Sabtu, 29 Januari 2011

Menjernihkan Pemahaman Tragedi Tahun 1965 : Sebuah Ikhtiar Rekonsiliasi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Berbeda dengan Afrika Selatan yang akhirnya berhasil melakukan rekonsiliasi di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, Indonesia hingga kini masih terus berjuang mewujudkannya – terkait kasus 1965. Berbagai upaya terus dilakukan. Namun, hanya pemerintahan Gus Dur yang berani dan mau melakukannya. Selebihnya, upaya rekonsiliasi dikerjakan hanya oleh bagian-bagian kecil yang ada di negeri ini. Tentu tidak adil membandingkan upaya dan hasil rekonsiliasi kedua negara. Meskipun sama-sama bekas negara jajahan, Indonesia dan Afrika Selatan punya banyak perbedaan. Dalam banyak hal, Indonesia jauh lebih beragam dibanding Afrika Selatan. Yang tidak kalah penting adalah, pemahaman terhadap Peristiwa 1965 sendiri. Sebagaimana berwarnanya kehidupan yang dimiliki Indonesia, masalah 1965 pun sangat berwarna sudut pandang dan penafsirannya. Peristiwanya sendiri pun sangat kaya warna kepentingan. Tidak hanya kepentingan-kepentingan dari dalam negeri, dari luar negeripun turut serta, berkait kelindan. Konteks perpolitikan global dekade 1960-an yang diwarnai oleh makin meningginya intensitas Perang Dingin, jelas sangat berandil terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia. Kedua blok berupaya mempengaruhi Indonesia menjadi sekutunya. Berbagai upaya terus mereka lakukan.

Bagi Indonesia sendiri, kemerdekaan dari “cengkeraman” kedua blok tetap masih kuat. Presiden Sukarno yang sejak Juli 1959 menjadi semakin kuat, terus mencoba menjaga keseimbangan posisi Indonesia. Sukarno bahkan menggalang negara-negara baru untuk membentuk blok tersendiri di luar Blok Barat dan Timur. Bersama PM Nehru (India), Marsekal Tito (Yugoslavia) dan beberapa tokoh negara-negara dunia ketiga lain, Sukarno berhasil membentuk Non Blok. Sepakterjangnya di pentas perpolitikan global kian menguat. Sukarno terus mengupayakan terbentuknya satu tatanan global yang baru. Soekarno terus membangun kesan sebagai motor terwujudnya dunia baru. Selain Ganefo, “Ganyang Malaysia” menjadi salah satu kampanye terpopuler Sukarno saat itu. Bagi Barat, upaya pengencangan pengaruh kepada Indonesia makin penting. Melalui jenderal-jenderal di Angkatan Darat dan beberapa intelektual, kerjasama terus mereka upayakan. Bantuan juga terus mereka kucurkan –dan yang lebih besar tetap mereka janjikan. Mereka juga aktif merekayasa berita. Inggris melakukannnya dengan tujuan untuk membuat situasi jadi chaos. Dengan begitu, “Ganyang Malaysia” bisa dilupakan. Sedangkan AS, selain tetap tidak menginginkan Indonesia jadi komunis, juga tetap ingin mengendalikan sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah. Halangan terbesar bagi Barat dalam mewujudkan kepentingannya, tentu saja Sukarno dan PKI. Tidak bisa tidak, keduanya harus disingkirkan. Mereka terus memanfaatkan orang-orang yang berseberangan dengan Sukarno dan PKI, terutama yang di Angkatan Darat. Mereka juga terus menunggu momentum yang tepat. Dalam periode yang sama, perpecahan antara Soviet dan China terjadi. China tidak ingin kekuasaan terpusat di Moscow saja. Selain itu, China menganggap dirinya merupakan satu kekuatan tersendiri. Soviet terancam. Baginya, ancaman dari China jauh lebih penting diperhatikan.

