Sabtu, 28 Agustus 2010

Ketegangan Indonesia - Malaysia : "Dari Wawancara Datuk Seri Anwar Ibrahim"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Agar rakyat Indonesia mengerti, di Malaysia masih ada yang mencintai saudara serumpun (Anwar Ibrahim)

Apa sebenarnya yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia? Mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim menilai, ketegangan terjadi saat ini sudah akut. Ini adalah sebuah bentuk akumulasi dari berbagai permasalahan yang berlarut. “Sudah sampai pada tingkat massa, ini sudah tidak sehat,” kata Anwar Ibrahim. Menurut dia, betapapun ketegangan itu ada dan terjadi, kepentingan dua bangsa tak boleh dikorbankan. Lalu, mengapa kedua negeri serumpun ini akan merugi jika konflik berlarut? Berikut petikan wawancara Anwar Ibrahim :

Hubungan Indonesia-Malaysia makin panas. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Saya berpendapat, bahwa tension [ketegangan] sudah berlarut-larut, dari soal budaya hingga soal TKI. Dan kini soal sempadan [batas wilayah], juga marine [kelautan]. Saya mendesak pimpinan dua negara berunding menangani masalah itu, karena ini sudah sampai pada tingkat massa, ini sudah tidak sehat. Karena betapapun ketegangan itu ada, kepentingan negara yang sangat strategis tak boleh dikorbankan.

Sikap Anda soal pelemparan kotoran ke kantor Kedutaan Besar Malaysia?

Kedua rakyat [baik Malaysia dan Indonesia] tidak mendukung pendirian arogan itu. Pelemparan najis itu tidak wajar. Sekedar mengemukakan pandangan, memprotes, itu ya biasa dalam negara demokrasi. Walaupun di sini [di Malaysia] kurang mengerti, sebab di sini dilarang semua protes-protes. Mereka Yang disenangi pemerintah bisa, yang tidak, lain, dilarang semua, berbeda. Sudah diketahui saya punya pandangan yang relatif intim dengan Indonesia. Di sini disinggung seolah saya senang dengan sikap itu [Bendera], tapi tidak benar. Bagi saya soal hubungan dua negara harus mengatasi kepentingan politik fraksi. Yang malang, pimpinan negara agak slow menangani, dibiarkan gitu makanya parah. Ini persoalan yang harus ditangani dengan rujuk fakta. Kepala negara, wakil, atau pimpinan penting utama harus segera menangani. Soal sempadan, TKI, ini soal lama, saya ingat terus. Dalam hubungan dulu dengan Pak Habibie [Presiden RI, BJ Habibie] saya direct call dengan Pak Habibie, harus begitu.

Apa persepsi warga Malaysia terhadap konflik ini?

Belum merebak. Cuma ada satu pihak, media main sentimen soal isu najis sebagai isu besar meski hanya melibatkan sejumlah kecil orang di Indonesia. Saya juga melihat di koran, dari liputan televisi, banyak yang tidak senang dengan itu. Saya sebagai sahabat sejati Indonesia, saya pun berfikir demikian. Sebab, kalau konflik ini diteruskan, hanya menguntungkan buat yang arogan.

Siapa pihak arogan yang dimaksud?

Kalangan yang tidak senang atau yang mengambil suatu penilaian tidak baik, atau tidak senang dengan hubungan baik dua negara.

Konflik sudah lama terjadi, bukan kali ini saja. Apa sebenarnya persoalan dasar antara Indonesia-Malaysia?

Saya tekankan, ini isu panjang, horizontal. Terutama isu soal TKI, itu sentral. Bahwa TKI harus diperlakukan baik, ada political will. Persepsi orang Indonesia saya tahu benar, bahwa pimpinan atau elit Malaysia selalu arogan. Ini terkungkung kenyataan, [kondisi] di sini tidak juga membantu. Akhirnya timbul reaksi yang memicu ketegangan. Panjang ceritanya, tapi pokoknya, pimpinan harus segera bertindak. Bukan berperang tapi untuk runding. Untuk media massa, Indonesia yang menganut demokrasi, aturan media bebas. Di sini liputan media dikontrol pemerintah, lain. Perbedaan boleh [bisa], tapi kali ini yang bisa kita selesaikan, kita selesaikan.

Apa yang harus dilakukan rakyat untuk menyikapi isu sensitif ini?

Pandangan saya tidak sama dengan pemerintah, pandangan saya berbeda dan kritis. Pesan saya kepada rakyat Indonesia, tunduklah pada hukum. Kalau ada pelanggaran, harus konsisten, negara harus menyelesaikannya. Supaya rakyat Indonesia mengerti, ada kalangan [di Malaysia] yang mencintai saudara serumpun. Mereka bisa protes, itu hak demokrasi, tapi kawal tata susila. Ini pernyataan orang yang simpati dengan Indonesia. Kalau Anda lihat di sini, tiap kali disinggung, baik di parlemen di luar parlemen–Anwar ini tidak nasionalis, dikatakan pro sana pro sini, saya tidak peduli, karena pendirian saya [soal Indonesia] konsisten. Di kalangan UMNO, dikatakan saya senang [jika ada konflik], provokator. Buat saya ya itu politik murahan.

Sikap Anda yang simpati pada Indonesia dipermasalahkan?

Ya, secara terbuka oleh banyak menteri, parlemen, juga masyarakat luas. Saya mewakili pandangan yang mau Indonesia dan Malaysia lebih akrab. Kita dulu amat membutuhkan Indonesia. Saya masih ingat perundingan dengan Pak Harto, "Pak tolong pak soal ini, kita merayu ke negeri jiran, banyak kawan berikan". Penghinaan terhadap bendera Malaysia justru akan digunakan [oleh pihak lain], yang rugi kan rakyat, seperti kami yang menghendaki demokrasi. Mereka akan bilang,”itu kamu mau demokrasi, demokrasi itu bakar bendera.” Padahal itu tidak benar. Itu digunakan tangan tertentu untuk ‘memukul’ kami.

Beredar spekulasi ada kepentingan politik menggunakan isu ini sebagai alat. Misalnya kekuatan politik di Indonesia, atau di Malaysia yang popularitasnya sedang turun. Benarkah?

Ada juga tafsiran itu, ada kesan soal internal --mereka sengaja mengabdikan ini seolah ada serangan, gugat. Saya lihat mainan spirit, survival Melayu yang keterlaluan, rasis. Isu ini dieksploitasi, termasuk isu konflik dengan Indonesia. Tapi saya tidak mendapat keterangan atau informasi soal yang jelas soal itu. Yang mampu saya katakan, bahwa media UMNO sengaja mengaktifkan isu ini. Namun apapun, yang terpenting, kepentingan dua negara jauh lebih penting. Ini yang saya tekankan.

:: Ditulis ulang dari VIVAnews/27 Agustus 2010 - Foto dari www.google.com dan Ilham FB

Kamis, 19 Agustus 2010

"Penggalan" Thesis Tan Malaka (10 Juni 1946)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Colombus tidak akan sampai ke Amerika, kalau Ia bergantung pada pengetahuan yang sudah pasti, yang sudah di uji kebenarannya saja. Dia akan berbalik setengah pelayaran setelah menemui mara bahaya, kalau Ia cuma bergantung kepada teorinya ahli bumi Toscanelli saja.


Seorang nakhoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari pelabuhan. Taufan yang mengancam di waktu depan, bisa menyebabkan kapal itu menunda perjalanannya atau juga memukul kembali atau membelokkan pelayarannya ke kiri-kanannya bahkan juga memukul kembali ataupun menenggelamkan kapal itu. Syukurlah kalau nachodanya berpengalaman lama serta mengetahui karang dan gerakan udara dilautan yang di tempuh, kini ataupun di hari depan. Tetapi tiadalah dunia akan mendapat kemajuan seperti sekarang, kalau semua nachoda tidak mau berangkat sebelum keadaan udara laut dan cuaca sungguh di ketahui lebih dahulu.

Semangat adventure, mencoba-coba sesuatu yang mengandung bahaya mautpun mesti dilakukan. Berbahagialah suatu negara dan masyarakatnya yang mempunyai semangat adventure itu. Memang lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita di tebus oleh jiwa yang bersemangat adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan semua cabang ilmu. Dalam revolusi Indonesia sekarang banyak jalan yang belum kita ketahui. Semua jalan masih kedepan asinglah buat kita. Berjalan ke depan berarti adventure, percobaan yang mungkin membawa maut. Perjalanan yang pasti cuma perjalanan ke belakang, yakni kembali kejalan yang kita jalani 350 tahun belakangan ini. Artinya ini kembali mencari jalan penjajahan, kembali menjadi budak jajahan…..berkhianat, kepada turunan sekarang dan anak cucu. Inilah saja sekarang jalan yang pasti terang.

Bahwasanya perjalanan masyarakat kita terutama berarti perjalanan politik ekonomi sebagai garis besarnya. Garis besar dalam politik-ekonomi kita sebagai raitnya masyarakat Indonesia, dalam dunia penuh pertentangan ini, mungkin bertentangan dengan garis besarnya politik-ekonomi negara lain ialah negara kapitalis. Mungkin garis besar kita terpaksa memutar dari garis besar politik-ekonominya negara lain, mungkin mem-viaduci atau menyelundupi kebawah satu terowongan. Bagaimanapun juga ahli politik ekonomilah yang berhak menentukan garis besar dalam perjalanan politik-ekonomi masyarakat Indonesia dalam revolusi sekarang ini.

