Selasa, 27 September 2011

Gelimang Harta (para) Warren Buffet dari Arab

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Namanya Pangeran Al-Walid bin Talal bin Abdul Aziz al-Saud. Tak lain, dia adalah keponakan Raja Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz. Ayahnya, Talal bin Abdul Aziz al-Saud, adalah putra pendiri Kerajaan Saudi. Ibunya, Mona El-Solh, adalah putri perdana menteri pertama Lebanon, Riad El-Sohl. Dilahirkan pada 7 Maret 1955. Dia baru berumur 46 tahun. Al-Walid memulai karier bisnisnya pada 1979 setelah lepas dari bangku kuliah. Forbes mencatat, setidaknya hingga kuartal pertama tahun 2011, nilai kekayaan bersih sang pangeran mencapai US$19.4 miliar (setara Rp127,3 triliun). Ia ditahbiskan sebagai orang terkaya ke-19 sejagat. Istana dan barisan properti miliknya ditaksir bernilai sekitar US$3 miliar. Selain itu, ia punya koleksi perhiasan dengan nilai tak kurang dari US$730 juta. Sejumlah logo perusahaan top dunia, tempat dia menanamkan sahamnya, berjejer di ruang kantornya di Riyadh. Misalnya Citicorp, Motorola, Apple, Disney, Time Warner, dan Newscorp. Tentu, itu hanya beberapa saja, karena ia seakan tak terlihat ingin berhenti berinvestasi. Ketika bulan puasa tiba, ia tampak legawa menggelar acara buka puasa, dan makan malam bersama ratusan undangan. Acara itu berlangsung di ruang terbuka, dengan hamparan karpet yang berfungsi sebagai alas duduk dan ‘meja makan’. Di kanan-kiri singgasananya ada telepon dan televisi satelit, demi memantau perkembangan terakhir politik dan ekonomi dunia. Di akhir acara, ia akan menerima berbagai permohonan dana yang disampaikan lewat surat. Setidaknya, ia menggelontorkan uang sebesar US$1.5 juta (Rp12,8 miliar) sebagai jawaban atas proposal para undangannya.

Pangeran Arab lainnya punya cara istimewa bagaimana menikmati kekayaan. Sheikh Hamad bin Hamdan Al Nahyan, misalnya. Lelaki 63 tahun itu berasal dari keluarga kerajaan Abu Dhabi. Ia punya koleksi 200 mobil, dengan nilai total US$20 juta (Rp170,9 miliar). Itu termasuk tujuh Mercedes 500 SEL bercatkan warna-warna pelangi. Itu sebabnya dia dijuluki Sheikh Pelangi. Untuk menyimpan kendaraannya, ia membangun garasi berbentuk piramida. "Kami tak pernah sekali pun menyimpan uang di bank. Kami selalu menghamburkan uang yang kami dapatkan,” ungkapnya kepada Discovery Channel. Dia memang tak pernah berhenti menarik perhatian. Misalnya, dia mengerjakan proyek mengukir namanya sendiri pada sebuah pulau. Di pasir Al Futaisi, demikian nama pulau itu, Hamad mencetak namanya di hamparan sepanjang 3 kilometer. Tinggi hurufnya sekitar 800 meter. Kata itu, yakni sama dengan namanya – Hamad – lantas dialiri air. Konon, ukiran nama itu bisa ditatap dari luar angkasa. Itu bukan pertama kali dia punya kegilaan terhadap sesuatu “yang besar”, atau “yang maha”. Misalkan, pada awal 1980an, ia pernah merakit truk terbesar di dunia. Modelnya adalah tiruan Dodge Power Wagon produksi Amerika Serikat. Truk rancangannya punya ukuran delapan kali lebih besar dari ukuran Dodge biasa. Bobotnya 50 ton. Di dalamnya, ada empat kamar tidur. Di bak truk itu, ada landasan helikopter. Yang mengagumkan, kendaraan itu bisa dioperasikan.

Walid dan Hamad hanyalah sebagian kecil dari ratusan pangeran kerajaan Arab yang terkenal bergelimang harta. Turut ada di dalam daftar: Muhammad bin Issa al-Jabir, Muhammad al-Amudi, Issam al-Zahid, dan Keluarga Bin Laden, untuk menyebut beberapa nama. Pada 2010 saja, seperti dilansir laman Arabian Business, nilai kekayaan 50 orang terkaya di jazirah Arab mencapai US$245 miliar (sekitar Rp2.000 triliun). Tak semua pundi berisi uang dari minyak, komoditas andalan tanah Arab, di mana Saudi sendiri menyumbang 20 persen cadangan minyak dunia. Rezeki para raja itu juga mengalir dari properti, bisnis konstruksi, investasi di perusahaan multinasional, dan sebagainya. Tapi menjadi kaya tak selamanya juga bernama harum. Yang kadang terdengar di kuping orang banyak adalah pelbagai rahasia di balik tembok istana. Masih terang di ingatan, pada penutupan milenium lalu, ada skandal penyelundupan kokain melibatkan seorang pangeran kerajaan Saudi. Kasus itu luar biasa. Nilai barang haram itu mencapai US$15 juta (atau berkisar Rp128 miliar). Dari Kolombia, negeri dari mana kokain itu diterbangkan dengan Boeing 727 milik pribadi, Pangeran Nayef bin Fawaz al-Shaalan, sang otak di balik penyelundupan, membawanya ke Prancis. Tuduhan lebih gawat pun meruyak. Penyidik dari badan penanggulangan narkotika AS (DEA) menyatakan keuntungan penjualan kokain itu konon akan digunakan sang pangeran membiayai teroris. Tak jelas, tudingan itu terbukti atau tidak. Persidangan Nayef pun berjalan in absentia. Pengadilan menyatakan ia bersalah, dan wajib membayar denda US$100 juta. Tapi di manakah Nayef saat hakim mengetuk palu vonis?

Tak ada tempat senyaman rumah, demikian kata pepatah. Ia telah berada di Saudi, berkat akal-akalan cukup mujarab: kekebalan diplomatik. Sialnya, Prancis tak punya perjanjian ekstradisi dengan Saudi. Nayef pun tak tersentuh jangkauan hukum internasional. Di negeri sendiri, ia sudah pasti kebal hukum. Skandal lain, yang dulunya terdengar lamat-lamat, tiba-tiba menggelegar bak meriam. Akhir tahun lalu, bocoran nota diplomatik AS disebarkan laman WikiLeaks. Dilaporkan soal kegemaran para pangeran Saudi menggelar pesta besar-besaran. Di sana ada obat-obatan terlarang, alkohol, dan tentunya seks massal. Seperti dinukil dari laman The Guardian, para pejabat dari konsulat Jeddah melukiskan pesta Halloween diadakan diam-diam oleh para pemuda berdarah biru itu. Tak ada lagi penghormatan atas segala perbuatan yang dilarang di dalam Islam, ajaran yang jadi pegangan bagi seluruh rakyat Saudi, terutama para anggota kerajaan. Hal ini seturut temuan stasiun televisi ABC tentang gaya hidup berlebih-lebihan para keturunan kerajaan Saudi dalam investigasi mereka di French Riviera. Dalam penelusuran itu, ABC menemui seorang wanita panggilan yang punya koneksi luas ke lingkaran dekat kaum elit, dan berpengaruh Prancis.

Sang sumber menuturkan dalam semalam, para pangeran sanggup menghabiskan sekurangnya US$50 ribu demi menjemput kesenangan dari para wanita panggilan. Abdul Aziz bin Fahd, 38, anak kesayangan almarhum Raja Fahd, adalah salah satu pelanggan utama mereka. Ia tak pernah ragu menghabiskan lebih banyak uang ketika bersama para wanita panggilan. Di Arab Saudi, perilaku semacam itu jelas melanggar hukum, dan dapat diancam hukuman berat. Apalagi jika dilakukan oleh rakyat biasa. Tapi itu tak berlaku bagi anggota kerajaan. “Ketika anda mendengar pelanggar hukum, maka pertanyaannya adalah siapa yang melakukannya,” Mai Yamani, seorang antropologis yang juga anak mantan Menteri Perminyakan, Sheikh Ahmad Zaki Yamani, seperti dikutip dari ABC.Menurutnya, di Saudi berlaku semacam ketentuan tak tertulis: para pangeran Saudi tak tersentuh hukum. Mereka ada di atas hukum. Mereka di luar hukum. Itu sebabnya sanksi hukum seakan muskil dijatuhkan kepada keluarga istana. Tak heran Pangeran Nayef, sang penyelundup kokain itu, bebas berkeliaran di tanah Arab. Aksi protes warga, yang rata-rata berasal dari golongan minoritas Syiah, kadang muncul meningkahi tindak-tanduk keluarga istana. Tapi protes itu seperti teriakan yang menguap di padang pasir. Kebebasan berbicara dibatasi. Tuntutan warga dihadapi secara personal. Aturan agama yang terlalu ortodoks tetap berlaku, dan petugas keamanan bersenjata lengkap kapan pun dapat menindak kaum yang tak diinginkan. Sejauh ini, keluarga kerajaan, yang juga memerintah negeri, mampu menangkis tuntutan reformasi.

