilah ia memiliki arti sebagai media mengartikulasikan sejarah. Ini berbeda dengan penilaian lain bahwa foto adalah barang bukti. Foto bukanlah barang bukti, karena foto bisa dimanipulasi, sehingga kehilangan kemurniannya, terutama setelah 3 dekade terakhir. Foto juga adalah sebagai narasi, dengan menyadari bahwa narasi bukan hanya teks – yang turut merekonstruksi memori kolektif. Ini misalnya dijumpai juga di Museum Holocaust – Berlin yang mempresentasikan kekejaman NAZI melalui foto. Melalui foto juga terjadi dialog histori yang akan membangun recalling history. Namun, recalling of the past juga tidak hanya dilakukan melalui foto, tetapi bisa juga melalui audio (suara), semisal di Museum Johannes Berg. Hal lain adalah, foto juga bisa dijadikan sebagai upaya penggalian identitas. Lantas bagaimana foto-foto karya Jan Banning serta narasi Hilde Janssen ini mampu membangkitkan “recalling memory”? Foto-foto karya Jan Banning bisa dijadikan sebagai pra kondisi untuk membangun memori kolektif, khususnya terkait kekerasan seksual. Jadi bukan hanya untuk objek pameran semata. Foto-foto itu akan lebih tepat jika tidak hanya dijadikan sebagai objek pamerandalam suatu ruang pameran yang “sempit”, sehingga tidak hanya berdiri sebagai foto, tetapi harus ditempatkan dalam ruang yang memiliki konteks dengan foto-foto itu. Dengan begitu ia mampu membangkitkan “suasana” pada saat peristiwa itu terjadi.

Negeri ini perlu ditunjukkan pentingnya pengetahuan sejarah tentang kekerasan seksual perempuan yang dilakukan oleh rezim, bagaimana suatu rezim fasis menghancurkan integritas suatu rezim sebelumnya atau suatu komunitas melalui seksualitas perempuan. Maka tindakan kekerasan seksual selain menghancurkan harkat perempuan, dimaksudkan sebagai sebuah lokus penghancuran suatu nasion. Ada kuasa laki-laki dan kuasa rezim (Negara) yang sedang bekerja bersamaan. Ini seperti yang terjadi di Nanking dan Bosnia Herzegovina. Begitupula pada masa penjajahan fasis Jepang di Indonesia, bordil hanya dijadikan sebagai lokus, dan tujuan dasarnya adalah penghancuran nasion (dengan kata lain nasion diasosiasikan dengan rahim perempuan). Penghancuran seksual perempuan di Indonesia juga diulang oleh militer pada pascakolonial, seperti pada 1965, peristiwa di Timor Leste, peristiwa Poso, Mei ’98, serta kekerasan seksual yang terjadi pada para survivor perempuan GAM. Narasi-narasi ini dihilangkan dan diputus oleh rezim untuk tidak dijadikan sebagai identitas bangsa, misalnya dalam kasus Jugun Ianfu di Indonesia. Pemutusan ini sistematis, dinegosiasikan, baik oleh Pemerintah Jepang, maupun pemerintah Indonesia. Pemerintah, terutama Departemen Sosial, sangat berperan dalam upaya reparasi kehidupan Jugun Ianfu, namun realitasnya pemerintah dengan sedemikian rupa memutus narasi-narasi keberadaan mereka, bahkan funding untuk reparasi kehidupan Jugun Ianfu pun “disunat”.

Foto-foto yang dipamerkan harus permanen, bisa dikunjungi sewaktu-waktu, dan dijadikan media pendidikan bagi para siswa (media “pembangkit” memori kolektif). Hingga saat ini belum ada museum di Indonesia yang mampu menghadirkan dan membangkitkan “memori kolektif” sebagai alternatif untuk membangun identitas bangsa, yang ada adalah diorama atau museum yang menghadirkan narasi resmi negara. Dengan kata lain foto-foto itu harus ditempatkan dalam ruang permanen yang bisa diakses publik disertai dengan media lain misalnya melalui film bukan hanya foto dan teks, sehingga mampu menghadirkan tidak hanya teks (narasi), tetapi juga membangun “konteks”. Hal yang tidak kalah penting adalah, pewacanaan identitas nasion ini hendaknya dilakukan melalui cara yang dapat dipahami publik, misalnya anak-anak, dengan menghadirkan realitas masa lalu secara lebih humanis, baik “terang”, maupun ‘‘gelap”, misalnya dengan menjelaskan secara politis dan logis dimana mereka merasa malu telah melakukan suatu kesalahan di masa lampau. Foto sebagai salah satu media recalling of the past yang dibawa ke ruang publik akan menjadi salah satu media alternatif dari wacana-wacana formal yang ada.

Sistem Jugun Ianfu dengan dibangunnya bordil dan pengawasan bordil-bordil di daerah kekuasaan fasis Jepang, bertujuan praktis untuk menyalurkan kebutuhan biologis para tentara Jepang serta untuk menghindari penyakit kelamin. Namun, ini bukan berarti tidak ada perlawanan. Para perempuan dan juga sebagian tentara Jepang ada juga yang melakukan perlawanan terhadap sistem Jugun Ianfu dengan saling berkolaborasi melakukan “trik dan intrik”, seolah-olah mereka telah melakukan hubungan seksual. Dan hal yang sangat esensial dari uraian Hilde adalah Jugun Ianfu merupakan sistem perbudakan seksual yang gagal, karena realitasnya setelah adanya sistem ini, masih ada dan muncul sistem perbudakan seksual “liar”. Foto sarat imajinasi dan multitafsir. Unsur intervensi “seniman” (fotografer) begitu pekat di dalamnya. Bagaimana jika foto-foto Jan Banning itu juga memotret para survivor (Jugun Ianfu) dalam keadaan tersenyum dan melambaikan tangan, tentu akan menghadirkan arti lain dalam sejarah Jugun Ianfu. Oleh karena itu, kita patut kritis dan berhati-hati. Hal ini pun dikemukakan di awal diskusi oleh Alit, bahwa foto tidak semata-mata bisa dijadikan bukti sebagai media rekam jejak masa lampau dan jika hendak dijadikan sebagai sumber historiografi diperlukan metode dan metodologi yang canggih agar sedapat mungkin mendekati kebenaran atau jika hendak dijadikan sebagai historiografi itu sendiri, penikmat sejarahlah yang harus bersikap kritis.