Timbulnya satu golongan yang bangga menamai dirinya "acedemice" di Indonesia ini sudah mulai memonopoli semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu. Di Philipina dan Hindustan, memang percobaan memonopoli itu sudah memperlihatkan hasilnya. Disana sudah masuk betul paham diantara segolongan rakyat, bahwa umpamanya yang memimpin politik itu harusnya satu Mr dan memimpin ekonomi itu mesti suatu Dr dalam ekonomi. Kalau kita ikuti logika semacam itu, jadinya seorang leek bukan bertitel tidak boleh meraba-raba ilmu. Selanjutnya pula seorang Drs (yang baru 75% atau 75 ½% Dr) dalam ekonomi mestinya takluk pula pada seorang Profesor dalam ekonomi. Jadi menurut pikiran pasar "The men on the street" dengan logika semacam ini kalau seorang Drs (ekonomi) umpamanya menulis 3 buku, maka sorang Dr (ekonomi) mesti sekurangnya menulis 4 buku dan satu Profesor jauh lebih banyak dari yang di belakang ini. Dilaksanakan di Indonesia ini, kalau ahli ekonomi kita yang sudah "diakui" itu ialah Drs Moh. Hatta menulis setengah lusin buku tentang ekonomi, maka Dr Samsi mestinya menulis sekurangnya 9 buku dan Prof. Sunario Kolopaking selusin ataupun lebih. Dalam hal politik para Mr-lah yang mesti memimpin politik kita sekarang, ialah menurut logika pasar tadi juga. Tetapi apakah bukti yang kita lihat?

Sedangkan Drs (75% atau 75 ½% Dr) Moh. Hatta menulis lebih setengah lusin, Dr Samsi dan Prof. Sunario Kolopaking sedikit sekali kelihatan buah penanya. Sedangkan di dunia politik Mr Iwa Koesoema Soemantri umpamanya sedikit terdengar suaranya dan cuma dalam kalangan P.B.I-nya saja, tetapi warganegaranya sejawat kita Mr Slamet, sudah sampai suaranya ke "Sri" Ratu dan seluruh rakyat Nederland serta dunia Imperialis lainnya. Demikianlah kalau kita ikuti paham yang di masukkan oleh Imperialisme Barat. Menurut paham itu kalau diambil akibatnya, maka yang bertitel itulah saja yang berhak merundingkan dan memimpin perkara ini atau itu. Yang tidak mepunyai "cap" dari sekolah akademi Barat itu menurut kehendak mereka janganlah di percayai. Tidak ada yang lebih dikenal oleh penyakit ke-akademinya itu daripada sosial science, termasuk ilmu masyarakat itu pula.

Kita membenarkan sama sekali keperluan latihan akademi dalam ilmu seperti kimia, listrik, dan tehnik. Tetapi inipun tidak berarti bahwa yang ulung dan berhak bersuara dalam ilmu semacam itu mestinya hanya keluaran akademi saja. Cukuplah disini disebutkan bahwa pembikin beberapa teori yang amat berharga dalam hal listrik di jaman listrik ini seperti Michael Faraday Cuma keluaran sekolah sebenggol (rendah) saja. Thomas Edison, penemu (inventor) listrik diusir oleh gurunya dari kelas satu atau dua di sekolah rendah tadi pula karena…..bodoh. Penuh contoh lain-lain dalam ilmu seperti tersebut diatas: tehnik, kimia, matematika ataupun BIOLOGY. Banyak ilmu yang dijalani dan teori penting yang dibentuk oleh hokum akademicia. Sebaliknya banyak pula contoh yang membuktikan bahwa akademici itu Cuma tukang hafal saja, tukang "catut" ilmu orang lain saja. Semuanya membuktikan bahwa "title" itu Cuma satu surat "pas" saja dalam dunia kecerdasan, bukanlah kecerdasan sendiri! Apalagi dalam ilmu masyarakat, seperti politik dan ekonomi.

(c) Madilog/Penerbit Murba Jakarta

Selasa, 17 Agustus 2010

Kenalkan, Nama Saya Sekarmadji Maridjan KARTOSOEWIRJO

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ayahnya adalah, menurut Van Dijk, "mantri penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah". Dan sekolahnya pun sekuler : Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan kemudian NIAS-sekolah dokter Jawa. Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru dikenal sebagai bagian penting dari pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara Islam.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan. Kesan "nonsantri" ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis "golongan agama"-yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang Konstituante (1956-1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang menyatakan sikap politiknya secara lebih tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau partai Islam "hanya" berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu memilih mendeklarasikan negara Islam.

Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang "bukan santri", kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui Sarekat Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan Tjokroaminoto sebagai mentor, Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga Suffah yang dibangunnya. Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo lebih bersifat institusional daripada substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, atau Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak melalui buku-buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong, seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.

Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia yang dia proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas situasi yang berkembang waktu itu. Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena Kartosoewirjo-yang ketika itu "memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat"-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu adalah ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda. Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.

Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan keadaan, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan Belanda-walaupun harus pula disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki kedalaman makna teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru selamat yang diridhoi Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan mistik, lengkap dengan keris dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang? Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat Indonesia-disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul seperti Kartosoewirjo, setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah. Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan mengenai negara Islam tidak mesti muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.

:: (c) Bakhtiar Effendi/Ditulis ulang dari "Edisi Khusus Kartosoewirjo" Majalah Tempo/Agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

Wawancara Shigetada Nishijima - Saksi Perumusan Naskah Proklamasi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Menjelang proklamasi kemerdekaan, Nishijima banyak membantu para pemuda, antara lain Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Elkana Lumban Tobing, B.M. Diah, Wikana, Pandu, dan lain-lain.

Nishijima adalah pribadi yang menarik. Dia seorang yang periang, ingatannya masih cemerlang, suaranya lantang, fasih berbahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Sebelum pendudukan Jepang, Nishijima tinggal di Jakarta, kemudian pindah ke Bandung sebagai pegawai di Toko Jepang, Chiyoda. Karena pergaulannya yang erat dengan para pemuda pejuang Indonesia menjelang pendudukan Jepang, pemerintah colonial Belanda menangkap Nishijima. Dia mendekam di kamp tahanan politik berpenghuni kira-kira 500 orang di Garut. Di antara tahanan itu ada Adam Malik, Asmara Hadi, S.K. Trimurti, dan lain-lain. Pada masa pendudukan Jepang, tangan kanan sekaligus penerjemah Laksamana Tadashi Maeda. Laksamana Tadashi Maeda dan Shigetada Nishijima telah sepakat, bertekad bulat untuk tidak menceritakan kepada Sekutu tentang keterlibatan mereka dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu. Alasannya antara lain untuk melindungi nama baik Republik Indonesia. Terlebih, Sekutu sudah mencium keterlibatan pihak Jepang. Sekutu menuduh bahwa Proklamasi itu adalah rekayasa pihak Jepang.

Berikut wawancara Basyral Hamidy Harahap dengan Shigetada Nishijima 10 Oktober 2000 di Meguro-ku, Tokyo.

Pak Nishijima, bagaimana sikap Laksamana Tadashi Maeda dan Pak Nishijima sendiri menghadapi tuduhan Sekutu tentang keterlibatan pihak Jepang dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus 1945?


Terus terang, Laksamana Muda T. Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bias mengecap RI itu sebagai bikinan Jepang. Pada akhir bulan Desember 1946, E.S. Pohan sebagai war crime's suspect, dipindahkan dari salah satu tempat ke penjara Gang Tengah. Dia dimasukkan ke double sel yang tadinya ditempati Tuan T. Maeda. Kemudian Tuan T. Maeda dipindahkan ke dalam sel saya. Memang ini adalah kesalahan dari pihak pengurus penjara. Karena Tuan T. Maeda dan saya masih belum diperiksa mengenai rapat dan kejadian di rumah Tuan T. Maeda. Kami berdua merasa amat senang. Kami berunding betul-betul sampai mana boleh terus terang dan mana harus tinggal diam saja mengenai perumusan naskah proklamasi.Karena pada waktu itu Belanda berusaha keras untuk mengecap Republik sebagai bikinan Jepang. Karena apa? Karena tanggalnya ditulis '05. '05 artinya artinya tahun Jepang, bukan '45. Biarpun pemeriksa berturut-turut empat hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. Umur saya waktu itu hamper 36 tahun dan masih bisa tahan.

Siapa saja yang duduk di meja bundar ketika merumuskan naskah Proklamasi itu?


(Sambil menggambarkan suasana di ruangan itu Nishijima berkisah). Di sini duduk Tuan Maeda, Tuan Sukarno, Tuan Hatta, Mr. Subarjo, saya sendiri, Tuan Yoshizumi, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat. Kami membicarakan bagaimana teks proklamasi. Pemuda ada di luar, antara lain Sukarni, Chairul Saleh dan yang lainnya. Pemuda meminta agar supaya teks itu bunyinya keras, artinya hebat. Padahal saya sendiri sebagai pihak Jepang, apalagi saya tahu sedikitnya international law bahwa jika pihak Jepang mengakui dan menyetujui teks itu, kita akan dimarahi oleh Sekutu. Jadi kata-kata itu harus dirumuskan. Sehingga ada perubahan-perubahan. Perubahan itu, tentang kata penyerahan, dikasihkan, atau diserahkan. Itu tidak bisa. Perebutan juga kita tidak mau mengakuinya. Sehingga di sini diadakan pemindahan kekuasaan. Sukarno sendiri menulis diselenggarakan. Pihak Indonesia tidak mengakui bahwa itu dicampuri oleh Jepang.