Meski begitu, tatkala negara-negara di jazirah Arab itu digoyang oleh gerakan demokrasi, Arab Saudi tak ayal ikut gelisah. Para aktivis pro perubahan lalu menyebarkan di internet tiga petisi reformasi politik radikal. Yang paling serius, satu petisi diteken 1.500 figur, termasuk kaum liberal dan Islamis. Isinya menuntut agar kerajaan menjalankan 12 langkah reformasi menuju sistem monarki konstitusional. Selain itu, terilhami revolusi Mesir, para tokoh itu berkampanye lewat Facebook. Mereka mengundang warga Saudi bergabung dalam “day of rage” pada Maret lalu. Tentu, dengan 39% populasi didominasi anak-anak muda berusia 20-24 tahun—dan celakanya mereka dalam keadaan menganggur, Arab Saudi pantas khawatir. Kerajaan lalu bereaksi. Laman petisi online itu pun diblokir. Seperti dilaporkan The Economist, seorang kiai Syiah ditangkap karena khotbah Jumatnya mendukung monarki konstitusional. Agar keadaan lebih tenang, raja lalu memberikan semacam sogokan kecil, suatu formula standar menghadapi tekanan dari rakyat bawah. Dia mengeluarkan paket bantuan sebesar US$35 juta, berisi subsidi hutang rumah tangga, kredit rumah lebih besar, dan kenaikan gaji sebesar 15% bagi pegawai negeri. Tak hanya di dalam negeri, pemerintah Saudi pun serius menghadapi ancaman ‘revolusi’ di luar wilayahnya. Business Week menulis pada awal Agustus tahun ini, kaum Sunni di Saudi curiga Iran terlalu jauh menebarkan pengaruh ke negara-negara Arab, seperti Bahrain dan Irak. Itu sebabnya, mereka mencoba melemahkan Iran lewat perdangangan minyak. “Sektor perminyakan Iran teramat rapuh. Saatnya mendesak pemerintahan mereka bergabung dalam upaya dunia mewujudkan perdamaian,” Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala badan intelijen Arab Saudi, menegaskan dalam pidatonya. Kini, Arab Saudi juga tengah menyaksikan 24 juta penduduk Yaman dalam keadaan kelaparan, dilengkapi persenjataan berat. Mereka juga cemburu dengan kekayaan negara tetangganya, dan bersiap menyeberangi perbatasan. Jika perang saudara meletus di Yaman, gelombang pengungsi akan menggulung wilayah perbatasan. Para petinggi kerajaan Saudi juga masih bimbang memulangkan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang kini memulihkan diri di Riyadh dari cedera serangan bom, ke Sana, ibukota Yaman. Seandainya saat itu tiba, anggota kerajaan patut berdoa agar Kingdom Tower, proyek ambisius dicanangkan Pangeran Walid, telah sempurna. Menara itu akan menjulang tinggi sekitar satu kilometer. Mungkin tempat itu cocok untuk berlindung, sekaligus menjadi menara pengawas.

Tulisan : (c) vivanews.com/sorot
Foto : Pangeran Al-Walid & Tower Walid (www.forbes.com)

Rabu, 21 September 2011

DIGOEL "Tanah Kaum Terbuang", Hatta dan "Kearifan Sejarah"

Oleh : Muhammad Ilham

"Mengapa kita tidak pernah seperti Israel yang selalu menceritakan Holocaust-nya sehingga menumbuhkembangkan spirit kebangsaan mereka ? Mengapa justru untuk Tanah Pembuangan dan kisah sedih para tahanan pada zaman kolonial justru hanya mendapat "porsi" kecil dalam sejarah Indonesia. Atas nama menghilangkan "masa buram" masa lalu, kita justru mereduksi sebuah kearifan paling berharga dalam sejarah anak bangsa" (Diutarakan dalam Sebuah Seminar sekitar Tahun 1999 oleh Entah Siapa)

Membaca Buku “Pembuangan DIGOEL” karangan Takashi Shiraishi, sungguh membawa kita pada “tamasya sejarah” penuh horor, ibarat Gullag-nya Uni Sovyet era Joseph Stalin, sebagaimana yang pernah dinukilkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago. Guru Besar Universitas Tokyo yang juga mengarang buku “Zaman Bergerak” ini sangat mampu mendeskripsikan settiong geografis Digoel atau Tanah Merah, dengan “penceritaan” yang menggentarkan. Takashi Shiraisi bukan Jonstein Gardner yang membuat fiksi-filsafat ”Dunia Sophie”. Buku ”Pembuangan Digoel” adalah buku kecil, namun ia mampu mendeskripsikan dengan baik-argumentatif berdasarkan kaidah-kaidah metodologi ilmu sejarah tentang dataran terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya nyamuk. "Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu hanyalah Tual, kota pelabuhan kecil di Maluku, yang membutuhkan 50 jam pelayaran dengan kapal motor.

Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. "Persediaan pangan amat terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van Blankenstein menulis setelah mengunjungi sumber horor tak berkesudahan itu. "Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka." Ternyata bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia". Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa bertahan. Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol. Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp, melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi, "Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan." Agaknya, di situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya kepastian. Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa."

Yang bisa dilakukan hanyalah menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan. Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung. Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat dievakuasi dari Digul ketika kamp ini ditutup sebelum serbuan Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan sebulan sekali. Sjahrir, raja pesta yang periang itu, mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi rumah tawanan yang lain. Hatta memang menyiapkan dirinya hidup 10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, setelah 10 bulan terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual (tentang Chalid Salim dan beberapa Drama Pelarian, pernah dinukilkan oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer dalam esai-sejarahnya "Pembuangan Digoel").

Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu juga di Tanah Merah. Cerita tentang "gelap rimba" sudah jarang terdengar. Digoel nampaknya sudah mulai hilang dari ”layar” sejarah. Tak ada penceritaan sistematis dalam kurikulum ilmu sejarah di segala tingkat sekolah belakangan ini. Padahal, bila tak ”tragedi Digoel” ........ beberapa tokoh nasional, mungkin tidak setegar yang dinukilkan sejarah. Banyak filosofi yang sebenarnya harus ditransfer kepada generasi muda Indonesia bila bercermin dari Digoel. Ada ketabahan, kekuatan untuk memegang prinsip kebenaran sepahit apapun ia, dan satu lagi, idealisme tidak akan tercerabut walaupun kebebasan dan potensi kemanusiaan dihilangkan. Pelajaran sejarah justru lebih banyak ”menghidang”kan cerita perang ...... jadi tidaklah mengherankan apabila banyak orang Indonesia yang tidak mau ”sabar” memegang prinsip dan lebih mengedepankan nilai-nilai anarkisme dengan ”memperkosa” idealisme.

Referensi : Takashi Shiraishi (1999), Pramoedya Ananta Toer (2000)




Paco-Paco jadi Kain




Coba bayangkan, bila Presiden SBY beserta para petinggi Republik nan kita cintai ini melakukan sholat dalam acara Peringatan Hari Besar Islam tingkat Nasional, katakanlah di masjid Istiqlal. Lantas ada anak kecil (entah anak siapa pun jualah) tidur-tiduran di sajadah para "petinggi" negara tersebut ..... apa yang terjadi ? Dijamin : kelenaan dan kenikmatan tidur si anak akan "diganggu". Kalau ia cucu Presiden, pasti dibangunkan dengan sedikit hati-hati dan "dioper" ke belakang. Kalau ia anak atau cucu "orang kebanyakan" yang berkeinginan untuk melihat Presiden SBY serta ingin tidur dekat beliau, dijamin akan "dipelantingkan" kebelakang. Keduanya tetap satu prinsip : "anak tersebut tak diperbolehkan menikmati tidurnya". Tapi lihatlah foto "ringan" kiriman salah seorang sahabat saya di Iran ini. Entah anak siapa ini. Ia menikmati lenanya tidur, di shaf pertama lagi. Dan lihatlah, siapa yang berada di-shaf pertama tersebut ? .... Ada Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad, (mantan) Presiden Ali Akbar Rafsanjani dan Pemimpin Spritual Iran Ayatollah Ali Khamenei serta pejabat tinggi Iran lainnya. Nyatanya sang anak tetap lena bersama dengan buldozer warna pink-nya.

Ketika Einstein "Menangis"

Oleh : Muhammad Ilham

Suatu ketika, "menangislah" Albert Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit?

Visum (baca : video mesum) selebritis dan visum-visum "jenis" lainnya sangat mudah diperoleh oleh semua lapisan masyarakat, lintas usia dan strata sosial. Teknologi "dunia maya" memudahkan orang untuk "menikmati" hal ini. Banyak yang mengutuki "capaian ilmu pengetahuan teknologi" tersebut, disamping tentunya menyumpahi para pemeran olah raga "gulat" yang tidak pernah kolosal ini. Seringkali kita juga mendengar "khutbah" para penjaga moral yang menyudutkan capaian ilmu-teknologi tersebut dan memberikan solusi untuk "menolak" atau menghambat medium itu untuk digunakan ditengah-tengah ruang publik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah sunnatullah yang tidak bisa dihambat. Ia mengalir dengan cepat karena potensi otak dan keingintahuan manusia "dititipkan" sang maha pencipta pada homo sapiens. Denghan itu, manusia akan terus selalu mencari invention baru untuk memberikan "kebahagiaan" pada manusia, dengan tentunya implikasi yang ditimbulkannya. Kelahiran media internet, merupakan kumulasi dari berbagai tools capaian manusia dalam sejarah ilmu pengetahuan. Seluruh pendukung konstruksi pengetahuan seperti telepon, telegraf dan tulisan serta faximile-fotocopy, menyatu dalam "makhluk" yang bernama internet. Internet, lengkap dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel dan didukung oleh jaringan telepon-telefoni yang telah ada dan juga didukung oleh ratusan satelit di "diluar sana". Ummat manusia dalam tahap revolusi ini, dapat berinteraksi oral maupun dengan teks dengan sangat interaktif, keseluruh penjuru-penghujung-sudut dunia ini, tanpa sedikitpun kehilangan interaktifitasnya maupun "sense of live"nya.