Sumber : etnohistori.org/Widya F-Mariana

Senin, 25 April 2011

25 April 2011 - 60 Tahun Orang Maluku "Memberontak"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tepat tanggal 25 April, 60 tahun yang lalu J.H. Manuhutu, membangun mimpi dengan memprakarsai berdirinya sebuah gerakan RMS (Republik Maluku Selatan). Dalam proklamasinya RMS menegaskan untuk mendirikan Negara secara independen yang terbebas dari Negara Kesatuan Indonesia dan Negara Indonesia Timur. Kelanjutannya dapat diduga, tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) pada waktu itu langsung menyerbu gerakan ini hingga ke pelosok hutan terpencil di Pulau Seram. Mengingat gejolak yang terjadi, Pemerintah Belanda yang berpusat di Den Haag kemudian mengambil keputusan untuk menarik 12 ribu serdadu Maluku (KNIL) bersama keluarga mereka untuk ke Belanda. Para loyalis Belanda inilah yang nantinya terus menggaungkan semangat RMS untuk terus berkibar. Sepeninggal J.H. Manuhutu, Dr. Christian Robbert Steven Soumokil, yang baru saja lulus dari Universitas Leiden, Belanda meneruskan semangat juang RMS, sebelum akhirnya mati pula. Presiden Soekarno memerintahkah Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memberangus semua bentuk aktivitasnya. Gerakan RMS berkobar hanya selama 13 tahun (1950-1963) dan mulai melemah setelah Dr. Soumokil tertangkap tahun 1963. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 April, 1966, ia dieksekusi mati, tanpa proses pengadilan. Sepeninggal Soumokil, RMS semakin melemah. Di Ambon sendiri, gerakan ini nyaris tinggal cerita, seiring dengan terbukanya kesempatan hidup lebih baik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, jumlah orang Maluku yang melek huruf dan dapat berbahasa Indonesia meningkat sangatlah pesat. Demikian pula, ribuan orang Maluku telah direkrut menjadi pegawai negeri, tentara, guru, dengan gaji tetap, sehingga berpandangan bahwa Negara Kesatuan Indonesia adalah penyelamat utama dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Di Belanda sendiri, meski dianggap telah mati, namun beberapa kali gerakan ini memicu perhatian publik, mulai dari demonstrasi besar-besaran di depan kantor kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, penyanderaan kereta api tahun 1975, penyanderaan sebuah sekolah dasar di Bovensmilde tahun 1977, rencana pembunuhan Ratu Belanda dan Presiden Suharto dalam kunjungannya ke Belanda 1978, hingga tuntutan ancaman pengadilan kejahatan internasional terhadap SBY tahun lalu. Sedangkan di Indonesia, RMS dituduh terlibat dalam kerusuhan agama di Ambon 2001-2003 dan juga menjadi aktor pengibaran bendera di hadapan kunjungan SBY ke Ambon tahun 2008. Hampir semua gerakan kontroversial diatas dilakukan pada saat menjelang RMS merayakan ulang tahunnya di setiap tanggal 25 April. Biasanya setelah itu, situasi kembali menjadi adem ayem seperti sebelumnya.
Di Indonesia, ideologisasi RMS telah kehilangan tajinya. Para aktivis di Maluku yakin bahwa gerakan mereka yang muncul tidak lain karena ditunggangi atau diciptakan oleh militer Indonesia sendiri. Selain itu, mental masyarakat Maluku adalah mudah sekali dijinakkan melalui iming-iming menjadi pegawa negeri sipil. Pekerjaan ini menjadi lahan perebutan, mengingat satu-satunya jalan yang mampu memberikan sekuritas sosial individu. Sedangkan di Belanda, hingga kini, RMS masih mempunyai ritual yang dilakukannya setiap tahun, melakukan demonstrasi, berkumpul di kedutaan besar Indonesia di Den Haag, hingga mempertahankan struktur kepemimpinan beserta simbol-simbolnya seperti dahulu.

Di Belanda, penerus perjuangan RMS generasi kedua, pada tahun 1970-an, adalah generasi yang paling berada di periode krisis. Generasi ini merupakan anak-anak Maluku yang paling radikal karena melakukan penculikan, kekerasan dan ancaman pembunuhan. Hal ini karena kemarahan mereka melihat perlakuan Pemerintah Belanda terhadap orang tua mereka yang notabene adalah mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan tak kunjungnya mimpi mendirikan Negara merdeka di Maluku. Pada saat yang sama, generasi ini tidak percaya diri menjadi keturunan Maluku sepenuhnya karena dianggap inferior dibanding migran lainnya. Masyarakat Maluku pada saat ini yang tinggal di Belanda adalah generasi ketiga dan keempat. Mereka telah mengalami transformasi besar. Dari segi fisik, kulit dan rambut generasi ini tidak sehitam dan sekeriting pada orang tua mereka di generasi kedua, atau nenek di generasi pertama. Perkawinan silang juga telah dilakukan oleh orang-orang Maluku dengan orang-orang Swedia, Cheko, Rumania dan Belanda sendiri. Antropolog Amerika, Dieter Bartels menyebut bahwa anak muda di Belanda mengalami apa yang disebut Bartels sebagai “Etiolasi” yakni mereka mengalami “pemucatan kulit” akibat beranak-pinak secara campur dengan ras lainnya. Konsep etiolasi ini diambil dari istilah Biologi yakni suatu tanaman yang mengalami ketidaknormalan pertumbuhan karena kurang sinar matahari, yang dicirikan dengan warna tanaman pucat, kurus, batang tumbuh memanjang demi mendapatkan cahaya matahari. Tubuh keturunan orang Maluku di generasi ketiga dan keempat mulai mengalami metamorfosis ke bentuk tubuh Indo-Eropa Barat, dimana tubuh mereka mulai memucat dan lebih tinggi.

Anak muda Maluku lahir pada generasi ketiga, adalah generasi yang tidak dibesarkan seperti ayahnya, yang pernah menjadi tentara KNIL. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu di gelanggang olahraga dan taman rekresasi, serta menjadi bagian dari kultur kebudayaan global Eropa. Anak-anak muda ini kecewa terhadap bentuk otoritarianisme orang tua mereka dan generasi sebelumnya yang terlibat dengan praktik kolonial. Generasi ini secara percaya diri juga mulai meletakkan identitas ketubuhan mereka sejajar dengan orang-orang Jerman, Swedia, Italia dan Belanda sendiri yang kesemuanya berkulit putih. Lantas, bagaimana dengan identitas RMS yang diusung oleh orang tua mereka sebelumnya? Seorang Antropolog Jerman, Benda Beckmann menyebutkan bahwa sejak awal tahun 1980-an khususnya generasi ketiga Maluku di Belanda mulai mempunyai kesempatan berkunjung ke tanah kelahiran orangtua mereka. Setiba disana, terbukalah mata generasi ini bahwa telah banyak yang berubah. Sikap masyarakat Maluku sendiri menganggap RMS telah mati suri. Sehingga, terus memperjuangkan kemerdekaan Maluku adalah sebuah utopisme, dan cara yang terbaik kemudian adalah membangun bantuan sosial berupa pengiriman keuangan untuk keluarga mereka di Maluku yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Generasi ketiga dan keempat semakin yakin dalam menggugurkan mimpinya memerdekan Maluku, alih-alih pulang kembali dan tinggal di sana. Kehidupan di Belanda sudah jauh lebih baik, dibanding harus hidup di Maluku yang dipandang sebagai wilayah terpencil.


Fridus Steijlen, pakar Maluku dari KITLV, Institut Budaya dan Bahasa di Leiden menegaskan bahwa identitas orang Maluku dari generasi pertama dan kedua pada awalnya adalah berstatus “exile” atau perantau sedangkan pada saat ini status generasi ketiga dan keempat telah berstatus “migrant”. Oleh karena itu, generasi penerus RMS di Belanda saat ini tetap bangga menggunakan bendera dan emel-embel RMS, bukan sebagai ajang untuk meneruskan cita-cita kemerdekaan Maluku, melainkan demi mempertahankan identitas mereka di tengah-tengah para migran Maroko, Turki, Iran di Belanda. Para migran ini dianggap mempunyai identitas yang kuat. Sehingga, agar tetap eksis diakui sebagai sebuah komunitas dan tidak inferior, maka makna “RMS” sekarang digunakan sebagai identitas migran, dibanding cita-cita untuk merdeka. Simbol bendera RMS menegaskan bahwa orang-orang Maluku ini adalah bukan orang bukan orang Turki, bukan orang Maroko dan bukan orang Suriname.
Dengan demikian, di ulang tahunnya yang ke 60 ini, tidak ada yang perlu ditakuti terhadap RMS. Termasuk pemerintah Indonesia, karena RMS telah berganti rupa dari sebuah gerakan separatis pada tahun 1950-an menjadi gerakan global yang membedakan dirinya dari migran lainnya yang datang ke Eropa. Kepercayaan terhadap kemerdekaan telah benar-benar pudar. Namun demikian, simbol RMS sebagai identitas terus ada dan suatu saat kelak tetap berguna untuk bernegosiasi dengan keadaan sosial politik yang terus berubah.