Apakah Pak Nishijima pernah menulis tentang peristiwa perumusan naskah Proklamasi itu?


Saya dan saudara Koichi Kishi sudah menerbitkan buku tentang pendudukan Jepang di Indonesia dalam bahasa Jepang berjudul Indonesia niokeru Nihon Gunsei no Kenkyu yang diterbitkan pada bulan Mei 1959. Soal perumusan juga tertera di dalam buku itu. Tidak kurang dari 100 tulisan ditambah televise BBC London dan NHK Tokyo yang menyiarkan keterlibatan saya dalam perumusan naskah Proklamasi.

Bagaimana pendapat Pak Nishijima tentang sikap pihak Indonesia yang tidak mengakui keterlibatan Jepang dalam penyusunan naskah Proklamasi itu?

Saya memahami perasaan pihak Indonesia bahwa soal proklamasi itu betul-betul peristiwa bersejarah. Jadi mereka tidak mau mengakui bahwa orang Jepang campur tangan dalam hal itu.

Bagaimana reaksi pemimpin-pemimpin Indonesia terhadap klarifikasi Pak Nishijima bahwa sebenarnya pihak Jepang mengambil bagian dalam perumusan Proklamasi itu?

Sampai sekarang saya tidak menerima "bantahan secara terbuka" dari pihak Indonesia, baik dari pelaku-pelaku maupun pemuda-pemuda atau pemimpin-pemimpin yang mengintip. Ada, Nyonya Satsuki Mishima, alamat 1-28-16, Bukomotomachi, Amagasaki-shi, telepon 064-31-2509. Dialah yang menyediakan makan sahur bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Saya Tanya kepadanya tentang berapa orang Jepang duduk di meja bundar bersama-sama Bung Karno, Drs. Hatta dan Mr.Subarjo. Dia menjawab tegas bahwa ada Laksamana T. Maeda, T. Yoshizumi, S. Nishijima, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat.

Sejauh mana Pak Nishijima mengenal Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, dan Ahmad Subarjo?


Saya mengenal Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta. Ketika itu pemuda begitu berkobar. Sehingga saya menjadi pengantara. Ketika itu saya sudah kenal baik sama Bung Karno dan Bung Hatta. Saya bersama-sama pergi ke Makassar pada masa perang. Jadi ketika itu saya terpaksa menjadi pengantara pemuda, Karni, dan Chairul Saleh. Bung Karno juga baik sekali sama saya. Adam Malik melihat saya sebagai saudara. Saya juga menganggap dia sebagai saudara. Dia bekas pejuang. Jadi saya menghargai betul.Mr. Subarjo adalah sahabat baik saya. Dia menulis surat kepada saya pada tanggal 18 Oktober 1954. Subarjo antara lain menulis, "Percayalah bahwa sampai mati saya tak akan lupa teman-teman di Jepang yang dengan hati suci dan sungguh-sungguh membantu kami dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hanya orang sedikit saja yang tahu menahu akan seluk-beluknya di sekitar Proklamasi. Dan, sudah barang biasa dalam sejarah dunia bahwa di belakang kejadian-kejadian yang sangat penting masih terbenam beberapa faktor-faktor yang tak diketahui oleh umum. Seperti dalam Proclamation of Independence daripada Amerika Serikat, baru saja belakangan hari ini diketahui bahwa bukan Thomas Jefferson yang merancangkannya, tetapi seorang bernama Thomas Paine yang menulis beberapa buku ilmu filsafat, seperti The Rights of Man. Baru 150 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Amerika, orang mulai mengetahui bahwaThomas Paine itu yang merancangkan kata-kata Declaration of Independence itu.

Maka dari itu, penting sekali kalau orang-orang seperti Tuan yang tahu betul seluk-beluknya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menulis feitennya (faktanya, penulis). Terserah kepada historicus yang akan dating untuk menulis dengan cara obyektif dan perasaan tanggung jawab terhadap kebenaran, bagaimana terjadinya Proklamasi kita iti." Itu yang ditulis Subarjo. Adam Malik sendiri pernah mengatakan kepada saya, 22 Desember 1976 di Hotel Takanawa Prince, Tokyo, "Saya dengar dari Sdr. Sukarni almarhum bahwa Sdr. Nishijima ikut serta merumuskan naskah proklamasi, dan saya mengerti sikap saudara yang menutup hal itu terhadap Belanda untuk menolong Republik," kata Adam Malik. Bung Karno juga mengakui bahwa orang-orang Jepang secara pribadi tidak sedikit yang ikut berjuang bersama-sama bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Untuk menghargai jasa-jasa mereka, khususnya Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro, pada tanggal 15 Februari 1958, ketika Bung Karno berada di Tokyo menyerahkan kepada saya teks sebuah prasasti untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo.

Sumber : Basyral Hamidy Harahap, Sekretaris Yayasan Adam Malik, Kompas 16 Agustus 2001 via Rofal ZepPelin's

Selasa, 10 Agustus 2010

Merantau : "Genuine Tradition of Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Tabuah (Ta'limat Budaya, Agama dan Sejarah Islam) Volume XIV Nomor 1 Tahun 2009/2010 yang diterbitkan oleh FIBA IAIN Padang.

Tersebutlah kisah bahwa sebelumnya raja dipercayai sebagai pemimpin yang tidak mempunyai keturunan sampai dia mati terbunuh. Namun di malam ketika raja terbunuh itu gundiknya meminum air mani raja sehingga dia mengandung dan melahirkan Raja Kecil. Setelah Raja Kecil lahir dia tidak diakui langsung sebagai seorang Pangeran yang akan melanjutkan silsilah kerajaan tetapi dia harus membuktikan kesatriaannya dengan mengembara dan kemudian kembali menakhlukkan kerajaan. Cerita yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sebenarnya dihadirkan untuk mengukuhkan keberadaan raja, peneliti-peneliti asing tentang melayu tidak mengakuinya sebagai sebuah sejarah sebagaimana rakyat setempat mempercayainya” (Secara umum, bagian ini dikutip dari “Raja Melawar”, melayuonline.com). Mereka (peneliti asing seperti C.C. Brown, C.C. Berg, Leonard Y Andaya, Virginia Matheson, Merle C Ricklefs, dan lain-lain) lebih mempercayai sebagai “omong besar” atau cerita yang dilebih-lebihkan. Walaupun mereka menyebutnya sebagai sejarah seperti Sejarah Johor, Sejarah Melayu, dan Sejarah Patani. Hal ini berkaitan dengan tradisi lisan masyarakat dalam mewariskan sejarahnya dan tradisi bercerita seperti bakaba di Minangkabau.

Lalu apa kaitannya dengan tradisi merantau yang konon kabarnya menjadi salah satu ciri orang Minang? Merantau, walau istilah baru, tidak selama kisah raja-raja Minangkabau yang memerintah di negeri orang itu, tetapi dalam berbagai kurun waktu tetap hadir dengan berbagai nama atau istilah yang ditempelkan kepada tradisi hijrah ke negeri lain untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik itu.
Merantau kalau ditelusuri akar sejarahnya akan bermuara pada kebudayaan nomaden nenek moyang manusia dalam mempertahankan hidup. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan umum masyarakat Minangkabau bahwa tidak ada manusia asli di bumi ini yang hadir mambasuik (muncul) dari bumi. Semua manusia dipercayai berasal dari Adam dan kemudian menjadi pengembara keseluruh penjuru dunia seiring perkembangan biakan manusia itu.

Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil.
Kehadiran Raja Kecil yang penuh mitos sebenarnya untuk mengukuhkan kekuasaannya dan menarik mayarakat untuk mendukungnya. Hal ini sama dengan banyak tokoh yang menyejarah seperti Bundo Kanduang, Iskandar Zulkarnain, Ken Arok, bahkan pemimpin-peminpin masa kini yang garis keturunannya tidak lepas dari orang-orang hebat. Dalam hal ini mitos dapat berfungsi untuk mengukuhkan jati diri seorang pemimpin dan hal ini sangat penting sekali dalam perantauan banyak orang.

Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa:
“Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”

Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.


Dalam konteks diataslah – edisi Jurnal Tabuah kali ini menurunkan artikel kunci, dalam hal ini Nelmawarni melalui artikelnya tentang Merantau. Kandidat Ph.D Sejarah Sosial di FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia ini berusaha membedah faktor-faktor mengapa masyarakat Minangkabau menjadikan merantau sebagai “genuine tradition”-nya. “Walaupun tak baru, namun jalan harus selalu ditempuh”, demikian Tolstoy. Walaupun tulisan Nelmawarni yang dijadikan sebagai tulisan kunci TABUAH kali ini (karena tradisi ini sudah banyak ditulis para pakar), namun setidaknya, tulisan Nelmawarni tersebut berusaha melengkapi sisi-sisi “kosong” yang selama ini tidak terlengkapi oleh penulis-penulis atau peneliti tentang Merantau terdahahulu.
Terlepas dari plus-minus artikel-artikel dalam TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini, keinginan untuk mentradisikan serta menumbuhkembangkan budaya tulis (sebagaimana yang menjadi spirit intelektualisme Islam Minangkabau), tetap terus dijaga. Semoga kehadiran TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini bermanfaat dan menjadi bahagian “kecil” dari usaha besar menjaga peradaban ummat Islam.