Karena itu, ruang paling private bagi manusia, bisa ditransformasikan dan menyebar dalam hitungan detik. Dinikmati oleh semua lapisan tanpa ada sekat-sekat yang yang secara mekanik bisa dibatasi. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan, malah menjadikan manusia sebagai budak-budak mesin. Ya dalam "tangisannya" Einstein yang keturunan Yahudi ini memberikan jawaban sederhana, kita belum lagi belajar bagaimana menggunakan imu pengetahuan dan teknologi secara wajar. Einstein yang dianggapoleh beberapa orang memeluk agama Islam (Syi'ah) diakhir hidupnya ini - wallahu a'lam - memberikan kata kunci - kewajaran. Menggunakan dan mensikapi dengan wajar. Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan oleh etika manusiawi agar penyesalan Einstein di atas menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan dan mensikapi teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, bukan bencana.

Foto : gambaronline.com

Minggu, 18 September 2011

Peristiwa Rawagede : Teks Vonis Pengadilan Den Haag

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Seperti dilansir BBC, Rabu (14/9), pengadilan di Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan tentaranya di Rawagede. Dalam agresi militer itu, tentara Belanda membantai seluruh pria Desa Rawagede Karawang Jawa Barat tahun 1947. Aksi ini dilakukan tentara Belanda untuk memberikan tekanan terhadap tentara kemerdekaan Indonsia. BBC menyebutkan pembantaian di Rawagede itu disebut sebagai pembantaian kejam yang terjadi di Jawa Barat saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Tidak ada satu pun tentara yang terlibat dalam pembantaian itu, pernah diproses hukum. Pengadilan mengabulkan sebagian dari tuntutan-tuntutan ahli waris korban pembantaian Rawagede. Tuntutan-tuntutan yayasan (Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda/YKUKB, red) ditolak, karena tidak cukup jelas mereka mewakili kepentingan siapa. Berikut ini teks vonis Pengadilan Negeri Den Haag dengan kode Vonis: BS8793 mengenai perkara tuntutan para ahli waris korban pembantaian Rawagede dalam gugatan hukum melawan Negara (Kerajaan Belanda), diterjemahkan oleh koresponden detikcom di Den Haag. Di bagian bawah ini terlampir teks otentiknya dalam bahasa Belanda, yang diumumkan ke publik di situsweb rechtspraak.nl, sebuah situsweb resmi Yustisi Belanda untuk informasi tentang pengadilan setingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, serta untuk mempublikasikan vonis-vonis pengadilan semua tingkatan.

Den Haag, 14-9-2011

Pengadilan Negeri (PN) Den Haag hari ini mengeluarkan vonis atas prosedur versus Negara, yang ditempuh oleh sejumlah janda dan seorang anak perempuan dari para korban eksekusi tentara Belanda saat aksi polisionil (Agresi Militer Belanda, red) di Desa Rawagede, Jawa (Indonesia), pada 9 Desember 1947. Ikut hadir selaku sesama penggugat yakni seorang korban selamat dari eksekusi -namun akhirnya meninggal saat prosedur ini berlangsung- dan sebuah yayasan (Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda/YKUKB, red), yang menyatakan antara lain mewakili korban-korban lainnya dari eksekusi Rawagede. Para penggugat menuntut suatu pernyataan hukum bahwa Negara telah melakukan tindakan melawan hukum terhadap para janda dan anggota keluarga lainnya dari para korban eksekusi dan terhadap seorang yang menderita cacat akibat eksekusi. Di samping itu mereka menuntut kompensasi atas kerugian, di mana besarnya masih harus ditentukan lebih lanjut. Para penggugat menyatakan bahwa eksekusi yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah melawan hukum, karena hal itu menyangkut orang-orang tak bersenjata yang dieksekusi tanpa melalui proses hukum apapun. Melawan hukum pula menurut para penggugat, bahwa tidak pernah dilakukan penyelidikan (pidana) secara mendalam atas eksekusi itu dan para perwira penanggung jawab tidak pernah dituntut. Negara tidak membantah bahwa eksekusi tersebut melawan hukum, tapi berdalih bahwa tuntutan itu telah kadaluarsa.

Pengadilan mengabulkan sebagian tuntutan-tuntutan itu. Pengadilan menilai bahwa tuntutan berdasarkan eksekusi jika disimpulkan secara cermat-sudah kadaluarsa, namun dalih kadaluarsa oleh Negara terhadap orang-orang yang terlibat langsung, yakni para janda dari orang-orang yang saat itu dieksekusi dan seorang yang selamat dari eksekusi, tidak bisa diterima. Pengadilan telah mempertimbangkan berbagai situasi yang lebih ditekankan pada keseriusan fakta-fakta. Pengadilan juga menganggap penting fakta bahwa tak lama setelah eksekusi Rawagede telah dinyatakanbahwa tindakan itu tidak dibenarkan. Terhadap ahli waris generasi berikutnya (diantaranya anak perempuan korban yang hadir sebagai penggugat) pengadilan menerima dalih Negara tentang perkara kadaluarsa. Mengenai tuntutan terhadap 'tidak melakukan investigasi dan tidak menuntut pelaku eksekusi', pengadilan juga menerima dalih Negara tentang kadaluarsa. Tuntutan-tuntutan yayasan ditolak, karena tidak cukup jelas mereka mewakili kepentingan siapa.

Vonis: BS8793

Pembantaian Rawagede (jongjava.com)

Janda korban pembantaian Rawagede (jppn.com)


Vorderingen nabestaanden van in Rawagedeh gexecuteerde mannen gedeeltelijk toegewezen

Den Haag, 14-9-2011

De rechtbank s-Gravenhage heeft vandaag uitspraak gedaan in de procedure die was aangespannen tegen de Staat door een aantal weduwen en een dochter van mannen die ten tijde van de eerste politionele actie op 9 december 1947 door Nederlandse militairen zijn gexecuteerd in het dorp Rawagedeh te Java (Indonesi). Als mede-eisers traden op een - tijdens de procedure overleden - overlevende van de executies en een Stichting die stelde onder meer de overige getroffenen van de executies te Rawagedeh te vertegenwoordigen.
De eisers vorderden een verklaring voor recht dat de Staat onrechtmatig heeft gehandeld jegens de weduwen en overige familieleden van de gexecuteerde mannen en jegens de man die letsel had opgelopen door de executies. Daarnaast vorderden zij vergoeding van schade, waarvan de hoogte nog nader moet worden bepaald. Eisers voerden aan dat de executies die door Nederlandse militairen zijn uitgevoerd onrechtmatig waren omdat het ging om ongewapende personen die zonder enige vorm van proces zijn gexecuteerd. Bovendien was het volgens eisers onrechtmatig dat geen diepgravend (strafrechtelijk) onderzoek heeft plaatsgevonden naar de gebeurtenissen en dat de verantwoordelijke militairen nooit zijn vervolgd. De Staat bestreed in de procedure niet dat de executies onrechtmatig waren maar beriep zich erop dat de vorderingen zijn verjaard.

De rechtbank heeft de vorderingen gedeeltelijk toegewezen. De rechtbank oordeelde dat de vorderingen op grond van de executies strikt genomen zijn verjaard, maar dat een beroep op verjaring door de Staat jegens de direct betrokkenen, dat wil zeggen de weduwen van de destijds gexecuteerde mannen en de overlevende van de executies, onaanvaardbaar is. De rechtbank heeft daarbij verschillende omstandigheden in aanmerking genomen waarbij veel nadruk is gelegd op de ernst van de feiten. De rechtbank achtte het ook van belang dat kort na de executies reeds is geoordeeld dat deze onaanvaardbaar waren. Jegens de nabestaanden van volgende generaties (waaronder de dochter die als eiser optrad) heeft de rechtbank het beroep van de Staat op verjaring gehonoreerd. Ook ten aanzien van de vorderingen wegens het niet-doen van onderzoek en het niet-vervolgen heeft de rechtbank het beroep van de Staat op verjaring gehonoreerd. De vorderingen van de Stichting zijn afgewezen omdat onvoldoende duidelijk is van wie zij de belangen behartigt.

Uitspraken: BS8793

Sumber : detik.com/BBC

Sabtu, 17 September 2011

Foto yang "Menggerakkan" Roda Sejarah

Oleh : Muhammad Ilham

Inti kekuatan dari pemikiran Karl Marx terletak tersimpulkan pada kalimatnya dalam buku Pengantar Das Kapital : "Kebenaran sebuah teori bukan terletak pada betul atau tidaknya teori tersebut dari aspek ilmu pengetahuan, akan tetapi terletak pada apakah teori itu menggerakkan orang untuk melakukan perubahan atau tidak". Marx sangat pragmatis, teori bukan "seni" menjatuhkan atau meruntuhkan serta memperbaiki teori yang lama, tapi keberadaan teori tersebut harus fungsional bagi manusia. Teori "menggerakkan". Dari teori, maka terjadi perubahan signifikan. Demikian juga halnya dengan foto-foto yang pernah hadir dalam "layar sejarah". Begitu banyak foto, bahkan dengan "cita rasa" seni yang maha artistik ..... namun hanya sedikit dari foto-foto para photografer tersebut yang mampu menstimulus terjadinya perubahan roda sejarah. Biasanya, foto-foto yang berada dalam kategori ini akan diganjar hadiah PULITZER, "nobel"nya photographi dunia. Dibawah ini, ada beberapa foto yang "menggerakkan" tersebut diantara begitu banyak foto yang pernah memenangi hadiah Pulitzer.