Sumber : Hatib AK. http://etnohistori.org (Photo :
http://www.geheugenvannederland.nl)

Jumat, 22 April 2011

Rosihan Anwar : "A Footnote History"

Oleh : Muhammad Ilham

Rosihan Anwar : "A Footnote History" itu telah menutup kisahnya !
(detik.com/kamis, 14-4-2011)

Rosihan Anwar, wafat !. Demikian penggalan running text diberbagai media TV, Kamis 14 April 2011, jelang maghrib. Pada angka 89 tahun, ia menutup catatan hidupnya. Rosihan (mungkin ia lahir pada masa "moment historis" Turki Muda - sehingga diberi nama mirip nama Turki "Rozehan") atau Da Cian, demikian beberapa sahabat wartawan senior memanggil beliau ini, berpulang ke haribaan Tuhan Robbi Izzati "tersebabkan" penyakit jantung, penyakit yang telah lama diidapnya, dan mulai "bungkah" (istilah ini saya pinjam dari Rosihan Anwar almarhum yang berarti kambuh) selepas "belahan jiwa"nya - Zuraidah binti Sanawi - sang istri terkasih meninggal dunia beberapa bulan lalu. Da Cian, bak kata wartawan senior Martias Doesky Pandoe dan Dahlan Iskan merupakan "legenda" dan saksi sejarah perjalanan dunia kewartawanan Indonesia. Wartawan 6 zaman, setidaknya demikian label yang sering dilekatkan pada putra Minangkabau ini. Menurut Taufik Abdullah, sejarawan, julukan wartawan ”enam zaman” patut dilekatkan pada sosok almarhum. Rosihan muda mulai mengembangkan diri menjadi wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), lalu zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang). Ia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974) yang pernah diberedel tiga kali. Pertama, Pedoman diberedel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu diberedel Pemerintah Orde Lama pada 7 Januari 1961. Setelah terbit lagi pada masa Orde Baru, koran itu diberedel lagi oleh Soeharto pada 18 Januari 1974. Ia kemudian menjadi penulis lepas di berbagai media, tak hanya dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti Asia Week (Hongkong), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia), The Hindustan Times (India), Het Vriye Volk (Belanda), dan The Melbourne Age (Australia). Meski tak berpendidikan formal sejarah, Rosihan memberikan sumbangan penting bagi sejarah. Dia menjadi saksi dan pelaku sejarah sejak zaman Jepang hingga kini. Semua dituliskannya, seperti dalam buku Sejarah Kecil (empat jilid). Dia penulis yang mengenal banyak tokoh. ”Tulisannya memberi sumbangan luar biasa bagi bangsa ini,” kata Taufik Abdullah.

Ditengah hiruk pikuk "serangan" Ulat Bulu dan Briptu Norman dalam memori publik Indonesia, kepergian sang maestro terkesan "senyap". Tapi tak sedikit orang merasa tersentak. Ia yang dianggap "karengkang" dan "pancimeeh" ini, seakan-akan pergi terlampau cepat, walau 89 tahun adalah sebuah angka umur yang luar biasa. Di usia senja itu, kala orang lain didera kepikunan, Da Cian masih mampu menulis kritis dan berpendapat bernas. Da Cian-pun kemudian dikenang. Ia inspiring. Penggalan hidupnya yang mencerahkan kemudian dikenang kembali, terutama oleh mereka yang selama ini berkecimpung dalam dunia kewartawanan, seperti apa yang "dinukilkan" Redaktur Senior Sabam Siagian dalam The Jakarta Post hari ini (Jum'at/15-4-2011) berikut :


Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia, meninggal mendadak pada Kamis pagi, 14 April 2011, di Rumah Sakit MMC Jakarta. Tanggal 10 Mei nanti dia akan merayakan ulang tahunnya ke-89. Meskipun pernah secara guyon saya ucapkan ketika merayakan ulang tahunnya ke-88, 10 Mei 2010, di Hotel Santika Jakarta: ” Old journalists never die, they keep on writing …”—kita tentunya sadar bahwa umur manusia ada batasnya. Setelah operasi jantung yang dijalani Bung Rosihan di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 24 Maret lalu, ia secara perlahan berangsur pulih. Hampir setiap hari saya jenguk dia. ”Bagaimana Bung, kata pengantarmu telah selesai?” Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Bung Rosihan sempat menyelesaikan naskah yang dia sudah janjikan: menceritakan kisah percintaannya dengan Zuraida Sanawi—istrinya tercinta— ketika tahun-tahun revolusi (1945-1949) dan pernikahan mereka selama berpuluh tahun mengatasi berbagai kesulitan, antara lain diberedelnya koran Pedoman pada tahun 1961 dan untuk selamanya pada 1974. Pusing juga memikirkan pendekatan apa dan bagaimana yang perlu diterapkan sehingga sambutan saya (untuk buku tersebut) agar tidak sekadar bernada sentimental. Begitu banyak cerita percintaan diterbitkan dalam berbagai bentuk. Apa yang khas tentang percintaan antara pemuda Rosihan Anwar dan pemudi Zuraida sejak mereka berkenalan pada tahun 1943, ketika mereka sama-sama bekerja di koran Asia Raya di Jakarta? Yang khas adalah setting -nya bahwa hubungan mereka mekar ketika memuncaknya revolusi Indonesia, dan kemudian menikah di Yogyakarta, ibu kota perjuangan, pada 1947. Ida mengungsi di Yogya sebagai penyiar siaran bahasa Inggris, The Voice of Free Indonesia , karena nada suaranya menarik dan paham bahasa Inggris.

Rosihan Anwar di Jakarta sebagai wartawan harian Merdeka. Setiap malam ia setel gelombang radio mendengar siaran dari Yogyakarta dan mendengar suara kekasihnya Zuraida: ”This is the Voice of Free Indonesia.” Adakah cerita yang menandingi tingkat romantika sekaligus bersifat politis seperti cerita Rosihan-Zuraida itu? Karena itu, dalam kata sambutan pada buku Belahan Jiwa yang akan diterbitkan oleh penerbit Kompas-Gramedia, saya membandingkannya dengan karya besar Boris Pasternak, Doctor Zhivago , suatu cerita cinta kasih penuh derita dalam setting revolusi Rusia yang jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dibandingkan dengan revolusi Indonesia. Adalah manusiawi kalau para sahabat Rosihan Anwar mengharapkan bahwa dia masih sempat merayakan ulang tahunnya ke-89 dan masih sempat hadir dalam peluncuran buku Belahan Jiwa . Pasti dia akan puas dan bangga. Bagaimanakah kita akan mengenang Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia ini, yang sampai minggu-minggu terakhir hidupnya masih tetap produktif? Pertama-tama, agaknya sulit dicari sosok wartawan/redaktur yang memiliki pendidikan yang cocok (sebagai siswa sekolah menengah atas berbahasa Belanda sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942, ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis), memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahiran menulis secara cepat, gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.