Menjaga Bulir-Bulir Bernas Peradaban Islam : Sebuah Pengantar

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Internasional Fikr wa Adab Volume 5 Nomor 9 Tahun 2009/2010 yang diterbitkan olehJabatan Pengajian Agama dan Tamaddun Islam Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor Darul Ehsan Malaysia dan FIBA IAIN Padang.

Peradaban ummat Islam pada masa dahulu pernah menjadi peradaban avant garde. Sumbu dan pusat sejarah terdepan ummat manusia pada masanya. Dan sejarah membuktikan, posisi terdepan peradaban ummat Islam tersebut muncul dengan gagah-berkualitas karena peradaban tersebut mampu menjadi wadah untuk bersemai dan berseminya bulir-bulir bernas intelektual, tanpa sekat, tanpa batas primordialisme maupun egoisme sektoral. Pada masa ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh sang filosof Muhammad Iqbal dalam khudi-nya bahwa peradaban Islam betul-betul merupakan peradaban universal dan tidak hanya terpaku kepada latar belakang munculnya ilmu tersebut. Pada masa tradisi Cordoba dan tradisi Baghdad, ilmu tidak memiliki nasionalisme. Sejak zaman Rasulullah SAW., peradaban Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya wilayah teritorial kekuasaan politik ummat Islam. Salah satu letak keunikan peradaban Islam yang berpusat pada al-Qur’an tersebut adalah keberanian dan kedinamisannya untuk keluar dari “relung sunyi habitat sosial mereka” dan kemudian menyerbu untuk keluar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab yang hidup dan terisolir di “belantara” gurun-gurun pasir tandus-gersang dan kemudian mengambil apa yang yang dapat diambil dari peradaban-peradaban tua yang telah menyejarah dan berevolusi selama ribuan tahun.

Dari Persia dan Byzantium, diambil bermacam-macam gaya upacara dan estetika-seni. Dari India, matematik dan ilmu perbintangan. Dari negeri “para dewa” Yunani, diambil antara lain filsafat dan logika. Dalam khazanah intelektual Islam, unsur-unsur yang diperoleh dari peradaban lain tersebut tidak hanya ditiru an sich tetapi ada improvisasi, ada pengembangan dan kemudian diberi perspektif dan aura keIslaman. Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik antara abad ke-VII hingga XIII Masehi tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di gurun pasir yang miskin lagi terpencil itu, seolah-olah tahu sekali bahwa yang pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan.
Pada saat ini sangat kentara sekali kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara manapun juga. Banyak muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catatan-catatan ini kemudian disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan secara massif kedalam bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Cairo menjadi sentra pemikiran dan penyelidikan bergengsi dan bermartabat pada zamannya.

Dibelahan peradaban Islam Timur Tengah, ilmu pengetahuan berhasil berkembang pada masa Khalifah Al-Mansur, harun al-Rasyid dan al-Makmum. Pada masa al-Mansur amat berkembang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Proyek penterjemahan dilakukan secara besar-besaran, terutama dari bahasa Pesia, India dan Yunani. Pada masa al-Mansur ini hidup Ibnu al-Muqaffa, pakar bahasa Arab dan Persia. Beliaulah yang menterjemahkan buku monumental Kalilah wa Deminah yang memuncak dalam cerita Seribu Satu Malam (1001 Malam). Ia juga menterjemahkan buku Shah Namah yang memuat cerita-cerita raja dan pahlawan-pahlawan Iran. Dibawah kepemimpinan al-Mansur yang liberal, faham rasionalisme muktazilah mendapat kesempatan untuk berkembang. Pada masa ini juga sarjana-sarjana Islam berkesempatan menyusun Hadits dan hukum Islam secara baik. Imam Abu Hanifah menyelesaikan sistem hukumnya pada masa kekuasaan al-Mansur, sedangkan Imam Maliki dan Syafei pada masa Harun al-Rasyid. Sedangkan dibawah al-Makmum dikenal adanya institusi yang menampung begitu banyak buku yang disebut dengan Baitul Hikmah. Di perpustakaan yang kaya dengan buku ini – konon koleksinya mendekati bahkan mungkin lebih 400.000 jilid buku – bekerja sarjana-sarjana dari berbagai ragam bangsa dan agama.

Sementara itu di Mesir, Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang 200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa, lexikografi, hadits, sejarah, kimia dan biografi raja-raja. Dinasti ini memberikan otonomi khusus bagi Cairo untuk mendirikan Universitas Al-Azhar yang kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah al-Hakim mendirikan sentra ahli-ahli hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada musik. Beliau meletakkan iklim da tradisi kondunsif untuk penulisan dan penterjemahan buku-buku kedokteran, filsafat da mistisisme. Hal ini kemudian diteruskan oleh putera-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan ungulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid. Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak. Cerita manis ini akhirnya berhenti hingga abad ke-XIII Masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio mulai redup. Perdebatan serius antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni dan Muktazilah, membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu pengetahuan mulai meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour pada penguasa yang tidak respek terhadap pengembagan intelektual. Bersama-sama dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri khas kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa-masa keemasannya, maka kegairahan untuk memajukan ilmu mulai berkurang dari posisi tawar golongan sarjana mulai menurun.


Malahan dibeberapa tempat seperti Baghdad, perpusatakaannya habis dibakar, dirampas dan dimusnahkan oleh Tentara Tartar – ”Petarung jempolan buta huruf yang penuh dengan kutu dan tidak mengerti betul pentingnya arti mandi apatah lagi arti buku”, demikian kata Goenawan Muhammad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya. Tentara Tartar, "penguasa Gurun Gobi" demikian ratap Iqbal, telah melahirkan peristiwa tragis paling memiriskan dalam sejarah intelektual Islam. Nasib perpustakaan Fathimiyah di Cairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu berjangkitnya kelaparan dan anarkhisme yang menghancurkan kerajaan Khalifah Musanjadid. Beribu buku-buku berharga tentang keindahan kaligrafi, ditinggalkan kepada Budak. Konon, kata sejarawan Thomas Marzuk (2000), para Budak tersebut membuka kulit-kulit buku itu untuk dijadikan sepatu. Banyak buku-buku yang dilemparkan ke Sungai Nil sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang tentara Tartar ke Sungai Eufrat dan Tigris, sehingga warna sungai ”berubah hitam karena tinta”.
Sebahagian buku diselamatkan. Dan akhirnya, tahun 1122, Darul Hikmah ditutup.

Memperhatikan dan membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII – XIII Masehi.
Pada hakikatnya, orang Eropa-lah yang melanjutkan spirit Intelektual Islam. Mungkin ini terkesan bertendensi apologis dan romatisme sejarah. Tapi tidak salah bila kita bersikap dengan dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual berkembang tanpa memandang dari mana ilmu tersebut berasal.

Dalam konteks diataslah, spirit tematik artikel-artikel dalam Jurnal Fikr wa Adab Volume 5 Nomor 9 ini hadir. Beberapa artikel dari Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum, Dr. Zamri Arifin, Zanarita Abdul Malik, Prof. Dr. Maidir Harun dan Drs. Yulizal Yunus, M.Si bisa kita tempatkan. Artikel-artikel tersebut memberikan pencerahan historis kepada kita bahwa peradaban Islam pada masa dahulu telah mampu memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia, baik aspek ilmu pengetahuan maupun kesusasteraan…… dan kehadirannya hingga hari ini pantas untuk kita hayati dan terus dikembangkan. Sementara itu, Hetti Waluati Triana, Ph.D., Lisna Sandora, M.Pd. dan Suci Humairah, MA memperkenalkan sebuah studi kasus linguistic, threshold reality budaya, sejarah sosial dan sejarah hukum adat. Setidaknya, kehadiran dua artikel yang sangat bagus tersebut bisa memberikan komparasi antropologis bagi perhubungan akademik dua hala (Melayu-Minangkabau) untuk masa yang akan datang.

Senin, 09 Agustus 2010

Way in the Jugle : Pengantar Fikr Wa Adab

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Internasional Fikr wa Adab Volume 5 Nomor 7 Tahun 2008/2009 yang diterbitkan olehJabatan Pengajian Agama dan Tamaddun Islam Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor Darul Ehsan Malaysia dan FIBA IAIN Padang.

Filosof Cina Klasik, Lut Szun suatu ketika pernah memberikan pencerahan tentang makna sebuah harapan. Baginya harapan adalah way in the jungle – jalan di dalam rimba. Pada awalnya jalan tersebut tidak ada, akan tetapi karena sering dilalui, maka jalan tersebut ada dengan sendirinya. Banyak harapan tertumpah bagi Fikr wa Adab. Harapan yang terkadang terkesan ”muluk-muluk”, ”mendahului waktu” atau tidak menghargai sebuah proses. Harapan untuk menjadikan Fikr wa Adab sebagai jurnal berkualitas internasional yang kelak bisa dijadikan rujukan keilmuan – setidaknya bagi kajian sastra dan peradaban Islam. Sebuah harapan yang sangat idealistis, tapi tidak kecil kemungkinan bisa diraih.