Saat Jenderal Nguyen Ngoc Loan, kepala kepolisian Vietnam Selatan mulai menarik pelatuk pistol kearah seorang komandan gerilyawan vietkong, fotografer Associated Press Eddie Adams mulai menekan tombol shutter kameranya. Eddie Adams memperoleh penghargaan jurnalisme tertinggi, Pulitzer, lewat foto yang diambilnya ini. Namun lebih dari itu, foto ini mengubah opini masyarakat Amerika terhadap Perang Vietnam, memicu gerakan anti perang dan menginspirasi lahirnya generasi bunga di Amerika waktu itu. Bagi sang jenderal, foto ini membuatnya menjadi ikon kekejaman dan ejekan serta penolakan selalu menyertainya kemanapun dia pergi sampai akhir hayatnya.

Kevin Carter berangkat ke Sudan dengan niatan untuk mengambil foto pemberontakan yang terjadi. Namun sesampainya disana, justru korban kelaparan-lah yang menarik minatnya. Dijalan dia mendapati seorang bocah perempuan kelaparan merangkak lemah susah payah menuju pusat pembagian makan, berhenti ditengah jalan dan mengumpulkan tenaga. Ditengah kejadian itu, seekor burung bangkai datang dan menunggu bocah tersebut. Carter-pun mengabadikan kejadian tersebut. Foto ini pertama dimuat dikoran New York Times, dan reaksi keras bermunculan mengkritik Carter yang tidak menolong gadis kecil ini. Carter beralasan dia sudah mengusir burung bangkai tersebut sesudah mengambil foto, namun tidak menolong si bocah karena konvensi fotografer yang tidak boleh ikut campur dalam konflik (?). kontroversi terus menghujani Carter, meskipun hadiah Pulitzer dia terima atas karyanya ini. Tahun 1994, Carter ditemukan bunuh diri dengan sengaja mengalirkan gas CO dari knalpot mobil kedalam ruangannya. Dia meninggalkan catatan yang isinya berupa penyesalan dan kesedihan karena tidak menolong si bocah, frustasi akibat terjerat hutang dan kesedihan karena sahabat karibnya tertembak. Foto ini selalu mengingatkan akan tragedi kemanusiaan di Afrika dan tragedi dalam dunia fotografi itu sendiri, keduanya memang tidak bisa dipisahkan.

Demonstrasi sekitar 3000 mahasiswa di Beijing berubah menjadi demosntrasi masal jutaan rakyat Cina, meminta reformasi pemerintahan yang tidak adil. Selama 7 minggu, rakyat dan tentara berhadap-hadapan dan saling mengejek. Saat partai komunis mulai mengerahkan tank untuk membubarkan masa, seorang mahasiswa nekad menghadang laju sebarisan tank, berdiri tegap didepannya sambil memegang tas. Seorang pahlawan lahir. Pahlawan kedua lahir, saat pengemudi tank menolak perintah komandannya untuk melindas mahasiswa tersebut dan memilih berjalan memutarinya. Kejadian ini memang tidak berakhir indah karena pembantaian akhirnya terjadi di lapangan Tiananmen. Karena peristiwa Tiananmen ini pulalah, "orang kuat" Cina kala itu, Deng Xio Ping terpaksa menutup karir politiknya dengan catatan hitam, padahal selama memegang tampuk kekuasaan politik dan menjadi ketua Partai Komunis Cina, kamerad Deng - demikian beliau biasa dipanggil, dikenal sebagai figur yang memiliki andil besar memajukan negara Cina menjadi salah satu super power ekonomi Asia, bahkan dunia. Kamerad Deng-lah yang mengeluarkan pernyataan fenomenal : "Tidak perlu memperdebatkan warna kucing, kalau ia bisa menangkap tikus ... pakai !". Namun sejak itu masyarakat Cina mulai sadar, selalu ada harapan akan kesatuan antara tentara dan rakyatnya.

Referensi foto : magnumpost.com/time.com




Manusia itu (bukan) Kita dan Mereka

Oleh : Muhammad Ilham

Masalahnya karena mereka hanya melihat : "nyawa siapa".
Jawaban yang mereka munculkan adalah : Nyawa "mereka" atau Nyawa "kita".
Mereka sama sekali tidak mengenal Nyawa Manusia.

Ambon "manise" kembali rusuh. Karena ditakutkan "Luka Lama Berdarah Lagi" - meminjam penggalan syair nyanyi dangdut - pihak keamanan bergerak cepat agar eskalasi konflik tak menjalar luas. Walau konflik horizontal juga sering terjadi di daerah lain, tapi Ambon teramat beda. Catatan hisoris daerah asal penyanyi legendaris yang beberapa hari lalu meninggal dunia, Utha Likumahua ini, menjadi potensi besar untuk bergolak menjadi teramat "jauh" dan besar. Ambon "manise" yang kemudian jadi Ambon "menangise" beberapa hari lalu meninggalkan catatan "kelam" kemanusiaan, dalam waktu yang tak terlalu lama, sekian orang meninggal. Terbunuh, tentunya. Begitu mudahnya nyawa melayang sia-sia. Sebagaimana halnya juga yang terjadi di daerah-daerah lain di Nusantara ini. Banyak berita yang termaktub dalam media massa dan televisi, hanya karena persoalan sepele, nyawa mudah tercerabut dari tubuh. Beberapa hari lalu, misalnya, Kota Padang sedikit geger. Seorang "praktisi pasar" (bahasa lain dari Preman yang biasa mangkal di pasar dan terminal) dibunuh dengan hiasan belasan luka bacokan. Persoalannya kembali sepele, pelaku yang berprofesi sebagai sopir angkot merasa direndahkan oleh si korban. Korban marah karena setelah wangi-wangian disemprotkannya ke mobil angkot si pelaku, si pelaku yang konon bernama Al "Barangin" ini tak mau membayar. Adu mulut yang terjadi siang hari, berlanjut dengan pembunuhan pada malam harinya. Demikian setidaknya yang saya baca dari koran pagi beberapa hari lalu. Peristiwa-peristiwa seperti diatas sudah teramat lumrah kita saksikan dan baca. Begitu mudah orang menghilangkan nyawa seseorang.

Saya tak ingin menganalisis patologi sosial ini dari perspektif sosiologis ataupun politik. Dengan perspektif yang teramat kaya dari sosiologi dan ilmu politik, patologi sosial diatas terasa teramat logis untuk dijelaskan. Saya hanya ingin melihat dari perspektif yang ringan-ringan saja. Kebetulan sore tadi anak saya membaca al-Qur'an berikut terjemahannya : "Barang siapa yang membunuh satu jiwa, bukan lantaran suatu jiwa atau pengrusakan di muka bumi, seakan membunuh manusia kesemuanya; dan barangsiapa yang menghidupinya seakan menghidupi manusia kesemuanya" (Q. 5: 32). Sangat indah dan solutif kalam Allah ini memberikan perumpamaan. Ayat ini kemudian mengingatkan saya dengan salah satu film Hollywood - saya lupa judul film tersebut - yang mengkisahkan tentang sebuah degradasi moral, kehidupan Samurai pada masa rezim Tokugawa di era Jepang klasik. Seorang samurai bersama dengan temannya yang tentunya juga samurai, berjalan-jalan ke sebuah desa. Mereka berdiskusi kecil tentang ketajaman pedang (icon seorang samurai) yang mereka miliki masing-masing. Lalu, di depan mereka berjalan seorang petani, penduduk desa yang dilalui samurai dan temannya yang juga samurai ini. Si petani dipanggil. Begitu petani ini datang dan membungkuk di depan samurai ini, si samurai tersebut kemudian mengayunkan pedang ditangannya ke leher petani yang hari itu salah memilih "takdir". Kepala melayang, tubuh menggelimpang. "Ah benar, tajam juga pedang kau ini", kata teman samurai itu sambil berdecak kagum. Merekapun berlalu sambil memandangi pedang berkilatan dalam basuhan darah.

Perbincangan Nabi Ibrahim dan Raja Babilonia, Namrudz, dinukilkan dalam al-Qur'an : "Aku juga (seperti Tuhan) menghidupkan dan mematikan" (Q. 2 : 258). Lalu Nambrudz memanggil dua orang, seorang ia suruh bunuh dan seorang lagi dibiarkan hidup. Namrudz ingin mengatakan kepada Nabi Ibrahim : "Aku bisa membunuh dan membiarkan orang hidup lho !". Samurai dan Namrudz tersebut mungkin tidak pernah mengenal ayat yang sore tadi dibaca oleh anak saya. Tapi cerita begitu mudahnya orang membunuh terus menjalar dan menjulur hingga abad yang dikatakan "modern" danberperikemanusiaan ini. Bahkan jauh mengerikan. Pol Pot, misalnya, meninggalkan catatan horor kemanusiaan dalam sejarah ummat manusia. Ia yang tamatan Sorbonne University Perancis ini membantai lebih kurang dua juta manusia Kambodja. Khmer Merah jadi perpanjangan tangannya. Sekian juta terbunuh pada masa Joseph Stalin dengan Gullag-nya. Sejumlah orang Yahudi mati di kamp-kamp konsentrasi Autswitzh Adolf Hitler. Sekian juta orang lagi raib di kamar-kamar konsentrasi KGB era Uni Sovyet. Berapa orang yang diculik dan dibunuh karena perbedaan ideologis, hampir di berbagai belahan dunia. Berapa yang di dor begitu saja karena faktor politik-ideologis serta ekonomi ? "Barang siapa yang membunuh satu jiwa, demikian dalam al-Qur'an - bukan lantaran suatu jiwa atau pengrusakan di muka bumi .... ". Nampaknya, konsep tentang nyawa bagi para pembunuh, baik sakla besar ataupun kecil, tidaklah sama dengan al-Qur'an. Masalahnya karena mereka hanya melihat : "nyawa siapa". Jawaban yang mereka munculkan adalah : Nyawa "mereka" atau Nyawa "kita". Mereka sama sekali tidak mengenal Nyawa Manusia. Sepertinya mereka itu bukanlah bagian dari manusia itu sendiri. Wallahu a'lam !