Fikri Jufri yang bertahun-tahun jadi pemimpin redaksi mingguan berita Tempo, tahun 1967, pernah bekerja di harian Pedoman dengan Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Ia masih ingat betapa Bung Rosihan, setelah agak termenung, menulis tajuk rencana secara nonstop kira-kira dalam 20 menit dengan penutup yang kena sasaran. Aspek-aspek apa lagi dari profil Rosihan Anwar yang ingin saya lihat diwarisi generasi muda wartawan Indonesia? Persatuan Wartawan Indonesia, sebagai keputusan Hari Pers Nasional di Palembang pada 9 Februari 2010, memutuskan untuk menyelenggarakan program singkat kewartawanan di berbagai ibu kota provinsi guna menanggapi keluhan mengenai rendahnya kualitas jurnalistik Indonesia. Saya diminta sebagai pengajar mata pelajaran Hubungan Media dan Pemerintah. Setengah jam terakhir dari alokasi waktu dua kali dua jam, saya sisihkan bicara tentang profil Rosihan Anwar. Biografi singkat yang telah dipersiapkan dibagi-bagikan. Kemudian saya tekankan aspek-aspek dari profilnya yang perlu diteladani para wartawan muda: cermat mengikuti peristiwa, rekam tanpa emosi berlebihan, jangan kacaukan fakta dan tulis dalam gaya bahasa yang rapi dan padat. ”Dan, kalau kalian memang mau tetap menekuni bidang jurnalistik ini sampai hari tuamu, tetaplah menulis.” Sekolah Jurnalisme Indonesia dengan program padat selama dua minggu telah diselenggarakan di Palembang (tiga angkatan), Semarang, Bandung, dan Samarinda. Tiap kali saya sajikan profil Rosihan Anwar supaya moga-moga dia jadi panutan dan sumber inspirasi. Kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis adalah warisan berharga yang ditinggalkan almarhum Rosihan Anwar. Kita yang beruntung sempat mengenalnya wajib meneruskannya kepada generasi muda wartawan Indonesia. Terima kasih Bung RA atas jasa Anda ! (Sabam Siagian : The Jakarta Post, 15-4-2011).

Sumber foto : www.jppn.com

Kamis, 21 April 2011

Ahmadiyah disayang, Ahmadiyah ditendang

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tahun 1907, seorang wanita dari kalangan elite Jerman, Carolyn, masuk Islam. Putri keluarga turunan bangsawan Prusia ini tertarik Islam setelah membaca buku-buku agama Islam yang bagus dan berstandar Eropa. Masuk Islamnya Carolyn sangat menggemparkan orang Jerman saat itu. Maklumlah, awal abad ke- 20, wajah Islam di Eropa masih terlihat prengus dan kotor. Propaganda politik dan media massa di Eropa terhadap wajah Islam yang bengis dan menakutkan masih menghantui bangsa Jerman. Masuk Islamnya Carolyn barangkali adalah momentum penting dari 'perkenalan' Islam di Jerman, negara termaju dan terbesar di dunia saat itu setelah Inggris Raya. Islamnya Carolyn pun membawa dampak besar: orang Eropa, khususnya Jerman, mulai sedikit mengurangi 'alergi'nya pada Islam. Keterkejutan berikutnya terjadi lagi pada 1982. Sebuah masjid besar berdiri di Kota Pedro Abad, kota kecil di Provinsi Cordova, Spanyol. Masyarakat Spanyol ramai membincangkan berdirinya Masjid Basyarah yang megah itu karena inilah masjid pertama yang dibangun di Spanyol dalam kurun 750 tahun setelah musnahnya kejayaan Islam di Eropa yang berpusat di Negeri Matador itu. Bagi bangsa Eropa Barat yang pernah diduduki imperium Islam selama 750 tahun, kehadiran masjid tersebut membangkitkan kembali kenangan kekalahan Eropa yang Kristen di tangan Imperium Turki Osmani yang Islam.

Lalu, 21 tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, masyarakat Eropa kembali dikejutkan oleh berita dibangunnya masjid Islam termegah dan terbesar di Eropa Barat, yaitu Masjid Baitul Futuh, di Distrik Morden, Kota London, Inggris. Majalah berkala di Inggris The Informer menyebutkan bahwa Masjid Baitul Futuh merupakan salah satu bangunan dari 50 bangunan terkenal dan terbaik di dunia. Pada 2003, masyarakat Eropa juga dibuat tercengang dan kagum ketika media-media Eropa memberitakan bahwa umat Islam di Jerman dalam kurun waktu 50 tahun ke depan akan membangun 100 buah masjid di seluruh Jerman. Salah satunya yang telah sangat menggemparkan masyarakat Jerman, khususnya masyarakat Kota Berlin, ialah pembangunan Masjid Khadijah di Kota Berlin pada akhir 2008. Setelah itu, peresmian Masjid Mubarak di Distrik Saint Prix, Paris, Prancis. Orang Eropa yang menghargai kebebasan dan hak asasi manusia tampaknya menyokong pembangunan tempat-tempat ibadah Islam tersebut. Ini terjadi karena ajaran Islam yang disebarkan di masjid-masjid itu mengusung tema love for all, hatred for none (cinta kepada siapa pun, tidak benci kepada siapa pun).

Saat ini, sudah ribuan, bahkan jutaan, buku diterbitkan di Amerika, Eropa, Asia, dan Australia oleh umat Islam yang membangun masjid-masjid megah di Eropa tersebut. Jutaan orang telah diajak memahami Islam yang agung, mulia, dan penuh kasih melalui buku-buku itu. Di pihak lain, nun jauh dari Eropa, dalam sebuah pengajian akbar yang dihadiri ribuan umat Islam di Yogyakarta, awal tahun 1980-an, seorang dai terkenal KH Ir HA Syahirul Alim, MSc, dosen kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UGM, dengan bangga menyatakan bahwa akhir abad ke-20 merupakan momentum kembalinya Islam di pentas ilmu pengetahuan tingkat dunia. Saat itu, umat Islam di seluruh dunia sedang menikmati euforia 'Nobel Fisika' yang diterima Prof Dr Abdus Salam dari Pakistan pada 1979. Prof Dr Ahmad Baiquni, ahli fisika nuklir, yang bersahabat baik dengan Abdus Salam diundang berceramah di mana-mana di Indonesia untuk menjelaskan kesesuaian ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan alam yang telah mengantarkan Abdus Salam meraih Nobel Fisika yang amat bergengsi itu. Penerbit Pustaka Bandung secara khusus menerbitkan buku kecil berjudul Islam dan Ilmu Pengetahuan karya Prof Baiquni yang di dalamnya menjelaskan penemuan sang nobelis Abdus Salam tersebut. Salam menjadi penerang sains Islam dan menjadi penggugah kaum muslimin untuk kembali meraih kejayaan di bidang sains yang pernah digenggamnya pada abad ke ketujuh sampai ke-15, tulis Republika. Harian Islam terbesar di Indonesia ini juga memuji Salam sebagai saintis Islam terbesar dan ilmuwan Muslim pertama yang mendapatkan hadiah Nobel paling bergengsi di bidang fisika atom di tengah terpuruknya sains Islam dalam lima abad terakhir.

Abdus Salam kelahiran Pakistan, 29 Januari 1926 itu meraih gelar doktor fisika dalam usia 26 tahun dari Cambridge University, Inggris. Abdus Salam dalam penelitiannya berhasil menemukan fakta bahwa sesungguhnya semua gaya yang ada di jagat raya, yaitu gaya gravitasi, elektromagnet, nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah, hakikatnya merupakan satu kesatuan. Ide penelitian Abdus Salam ini, menurut pengakuannya, terinspirasi dari pernyataan Alquran dalam Surah Al-Mulk ayat 3 tentang keseimbangan ciptaan Allah. Abdus Salam meninggal tahun 1996. Dunia Islam berbelasungkawa amat dalam atas kepergiannya. Dua pemimpin Pakistan yang amat bermusuhan, Benazir Bhuto dan Ziaul Haq, bersatu memberikan gelar pahlawan Pakistan sejati untuknya. Kerajaan Arab Saudi yang menggelar karpet merah ketika Abdus Salam datang ke Tanah Suci ikut belasungkawa atas wafatnya Salam. Mereka sayang kepada Abdus Salam karena beliau telah mengharumkan nama Islam di pentas internasional. Lalu, siapakah Prof Abdus Salam yang punya energi luar biasa untuk mencari titik temu ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan alam itu? Umat Islam yang mana yang membangun masjid megah di Spanyol setelah 750 tahun nama Islam terkubur di Negeri Real Madrid itu?