Indonesia yang awalnya condong ke blok Timur, terpaksa harus lebih keras menjaga keseimbangan terhadap kedua negara itu. Ada kalanya Indonesia lebih “mesra” dengan Soviet, ada kalanya juga lebih “romantis” dengan China. Dan, “mereka saat itu berhasil mengatur hal tersebut,” tulis Bernd Schafer dalam makalahnya, “Setting of the Cold War”, yang dipresentasikan pada Konferensi internasional “Indonesia and the World in 1965” yang dihelat dari 18 -21 Januari 2011. Dan, “di situlah PKI memainkan peran, PKI lebih condong ke China,” tulis Schafer. Kondisi dalam negeri Indonesia sendiri terus memanas sejak kabar sakitnya Sukarno tersiar luas. Pihak-pihak yang berada di sekitar Sukarno mulai resah mengenai siapa penggantinya. Yang juga tidak kalah penting, perekonomian nasional terus memburuk hari demi hari. Inflasi membumbung hingga 600 persen. Pemotongan nilai uang terpaksa dilakukan. Pihak-pihak yang tidak puas kepada Sukarno terus memanfaatkan momentum tersebut untuk terus merongrong Sukarno. Dari dalam, terutama perwira-perwira di AD terus bermanuver. Dari luar, AS pun makin aktif mengontak orang-orangnya –ini dibuktikan dari banyaknya dokumen yang kemudian ditemukan. Lalu ada China yang memanfaatkan hubungan partai komunisnya dengan PKI. Sementara Soviet sendiri hubungannya dengan Indonesia kian menurun semenjak Indonesia lebih condong ke Peking. Ketika G30S pecah, sebagaimana ditulis Ragna Boden dalam “The Soviet Union and the Gestapu Events” yang dipresentasikan, Soviet hampir tidak memiliki keterlibatan. “Dukungan Soviet kepada PKI itu tidak bersifat resmi. Jadi reaksi pada saat itu bersifat oportunistik,” tulis Boden.

Pecahnya G30 menjadi titik balik bagi kekuatan-kekuatan utama di dalam segitiga politik Indonesia saat itu –PKI, Sukarno, dan Angkatan Darat – dan juga banyak orang di tingkat bawah. PKI dipecundangi, Sukarno disingkirkan, dan Angkatan Darat memegang kendali kekuasaan. Orang-orang yang terkait atau yang dikaitkan dengan PKI, lalu diburu dan ditangkapi. Partainya dibubarkan dan jutaan dari anggota atau simpatisannya dibunuh atau hilang tanpa pernah diadili. Momen tersebut juga dijadikan ajang balas dendam orang-orang yang tidak suka kepada PKI atau dalam banyak kasus, ajang fitnah. Sebagaimana dikatakan Baskara T. Wardaya, perintah pembunuhan datang dari atas. Pembantaian terhadap mereka menjadi peristiwa berdarah terkelam dalam sejarah perjalanan Republik. Apa yang terjadi pada 30 September (dini hari 1 Oktober) dan pembantaian massal yang mengikutinya, menurut John Roosa merupakan dua hal yang berlainan. Dalam paper-nya, “Soeharto, Faust, Yudhisthira and the Killing of Prisoners”, Roosa tetap ingin mempertahankan argumennya bahwa G30S merupakan dalih untuk membantai para anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI. Pemahaman lebih jernih atas kedua peristiwa tersebut bagi Roosa sangat penting. Sebab, hingga kini banyak hal yang belum bisa kita pahami. Tujuannya, untuk mencapai harmonisasi antara internal-internasional. “Dikotomi tersebut,” jelas Roosa, “tidak bisa kita tiadakan, tetapi kita bisa memandangnya lebih terstruktur.”

(c) Sumber : Majalah Historia-Online/Januari 2011

Senin, 24 Januari 2011

Ras - Etnik dan Sejarah

Oleh : Muhammad Ilham

Berarti kalau begitu, saya tidak akan ke Timur, karena orang Timur telah unggul, saya harus ke"atas", kata Colombus (Karl R. Popper)