Foto : www.jppn.com

Objektifitas dan Paradigmatik Penjelajahan Ilmu

Oleh : Muhammad Ilham

Sungguh tak ada yang objektif dalam proses pencarian kebenaran ilmu, kata sejarawan Taufik Abdullah, tapi justru paradigmatik, termasuk dalam hal ini, ilmu sejarah. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, ilmu manusia tersusun dari hal-hal yang sederhana. Contohnya, kalau kita hendak mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi manusia sehingga kita dapat membedakan antara manusia dari yang lainnya. Pengetahuan kita tentang manusia tersusun dari beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa manusia itu berpikir, berbadan, dan perasa. Akan tetapi, yang menjadi objek kajian para filosof Islam ialah: dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dengan metode atau perangkat apakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dari sinilah munculnya perbedaan antara filosof-filosof dari zaman Yunani sampai sekarang: antara Plato dan Aristoteles, antara Avessina dan Syuhrawardi, antara kaum paripatetik dan intuitivis, serta antara rasionalis dan empiris. Sementara dalam Islam, sumber ilmu itu diperoleh melalui tiga sumber utama yang banyak dijelaskan oleh Al-Quran, yaitu as-sam‘u, al-basharu, dan al-fuâdu. Ketiga hal ini merepresentasikan tiga akar epistema, yaitu Informasi (al-khabar), Indera (al-hiss), dan Rasio (al-‘aql). Sumber yang reliabel dari kegiatan keilmuan yang berbasis tiga akar ini wujudnya adalah informasi yang valid (naql mushaddaq) atau kajian yang akurat (bahts muhaqqaq). Selain kedua hal ini, yang ada adalah karangan palsu (hadzayân musarwaq). Dan dari semua materi sumber keilmuan yang ada di dunia, meteri yang diberikan oleh Kalâmu’llâh, Sunnatu’r Rasûl, dan Ijmâ‘u’l Ummah adalah yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Sebab informasi yang paling valid adalah informasi yang diberikan oleh ketiga sumber ini, dan kajian yang paling akurat adalah juga kajian yang disajikan oleh ketiga sumber ini. Sedangkan di luar tiga sumber ini, semuanya masih mengandung kemungkinan salah informasi, invaliditas pengamatan, atau keluputan penalaran.

Kaitan Ilmu dengan Nilai adalah worldview atau pandangan hidup. Matrik dari worldview sendiri bisa diukur dari apa yang ada dipikiran orang, sebab di dalam worldview terdapat kerangka-kerangka kerja konseptual (framework). Worldview sendiri mempunyai kaitan erat dengan cultural, sains maupun religi, oleh karena itu kita mengenal, misalnya istilah Christianity Worlview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern Worldview dan Islamic Worldview. Di Barat orang lebih sreg menerima denominasi berdasarkan istilah worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya, ketika ia membaca teologi Hindu maka ia menyebutnya dengan Indichen Worldview. Nilai-nilai yang dihasilkan dari masing-masing Worldview inilah yang kemudian menjadikan worldview mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual yang kemudian mengkolektif (Hussel dalam Crisis Of European Sains). Oleh sebab itu, masing-masing peradaban mempunyai karakteristik yang berbeda dengan peradaban lainnya. Pandangan Barat misalnya, yang memandang ilmu yang hanya sebatas modulus sensilibis atau dunia indrawi saja (Hegel & Goethe), ini berbeda dengan pandangan Islam yang memandang luasan worldview itu seluas skala wujud “ru’yatan Islam lil wujud” (SM.
Naquib Al Attas).

Oleh sebab itu Thomas S Kuhn mengungkapkan bahwa sesungguhnya worldview merupakan paradigma yang menyediakan nilai, standart dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik. Disatu sisi inilah worldview merupakan dinamika pemikiran yang positif. Worldview dan paradigma memiliki variable konsep yang terstruktur, yang menjadikannya framework permikiran dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi sarat dengan nilai, alias tidak netral dan tidak bebas nilai namun sarat dengan nilai.
Hal ini dibuktikan bahwa peradaban Barat (western worldview) memandang ilmu hanya bersumber sebatas panca indera dan akal (Kant, Hegel, Goethe), maka dengan pandangan ini telah melahirkan berbagai macam faham pemikiran dalam peradapan Barat seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Sementara dalam Islam, al Qur’an dan Sunnah dalam Islam menjadi tolak ukur dalam setiap pandangan, cara berfikir tiap Muslim. Ilmu-ilmu seperti fiqh, hadith, tafsir, falak, tabi’ah, hisab dan sebagainya, adalah derivasi dari konsep wahyu. Ini berarti worldview Qur’an telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang ekslusif. Orang Barat misalnya, tidak dapat mengadopsi metode ta’dil dan tarjih ilmu hadith, atau mengadopsi ilmu fara’id dalam Islam dan seterusnya. Begitu pula sebaliknya, orang Islam juga tidak bisa terima konsep kebenaran dikotomik; obyektif-subyektif, tidak bisa pula menerima doktrin pan-sexualismenya Frued, doktrin evolusi Darwin dan seterusnya. Sebab, setiap konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview. Sedang worlview Qur’an berbeda dengan Western Worldview.

Jadi pandangan tentang Ilmu adalah bebas nilai itu sebetulnya tidak tepat. Sebab, pandangan ini muncul dari nilai-nilai dalam worldview barat. Hal ini membuktikan bahwa pandangan tentang Ilmu adalah bebas nilai itu sesungguhnya adalah sebuah Nilai yang dipenggang oleh penganutnya. Inilah yang tanpa disadari oleh para pengusungnya, sebagai sebuah “martil besar” yang meruntuhkan konsep obyektifitas “bebas nilai” yang mereka bangun dan mereka sakralkan. Sehingga Bulant Senay menyebut prinsip “bebas nilai” ini sebagai sebuah self-defeated atau mitos. Sebab konteks-konteks value jugdment dalam “bebas nilai” itu sendiri mengandung kesimpulan-kesimpulan awal yang tidak “bebas nilai”.
Beberapa tulisan yang menjadi ”tulisan utama” dalam KHAZANAH Edisi kali ini lebih difokuskan kepada perdebatan-perdebatan teoritis tentang filsafat ilmu, baik perdebatan teoritis dalam ranah epistimologi ilmu maupun dalam ranah ”persinggungannya” dengan (epistimologi) Islam. Namun, tetap dalam konteks mencari ”kebenaran”. Persoalan ”alat” atau paradigma yang justru berbeda. Namun, dalam konteks memperkaya perspektif, rasanya perdebatan-perdebatan teoritis tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa tak ada yang objektif dalam proses pencarian kebenaran ilmu, tapi justru paradigmatik.

:: (Penggalan) dari makalah untuk Pengantar Redaksi Jurnal Khazanah Edisi 2/Juni-Desember 2010

Referensi : Naquib al-Attas (1993), Thomas Kuhn (1988), Bustanuddin Agus (2002)

Perspektif Teori Muncul dan Bertahannya Dinasti Abbasiyah (1)

Oleh : Yulniza & Muhammad Ilham

Berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 123 H./750 M. telah mengantarkan Dinasti Abbasiyah untuk naik ke panggung kekuasaan. Dinasti Umayyah selama masa pemerintahannya memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas membentang dari negeri Sindh hingga ke Spanyol. Dinasti ini telah mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi pada masanya dalam bidang ekonomi, pendidikan-keilmuan, militer dan lain-lain. Meskipun pemerin-tahan Dinasti Umayyahdipatuhi oleh sebagian besar masyarakat yang takluk dibawah kekuasaannya, akan tetapi tidak sedikitpun Dinasti ini memperoleh apresiasi dari masyarakat. Itulah sebabnya, belum sampai satu abad Dinasti Umayyah berada di panggung sejarah, akhirnya digantikan oleh Dinasti Abbasiyah. Munculnya Dinasti Abbasiyah dalam sejarah peradaban Islam, telah membawa perobahan yang cukup signifikan dan radikal dalam catatan sejarah Islam. Hal ini tidak hanya sekedar pergantian kekuasaan saja, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur social dan ideology. Karena itu, mayoritas ahli sejarah menilai bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah merupakan suatu revolusi, seperti yang dikemukakan oleh Richard N. Frye[1] dalam artikelnya yang bertitelkan The Abbasid Conspiracy and Modern Revolutionary Theory yang menyatakan bahwa cirri-ciri yang menyertai kebangkitan Dinasti Abbasiyah sama dengan cirri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern saat sekarang ini. Frye menggunakan teori Anatomi Revolusi (Revolution Anatomy of Theory) yang dikembangkan oleh Crane Brinton[2] ketika mengamati empat revolusi besar dalam sejarah peradaban ummat manusia yaitu revolusi Industri di Inggris, revolusi Amerika, revolusi Perancis dan revolusi Rusia.Menurut Frye, paling tidak terdapat empat persamaan yaitu :

1. Bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology yang berkuasa mendapat kritik yang keras dari masyarakat yang disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu.

2. Mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya dalam beradaptasi terhadap perkem-bangan dan perubahan-perubahan zaman yang terjadi secara dinamis.

3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari kondisi awal yaitu mendukung ideology penguasa kepada wawasan baru yang ditawarkan.

4. Bahwa revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan dan kaum bawahan, melainkan juga dipelopori dan digerakkan oleh kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada atau system yang berjalan.

Sementara itu, Bernard Lewis[3] juga menggunakan istilah revolusi ketika menguraikan kebangkitan Dinasti Abbasiyah dalam bukunya The Arab in History. Ia mengatakan :

Penggantian Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah adalah lebih dari sekedar pergantian Dinasti atau kekuasan, melainkan suatu revolusi yang memiliki arti penting sebagai titik balik dalam sejarah Islam sebagaimana pentingnya revolusi Perancis dan revolusi Rusia. Bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah bukanlah hasil dari suatu kudeta, melainkan hasil dari suatu usaha yang panjang dan memakan waktu yang lama dengan menggabungkan berbagai kepentingan golongan masyarakat kepada tujuan yang sama, yaitu menumbangkan Dinasti Umayyah, meskipun segera setelah revolusi itu berhasil dilaksanakan, mereka pun mulai tercerai berai”.

Berkaitan dengan sebab kebangkitan Dinasti Abbasiyah ini, para ahli sejarah mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepada salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat teori[4] yang dikemukakan yaitu :

1. Teori Faksionalisme Rasial atau Teori Pengelompok-kan Kebangsaan. Teori ini mengatakan bahwa Dinasti Umayyah pada dasarnya adalah kerajaan Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab. Atas perlakuan diskriminatif pihak penguasa, orang-orang Mawali merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayyahyang berpusat di Damaskus. Atas dasar itulah, menurut teori inijatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab dan bangkitnya Dinasti Abbasuyah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.

2. Teori Faksionalisme Sektarian atau Teori Pengelompo kkan Golongan Atas Dasar Paham Keagamaan.Teori ini menerangkan bahwa kaum Syiah selamanya adalah lawan dari Dinasti Umayyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, dari perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.

3. Teori Faksionalisme Kesukuan. Menurutv teori ini bahwa persaingan antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada masa Dinasti Umayyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.

4. Teori yang Menekankan Kepada Ketidakadilan Ekonomi dan Disparitas Regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Dinasti Umayyah seperti memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi social.

Dari keempat teori tersebut akan terlihat dengan jelas bagaimana Dinasti Abbasiyah bias bangkit dan berhasil mengalahkan Dinasti Umayyah. Usaha-usaha Dinasti Abbasiyah untuk menduduki jabatan khalifah tersebut sebenarnya sudah pernah dimulainya jauh sebelum masa al-Saffah yaitu semenjak kakeknya ‘Ali bin ‘Abdullah bin al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib mulai menunjukkan ambisi politik mereka. Pada masa ini, ‘Ali bin ‘Abdullah sering berkunjung ke istana Dinasti Umayyah di Damaskus, terutama pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan. Pada masa pemerintahan khalifah Walib bin ‘Abd al-Malik, ambisi politik ‘Ali bin ‘Abdullah mulai tercium oleh kalangan istana Dinasti Umayyah sehingga Walid bin Abd al-Malik berusaha mencari alas an untuk menindak ‘Ali bin Abdullah. Tiga kali ‘Ali bin Abdullah terkena hukuman pukul. Pertama sekali ketika beliau mengawini janda Abdul Malik. Perbuatan ini dianggap oleh khalifah Marwan sebagai manifestasi penghinaan terhadap ayahnya. Kemudian yang kedua ketika beliau dicurigai melakukan kegiatan politik anti Dinasti Umayyah. Sedangkan yang ketiga, ketika ‘Ali bin Abdullah dituduh membunuh saudaranya Salid bin Abdulllah bin Abbas. Untuk kasus dan tuduhan yang ketiga ini, beliau diusir dari Damaskus dan kemudian tinggal di Humaimah hingga akhir hayatnya.[5]

Setelah ‘Ali bin Abdullah meninggal dunia, cita-cita politiknya diteruskan oleh putranya yang bernama Muhammad. Pada masa Muhammad inilah Bani Abbas resmi berkoalisi dengan Syiah, bahkan menyatakan dirinya sebagai imam dalam kelompok tersebut – imam dari kelompok garis non-Fathimah. Ahli sejarah mengatakan bahwa Syiah dari garis Fathimah ini moderat dan mau berkoalisi dengan Dinasti Umayyah sekalipun mereka harus menyembunyikan rasa kebencian mereka kepada Dinasti Ummayah ini. Namun ada juga yang konfrontatif langsung seperti halnya pemberontakan kaum Syiah yaitu pemberontakan al-Mukhtar pada tahun 685 M. Berkoalisi dengan Syiah ini akan mempermudah Bani Abbas dalam menambah kuantitas pengikut gerakan mereka. Ini juga sekaligus memberikan legitimasi dan justifikasi yang bersifat doktriner tentang pentingnya meruntuhkan kekuasaan Dinasti Umayyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepada ahlul bait dimana Abbasiyah bernaung dibawahnya. Namun sampai masa itu, gerakan Bani Abbas masih bersifat Clandesten (gerakan bawah tanah). Simbol dan slogan yang digunakan belum lagi menggunakan bendera dan slogan Abbasiyah, tetapi masih menggunakan bendera ahlul bait atau al-Ridha Muhammad. Dibawah kepemimpinan Muhammad bin ‘Ali ini, mereka berusaha meluaskan pengaruhnya ke bahagian timur wilayah Islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Thabari bahwa pada tahun 100 H., Muhammad bin ‘Ali mengirimkan Maisara ke Irak untuk menjajaki dan merekrut pengikut baru bagi gerakannya. Maisara dengan mudah mendapat dukungan dari orang-orang Kuffah. Dari Kuffah ini, kemudian ia mengirimkan tiga orang dari penduduk Kuffah ke Khurasan untuk meluaskan pengaruh gerakan Abbasiyah. Di Khurasan, ketiga orang ini kemudian membentuk Komite yang terdiri dari 12 orang yang dikenal dengan nama Nuqabaa. Dari Komite 12 ini kemudian dibentuk lagi Komite yang lebih besar yang terdiri dari 70 orang.[6]. Mekanisme yang demikian itu menyebabkan Bani Abbasiyah memutuskan Khurasan sebagai pusat kegiatan propagandanya. Muhammad bin ‘Ali memilih Khurasan tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan. Kuffah tidak dipilih karena dalam pandangan Muhammad bin ‘Ali orang-orangnya hanya mau mengikuti ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Bashrah juga tidak dimasukkan kedalam prioritas karena penduduknya banyak yang menaruh simpati kepada khalifah Utsman bin Affan yang juga merupakan keturunan dari Dinasti Umayyah. Jazirah Arab tidak dipilih karena kebanyakan penduduknya merupakan pengikut Khawarij. Demikian juga dengan Damaskus yang berada dibawah pengaruh Dinasti Umayyah. Sedangkan Mekkah dan Medinah tidak dipilih karena Muhammad bin ‘Ali beranggapan bahwa masyarakatnya masih mengidolakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, tetapi tidak dengan ahlul bait. Sedangkan Mesir dianggap dekat dan menjadi sekutu Damaskus. Afrika dianggap jauh secara geografis ditambah lagi dengan tipikal penduduknya yang nomaden dan memiliki kecenderungan tidak menyukai gerakan yang berbau suku Arab, apapun namanya.

Oleh karena itu, satu-satunya daerah yang ditetapkan dan dianggap strategis dari berbagai sudut pertimbangan adalah Khurasan yang terleyak jauh disebelah timur. Selain pertimbangan geografis, Khurasan juga memiliki keuntungan social lainnya terutama bagi arah gerakan. Masyarakat Khurasan tidak anti dan alergi dengan gerakan-gerakan yang berkonotasi suku Arab, bahkan sebagian masyarakatnya berkebangsaan Arab. Disamping itu, penduduk Khurasan merupakan penduduk yang bertipikal berani, kuat fisiknya, tegap dan tinggi, konsisten dan tidak mudah terpengaruh dengan rayuan-rayuan politik. Keuntungan lainnya adalah masyarakat Khurasan memiliki kekecewaan-kekecewaan terhadap Dinasti Umayyah karena kebijakan pajak kharaj yang dirasakan oleh masyarakat Khurasan sangat memberatkan.[7] Muhammad bin ‘Ali meninggal dunia pada tahun 742 M. dan sebelum beliau meninggal tersebut ia telah menunjuk anaknya yang bernama Ibrahim sebagai penggantinya. Di tangan Ibrahim inilah kelak gerakan Abbasiyah bersifat terbuka dan memperoleh perkembangan yang maju. Pada tahun 743 M. Ibrahim menunjuk dan mengirim Abu Muslim al-Khurasani untuk memimpin perjuangan di Khurasan. Ia sukses dalam melaksanakan tugasnya dan mendapat kepercayaan dari Ibrahim. Dalam waktu tidak kurang dari sebulan, tentara Abu Muslim telah bertambah menjadi 7000 orang.[8] Gerakan yang diproklamasikan oleh Abu Muslim ini tidak menyebut-nyebut nama Baji Abbas. Nama yang dibawanya adalah Ridha min Ahlul Bait dan bendera yang digunakan adalah warna hitam. Oleh karena itu, dalam beberapa catatan sejarah mereka sering disebut dengan sebutan al-Suda (orang-orang yang berpakaian hitam). Warna hitam tersebut menurut sebahagian ahli sejarah adalah untuk melambang suasana berkabung, dalam artian merupakan refleksi dari gerakan rakyat tertindas. Tetapi sebahagian ahli sejarah warna hitam tersebut adalah bentuk usaha untuk mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang sewaktu berperang sering berpakaian hitam dan membawa bendera hitam. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bendera hitam tersebut bukanlah pilihan Abu Muslim, melainkan perintah dari Imam Ibrahim bin Muhammad di Humaima. Sedangkan tujuan gerakan yang diproklamasikan itu adalah untuk menegakkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW.[9]