”Jalan” di rimba itu terus dijalani oleh waktu dan proses. Sudah sekian edisi, perhubungan dan kerjasama dua hala ini (antara Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang dengan Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia) dibina. Fikr wa Adab sudah mulai tampak ”jalannya”. Tapi mungkin harapan yang ideal tersebut, belum tercapai. Akan tetapi, proses untuk ”melalui” jalan tersebut terus dilalui agar harapan yang terkesan ideal-utopis bisa diwujudkan. Lut Szun telah memberikan perumpamaan yang baik bagi harapan semua pihak terhadap Fikr wa Adab. Kehadiran Fikr wa Adab edisi kali ini merupakan sebuah proses untuk terus memperbaiki jalan Fikr wa Adab ke arah yang lebih sempurna. Tak ada perubahan dramatis baik dari aspek ”kerabat pelaksana teknis” ataupun mainstream tulisan. Namun setidaknya, telah mulai ditata perbaikan-perbaikan terutama mainstream tulisannya ataupun layout-tampilan perwajahan. Semua ini dilakukan dalam kerangka perbaikan berketerusan agar harapan ideal diatas bisa dicapai. Waktu dalam proses-lah yang akan memberikan ”vonis”. Akan tetapi, ikhtiar atau usaha menjadi sebuah keharusan. Karena ikhtiar tersebutlah – meminjam istilah Kahlil Gibran – yang sebenar-benarnya takdir. Waktu dan proses adalah tempat bersemainya sebuah ikhtiar.


Dalam edisi kali ini, tulisan Usman Hamid dan Badali Muhammad Hasyim tentang Islam Hadhari merupakan tulisan pembuka. Usman dan Badali berusaha melihat aspek nilai-nilai ideologis dari icon ideologis-politik berbasis ideologis agama (baca: Islam) dari Perdana Menteri Abdullah Haji Ahmad Badawi ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bogdan Mitchel, setiap pemimpin membawa icon ideologis. Maka Islam Hadhari merupakan icon-nya Pak Lah, sebagaimana halnya Islam Hijau-nya Muammar Qaddhafi atau Api Islam-nya Soekarno. Dalam tulisan tersebut, Usman dan Badali berusaha melihat dan menterjemahkan nilai-nilai Islam Hadhari bagi kondisi dan tuntutan sosial-temporal dunia Melayu.
Sementara itu, Irhash A. Shamad memberikan kesimpulan bahwa perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat. Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah. Kemudian latar belakang kultural masyarakat di wilayah pedalaman yang lebih dekat dengan pusat adat Minangkabau telah menempatkan golongan agama berseberangan dengan golongan adat. Ini pada gilirannya telah melahirkan dinamika tersendiri yang memperkaya substansi ajaran sufistik pedalaman dan sekaligus menjadi fenomena kesejarahan yang dialektis dan berimplikasi pada gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau. Kesimpulan yang diberikan oleh Irhash ini merupakan hasil penelitian beliau tentang Dinamika Sufisme di Minangkabau.

Kajian Biografis dilakukan oleh dua orang penulis yaitu kajian biografis Abdul Qahir al-Jurjani dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar “epistimologis” ilmu Balaghah menjadi kunci pembahasan yang dikemukakan oleh
Arnisma Agus dan posisi serta peran historis Khalid bin Walid dalam sejarah Islam menjadi pembahasan yang diangkatkan oleh Saifullah SA. Terlepas dari kualitas dan ragam tulisan, namun bila dilihat dari edisi-edisi Fikr wa Adab, mainstream tulisan dan perwajahan-layout. Semoga kedepan Fikr wa Adab akan terus berbenah. sebelum ini, sudah terdapat “pola” yang cukup bagus terutama yang menyangkut

Tan Malaka dari "Lanskap" Wacana Pendobrak

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sebagaimana yang diutarakan Goenawan Mohamad, pada hari-hari dalam bulan Agustus 1945, yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik. Hindia Belanda sudah tidak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikan juga baru saja kalah. Yang ambruk adalah sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi, yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan dan sebaliknya, membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia” - apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan” Ya, Agustus adalah puncak gelora revolusi. Jika kemudian sebuah revolusi dimaknai sebagai ”menjebol dan membangun”, yang dijebol adalah wacana kolonial, sedangkan yang dibangun adalah wacana kebangsaan, keindonesiaan: kami adalah bangsa Indonesia. Terkait hal itu, ungkapan ”pengetahuan adalah kekuasaan” dari Francis Bacon, tampaknya, benar-benar diresapi oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Moh. Yamin, Sukarni, Chairul Shaleh, dan para tokoh pergerakan lainnya. Misalnya, Sjahrir yang tekun membaca Immanuel Kant, Karl Marx, John Stuart Mill, hingga Ortega Y. Gasset membawanya pada kesimpulan, ”Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisme Barat. Timur tidak lagi memerlukan mistisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita. Kemudian, Mohammad Hatta suatu saat menulis esai.

Esai itu berkisah tentang seorang janda kaya bernama Hindiana. Dia menyesal menikah dengan Wollandia karena suami barunya itu mengeruk habis harta Hindiana. Alegori dalam esai Hatta tersebut membuat pemerintah kolonial gelisah dan tak mengira seorang pribumi muda mampu menulis sarkasme seperti itu. Di antara para tokoh tersebut, yang paling fenomenal sekaligus paling dilupakan adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Lewat tulisan yang berjudul Naar de Republiek (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, Tan Malaka adalah orang pertama yang menggulirkan pemikiran secara tertulis tentang konsep berdirinya negara-bangsa bernama Republik Indonesia. Gagasan itu jauh lebih dulu daripada pemikiran serupa yang dituliskan Hatta dalam (Indonesia Merdeka) : pleidoi Hatta di depan Pengadilan Belanda di Den Haag pada 1928 maupun Menuju Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno pada 1933. Tan Malaka juga merupakan prototipe pejuang kemerdekaan yang militan dan punya kemampuan lengkap : cerdas dan kreatif di level gagasan, tapi juga cekatan dan ulet dalam mengorganisasi massa rakyat. Tan membuktikannya dengan menulis buku-buku revolusioner, inspiratif, sekaligus membangkitkan semangat anti kolonialisme.

Di antaranya, Actie Massa, Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Gerpolek. Khusus untuk buku Massa Actie (terbit 1926), diakui terus terang oleh tokoh pergerakan dan bapak bangsa lain menjadi inspirasi utama bagi mereka untuk meneguhkan idealismenya dalam mengusir penjajahan dari bumi Indonesia. Bahkan, bagi Soekarno, buku itu merupakan ilham sekaligus bahan kutipan untuk menyusunIndonesia Menggugat: pleidoinya yang akhirnya sangat tersohor itu. Tak ketinggalan, frasa ”Indonesia tanah tumpah darahku” dalam lagu Indonesia Raya diakui oleh W.R. Supratman diambil dari bagian akhir buku Massa Actie.

Selama 51 tahun hidupnya, Tan menjelajahi tak kurang dari 21 tempat dan 11 negara dengan kondisi sakit-sakitan serta pengawasan ketat agen-agen Interpol. Mulai Minangkabau (tanah kelahirannya) hingga melanglang buana ke Belanda, Jerman, Inggris, Moskow, Filipina, Burma, Beijing, Thailand, dan kembali lagi ke Indonesia untuk bergerilya ke Banten, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Jogjakarta, hingga tewas ”dibunuh” di Kediri pada 21 Februari 1949. Semua petualangan dan pengorbanan itu dilalui demi satu hal : kemerdekaan Indonesia. Dalam proses tersebut, Tan juga menghasilkan 23 karya tulis yang turut menerangi obor revolusi. Di antaranya, Parlemen atau Soviet (1920), SI Semarang dan Onderwijs(1921), Naar de Republiek Indonesia, Massa Actie. Manifesto Bangkok, Aslia Bergabung, Madilog, Muslihat, Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948).

Sebagaimana diwartakan majalah (17 Agustus 2008), semua fakta perjalanan hidup Tan Malaka tersebut diungkap oleh sejarawan Belanda Harry Albert Poeze dalam buku setebal 2.200 halaman yang berjudul Vurguisd en Vergeten, Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie (Tan Malaka, Dihujat, dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia). Bak pedang bermata ganda. Di satu sisi, buku itu adalah ensiklopedia lengkap tentang Tan Malaka yang akan memudahkan kita mempelajari sepak terjang Tan Malaka dalam merintis berdirinya republik ini. Di sisi lain, buku tersebut juga menampakkan ironi pemerintah Indonesia: alangkah malunya bangsa kita ketika mengetahui bahwa justru seorang sejarawan Belanda yang proaktif mengungkap sisi-sisi kepahlawanan Tan Malaka. Sedangkan pemerintah Indonesia tidak peduli sama sekali, bahkan seolah ingin menghapus nama Tan Malaka dari sejarah Indonesia.