Sabtu malam kemaren, Metro TV (acara Biography) menayangkan Biografi Hitler. Dalam acara berdurasi satu jam ini, masa keemasan dan redup-jatuhnya sang Fuhrer ditayangkan. Satu kesimpulan : "Hitler merupakan salah satu dan paling utama diantara berbagai aktor sejarah yang sangat percaya, bahwa ras/etnik merupakan faktor penentu perubah sejarah peradaban ummat manusia di muka bumi ini". Ketika kita melihat perubahan-perubahan besar dalam lintasan sejarah peradaban dunia, banyak kita temukan kekuatan-kekuatan sosial dimana kekuatan-kekuatan tersebut melatarbelakangi terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat. Perubahan merupakan sesuatu yang jnheren dalam realitas sosial. Ketika waktu berjalan, manusia-pun berubah seiring dengan gerak waktu tersebut. Namun sebagaimana halnya manusia, perubahan tersebut bisa dikondisikan, terkondisikan, dipercepat, diperlambat bahkan perubahan secara drastis. Ada yang beranggapan bahwa tokohlah yang menyebabkan perubahan itu terjadi (dikenal dengan "Great-Man Theory). Ada yang berpendapat bahwa ekonomi dan strukturnyalah yang berada di belakang suatu perubahan. Ada yang beranggapan bahwa agama, institusi, ideologi, wanita-gender, golongan, umur, budaya, mitos, sex maupun ras-etnis bisa menjadi penyebab yang signifikan dalam melatarbelakangi terjadinya suatu perubahan.

Semua penyebab atau variabel diatas sering diperbincangkan dalam wacana intelektual. Namun ada satu yang seakan-akan "tabu" untuk didiskusikan karena pendekatan ini merusak nilai-nilai humanis universal, yaitu pendekatan bahwa ras-etnis menjadi faktor yang paling signifikan dalam mendorong perubahan sosial. Walaupun ada, karena pertimbangan nilai-nilai humanis tadi, yang berusaha untuk tidak melegitimasi secara keilmuan pendekatan ini, namun yang jelas, dalam sejarah panjang peradaban ummat manusia, pendekatan ini pernah dan mampu menjadi daya tarik potensial dalam menstimuli perubahan sosial, baik cepat maupun lambat. Bahkan zaman sekarang, pendekatan ini masih eksis di tengah-tengah masyarakat. Mungkin dikalangan intelektual humanis, pendekatan ini terasa sangat "kejam". Istilah rasis, menjadi konsep yang sangat negatif dalam tataran apapun. Baik itu dalam tataran ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Tapi harus diakui bahwa pendekatan ini pernah dipakai secara sistematis-terorganisir oleh suatu komunitas masyarakat. Klaim terhadap keunggulan suatu etnis bahkan dilegitimasi secara keilmuan. Untuk itu, betapapun "alergi"nya banyak komunitas masyarakat terhadap pendekatan ini, setidaknya pendekatan ini, sampai saat sekarang masih dipakai. Secara filosofis - sebagaimana yang diungkapkan oleh Jean-Paul Sartre, setiap manusia tidak akan pernah menganggap ras mereka sebagai ras inferior, marginal ataupun ras rendah. Setiap bangsa pasti menganggap ras mereka-lah yang paling utama. Dalam konteks sosiologis, pemahaman in-group membuat yang lain adalah out-group. Kemunculan kasta-kasta di India kuno, "negara-teror"nya Hitler dengan program program "horor" hollocaust, ambisiusnya Slobodan Milosevich yang melakukan genocide terhadap muslim Yugoslavia, fenomena politik Perancis beberapa tahun lalu dimana Jean Marie Le-Pen menjadi figur politik sentral di Perancis dengan mengusung isu Nos encestres les Gaulois etaientt Blonds (nenek moyang kita adalah bangsa Gaulis yang berambut pirang) atau fenomena penolakan suku Dayak terhadap etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun yang lalu, memperkuat anggapan bahwa rasis adalah entitas pemikiran yang tidak akan pernah tercerabut.