Walaupun jumlah tentara Abu Muslim terus bertambah, tetapi gerakan atau perlawanan bersenjata belum bisa dilakukan karena kekuatan tersebut masih dianggap belum cukup memadai. Sementara itu, Abu Muslim terus berusaha memperkuat posisinya di Khurasan. Setelah merasa kuat, beliau kemudian mengirim sebahagian tentaranya ke berbagai kota di sekitar daerah Khurasan. Umumnya kedatangan tentara Abu Muslim tidak mendapat perlawanan yang cukup resisten. Satu-satunya kesulitan yang dihadapi oleh pasukan Abul Muslim adalah ketika hendak menguasai kota Balkh dan Tirmidh. Tapi akhirnya kedua kota ini tetap bisa mereka taklukkan. Ketika Abu Muslim masih sibuk dan terkonsentrasi melakukan konsolidasi di Khurasan, beliau menunjuk Abu Jahm bin Attiya sebagai penghubung politik dengan kekuatan gerakan yang dipimpin oleh Abu Salamah di Kuffah. Karena pendukungnya kebanyakan orang Syiah yang mempunyai keyakinan bahwa Negara harus dipimpin oleh seorang imam, dan memiliki otoritas keduniaan dan otoritas keagamaan. Akhirnya mereka segera mengangkat Ibrahim bin Muhammad sebagai imam. Hal ini kemudian tercium oleh Dinasti Umayyah. Imam Ibrahim bin Muhammad kemudian ditangkap dari Humaima dan ditahan di Harat. Ketika beliau tertangkap, Ibrahim bin Muhammad menyuruh anggota keluarganya untuk pindah ke Kuffah karena disana gerakan telah menguasai keadaan. Beliau meninggal dalam penjara pada tahun 132 H. tepatnya pada bulan Agustus 749 M. Namun mayoritas orang berpendapat bahwa beliau meninggal karena dibunuh. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, Imam Ibrahim bin Muhammad sempat berwasiat supaya jabatannya sebagai imam digantikan oleh saudaranya Abu al-Abbas ‘Abdullah bin Muhammad. Tetapi ada sumber yang menyangkal pendapat ini.

Kurang lebih dua bulan lamanya setelah Ibrahim bin Muhammad meninggal dunia, maka anggota gerakan mengambil kebijakan dengan mengangkat Abu ‘Abbas bin Abdullah bin Muhammad sebagai pemimpin. Abul Abbas menerima dengan senang hati. Tahun 122 H./749 M. Abul Abbas dibawa ke masjid Kuffah dan secara resmi kemudian diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Dengan dibai’atnya Abul Abbas sebagai khalifah, belum berarti gerakan ini sudah selesai karena kekuasaan mereka baru mencakup Khurasan dan Irak. Sedangkan di Damaskus masih berdiri Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad. Karena itu, prioritas dan langkah pertama yang dilakukan oleh Abul Abbas adalah mengirim pasukannya ke Damaskus untuk menghadapi tentara khalifah Marwan bin Muhammad. Pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Umayyah terjadi di tepi sungai Zab yang terletak antara Mosul dan Ibriel pada bulan Januari 750 M./123 H. Dalam pertempuran yang sengit tersebut, pasukan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad mengalami kekalahan total. Marwan dan tentaranya yang masih tersisa berusaha melarikan diri dengan menyeberangi sungai Tigris menuju Harran, kemudian pindah ke Damaskus dan terus ke Mesir. Di Mesir inilah khalifah Marwan bin Muhammad mati terbunuh, tepatnya pada awal Agustus 750 M./ 123 H. Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah dan kemudian secara resmi dalam sejarah berdirilah Dinasti Abbasiyah dengan Abu al-‘Abbas bin Muhammad sebagai khalifahnya yang pertama.[10]

:: Telah dipublikasikan di Jurnal Khazanah Edisi 2/ Juli-Desember 2010


[1] Richard N. Frye, “The Abbasid Conspiracy And Modern Revolutionary Theory” dalam Indo-Iranica, hal. 9-14. Artikel ini bahagian dari buku Richard N. Frye, Islamic Iran and Central Asia : 7th-12th Centuries, London: Varioum Reprints, 1979.

[2] Crane Brinton, The Anatomy of Revolution, New York and London: Basic Book Io., 1964.

[3] Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, terj., Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1984, hal. 76

[4] Dikutip bebas dari M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 86-89

[5] Farouk Umar, Tabi’ah al-Da’wa al-Abbasiyah : Dirasat Tahliliyah li Wajihat al-Thurah al-Abbasiyah wa Tassiraatihaa, Beirut: Dar el-Irsyad, 1970, hal. 61-62

[6] Muhammad bin Ja’far al-Thabari, Tarikh al-Umam wa Mulk, Kairo: Mathba’ah Istiqomah, 1939, hal. 316-317

[7] Farouk Umar, The Abbasid Chaliphate, Baghdad: The National Printing and Publishing Company, 1969, hal. 69-70

[8] Abu Muslim al-Khurasani merupakan salah seorang pemimpin propaganda Dinasti Abbasiyah. Secara detail, tidak diketahui asal usulnya. Namun yang pasti, beberapa data sejarah menyatakan bahwa beliau bukanlah keturunan Bani Hasyim, bahkan bukan Arab. Diketahui beliau merupakan Mawali asal Iran. Nama aslinya adalah Abdurrahman sedangkan nama Abu Muslim al-Khurasani tersebut diberikan oleh Ibrahim. Lihat Atho’ Mudzhar, Pendekatan ……, hal. 105; Hassan A. Mahmud dan A. Ibrahim Syarif, Al-A’lam al-Islami fi al-‘Ashri al-Abbasi, Beirut: Dar al-Fikr, 1977, hal. 9

[9] MA. Shaban, The Abbasid.., hal. 158

[10] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hal. 27

Perspektif Teori Muncul dan Bertahannya Dinasti Abbasiyah (2)

Oleh : Yulniza & Muhammad Ilham

Walaupun masa jayanya tidak begitu lama, tetapi Dinasti Abbasiyah masih dapat bertahan selama lebih kurang 600 tahun. Sebuah prestasi yang cukup mengesankan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah ini memiliki daya tahan yang cukup luar biasa selama waktu yang demikian panjang tersebut. Faktor-faktornya antara lain :

Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan ummat Islam. Biasanya hadits ini akan dipegang teguh. Begitu juga halnya dengan hadits al-aimmatun min quraisyin. Hadits ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses keberlangsungan Dinasti Abbasiyah dalam lintasan sejarah peradaban ummat manusia. Selama berabad-abad lamanya, para ulama dan ummat Islam meyakini bahwa kepala negara (khalifah) haruslah berasal dari suku Quraisy, sebab menurut mereka hadits ini dalam posisi harus diamalkan. Ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H./1449 M.) telah membahas kandungan hadits tersebut secara panjang lebar. Ia mengatakan bahwa tidak ada seorang ulama-pun kecuali dari kalangan Muktazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan kepala negara (khalifah) diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Dijelaskan juga, bahwa dalam sejarah Islam telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah dan mereka tidak berasal dari suku Quraisy. Maka menurut pandangan ulama sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imamah al-uzhma),[1] karena mereka bukan berasal dari suku Quraisy. Berhubungan dengan hal ini, maka al-Qurthubi (w. 671 H./1273 M.) menyebutkan bahwa kepala negara disyariatkan harus dari suku Qurays. Sekiranya, menurut al-Qurthubi, suatu saat tinggal satu orang saja, maka yang satu orang tersebutlah yang berhak sebagai kepala negara.[2] Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya telah pernah dimunculkan oleh al-Mawardi (364-450 H./ 975-1059 M.) yang merupakan salah seorang ulama pemikir paling berpengaruh pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam tulisannya, al-Mawardi tetap mempertahankan kepala negara dari suku Quraisy, termasuk juga para wazir tawfidh dan para pembantunya. Hak prerogatif bagi suku Quraisy didasarkan atas hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa : “pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy” dan hadits lainnya : “Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu pemegang amanah”. Ungkapan-ungkapan hadits tersebut diterima oleh semua pihak baik ulama maupun masyarakat, tidak ada yang meragukan kebenaran nya dan tidak ada yang menyanggahnya.[3]