Sumber : (c) M. Afifuddin (2009 cc : kompasiana.com) dan Tempo Edisi Agustus 2008

Minggu, 08 Agustus 2010

Simbolisasi dan Nasionalisme PECI

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Peci bukan hanya identitas agama tapi simbol nasionalisme. Ia juga bukan milik Indonesia semata (F. Isnaeni)

Pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. “Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?” “Aku seorang pemimpin.” “Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat... Sekarang!” Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: ”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti dituturkannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya... simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jasa dan dasi. Ini, menurut Sukarno, untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah). Sejak itu, Sukarno hampir selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Seperti yang dia lakukan saat membacakan peldoinya “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Dan peci kemudian menjadi simbol nasionalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen. Karena itulah, George Quinn dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, mendefinisikan cap (peci) dengan mengambil contoh Sukarno: Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).

Sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi, yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Tampaknya Sukarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.

Pengaruh Sukarno begitu luas. Pada pertengahan 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai barang-barang bikinan Indonesia. Orang-orang mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci –sebagai pengganti fez– yang dikenakan umat Muslim di Indonesia. Peci lurik ini mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo. “Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap memakai peci beludru hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di Italia,” tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution. Sebenarnya, dari mana asal peci? Sukarno menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para buruh bangsa Melayu. Belum ada data penggunaan peci di kalangan buruh. Di Indonesia orang menyebutnya peci. Orang Melayu di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan selatan Thailand, dan sebagian Indonesia menyebutnya songkok.

Menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa. “Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan. Asal songkok menimbulkan spekulasi karena tak lagi terlihat di antara orang-orang Arab. Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman. “Menurut beberapa ahli, ini adalah tutup kepala yang merupakan pendahulu songkok di Asia Tenggara,” tulis Rozan.

Peci tampaknya sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan. “Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III. Peci kemudian menjadi penanda sosial seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sudah dikenal seperti kain, turban, topi-topi Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk khusus. Pemerintah kolonial kemudian berusaha mempengaruhi kostum lelaki di Jawa. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka. “Kostum tersebut berupa setelan ditambah dengan penutup kepala batik atau peci saat wisuda dari sekolah-sekolah Belanda...,” tulis Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940” yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan. Menurut Denys Lombard, Barat sangat sedikit mempengaruhi tutup kepala orang Jawa. Topi Eropa sama sekali tak populer. Demikian pula topi gaya kolonial (yang populer di Vietnam). Kuluk atau tutup kepala berbentuk kerucut terpotong tanpa pinggiran, yang dikenakan para priayi, dapat dikatakan hilang dari kebiasaan, dan kain tutup kepala yang dililitkan dengan berbagai cara (ikat kepala, blangkon, destar, serban) makin lama main jarang. “Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Kini, peci dipakai dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun keseharian umat Muslim di Indonesia seperti upacara perkawinan, lebaran, atau ibadah salat. Di Malaysia dan Brunei, songkok dipakai tentara dan polisi pada upacara-upacara tertentu. Pada 19 Juni 2008, anggota dewan DAP Gwee Tong Hiang disingkirkan dari Dewan Majlis Johor karena tak mematuhi aturan pakaian resmi dan songkok. Peci tak lagi menjadi tanda kemusliman dan kesalehan seseorang. Kini, ia menjadi busana formal.

(c) Sumber utama : majalah-historia, 2010

Jumat, 06 Agustus 2010

Memoir Mohammad Hatta

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

(dari Penggalan Buku Memoir Mohammad Hatta yang menceritakan pertemuannya dengan Tan Malaka di salah satu "pusat" Komintern selain Moskow, Berlin)

Dalam bulan Juli 1922 aku menerima sebuah surat dari Darsono di berlin mengatakan, bahwa Tan Malaka ada di Berlin."Apabila aku ada tempo", katanya,"datanglah melancong ke Berlin". Maka keesokan harinya aku bertolak ke Berlin. Di Berlin aku menginap pada Darsono. Tan Malaka juga menginap di sana. Aku tinggal di Berlin kira-kira lima hari. Banyak pembicaraan yang kami adakan antara kami tiga orang saja. Pembicaraan kebanyakan mengenai soal Indonesia. Aku tanyakan kepada Tan Malaka, apakah ia akan menetap di Moskow apabila ia nanti pergi ke sana. Ia menjawab, bahwa pada tempatnya pergi ke Moskow, karena Moskow adalah pusat gerakan komunisme seluruh Dunia. Tetapi ia tidak akan tinggal di Moskow. Ia tidak akan beristirahat, tetapi akan terus bergerak dan berjuang untuk Indonesia merdeka.

Ia akan meneruskan perjalanan ke "Timur Jauh" dan dari situ berhubungan dengan pergerakan kemerdekaan di seluruh Asia. Di Moskow, dimana berlaku diktatur Stalin, ia tidak akan bisa hidup. Ia tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk. ia tunduk kepada prinsip yang dimufakati bersama, tetapi tidak bisa dan tidak biasa menundukkan diri kepada orang seorang. Dalam gerakan komunisme sebagai yang dipelajarinya dari semulanya berlakudasar sama rata sama rasa, berlaku demokrasi yang sepenuhnya. Tetapi komunisme di bawah Stalin menanam dalam barisannya dasar perbudakan. Ada seorang pemimpin yang berkuasa, yang lain itu budaknya. Apakah ini pembawaan daripada golongan bangsa yang disebut "Slaviche volkeren"? Ia menekankan kata "Slavich" itu seolah-olah artinya sama dengan kita "slaaf" atau "budak", dalam bahasa Belanda. "Sebab itu", kata Tan Malaka, "aku menjahui lingkungan yang bertentangan dengan komunisme yang sebenarnya. Aku pergi ke timur jauh, ikut berjuang di sana untuk kemerdekaan bangsa Indonesia".

Aku menyela dan berkata: "Bukankah diktatur termasuk dalam sistim komunisme? Ambillah misalnya patokan Marx "diktatur proletariat". Tan Malaka segera menjawab: "Diktatur proletariat dalam teori Karl Marx hanya terdapat pada masa peralihan, mengalihkan kekuasaan kapitalis atas sumber produksi ke tangan masyarakat. Kaum buruh, yang terbangun dahulu di bawah asuhan perjuangan kelas, menjadi perintis jalan untuk menegakkan keadilan ke jurusan sosialisme dan komunisme, yang terselenggara dalam produksi oleh orang banyak dan untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Ini bertentangan dengan diktatur orang-seorang!" Pada bertukar pikiran itu terbentang di mataku, bahwa pada suatu waktu Tan Malaka yang lurus tulang punggung keyakinannya akan bertentangan dengan Stalin, mungkin kelanjutannya akan dikeluarkan dari organisasi komunisme yang dikuasai oleh stalin. Baik juga apabila ia menjahui Stalin dan pergi ke "Timur Jauh"

(c)  Facebook Tan Malaka

Kamis, 05 Agustus 2010

Laki-Laki Minangkabau dan "Abu Diateh Tunggua"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. FB Suharmen)

Tempat tinggal sebuah pilihan yang paling aman. Saya harus segera mencari istri baru. Hanya dengan berbini baru maka sebatang badan akan lebih aman ditumpangkan.

Saya cukup terperangah mendapati kenyataan bahwa ternyata tidak terlalu banyak orang yang memahami istilah kecenderungan laki-laki Minangkabau (sumando?) sebagai "abu di ateh tunggua” yang terpaksa terbang dari tempat dia “menumpangkan badan" hanya gara-gara angin kencang yang berhembus, persis seperti abu yang teronggok di atas tunggul pohon sisa tebangan. Simaklah apa yang saya alami berikut ini :

Saya adalah seorang kepala keluarga yang sangat baik, mampu memenuhi nafkah anak istri dan sangat penyayang sehingga hubungan saya dengan anak-anak menjadi sangat dekat. Namun, malang tak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih, istri saya meninggal dunia. Pada saat itu, saya masih menumpang di rumah mertua dan belum memiliki rumah sendiri karena belum cukup rizki. Sekalipun mertua saya sudah memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri dan beliau meminta saya untuk tetap bertahan namun saya akan tetap terpaksa angkat kaki dari rumah almarhumah istri saya ini karena tidak mungkin saya akan merasa nyaman sebatangkara di tengah-tengah "mamak rumah" serta "pambayan" dan kakak ipar saya yang kebetulan anak gadisnya juga sudah besar. Bagaimana nasib anak-anak saya? Tadinya saya sempat mengasihi diri sendiri tetapi nasib anak-anak saya justru tidak kalah malang, sudah jatuh ditimpa tangga pula, bunda mereka meninggal dan kemudian harus pula berpisah dengan ayah yang mereka sayangi. Di usia mereka yang masih belia, mereka tentu tidak mengerti kenapa mereka harus berpisah dengan ayah mereka bukan karena “adat yang berbeda” sebagaimana dendang Isabella-nya Amy Search tetapi justru karena adat yang sama. Sebagai laki-laki Minang yang bertanggung jawab maka saya tidak ingin anak-anak saya berpisah dengan saya. Saya ingin memberi kasih sayang kepada mereka sebisanya tetapi apa hendak dikata, jangankan dengan mengajak anak-anak saya, diri saya sendiripun masih belum tentu bisa saya “tumpangkan” dimana. Saya kesulitan pula “menumpangkan” badan di “rumah asa” kerana ibu saya sudah meninggal sedangkan adik perempuan saya yang sekarang menghuni rumah tersebut selalu berpendapat bahwa harta “pusako tinggi” adalah sepenuhnya milik anak perempuan.