Bila ditelusuri dalam sejarah, secara teoritis, teori rasis pernah mendapat tempat "sempurna" dari kalangan intelektual masa lalu. Filosof Jerman yang terkenal, GH. Herder pernah mengatakan : "Eropa merupakan wilayah yang paling tinggi tingkatannya dibandingkan dengan daerah-daerah lain karena dihuni oleh orang-orang pilihan cerdas dan diberi kelebihan-kelebihan alam". Sementara itu, peletak dasar teori "Tiga Tahap" dalam sosiologi, Auguste Comte berujar : "Ras kulit putih adalah ras tertinggi dan bahwa dengan sendirinya orang-orang Eropa merupakan elit umat manusia. Ras kulit putih telah mencapai tahap pemikiran tertinggi yaitu positivis setelah sebelumnya terkungkung oleh nuansa teologis yang penuh tahayul". Dan umumnya, pendapat Herder dan Comte tersebut merupakan pendapat mayoritas ilmuan di Eropa pada zamannya. Namun bukan berarti tidak ada yang "menetang". Popper (Karl Raymond Popper), si peletak dasar pendekatan falsifikasi dalam filsafat sejarah dan sosial ini justru pernah mencela "mimpi-mimpi manusia Eropa" tentang keunggulan ras mereka. Popper mengatakan : "Colombus berangkat berlayar dan menemukan Amerika. Apa sebenarnya yang ia cari pada abad ke 15 itu ? Sementara banyak orang Eropa mengatakan bahwa Colombus ingin mencari sebuah pengakuan akan keunggulan ras Eropa dibandingkan ras lain, justru Colombus sebenarnya mencari dua hal yaitu kehormatan dan kekayaan. Sebelum berangkat, Colombus "belajar" dengan kitab "orang lain" dari "ras lain" yang secara diam-diam diakui oleh Colombus sebagai ras unggul, bahkan jauh lebih unggul dari ras Eropa. Colombus membaca Kitab Edras yang dibaca Marco Polo ketika berkeliling ke dunia Timur. Ya .... kitab Edras merupakan kitab orang Timur. Berarti kalau begitu, saya tidak akan ke Timur, karena orang Timur telah unggul, saya harus ke"atas", kata Colombus. Ada sebuah pengakuan Colombus akan keunggulan ras selain ras Eropa dan Colombus tidak pernah mengklaim penemuan benua Amerika oleh ekspedisinya untuk mengklaim keunggulan ras-nya. Justru oleh orang-orang belakangan, ini dipelintir".

Salah seorang sejarawan Jerman (?), A. de Gobineau tertarik untuk melihat dinamika perkembangan dan keruntuhan peradaban-peradaban besar dunia seperti peradaban Yunani, peradaban Romawi, peradaban Persia, Lembah Mesopotamia, Lembah Sungai Indus dan lain-lain. Sesudah ia menelusuri segala macam hal yang memungkinkan menjadi penyebabnya, seperti terjadinya dekadensi dalam berbagai dimensi kehidupan, tradisi hedonisme, tata kelola pemerintahan yang buruk, korupsi dan lain-lain, maka Gobineau berkesimpulan bahwa hanya perbedaan ras-lah yang dapat memberikan penjelasan kausalitas yang lebih memuaskan. Bagi Gobineau sudah merupakan kepastian bahkan hukum alam yang tak tergoyahkan, bahwa ras-ras tidaklah sama. Manusia yang menghuni dunia ini sepanjang sejarah, menurut Gobineau, ada tiga ras utama yaitu ras kulit putih, ras kulit kuning dan ras kulit hitam. Ras ini secara historis dan genealogis mempunyai asal yang berbeda-beda. Dan dari ketiga macam ras ini, ras kulit putih, kata Gobineau, merupakan satu-satunya ras yang mampu mencapai kemajuan dan membangun peradaban unggul. Dalam ras-ras tersebut, kata Gobineau lagi, terdapat berbagai sub ras seperti ras Slav (ras bangsa Slavia), ras Yugo (ras bangsa Yugo), ras Indo Jerman (ras bangsa bavaria Jerman), ras Goth, ras Batav (ras bangsa Nedherland), ras Viking (ras bangsa Skandinavia), ras Spanish (ras bangsa Spanyol), ras Porto (ras bangsa Portugal), ras Latin, ras Anglo-Saxon (ras bangsa Inggris), ras Ceko, ras Gaulis (ras bangsa Perancis) dan lain-lain. Di antara sub-ras tersebut, maka Gobineau berpendapat bahwa ras Aria merupakan sub-ras yang paling sempurna dan yang telah menghasilkan semua peradaban besar.