Pemahaman secara tekstual hadits tersebut dan yang sepemahaman dengannya dalam sejarah Islam telah menjadi pendapat umum para ulama dan kaum muslimin serta menjadi landasan normatif bagi pemegang kekuasaan selama berabad-abad. Dalam perkembangan sejarah Dinasti Abbasiyah, walaupun khalifahnya lemah, sementara dinasti-dinasti kecil berdiri dan memiliki kekuatan untuk merebut jabatan khalifah seperti Dinasti Seljuk
[4] dan Dinasti Buwaihi[5], akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk merebut jabatan khalifah. Salah satu sebabnya adalah karena mereka merasa bahwa mereka bukan berasal dari suku Quraisy dan mereka yakin bahwa mereka tidak berhak untuk jabatan khalifah tersebut. Pemahaman hadits secara tekstual itulah yang menyebabkan kemudian Dinasti Abbasiyah dapat bertahan lama sampai datangnya serangan Mongol. Setelah berlangsung pemahaman tekstual selama berabad-abad terhadap hadits tersebut, maka muncullah seorang ulama yang mempelopori pemahaman hadits tersebut secara kontekstual. Dia adalah Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa hak kepemimpinan bukanlah terletak pada suku Quraisy, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakatnya adalah dari suku Quraisy. Apabila pada suatu waktu ada orang yang bukan berasal dari suku Quraisy namun memiliki kewibawaan dalam memimpin, maka orang tersebut bisa diangkat sebagai pemimpin atau kepala negara (khalifah).[6] Apabila kandungan hadits diatas dihubungkan dengan fungsi kenabian Nabi Muhammad SAW., maka dapatlah dinyatakan bahwa pada waktu nabi Muhammad SAW mengeluarkan hadits tersebut, posisi beliau adalah kepala negara yang menjadi indikasi antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial yaitu sifat yang mengutamakan suku Quraisy. Hal ini bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwa yang paling utama disisi Allah adalah yang paling taqwa (QS. Al-Hujurat : 13). Mengutamakan suku Qurays bukanlah ajaran dasar dari ajaran agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW., karena hadits tersebut hanyalah ajaran yang bersifat temporal. Namun terlepas dari perdebatan pemahaman, baik perspektif tekstual maupun kontekstual, namun yang jelas hadits ini telah memberikan daya normatif ketahanan Dinasti Abbasiyah sehingga mampu bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Dis-integrasi dalam bidang politik sebenarnya telah dimulai pada masa akhir pemerintahan Dinasti Umayyah. Namun, bila berbicara tentang politik dalam lintasan sejarah Islam akan terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Hal ini dapat dilihat, bahwa wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dari masa awal berdirinya hingga masa keruntuhannya cenderung sama – untuk tidak mengatakan cenderung bertambah luas. Sementara pada Dinasti Abbasiyah, hal yang dialami oleh Dinasti Umayyah tidaklah sama. Karena pada masa Dinasti Abbasiyah, wilayah kekuasaannya memeiliki kecenderungan terpecah-pecah dibawah pemerintahan dinasti-dinasti kecil. Disamping itu, kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini tidak pernah diakui di Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir. Akan tetapi, pengakuan Mesir tersebut tidak berlangsung lama. Hal ini terbukti dengan berdirinya Dinasti Fathimiyah yang memiliki khalifah sendiri yang sekaligus merupakan tandingan bagi khalifah Abbasiyah.
[7] Bahkan dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa banyak daerah-daerah yang tidak dapat dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah. Secara nyata, wilayah-wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan para gubernur wilayah yang bersangkutan. Hubungannya dengan pemerintah pusat (khalifah) tidak hanya ditandai dengan pembayaran upeti, tetapi juga dengan menyebutkan nama khalifah dalam setiap sholat Jumat dan di dalam mata uang yang beredar.

Ada anggapan yang mengatakan bahwa khalifah Dinasti Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tersebut, seperti pembayaran upeti. Alasan yang dikemukakan adalah khalifah tidak memiliki kekuasaan dan kekuataan yang cukup kuat untuk membuat mereka tunduk dan para penguasa Dinasti Abbasiyah lebih menitikberatkan pemerintahan nya pada pembinaan dan pengembangan peradaban dan kebuda-yaan dari pada ekspansi wilayah. Akibat kebijaksanaan yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah dengan lebih mengutamakan kepada pengembangan dan pembinaan peradaban tersebut menyebabkan munculnya beberapa dinasti kecil. Pada satu sisi, kemunculan dinasti-dinasti kecil ini memberikan potensi yang potensial dalam menngkondisikan kelemahan bagi pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sementara pada sisi lain justru hal ini memperlambat runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena mereka turut membantu dinasti ini dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang datang menyerang pusat kekuasaannya.

Kekuatan lain yang dimaksud dalam buku ini adalah kekuatan di luar Bani Abbasiyah yang berasal dari suku Quraisy. Akibat adanya landasan normatif agama Islam—dalam hal ini hadits yang mengutamakan suku Quraisy sebagai pemimpin – maka hal ini memperkuat posisi kekhalifahan Abbasiyah untuk bertahan dalam waktu yang lama. Tidak adanya dinasti dari suku Quraisy selain dinasti Abbasiyah membuat kekhalifahan Abbasiyah memiliki keleluasaan dalam “memonopili justifikasi normatif keagamaan” tersebut. Potensi ini kemudian ditambah lagi dengan kepatuhan beberapa kekuatan-kekuatan lainnya (maksudnya dinasti-dinasti Islam lainnya yang secara kekuasaan dan kekuatan militer berpotensi besar bisa mengalahkan dinasti Abbasiyah), namun karena kepatuhan terhadap hadits tersebut, maka dinasti-dinasti yang berasal dari non-Qurays ini merasa terpanggil untuk mempertahankan eksistensi Dinasti Abbasiyah karena panggilan dan justifikasi keagamaan. Tidak bisa dibayangkan apabila ada kekuatan lain (dalam hal ini Dinasti lain dari Bani Quraisy, maka kekuasaan Dinasti Abbasiyah memiliki potensi besar untuk dapat bertahan dalam masa yang demikian panjang tersebut.

Sebagai epilog, dapat disimpulkan bahwa keyakinan terhadap hadits yang menyatakan bahwa ada “nilai lebih” pada suku Quraisy untuk menjadi kepala negara (dalam hal ini khalifah) membuat hal ini menjadi faktor paling potensial dalam mempertahankan eksistensi Dinasti Abbasiyah dalam waktu yang sangat lama. Justifikasi-normatif keagamaan ini memiliki daya besar untuk menimbulkan rasa fanatik bagi ummat Islam. Disamping itu, jabatan khalifah dianggap sesuatu yang sakral. Dua hal ini menjadi suatu faktor yang paling signifikan dalam melihat daya tahan politik Dinasti Abbasiyah. Justifikasi terhadap hadits dan sakralisasi jabatan kepala negara (khalifah) yang juga dijustifikasi secara normatif oleh ajaran Islam. Sementara itu, munculnya dinasti-dinasti kecil telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah pemberontakan-pemberontakan yang potensial melemahkan kewibawaan Baghdad, bisa diatasi oleh dinasti-dinasti kecil ini. Disamping itu, dinasti-dinasti kecil ini mayoritas adalah dinasti-dinasti yang memiliki apresiasi yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tidaklah mengherankan apabila Dinasti Abbasiyah dikenal dalam sejarah sebagai salah satu Dinasti besar yang mampu melahirkan capaian-capaian peradaban dan ilmu pengetahuan paling unggul untuk masanya dalam sejarah peradaban Islam. Namun, bila kita jujur terhadap sejarah, semua ini tidak terlepas dari kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut. Disamping justifikasi normatif agama tentang nilai plus suku Quraisy menjadi khalifah dan sakralisasi jabatan kepala negara, daya tahan Dinasti Abbasiyah juga disebabkan karena tidak adanya kekuatan lain yang muncul “sebanding” dengan kekuatan Dinasti Abbasiyah. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan yang sama-sama berasal dari suku Qurays.


[1] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Juz IV., tt.: dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah, t.th., hal. 526-536

[2] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani, Fath ……, hal. 118

[3] Al-Mawardi, Al-Ahkam ……, hal. 4-5

[4] Dinasti ini berasal dari kabilah kecil keturunan Turki yaitu kabilah Qunud yang didirikan oleh Tughril Beq, salah seorang keturunan Saljuk ibn Tuqaq pada tahun 429 H./1036 M. Dalam perkembangan selanjutnya, para penguasa Dinasti Seljuk memasuki kota Baghdad setelah berhasil mengalahkan kekuatan Dinasti Buwaihi. Ditangan mereka, posisi khalifah agak lebih baik dibandingkan pada masa Buwaihi, paling tidak, kewibawaan khalifah dalam bidang agama dikembalikan. Akan tetapi dalam bidang politik, mereka tetap menguasai khalifah.

[5] Dinasti ini didirikan oleh tiga orang bersaudara yaitu ‘Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Tiga orang bersaudara ini kemudian diangkat jadi amir al-umara, kepada mereka diberikan gelar Muiz ad-Daulah untuk Ahmad, Imad al-Daulah untuk Ali dan Rukn al-Daulah untuk Hassan. Ditangan mereka, khalifah Dinasti Abbasiyah tidak lebih dari sekedar boneka yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa.

[6] Ibnu Khaldun, The Muqaddimah ….., hal. 242

[7] Sir William Muir, The Caliphate : Its Rise, Decline an Fall, New York: AMS Press Inc., 1975, hal. 430