Buku karya siapakah yang berhasil mengislamkan Carolyn, wanita bangsawan Prusia yang kemudian membalikkan citra Islam di Jerman itu? Ternyata, mereka semua adalah orang-orang Ahmadiyah. Abdus Salam adalah orang Ahmadiyah. Yang membangun masjid di Spanyol juga orang Ahmadiyah. Buku yang dibaca Carolyn juga karya orang Ahmadiyah. Orang-orang Ahmadiyah punya banyak prestasi luar biasa karena punya prinsip mendahulukan cinta dan karya dalam beragama. Salah satu tafsir Alquran yang fenomenal di dunia, The Holy Quran, karya Maulana Muhammad Ali, intelektual Ahmadiyah, menjadi bacaan yang menginspirasi tokoh-tokoh pejuang Indonesia seperti Bung Karno dan HOS Cokroaminoto. Di dunia, The Holy Quran juga menjadi rujukan kajian Islam di Eropa dan Amerika. Tapi bagaimana kini di Indonesia? Orang Ahmadiyah yang telah mengharumkan nama Islam di dunia internasional itu kini ditendang. Rumahnya dihancurkan. Mereka dicerca, mereka disiksa. Negeri dengan 200 juta umat Islam itu lupa bahwa sumbangan Ahmadiyah terhadap syiar Islam itu luar biasa. Orang Ahmadiyah yang jumlahnya jutaan di dunia tampaknya hanya bisa bersabar menunggu redanya amarah masyarakat Indonesia yang, katanya, cinta Rasul Muhammad itu. Seandainya umat Islam bertanya kepada Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi, apa bedanya antara jamaah Ahmadiyah dan jamaah Islam Ahli Sunnah, jawabannya niscaya seperti ini: kedua jamaah ini sama-sama mencintai Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Sampai titik ini, marilah kita merenung: Rasulullah diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia, agar sesama manusia saling mengasihi dan saling mencintai. Bukan sebaliknya, menyerang dan menyiksa manusia hanya karena perbedaan paham.

Sumber : M. Bambang Pranowo cc. Surau.net/Foto : sham al-johori

Perempuan dan Politik

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Pertempuran dalam kehidupan tidak selalu dimenangkan oleh laki-laki
atau perempuan yang lebih kuat, tetapi cepat atau lambat mereka yang menang
adalah yang berpikir dapat memenangkannya.”

(Anonymus)


Data dari Cetro memberikan gambaran, perempuan penghuni lembaga legislatif di Indonesia untuk tahun 2004-2009 hanya 11,8 %. Ini aneh. Ditengah akomodasi politik yang begitu lebar kepada perempuan di tambah dengan tuntutan kesetaraan gender yang semakin kencang, namun keterwakilan perempuan tetap saja minimal. Dan diantara 24 partai politik yang lolos verifikasi, partai yang memiliki presentase tertinggi memberikan ruang kepada perempuan adalah PKS, sebanyak 40,3 %. Menurut Jurnal Perempuan, Para pengurus partai politik mungkin sengaja menempatkan perempuan pada urutan tertentu sehingga mengecilkan kemungkinan caleg perempuan untuk duduk di lembaga legislatif. Namun ternyata teori-teori yang dikemukakan, mengapa keterwakilan perempuan demikian rendah atas dasar konspirasi politik, bukan satu-satunya teori yang bisa dijadikan landasan. Namun ada sejumlah alasan lain yang mempersempit ruang gerak perempuan, yakni budaya patriaki.

Dunia politik bagi perempuan dalam stereotype budaya patriaki menjadi dua buah kutub yang sulit dipertautkan. Perempuan adalah makhluk domestic dan laki-laki adalah makhluk publik. Dunia politik sangat keras, tak mungkin dapat dikuasai oleh perempuan yang memiliki perasaan halus dan lembut. Perempuan emosional, laki-laki rasional, jadi tak mungkin politik dikendalikan oleh orang-orang yang emosional dan berpikiran labil. Perempuan kurang ambisi kepada kekuasaan, sementara dalam dunia politik akan menyingkirkan orang-orang yang suka mengalah. Perempuan sukar diajak solid, dan orang yang sulit dipercaya menjaga rahasia.
Stereotype ini cukup “mematikan” potensi perempuan dan juga cara perempuan memandang dirinya. Belum lagi pandangan agama bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dan bahwa, laki-laki manusia yang pertama kali diciptakan Tuhan, sudah cukup untuk menggelari perempuan sebagai the second sex. Mungkin untuk inilah tafsir-tafsir agama dibutuhkan secara lebih jernih dan mendalam lagi. Tafsir yang bukan atas kepentingan laki-laki, atau atas dasar pesanan ratapan perempuan.

Budaya patriaki ini merupakan cermin budaya dan agama yang sangat kompleks, yang turun temurun. Perubahan sosial ini hanya akan terjadi apabila ada perubahan cara berpikir baik perempuan maupun laki-laki, dalam hal memandang para politikus perempuan, pendidikan sekaligus perempuan ditengah pergaulan sosial. Dan saya memandang, seberapa persen pun kuota keterwakilan perempuan di Parlemen jika tidak ada kesiapan perempuan dalam memasuki dunia politik, menjadi mubazir, dan terlalu dipaksakan. Perempuan pun tak perlu meratap dan mengemis belas kasihan laki-laki agar eksis. Eksistensi perempuan hanya akan menjadi apabila ia menyadari, bahwa dirinya sama mulianya dengan laki-laki. Dan sama berharganya ditengah kehidupan. Mau laki-laki atau pun perempuan yang menjadi anggota parlemen, hendaknya mereka adalah orang-orang yang jujur dan benar-benar mampu menjadi pengayom dan bisa bekerja keras untuk seluruh rakyat Indonesia. Dunia ini terlalu sempit jika ditafsirkan Perempuan versus Laki-Laki. Selamat Hari Kartini !

Sumber : kompasiana/erna suminar. Foto : martoart.com

"Meneropong" Budaya dari Kereta Api

Oleh : Imla W. Ilham

Saya pernah membaca sebuah novel karangan sastrawan Perancis, kalau tak salah namanya Jean-Paul Sartre. Ia pernah menuliskan sebuah kalimat : "Bila ingin melihat bagaimana negara memberlakukan rakyatnya, lihatlah Kereta Api-nya. Bila ingin melihat budaya negara itu, lihatlah bagaimana masyarakatnya memperlakukan Kereta Api".



Kereta Api Cepat Metro Milik Dubai

Kereta Api Cepat TGV Milik Perancis

Kereta Api Cepat AVE Milik Spanyol

Kereta Api Shinkansen Milik Jepang

Kereta Api KTX Milik Korea

Kereta Api THSR Milik Taiwan

Kereta Api (saya tak tahu merk-nya) .... ada di Pakistan

Kereta Api (saya tak tahu merk-nya) .... ada di India

Nah, ini Indonesia punya ...hehehehe

Sumber Photo : /www.google.picture.com/ cc. tempointeraktif.com - vivanews.com (photo)

Kearah Pemahaman Sosiologis "Human Bomb"

Oleh : Muhammad Ilham

Fakta sosial harus dijelaskan dengan Fakta Sosial lainnya
(Emille Durkheim)


Saya mulai tulisan ini dengan memaparkan beberapa realitas individual yang direkam secara tertulis oleh beberapa media yang menyentakkan bathin-psikologis dan "ranah" rasionalitas kita.