Pendapat Gobineau diatas bisa dikonfrontirkan dengan pendapat Antropolog Perancis Jean-Claud Levi Strauss. Levi Strauss mengatakan bahwa komunitas masyarakat yang tertutup dan menjalani perkawinan secara internal (perkawinan yang dilakukan terbatas diantara anggota masyarakat atau diantara suku mereka), maka konsekuensinya suku tersebut akan punah. Strauss mengatakan bahwa banyak suku-suku pedalaman yang menganggap tabu dan merasa terhina untuk melakukan perkawinan dengan outgroup mereka. Sikap ini justru membuat mereka lemah dan bahkan berpotensi punah. Bahkan secara medis, kata Strauss, perkawinan internal suku justru memperlemah genetik dan kreatifitas otak manusia. Teori Mendel memperkuat pendapat Strauss ini. Pendapat Strauss ini, sebagaimana halnya Popper di atas, setidaknya mampu membantah secara akademis pendapat Gobineau yang mengatakan bahwa ras kulit putih (khususnya sub-ras Aria) menjadi unggul karena menjaga ikatan genetik mereka. Segala sesuatu yang tertutup, justru meminimalisir potensi sebuah fenomena, demikian kata pakar perbandingan agama Karen W. Amstrong. Agama Yahudi yang dulu cukup besar, sekarang diambang kepunahan karena agama Yahudi dijadikan sebagai agama etnis dan perkawinan antar etnis dalam agama Yahudi (setidaknya yang terjadi selama ini) adalah tabu. Justifikasi terhadap ras tidak hanya dilakukan oleh kalangan ilmuan atau cendekiawan. Sejarah juga telah memperlihatkan bagaimana agama bisa digunakan untuk menjaga kemurnian dan keunggulan suatu ras. Contoh terbaik seperti sistem kasta yang terdapat dalam agama Hindu dan tafsiran terhadap ajaran-ajaran normatif yang mengatakan bahwa perkawinan internal sebagai perkawinan paling mulia dalam agama Yahudi. Sejarah juga mengajarkan bagaimana tradisi politik Yunani menempatkan penduduk asli sebagai penduduk paling utama, dan harus pula kawin dengan penduduk utama bukan dengan penduduk pendatang. Yunani, yang dalam sejarah klasik, dianggap sebagai "pionir" tradisi demokrasi, ketika berhadapan dengan ras, justru tidak mampu bersikap objektif ....... Dalam konteks ini, sejarah peradaban Islam-pun pernah dijangkiti rasis ketika Al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkam Al-Sultaniyah-nya mengatakan bahwa Khalifah hanya bisa dijabat oleh orang yang berasal dari ras pilihan, yaitu suku Qureisy.

::::: artikel ini saya buat disamping terinspirasi setelah menonton Biography, juga terinspirasi dengan "keluhan" seorang kawan yang telah saya anggap adik karena ia dipaksa untuk nikah dengan "Anak Mamak"nya karena keluarga besarnya berargumentasi agar keturunan mereka menjadi lebih baik. Apalagi kawan yang telah saya anggap adik ini sudah menjadi "orang". Semoga artikel bisa membantunya untuk meyakinkan orang tuanya bahwa ia ingin menikah dengan "sahabat yang telah lama dikenalnya" yang berasal dari "outsider"nya ...... Selanjutnya TAKDIR Allah yang menentukan !!
(Sumber Foto : www.google.picture.com)

Dari Batu Sampai Ponsel

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sepanjang sejarah, ada bermacam media untuk menulis. Media tertua untuk menulis (komunikasi) adalah batu. Teks-teks cuneiform dari Mesopotamia kuno (kini Irak), yang oleh banyak sejarawan dan arkeolog diyakini sebagai tulisan tertua, menggunakan batu sebagai medianya. Pun hieroglif di Mesir. Orang-orang Mesir kuno memahat tulisan-tulisannya di dinding makam raja atau peti matinya yang terbuat dari batu. Penggunaan batu untuk media tulis sangat luas dilakukan. Itu dibuktikan dengan temuan inskripsi kuno di sejumlah tempat: inskripsi-inskripsi India awal, maklumat-maklumat Raja Asoka, hingga tulisan-tulisan bangsa Inca, Maya, dan Aztec. Masa penggunaan batu terus berlanjut, beriringan dengan penggunaan lembaran-lembaran lempung (clay) yang dibakar. Tak jelas mana di antara keduanya yang lebih dulu digunakan. Penggunaan lempung untuk media komunikasi simbolik sudah ada sejak lama. Menurut Steven Roger Fischer dalam A History of Writing, pahatan paling tua mulai dikenal sejak kira-kira 100 ribu tahun silam. Namun pahatan itu hanyalah berupa ekspresi grafis, belum tulisan. Cuneiform sendiri lebih banyak dituliskan pada lempung. “Teks-teks cuneiform dituliskan di lembaran-lembaran yang terbuat dari lempung dan dituliskan dengan menggunakan pena ilalang,” tulis Marc Van de Mieroop dalam Cuneiform Texts and the Writing of History.