Saya sudah tahu hal itu dari ucapan dan perbuatannya. Jangankan sebuah kamar, sebuah ranjang pun tidak tersedia untuk saya tiduri di rumah dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya tahu bahwa hal tersebut memang tidak lazim di Minangkabau karena dalam “dongeng” Minangkabau laki-laki itu tempatnya bukan di rumah ibunya, tetapi di surau. Saya katakan “dongeng” karena seluruh surau dan masjid di Minangkabau sekarang sudah dikunci rapat bila malam menjelang. Jangankan untuk tidur, untuk beri’tikaf pun masih dilarang. Malangnya lagi, rumah tersebut memang tidak bisa pula dianggap sebagai “pusako randah” sebab bukan dibangun oleh orang tua kami. Kami sudah menempatinya selama dua generasi secara turun temurun. Sedangkan suami adik saya bisa saya golongkan kepada suami takut istri, disamping takut diusir adik saya yang berkarakter keras, juga karena pusako tinggi yang kami milki sangat membantu keperluan dapur mereka sekeluarga. Saya tidak menyalahkan dia takut kepada istrinya, malah saya ikut mendukung karena keluarga sumando saya ini selalu bersengketa masalah harta pusaka. Mereka tidak pernah akur.

Sumando saya ini pula yang pernah berkata kepada saya bahwa “niniak mamak” di Minangkabau sudah seperti “abu di ateh tunggua”, sama dengan “sumando”. Jadi, sikap “takut istri” yang dilakoni bukan dikarenakan lemahnya kepribadiannya tetapi betul-betul karena sebuah pilihan, demi keamanan hari tuanya. Masalahnya, seluruh yang pernah dia ungkapkan itu yang menimpa saya saat ini, niniak mamak yang telah jadi “abu di ateh tunggua”, bukan karena diusir istri dan bukan pula karena bercerai, tetapi karena istri meninggal dunia. Saya putar pikiran kemana kemungkinan lain sebatang badan akan bisa ditumpangkan. Teringat adik laki-laki yang beristri ke kampung lain. Rasanya hal ini masih mungkin dilakukan karena adik saya sudah membeli tanah di lingkungan suku (kaum) istrinya dan telah membangun rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Bagaimanapun, tetap saja hal ini jadi pilihan yang sulit karena akan tampak sangat janggal dan tidak lazim seorang laki-laki Minang menumpang di rumah dan di kampung istri adik laki-lakinya, di tengah-tengah kaum istrinya tersebut. Tentu akan tampak “cando sarato jangga”. Namun, anggaplah “cando sarato jangga” diabaikan, tetapi bagaimana dengan anak-anak saya?

Bukankah rata-rata perempuan Minang kurang terlatih menganggap anak-anak dari saudara laki-laki suaminya adalah juga keluarga dekatnya? Saya juga tidak bisa menyalahkan hal itu karena memang suku anak saya tidak sama dengan suku anak adik laki-laki saya. Di mata istri adik saya, keluarga dekatnya adalah yang sesuku (sekaum) dengannya saja. Lagipula, anak-anak saya akan dapat beban psikologis untuk hidup di tengah kelompok yang sukunya tidak sama, apalagi kalau perlakuan kepada mereka nyata-nyata berbeda. Lantas, kemana lagi badan akan ditumpangkan?

Ternyata benar sekali apa yang pernah terlintas di pikiran saya dulu bahwa menjadi anak piatu di Minangkabau, seperti yang dialami anak-anak saya saat ini, jauh lebih malang daripada jadi anak yatim. Begitu seorang anak Minang jadi piatu maka secara tidak langsung anak tersebut sudah menjadi anak yatim karena bapaknya hanyalah "abu di ateh tunggua". Tidakkah “abu di ateh tunggua” ini buah dari kekurangpahaman perempuan Minang yang lebih suka dipanggil “Bundo Kanduang” dalam memahami peran ketika menjalankan ketentuan adat dan syarak? Ataukah ini bukti tidak berperannya Tungku nan Tigo Sajarangan dalam “menanai” falsafah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah? Wallahu ‘Alam Bishawab

::: Sebagaimana yang ditulis ulang dari diskusi di Facebook Suharmen

Senin, 02 Agustus 2010

Buya Prof. Ahmad Syafii Ma'arif Si Anak Kampoeng

Oleh : Muhammad Ilham

"Carilah inspirasi, pada mereka yang sederhana, jernih berfikir dan berani hidup" (Vaclac Havel)

Nukilan kalimat Vaclac Havel, sastrawan yang juga peletak dasar negara Republik Ceko, rasanya, pada Buya Prof. Ahmad Syafii Ma'arif, nukilan Havel ini bertemu. Mungkin Buya Syafii Ma'arif, bukan satu-satunya. Tapi, pada masa dan hari ini, sosok Buya Syafii Ma'arif adalah representasi terbaik - terlepas dari semua kekurangannya - figur inspiratif. Karena itulah, beberapa jam lalu, kala istri saya mengganti channel TV kepada acara Kick Andy's, saya merasa "dahaga". Sebagaimana halnya content acara Kick Andy's yang selalu inspiratif, kehadiran Buya Syafii Ma'arif dalam talkshow yang digawangi oleh Andy F. Noya juga menjadi pelepas dahaga kala haus akan tokoh-tokoh inspiratif.

Satu jam penuh saya simak runtutan dialog hangat-cair itu, dan akhirnya, apa yang diungkap Havel, bagi saya (ya, bagi saya dan mungkin juga bagi orang lain yang menonton acara ini) ketemu. Buya Syafii Ma'arif memberikan pencerahandan pembelajaran untuk terus optimis dan "berani hidup" (tanda kutip). Sesuatu yang terus diulangnya, sebagaimana yang dulu pernah diutarakan kala ditanya : "mengapa menggejala bom bunuh diri atas nama agama". "Mereka berani mati, tapi tak berani hidup," kata Buya yang merasa berhutang budi pada sahabat-nya Prof. Amien Rais ini.
Dalam mengkritik, Buya tak tebang pilih atau pilih kasih. Amien Rais, yang tergolong dekat dengannya tak luput dari kritiknya. Amien pernah “ditegur” ketika mengkritik cukup keras terhadap KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Juga kepada Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah yang baru saja terpilih. Kepada Din, Maarif minta agar organisasi Muhammadiyah tidak dibawa ke politik praktis seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketika ditanya tentang inkonsistensi tersebut, merasa berhutang budi di satu sisi, tapi menkritik di sisi lain, ia menjawab lugas bahwa sahabat sejati adalah sahabat yang mengingatkan. Sosok Achmad Syafii Maarif ini tergolong unik. Di tengah hiruk pikuk politik dan orang yang berlomba-lomba menumpuk harta kekayaan, mantan Ketua PP Muhammdiyah periode 1999 – 2004 ini justru sebaliknya. Ia tetap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan elit politik yang dianggapnya tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan kritik dan teguran yang ia sampaikan kadang cukup pedas sehingga membuat telinga merah orang yang terkena kritikannya. Dan, bagi pria kelahiran Desa Sumpur Kudus, Sumatera Barat 75 tahun lampau ini tidak kenal takut dan ‘keder’ atas apa yang telah ia lakukan.

Anak kampung! Begitu cibiran anak-anak kota kepada Syafii. Anak seorang datuak dari Desa Calau Sumpur Kudus Minangkabau ini memang tinggal di kampung, tetapi cita-citanya jauh melebihi anak kota. Kisah Buya Syafii Maarif yang inspiratif tersebut dituangkan dalam sebuah novel berjudul si Anak Kampoeng yang ditulis Damien Dematra. Mengisahkan sosok Syafii Maarif dalam novel si Anak Kampoeng dapat menginspirasi generasi muda agar menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika ingin berjuang mencapai impian. "Buya, kan, bukan orang berdarah biru, tapi beliau berjuang untuk bisa survive dan sangat luar biasa. Guru spiritual saya, Gus Dur dan Buya," ujar Damien. Syafii Maarif menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas usaha menovelkan kisah hidupnya. Namun, di sela-sela sambutannya, Syafii Maarif tetap merendah hati. "Saya terpaku dan terpukau. Saya enggak ada apa-apanya sebenarnya. Enggak ada cita-cita," ujarnya. Syafii juga berpesan bahwa persaudaraan lintas agama adalah persaudaraan yang tulus, lebih tulus dibandingkan dengan persaudaraan seagama. Buya Syafii memang seorang tokoh pluralis yang menghargai perbedaan agama.

Kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tak terhitung berapa kali ia menyampaikan kritik yang sangat pedas. Ketika SBY di awal pemerintahan mengeluarkan kebijakan memberikan mobil mewah kepada setiap menteri yang membantunya, dengan terang-terangan ia menolak kebijakan itu. Menurut Buya, begitu kadang ia disapa, belum waktunya pemerintah Indonesia memberikan “kemewahan” itu. Menurutnya masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Juga soal renovasi pagar istana kepresidenan yang menelan biaya hampir Rp 20 miliar juga tak luput dari kritik pria yang sangat pluralis itu. “Pemerintah hendaknya lebih peka dan mendengarkan suara rakyat. Jangan meremehkan suara rakyat,” ujar Buya memberi peringatan. Syafii Maarif yang kini tinggal di Yogyakarta tergolong orang yang langka. Ia bisa saja mengejar kekayaan dengan modal ilmu yang telah diraih. Lulusan Doktor dari University of Chicago, Amerika Serikat itu memilih hidup sangat sederhana. Ia tidak merasa malu jika bepergian masih menumpang angkutan umum.

Banyak kalangan menilai, Achmad Syafii Maarif yang bangga sebagai anak kampung itu sebagai guru bangsa, walau dalam acara Kick Andy tersebut ia merasa "jengah" dengan sebutan ini (diskriminatif, katanya, karena ibu bangsa tak ada). Melalui sepak terjang dan suri tauladan yang ia perlihatkan patutlah menjadi panutan bangsa Indonesia terutama kepada para pemimpin dan elit politik. Di tengah kehidupan berbangsa yang semakin hedonis, Indonesia sangat membutuhkan Maarif-Maarif yang lain. "Carilah inspirasi, pada mereka yang sederhana, jernih berfikir dan berani hidup", demikian Havel.

:: Sumber : Kick Andy's Show/Minggu sore dalam hitungan 1 Agustus 2010

Membangun (Kembali) IdentitasMasyarakat Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Taufik Abdullah, seorang sejarawan senior LIPI yang berasal dari Minangkabau, pernah mengatakan bahwa jika anda menemukan orang Indonesia dengan nama-nama yang aneh, maka kemungkinan besar orang itu adalah Orang Padang. Pernyataan ini disampaikan pada sebuah seminar Pentas Budaya Minang 2000, 21-22 Oktober 2000, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pernyataan ini menyentak peserta seminar yang sebagian besar berasal dari Minangkabau. Apalagi kemudian Taufik menyatakan bahwa hal itu terjadi karena orang Minangkabau kehilangan identitas dirinya. Orang Minangkabau masih sibuk berkutat dengan pencarian “siapa saya?”.
Sinyalemen kehilangan identitas diri, menurut Taufik Abdullah lagi, terjadi karena orang Minang mengalami kesalahan strategi dalam membangun dirinya sehingga melahirkan trauma yang sangat mendalam. Kekalahan total yang dialami pada “peristiwa (pemberontakan?) PRRI” tahun 1958-1960 merupakan kesalahan strategi yang paling besar. Dampak yang terburuk dari peristiwa 1958-1960 ini adalah orang Minang kehilangan kekritisan terhadap semua hal, termasuk kekritisan kepada diri sendiri. Hal ini digambarkan dengan baik oleh Taufik Abdulah dalam Kata Pengantar buku setebal lebih dari 500 halaman yang ditulis oleh Audrey Kahin ini.

Audrey Kahin, pakar Sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, melakukan penelitian yang mendalam tentang pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat menuju integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang lebih dari tujuh dasawarsa (1926 – 1998) coba diungkap dan ditelaah lagi secara mendalam. Didukung oleh data primer dan sekunder yang baik, khususnya akses Audrey untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku dan dokumentasi mengenai Sumatera Barat yang justru lebih banyak tersebar di luar negeri, penelitian ini mampu menggali hal-hal yang selama ini tidak atau belum terungkap dalam penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian tersebutlah yang kemudian dituangkan Audrey ke dalam buku yang terdiri dari empat bagian utama ditambah satu bagian prolog dan satu bagian epilog. Setiap bagian menggambarkan suatu periode yang menggambarkan pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat.

Pada bagian prolog dipaparkan ketika tatanan politik Minangkabau mulai disusun dua tokoh legendaris, Datuak Katumanggungan (DK) dan Datuak Parpatiah nan Sabatang (DPS). DK lebih berkiblat ke sistem pemerintahan Majapahit (Jawa) dalam menyusun tatanan politik di Minangkabau. Sebaliknya, DPS yang tak lain adalah adik DK (mereka satu ibu, tetapi berbeda ayah), lebih menekankan partisipasi masyarakat untuk membangun sebuah tatanan politik. Menurut DK, kemajuan suatu negara tergantung pada kuatnya pusat pemerintahan atau diumpamakan seperti menitis dari langit. Pemimpin sebagai pusat merupakan sumber inspirasi, gagasan, dan keputusan, dan ini sangat dekat dengan tatanan politik Majapahit. Sebaliknya DPS lebih menekankan bahwa kemajuan suatu negara justru tergantung pada partisipasi rakyatnya atau diumpamakan seperti membersit dari bumi. Rakyat merupakan sumber gagasan, sumber inisiatif karena mereka lebih tahu keadaan di lapangan. Pertentangan ini kemudian diselesaikan dengan sebuah perjanjian Batu Batikam yang berisi kesepakatan bahwa dua sistem tersebut harus bisa hidup berdampingan di Alam Minangkabau.


Periode selanjutnya ketika Islam masuk ke Minangkabau. Sistem yang telah baku, terutama masalah garis keturunan matrilineal dan sistem warisan yang telah mengakar pada masyarakat Minangkabau harus berhadapan dengan hukum Islam yang lebih menekankan segi patrilineal. Apalagi ketika paham Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tatanan masyarakat Minangkabau kembali mendapat tekanan dari gerakan radikal Islam ini. Akhirnya melalui perjanjian Bukit Marapalam, disepakatilah sebuah adagium adat yang sampai saat ini masih berlaku, adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dimana tatanan ada disempurnakan oleh Islam, yang artinya dua sistem yang terlihat bertentangan ini (khususnya masalah garis keturunan dan warisan) dapat hidup dan berjalan beriringan di Alam Minangkabau.


Memasuki zaman pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda, sebuah kejadian yang besar adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926-1927 di Silungkang. Pemberontakan Silungkang ini merupakan manifestasi dari Keputusan Prambanan yang justru ditentang oleh Tan Malaka. Sebuah pertanyaan cukup menggelitik sebenarnya tentang pemberontakan ini, mengapa pemberontakan PKI 1926-1927 terjadi hanya di Sumatera Barat dan Jawa Barat? Padahal keputusan itu diambil di Jawa Tengah yang nota bene pada tahun-tahun itu tidak ada gerakan radikal seperti di Silungkang. Apakah ini merupakan sebuah kesalahan strategi anggota PKI yang berada di Sumatera Barat?
Berbicara kesalahan strategi, sangat menarik untuk menguliti bagian ketiga dari buku ini. Pada bagian ini Audrey mencoba memaparkan lebih lanjut temuannya tentang kejadian pada penghujung tahun 50-an dan awal 60-an. Pada masa ini terjadi serangkaian peristiwa besar dalam tatanan politik Indonesia yang berujung pada peristiwa (pemberontakan?) PRRI di Sumatera Barat. Jika kita membaca buku-buku sejarah yang beredar di bangku sekolah atau yang (boleh) beredar di masyarakat, peristiwa (pemberontakan?) PRRI selalu disandingkan dengan Permesta di Sulawesi. Biasanya bahasannya pun sangat sedikit. Bahkan dalam beberapa buku sejarah Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas hanya dibahas dalam dua atau tiga paragraf saja. Berawal dari kekecewaan terhadap pemerintahan yang sangat sentralistik, berlanjut pada kekecewaan terhadap pembubaran Devisi Banteng yang akhirnya melahirkan Dewan Banteng. Dewan Banteng ini kemudian menjadi cikal bakal Dewan Perjuangan. Dimotori oleh Letkol Ahmad Husein, meletuslah peristiwa (pemberontakan?) PRRI yang mengeluarkan tuntutan yang termaktub dalam Piagam Perjuangan Menyelamatkan Bangsa.

Pemerintah pusat tidak menanggapi tuntutan tersebut sehingga lima hari setelah ditandatanganinya piagam ini (15 Februari 1958) Dewan Perjuangan membentuk kabinet baru yang diberi nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sumatera Barat sepenuhnya mendukung gerakan PRRI ini.
Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan. Padang dan Bukittingi menjadi sasaran pengeboman dari tentara pusat (TNI). Perang yang berlangsung selama kurun waktu 1958 – 1961 sangat dahsyat dan memakan korban dalam jumlah yang sangat besar. Kekalahan akhirnya dialami oleh PRRI. Dampak kekalahan ini justru terbesar dialami oleh masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang digambarkan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengatar buku ini, ketika ia pulang ke Padang tahun 1961, ia merasakan perubahan yang sangat besar terjadi pada masyarakat Sumatera Barat. Tidak ditemukannya lagi kekhasan orang Minangkabau. Kekalahan PRRI, dilanjutkan dengan berbagai peristiwa selanjutnya dengan puncak tragedi 1965 yang kemudian melahirkan era baru dalam sistem pemerintahan Indonesia yang lebih sentralistik di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, membuat masyarakat Minangkabau tambah tenggelam dan kehilangan identitasnya. Sistem pemerintahan Minangkabau yang terkenal dengan keegaliterannya benar-benar tenggelam dalam bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik dan hierarkis ala Jawa.

Sumber : ditulis ulang dari ©sangdenai