“Diduga kuat, pelaku peledakan di masjid Az-Zikra Mapolresta Cirebon hari Jum’at 15April 2011 kemaren adalah Muhammad Syarif dengan cara bunuh diri menggunakan bom low explosivemetrotvnews.com/diunggah tanggal 16 April 2011) (kemudian ini dipastikan sebagai Muhammad Syarif pada tanggal 17 April 2011 : pen.). Pelaku disinyalir sebagai orang yang sering mengikuti kegiatan-kegiatan demonstrasi anti Ahmadiyah dan jadi anggota salah satu kelompok garis keras (kemudian ini dibantah oleh salah seorang pengurus kelompok yang dituding : pen).”


"Bulan Juli 2002, setelah Zuhur menjelang Ashar. Saeed Hotari meledakkan dirinya bersama bom yang dipasang disekujur tubuhnya…… 21 tentara Israel tewas. Kemudian, para tetangga Saeed Hotari dengan bangga memasang gambarnya yang memegang dinamit ditangan kiri, senjata laras panjang di tangan kanan dan kafiyeh dikepala disetiap sudut pintu rumah mereka. Tanyalah apa cita-cita anak-anak tetangga Saeed Hotari ? Jawaban mereka : "Ingin seperti Saeed Hotari, kelak". Bagaimana dengan reaksi ayah Saed Hotari, Hassan Hotari ? Jawaban sang ayah : "Jujur saya katakan, saya iri dengan apa yang dilakukan oleh anak saya". (Kompas dari USA Today, 29 Nopember 2002/diunggah kembali tanggal 16 April 2011)
.

Pada tahun 2002 tersebut, intensitas konflik di daerah Israel-Palestina sangat tinggi. Dalam laporan USA Today, pada tahun 2002 telah terjadi 14 kali peristiwa bom bunuh diri, dan mayoritas dilakukan oleh pemuda berumur antara 19 hingga 42 tahun.


Namanya Hanadia, 22 Tahun, Intelek, lulusan terbaik jurusan Arsitektur Cambridge University, cantik dengan hidung mancung. Lama hidup di Inggris. Suatu ketika ia pulang ke kampung halamannya, Haifa Palestina. Hanadia terperangah melihat bangsanya diperlakukan secara keji oleh Israel. Terjadi revolusi pemikiran. Pada suatu malam, setelah ia menamatkan al-Qur'an dan bersujud di depan orang tuanya yang tidak memahami maksud anaknya, ia kemudian memakai rompi penuh dengan bom….. dan kemudian berjalan menuju kafe tempat tentara Israel melepaskan kepenatan di pinggiran kota Haifa. Besoknya berbagai surat kabar memuat berita : "Telah terjadi Bom Bunuh Diri yang mengakibatkan 19 orang tentara Israel tewas". Pelakunya : Hanadia, sang arsitek cantik tamatan Cambridge (Dikutip bebas dari Media Indonesia, 12 Januari 2003/diunggah kembali cc. mediaindonesia.com tanggal 16 April 2011).


Jauh sebelum itu, tradisi dan perilaku bom bunuh diri juga terjadi di negeri Sri Langka, tepatnya di daerah Tamil Nadu yang mayoritas dihuni etnis Tamil beragama Hindu. Karena merasa kekuatan personil dan finansial jauh kalah dibandingkan dengan kekuatan pemerintah Srilangka (baca : etnik Sinhala), maka jalan terbaik menurut sang pemimpin Tamil Eelam adalah merekrut dan mendoktrin kalangan muda Tamil Nadu untuk mau jadi martir. Asumsinya, pemerintah Sri Langka akan bisa berkompromi untuk membicarakan kemerdekaan Tamil Nadu. Momentum kedatangan Rajiv Gandhi, PM India, tokoh yang pada awalnya menjadi fasilitator konflik Sri Langka tersebut dijadikan sebagai target utama Prabhakaran untuk memberikan efek politik dan psikologis bagi Sri Langka dan dunia.


"Prabhakaran, sang pemimpin kharismatis Kempok Separatis Tamil Eelam berkata pada Devi Sarivati : "Dalam baju kamu itu terpasang bom…. Ledakkan nanti setelah kamu memeluk Rajiv Gandhi. Apabila bom tidak meledak, kamu tertangkap, maka tugas selanjutnya adalah segera minum racun syanida, mengerti?". Besoknya, sang PM India Rajiv Gandhi yang sedang mengusahakan perdamaian antara etnis Sinhala dengan Tamil di Srilangka, mati ……… karena bom bunuh diri". (Dikutip bebas dari Majalah Tempo tanggal 12 Juni 1995/diunggah kembali tanggal 16 April 2011 cc. tempointeraktif.com).


Kawasan Asia Tenggara tidak memiliki akar budaya terorisme, apalagi tradisi bom bunuh diri. Namun memasuki abad 21 Masehi, Asia Tenggara telah menjadi centre terorisme, bukan lagi phery-phery. Dan sejarah kemudian mengenal, tokoh-tokohnya adalah individu yang keras, radikal dan militan.


"Janganlah dinda bimbang, saya berjuang di jalan Allah. Saya yakin, apabila saya mati, maka matinya saya adalah mati syahid dan akan membawa 70 anggota keluarga ke surga (Surat DR. Azahari buat Istrinya Noraini Jacoob, dikutip dari www.detik.com/diunggah kembali tanggal 16 April 2011)


"Jaksa Agung Abdurrahman Saleh mengatakan bahwa waktu eksekusi mati terhadap Imam Samudera dan kawan-kawan tergantung dari permohonan grasi yang mereka ajukan. Memang Imam Samudera dan kawan-kawannya tidak mengajukan grasi, tapi kita berharap keluarga mereka yang mengajukan grasi, kata bekas Hakim Agung ini. Lantas apa kata Imam Samudera ? "Saya tidak akan mengajukan grasi, demikian juga keluarga saya. Bagi saya, dipercepat eksekusi tersebut, itu lebih baik". (Dikutip dari www.tempointeraktif.com, tanggal 12 Oktober 2005/diunggah kembali tanggal 16 April 2011).


Martin Heidegger, sang filosof asal Bavaria Jerman mengatakan bahwa hidup manusia sebenarnya tengah mengarah kepada kematian. Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kematian bukanlah akhir daripada perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud yang berstruktur secara materi. Karena roh bukanlah materi, maka ia tidak akan terkena pada hukum kehancuran.1 Konsep dan keyakinan hidup setelah mati ini mendapat tempat yang kokoh dalam tradisi agama-agama besar dunia. Mati bukanlah sebuah terminasi, tetapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru.
Oleh karena itu, mereka yang ketika masih hidup menanam kebaikan, maka kematian baginya adalah sebuah gerbang yang membawanya memasuki kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan kebahagian sejati. Itulah yang diyakinkan pada para calon pengebom bunuh diri. "Mohon maaf nek, saya melakukan ini agar saya bisa masuk sorga dengan membawa keluarga kita", demikian kata Misno (salah seorang tersangka pengebom bunuh diri di R.Aja's Café Bali dalam rekaman CD. Lewat sebuah indoktrinasi, kata Emille Durkheim, mereka diyakinkan bahwa taman Firdaus terhampar setelah mereka mengorbankan diri mereka demi orang lain.3 Atau dalam bahasa lain, sorga terhampar luas dibalik detonator sehingga kematian akan terasa tidak lebih dari sekedar cubitan. Lebih kurang 27 kali terjadi bom bunuh diri di Israel-Palestina oleh pemuda Palestina sejak tahun 2002 hingga 2004, 19 kali bom bunuh diri di Irak pada tahun 2005 hingga bulan Agustus dan sekian kali di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini. Beragam komentar dan pendapat dilontarkan oleh berbagai kalangan untuk menelaah fenomena (sosiologis) ini. Dari beragam pendapat tersebut, tidak didapatkan satu kesimpulan tunggal mengenai penyebab terjadinya fenomena bom bunuh diri ini. Beberapa pertanyaan yang mengedepan antara lain : Mengapa "mereka" mau mengorbankan diri mereka? Nilai-nilai apa yang mereka perjuangkan? Mengapa melibatkan banyak pemuda? Mengapa melibatkan mayoritas orang-orang yang anti-sosial? Mengapa melibatkan Islam garis keras ? Mengapa fenomena ini kemudian merembet ke kawasan yang tidak memiliki akar kultural seperti di Indonesia?