Penggunaan batu terhenti seiring penemuan papirus oleh orang-orang Mesir sekitar tahun 3000 SM. Orang-orang Mesir membuatnya dari tanaman papirus, sejenis ilalang yang tumbuh di sepanjang lembah Sungai Nil. Papirus berbentuk seperti lembaran-lembaran kertas saat ini. Ia memiliki kelebihan dibandingkan batu atau lempung, yakni lebih ringan dan tak mudah patah. Selain itu, daya serap tintanya lebih kuat, sehingga tulisan di atas papirus jauh lebih awet. Tak heran jika penggunaan papirus meningkat dan meluas. Tapi Mesir memonopoli penjualan papirus karena tanaman papirus hanya tumbuh di sekitar lembah Sungai Nil. Harga papirus pun jadi mahal. Papirus bahkan dipakai sebagai senjata politik ketika pada tahun 150 SM terjadi perseteruan antara Ptolemy V dari Mesir dan Raja Eumenes dari Pergamon (Asia Barat). Gara-garanya sepele: Ptolemy risau ketika tahu Eumenes terus menambah koleksi buku di perpustakaannya. Dia tak mau perpustakaan Eumenes akan sebaik perpustakaan miliknya. Ptolemy lalu menghentikan penjualan papirus ke Eumenes. Ketika Romawi Barat runtuh pada abad kelima, tak ada lagi perdagangan “resmi” dengan Mesir. Papirus jadi sulit didapatkan. Banyak orang terpaksa menggunakan kertas kulit (parchment). Raja Eumenes pun membuat buku-bukunya dari parchment –kata “parchment” sendiri berasal darinya. Di Asia Barat dan Eropa, kertas kulit terbuat dari kulit biri-biri, domba, atau sapi. Tapi di China, ia juga dibuat dari kulit tumbuhan. Tak heran bila di Eropa penggunaannya terbatas pada orang-orang kaya. Pada tahun 105 SM, Tsai Lun di China berhasil membuat kertas “modern”, terbuat dari bambu yang mudah didapat di seantero China. Meski awalnya pembuatan kertas itu dirahasiakan, penemuan itu akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring penyebaran bangsa-bangsa China.

Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah, terutama setelah kekalahan Dinasti Tang dalam Perang Arab-China (tahun 751) di Samarkand, yang memperebutkan kendali atas wilayah itu. Arab berhasil menawan beberapa pasukan China, beberapa di antaranya tahu cara pembuatan kertas. Sebagai konsesi atas keselamatan jiwanya, mereka membocorkan teknik pembuatan kertas. Tak lama kemudian, dunia Islam pun akrab dengan kertas. Mesir, yang semula masih menggunakan papirus, beralih ke kertas sekitar tahun 800. Pada masa itu, akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi. Buku-buku terus diproduksi. Penyebarannya pun meluas, dari Eropa Barat dan Maroko di barat hingga India di timur. Tapi orang-orang Eropa masih menggunakan kertas kulit. Mereka baru menggunakan kertas setelah pada 1200-an menaklukkan beberapa wilayah Islam di Spanyol dan merebut pabrik kertas. Teknik pembuatan kertas makin mudah setelah pada 1799, seorang Prancis bernama Nichilas Louis Robert menemukan proses untuk membuat lembaran-lembaran kertas, yang melalui perkembangan alat ini sekarang dikenal sebagai mesin Fourdrinier. Kertas menjadi lebih murah, dan dengan cepat menyebar penggunaannya. Di Indonesia, belum jelas media apa yang paling awal digunakan. Bila mengacu tulisan tertua yang ditemukan, batu menjadi media tertua. Yupa-yupa Raja Mulawarman dari Kutai dan prasasti-prasasti Raja Purnawarman dari Tarumanegara yang berasal dari abad kelima menjadi bukti. Sementara naskah tertua dari daun lontar adalah Arjunawiwaha, yang ditemukan di Jawa Barat, dengan angka tahun 1334/5 Masehi. Kemudian dikenal pula penggunaan kertas daluwang atau dluwang, terbuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar, terutama di Jawa pada masa Islam.

Penggunaan kertas yang kita kenal sekarang, melalui perantara para pedagang Belanda, Eropa, Arab, dan China yang mengunjungi Nusantara, tak membuat kertas lontar dan dluwang punah. Hingga abad ke-20, di Jawa, Madura, dan Bali ditemukan naskah-naskah kuno yang menggunakan daun lontar sebagai media tulis. Kertas kini belum tergantikan, meski penggunaannya perlahan berkurang sejak kemunculan komputer. Komputer mulai digunakan untuk beragam aktivitas, termasuk menulis dan mencetak dokumen. Lalu muncul dan berkembang produk-produk perangkat keras lainnya: ponsel, PDA, telepon pintar. Keberadaan mereka didukung oleh internet, yang bukan saja memudahkan orang berkomunikasi tapi juga menuliskan gagasan atau perasaannya dalam waktu singkat –atau sebaliknya, memperoleh informasi. Dalam istilah Bill Gates dalam wawancara dengan majalah Playboy, “Informasi berada di ujung jari Anda.” Perangkat keras itu menjadi media tulis yang praktis. Makin jarang orang menggunakan kertas surat karena ada layanan pesan singkat (SMS), email, atau jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Kartu ucapan selamat tal lagi populer karena ada e-card, juga layanan SMS. Orang juga nantinya tak perlu lagi membaca buku dan koran yang tebal dan merepotkan karena ada e-book dan e-paper. Toh kertas diakui memiliki dampak buruk bagi perubahan iklim: berapa banyak pohon ditebang? Sampai kapan kertas bertahan? Akankah penggunaannya bernasib sama seperti halnya batu, lempung, papirus atau lontar? Duapuluh tahun dari sekarang, kertas akan menjadi sejarah, ujar seorang eksekutif Microsoft dalam sebuah konferensi di San Francisco tahun 2009.Tapi banyak orang menganggap kertas takkan punah. “Teknologi digital membuat dampak besar pada cara kita menerima informasi, membaca, dan berkomunikasi dengan orang lain,” tulis Irene Piechota dalam “Means of Human Communication Though Time” pada 2002. “Saya percaya bahwa materi cetak tradisional tak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan, tapi mereka mungkin kian terbatas oleh kemajuan teknologi.”

Sumber (c) MF. Mukhti/Nopember 2010

Jumat, 21 Januari 2011

"Misteri" Indonesia, Muluk Nasution dan Silungkang

Oleh : Muhammad Ilham

Rupanya Datuk Sinaro Chatib, Sekretaris Sarikat Rakyat Silungkang memiliki koleksi buku lebih dari 1.000 buah. Di sebuah nagari yang biasa-biasa saja, di tahun 1920-an. Salah satu koleksi buku Datuk Sinaro Chatib ini adalah Uncle Tom's Cabin (Gubuk Paman Tom). Datuk Sinaro yang tercerahkan ini, bahagia dikunjungi banyak orang hanya untuk sekedar membaca koleksi buku yang dimilikinya. Buku Uncle Tom's Cabin menjadi salah satu bacaan favorit orang yang berkunjung ke rumahnya. Dalam catatan Ruth Mc. Vey yang menyinggung "Pemberontakan Silungkang", ada anak muda yang bernama Muluk Nasution, atau Abdul Muluk Nasution. Profesinya sebagai pegawai pos, mungkin membawa putra Mandahiling ini "hinggap" di Silungkang. Ia sering membaca buku-fiksi Uncle Tom's Cabin tentang perjuangan budak belian Afrika di Amerika Serikat. Secara imajinatif, Muluk menghubungkan lingkungan yang dilihatnya dengan apa yang menjadi pesan buku-fiksi ini. Melalui buku fiksi ini, Muluk dan mungkin rakyat Silungkang menemukan apa yang dikatakan Bennedict R. O'Gonnor Anderson, the imagines communities - bayangan akan sebuah komunitas yang lebih besar dengan membandingkan lingkungan dan pesan Uncle Tom's Cabin. "Penderitaan dan kesengsaraan budak belian Afrika dalam buku tersebut, saya bandingkan dengan penderitaan dan nestapa kuli-kuli kontrak yang bekerja paksa ditambang Ombilin Sawahlunto atau di perkebunan Ledang dan Tinggam yang pernah saya lihat", demikian Muluk. Kedekatannya dengan Datuk Sinaro Chatib, membuatnya memasuki ranah politik via Sarikat Rakyat Silungkang.