Dalam konteks ini, jiwa martyrdom (lebih kurang berarti : kesyahidan) ini menurut John Hamling dalam bukunya The Mind of Suicide terdapat paling kurang a delapan hal yang mendorong seseorang berani dan mau berkorban, bahkan mengorbankan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan nilai-nilai humanis dan luhur agama dan "pakem" rasional yang terdapat dalam tata peradaban ummat manusia modern yaitu :

1. Keputusasaan dan Kehilangan Harapan (Hopeless).

Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today terhadap anak-anak Palestina menjelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter O'Gonnor White2 terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia.

Menurut White, sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid.

Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar".3 Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror (konsep ini bertendensi negatif : pen.) yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro.4 Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs.

2. Cinta dan Investasi

Demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya.

Surat-Surat Cinta DR. Azahari kepada istrinya terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Devi Saripati (Tamil), Hanadia (Palestina), Ayip Firdaus (Bom Bali II) dan Misno (Bom Bali II). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".5

3. Faktor Kepahlawanan (heroisme) dan Inspirasi.

Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Pada malam sebelum ia ditembak mati, Jose Rizal menulis puisi yang salah satu bait dari puisinya tersebut adalah : "Kematianku untuk Tanah Airku, Kematianku untuk Bangsaku". Kalimat ini kemudian menjadi inspirasi luar biasa bagi perlawanan bangsa Filiphina pasca kematian Jose Rizal.6 Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia : "kematianku bukanlah sebuah kekakalahan dan ketakutanku. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang".7 Penggalan tulisan koran diatas tentang Saeed Hotari memperkuat asumsi ini : "begitu idealnya Saeed Hotari dimata anak-anak tetangganya bahkan mereka bercita-cita untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Hotari, kelak". Suatu ketika Lembaga Survey Indonesia (LSI) pernah melakukan penelitian tentang Islam Politik dan Politik Islam. Ada salah satu item pertanyaan yang dikhususkan kepada ummat Islam Indonesia tentang Radikalisme Islam di Indonesia yaitu : "bagaimana pendapat saudara tentang tindakan yang dilakukan oleh Amrozi cs.?". Jawabannya : 14,17 % menyetujui dan dianggap sebagai sumber inspirasi.7 Woow, menakutkan.

4. Kebanggaan Individual-Komunal.

Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Salah seorang wartawan perang CNN terkenal, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam". Bagi kultur dan kondisi kontekstual-temporal Iran pada waktu itu, ini sangat membanggakan. Bagaimana dengan fenomena di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Menurut laporan dari www.detik.com, prosesi penguburan DR. Azahari di Melaka diikuti oleh ratusan pelayat. Memang banyak yang menyesalkan tindakan DR. Fisika ini tapi tidak menghujat.

5. Eskapisme

Eskapisme, menurut kajian psikoanalisis, adalah keadaan memasuki alam khayal/hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan yang tidak menggembirakan. Terkadang kematian dilihat sebagai pilihan terbaik dan terakhir yang amat menyedihkan ataupun kemalangan yang baik. Misalnya, untuk menghindari diri agar tidak ditangkap musuh untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti penyiksaan dan penghinaan, maka diambillah pilihan terakhir untuk melakukan bom bunuh diri. Dalam konteks ini, mungkin tidak begitu banyak pelaku bom bunuh diri melakukan tindakan bom bunuh diri karena faktor ini. Tapi kasus DR. Azhari yang kemana-mana selalu membawa bom dalam rompinya bisa dipahami. Sebelumnya, DR. Azahari telah dianggap sebagai Target Operasi Terdepan Pemerintah Indonesia (Bukan lagi Polisi, tapi sudah Pemerintah dan Negara Indonesia). Mungkin menyadari hal ini, daripada ditangkap hidup-hidup -- dan hal ini hampir dilakukan oleh Polisi Indonesia, tapi karena pertimbangan bahwa DR. Azahari diasumsikan membawa bom dalam rompinya sedangkan pada waktu penggerebekan pertama DR. Azahari berada ditengah-tengah masyarakat dan dikhawatirkan banyak korban yang akan tewas apabila DR. Azahari meledakkan dirinya -- DR. Azahari lebih merasa "aman" memakai rompi yang terdapat di dalamnya bom.

6. Kegilaan

Ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan seperti fenomena David Koresh di Amerika Serikat dan beberapa peristiwa tragis lainnya yang berakhir dengan ritual bunuh diri para pengikutnya.

7. Fanatisme

Fanatisme merupakan sistem kepercayaan yang kaku, keras atau berpandangan sempit, meuntut para penganutnya untuk mengorbankan diri. Beberapa pernyataan yang dipaparkan diawal tulisan diatas terlihat bagaimana mereka memahami ajaran Islam secara sempit dan parsial. Mereka menganggap pemahaman merekalah yang benar, sehingga tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif (19-11-2005) dalam wawancara eksklusif di Liputan Petang SCTV mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang hanya berani mati, akan tetapi tidak berani hidup. Mereka hanya memahami ajaran Islam secara parsial dan menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan kepentingan dan misi ideologi mereka sendiri. Sayangnya, demikian kata Maarif, pelaku bom bunuh diri tersebut mayoritas adalah mereka yang memiliki pendidikan yang rendah dan tingkat ekonomi yang tidak begitu mapan, sehingga mereka mudah direcoki dengan pemahaman-pemahaman yang salah dan pada akhirnya menimbulkan rasa fanatisme yang tinggi dan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut merupakan sesuatu yang benar dan sesuatu yang harus dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual.

8. Ketenangan atau Ketenteraman

Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi (ini bisa dipahami ketika kita melihat kasus Devi Saravati diatas). Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.

Sebuah Epilog : Bagaimana Antisipasinya ?

Dalam makalah ini, saya akan mengemukakan beberapa pendapat dari beberapa ilmuan dan tokoh Islam Indonesia bagaimana caranya mengantisipasi fenomena terorisme, bahkan bagaimana mengantisipasi fenomena puncak dari terorisme tersebut : Bom Bunuh Diri. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?

Ahmad Syafi’ie Ma’arief berpendapat bahwa untuk kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Sementara itu, Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa terorisme dan perilaku bom bunuh diri bukan budaya masyarakat Indonesia. Namun bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh LSI tentang Islam politik secara implisit juga membuat kesimpulan bahwa ada sebagian masyarakat Islam di Indonesia mau "mentolerir" tindakan Amrozi Cs. karena mereka beranggapan bahwa ummat Islam yang mayoritas dalam sejarah selalu dirugikan secara politik. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.


1 Anton Baker, Martin Heidegger, Jakarta: Penerbit Kanisius, 1999, hal. 6

3 Emille Durkheim pernah meneliti tentang fenomena bunuh diri yang kemudian melahirkan teori altruisme dalam bukunya yang bertitelkan suicide. Lihat Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Jakarta: Rajawali Press, 1997

2 Lebih lanjut lihat www.ceylon.com/tamil_nadu/html (tanpa tanggal)

3 www.bbc_london.com tanggal 15 Oktober 2004

4 Ada perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September itu, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Perjalanan diaspora (istilah ini aslinya bagi kaum Yahudi ketika tersebar di Eropa) adalah fenomena sui generis, masing-masing mengisyaratkan suatu momentum zaman. Tak bisa disamaratakan di segala ruang dan waktu. Kancah, pendeknya, bukan sekedar ajang geografis. Ketika sebuah cita-cita dilekatkan padanya, dia bermakna suatu cause. Usamah dan sejenisnya, dengan 'LSM' Yayasan Al-Qaida, seharusnya juga memiliki cause yang jelas. Ternyata, tidak. Usamah, alias Mister Bean versi teroris ini, mengaku berjuang untuk Islam -- mungkin, maksudnya demi kehidupan Arab yang Islami. Tetapi para pakar Timur Tengah menunjuk bahwa nama agama itu disandang oleh Usamah ke mana-mana, keluar masuk goa, bak menyandang jubah untuk menjadikannya magnit politik untuk menggalang ummat. Apa pun jubah itu, Usamah bermimpi mewujudkan cita-cita kuno yang telah di-jubah-kannya, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana jubah itu ingin diwujudkannya.

Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Dia pun tak merasa perlu memberi acuan geografis atau negara mana pun. Boleh jadi, dia tak punya cause yang jelas. Dengan kata lain, perbedaan antara perantau Usamah dan sejenisnya di satu pihak, dan perantau-pejuang sejenis Tan Malaka di lain pihak, bukan sekedar siapa teroris dan siapa pejuang. Setiap protagonis tentu akan berkata kepada lawannya bahwa teroris-mu adalah pejuang-ku. Kita tahu, teror juga adalah sebuah sarana dari kekuasaan negara. Dan terbukti, kekerasan politik yang paling besar dan efektif, selalu bersumber dari lembaga negara (Holocaust-nya Hitler, Gulag-nya Stalin, Orde Baru-nya Suharto). Sekarang Amerika menteror rakyat Afganistan dengan bom, untuk memburu Usamah dan Al-Qaida. Kadang, teror negara berubah. Dia tak perlu selalu monopoli negara, tapi bisa menjadi simbiose, perkawinan kepentingan, dari sejumlah unsur kekuasaan negara dan sekelompok warga masyarakat. Contohnya, tentu saja, Usamah bin Ladin dan Al-Qaida-nya. Dia berubah jadi Islamis dan teroris global ketika dia bekerja-sama dan disponsori oleh dinas intelejen militer Pakistan I.S.I, rejim Taliban dan unsur-unsur Saudi dan dinas intelejen Amerika CIA pada 1980-an, lalu berbalik melawan Amerika dan Saudi pada saat Saudi menjadi pangkalan Amerika untuk menggempur Irak awal 1990-an. Usamah, seperti Tan Malaka, adalah seorang Muslim yang giat membangun jaringan politik global dimanapun dia berada. Bedanya, Usamah sejak berhenti mabuk, berubah jadi Islamis, lalu ketika pasukan Soviet terusir dari Afganistan pada 1989, Usamah menganggap perjuangan itu sebagai kemenangan "Islam" yang pertama terhadap "Barat", setelah "Islam" terus menerus kalah dan kalah selama berabad-abad. Sejak itu, baginya, kemenangan "Islam" harus diglobalkan tanpa pandang bulu sikon dan konteks. Jadi, cause-nya serampangan. Tan Malaka, pada jaman yang berbeda, menjadi pejuang global ketika menginsyafi kebangkitan bangsa-bangsa Asia di pentas dunia awal 1900an. Dia seorang Muslim yang tidak fanatik, seorang kosmopolit yang menguasai bahasa-bahasa Eropa, Cina dan Tagalog, seorang Marxis yang memahami sejarah dan masyarakat, tetapi, pertama-tama, dia adalah seorang pejuang anti-imperialis global, yang membangun jaringan politik di Eropa, Shanghai, Bangkok, Manila dan di Jawa. Cause-nya gamblang.

Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeiny pun, pola Usamah amat berbeda dan terbelakang. Khomeiny punya target yang spesifik (Iran), Usamah tidak. Ketika Ayatullah Ruhollah Khomeiny meninggalkan pengasingannya di Perancis pada 1979 dan kembali ke Iran, negerinya sudah bergelora revolusi Islam-Iran yang dipimpin oleh kaum Mullah dan kelas-kelas menengah, untuk melawan rezim Syah Pahlevi yang despotik. Khomeiny tidak menyulut api di rantau lantas otomatis terjadi kebakaran besar. Usamah memutar-balik logika itu seolah-olah dia --atau siapa pun-- bisa menyalakan revolusi di mana saja tanpa perlu suatu momentum revolusioner. Itulah sebabnya, Usamah dan gerakannya hanya akan membuat teror dan kerusuhan, tetapi tak akan mampu memotori suatu perlawanan rakyat. Walhasil, perbedaan yang paling bermakna -- bagi Usamah dan sejenisnya-- adalah kancah itu tak membutuhkan batasan dan acuan geografis, jangka waktu, program sosial, atau apapun. Cause-nya tak jelas. Baginya, jubah itu bisa diwujudkan di mana saja dan kapan saja. Artinya, konsepnya itu anti-historis dan anti-sosiologis. Dan metode untuk mencapainya --jaringan teror-- tak bersosok dan tak beridentitas. Usamah bukan seorang nasionalis. Dia melangkah lebih jauh lagi, dengan berpretensi universal dan membajak sebuah agama untuk menggelar suatu perjuangandemi perubahan besar, tanpa menetapkan tujuan, target sosial, dan batasan ruangnya. Dengan transformasi wacana ini, dan dengan menggebrak adidaya di kandang sendiri pada 11 September, para terorisnya Usamah menggedor sejarah, untuk menyampaikan pesan tentang sebuah cita-cita yang anti-historis. Mereka berangkat dari kategori berpikir bipolar yang sederhana : kami versus mereka, dan memakai metode jaringan teror tak bersosok (invisible). Sebagai pelaku politik diaspora, Usamah cum suis telah jauh melampaui Tan Malaka pada 1920-an dan para perantau nasionalis Sikh atau Irlandia pada 1980-an. Kaum diaspora, dengan ragam misinya, sejak mula sudah bermain global. Usamah cuma menambahnya dengan mengglobalkan teror. Sementara penguasa di Amerika Serikat memperluas daftar teroris yang resmi dicurigai. Dan di Eropa, yang kini berpenduduk migran Muslim sekitar 10 jutaan, organisasi organisasi kaum diaspora makin diamati. Ulah Usamah cum suis , jelas, dampaknya besar dan berbahaya bagi demokrasi dan pluralisme, tetapi juga bisa menjadi dalih bagi penguasa negara mana pun untuk menekan hak-hak sipil warganya. Lebih lanjut lihat Muhammad Ilham, "Terorisme dan Perantau", dalam Haluan tanggal 12 Februari 2005

5 Lebih lanjut lihat www.detik.com tanggal 17 Nopember 2005

6 Mohammad Nazreen Hj. Azlan, Maphilindo, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997, hal. 83

7 Lebih detail, lihat film "The Lion of Desert" yang dibintangi oleh aktor watak Hollywood Anthony Queen. Kepahlawan dan inspirasi terhadap perilaku menyimpang yang dijustifikasi oleh ajaran agama (menurut versi mereka) akan tetapi dianggap sebagai peristiwa heroik dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan pada masa depan. Kematian Azhari, justru dianggap sebagai sumber ispirasi. Kematian Azhari bahkan ditakutkan akan meninggalkan Azharisme, demikian kata Kabil Azhar, "Azharisme dan Topiisme" dalam Harian Umum Kompas tanggal 16 Nopember 2005.

7 Lihat www.lsi.or.id (tanpa tanggal)


Makalah ini adalah salah satu makalah yang dipresentasikan dalam diskusi dosen FIBA IAIN Padang tentang "Terorisme, Konspirasi Global dan Fenomena Sosiologis Radikalisme"