Bulan Februari 1924, Muluk ditangkap dengan sebelumnya dipecat menjadi pegawai pos, sebuah posisi yang cukup terpandang kala itu. Apa kesalahan Muluk ? Bersama Buyung Enek (saya yakin dan percaya, namanya tak ada dalam buku sejarah) Muluk mengumpulkan beberapa orang pemuda Silungkang lalu menyanyikan lagu Barisan Pemula yang menggelora dengan aura pembebasan dari ketertindasan dan keinginan untuk menyatukan barisan, barisan yang bernama Indonesia. Sungguh, negara Indonesia sebagai sebuah konsep yang diimaginasikan, telah tertanam dengan kuat pada tahun 1920-an. Muluk dan Buyung Enek menyampaikan pesan pada sejarah. Dan mereka bukanlah figur yang dianggap penting dan tak diperhitungkan oleh sejarah. Kita tidak tahu apa arti “Indonesia” dan kemerdekaan bagi rakyat masa itu. Tapi bagi kawan-kawan Muluk yang lain, seperti Kamaruddin alias Manggulung bersama dengan Sampono Kayo dan Ibrahim yang dijatuhi hukuman gantung, bagi mereka Indonesia sebagai sebuah imagines communities adalah sebuah keniscayaan. Dalam pledoinya, mereka mengatakan “terus terang” motif pemberontakan mereka - hasrat untuk merdeka. Mereka meminta untuk di hukum gantung di pasar Silungkang, daerahnya mereka sendiri. Menghadapi kematiannya, Kamaruddin masih tetap imajinatif, menuntut agar dagingnya diiris-iris dan dikirimkan kepada Ratu Belanda, Wilhelmina. "Setelah tembok Cina selesai berdiri, kemanakah para budak disembunyikan", kata filosof Cina klasik Lut Szun ratusan tahun lalu.

Referensi : Fachry Ali (1999), Goenawan Mohammad (2000)

Aburizal Bakrie is the Real President

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

... who get what, how and when" (Harold Lasswel)

Setelah sempat saling memojokkan dan saling ancam akhirnya kedua kubu itu berdamai, yang sekaligus menunjukkan ancaman mereka satu kepada yang lain dengan embel-embel bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah demi penegakan hukum, demi bangsa dan negara, adalah omong kosong belaka. Yang benar adalah demi kepentingan politik jangka pendek (SBY dan Ical Bakrie) masing-masing. Di Indonesia dewasa ini, ungkap mantan menkeu Sri Mulyani sebelum ''pergi atau minggat'' ke Bank Dunia Amerika Serikat, Sri tegaskan, terjadi kawin politik meski jenis kelaminnya sama, ada perkawinan oleh sosok-sosok kepentingan dengan jenis kelamin yang sama. Dahsyat, metafora Sri Mulyani. Dengan kata lain, para aktivis dan analis-merujuk metafora Sri Mulyani-menyebut, dewasa ini SBY dan Ical saling memegang ''kelamin kepentingan'' masing-masing di tengah rumitnya pertarungan politik-ekonomi yang sarat korupsi, kolusi. Demikianlah sinetron Pansus Bank Century yang dimotori oleh Golkar dengan ketua umumnya Aburizal Bakrie sempat membuat SBY terpojok. Semula dia masih mencoba bertahan untuk tidak memenuhi keinginan Aburizal Bakrie untuk menggeser Sri Mulyani – satu-satunya orang di pemerintahan yang berani melawan sang konglomerat, dengan menggunakan ancaman tak langsung untuk mengusut kasus-kasus pajak yang diduga kuat melibat tiga perusahaan milik Grup Bakrie. SBY pada waktu itu (Februari 2010) mengatakan bahwa pengemplangan pajak merupakan suatu kejahatan terhadap negara. Oleh karena itu demi kepentingan bangsa dannegara memerintahkan kepada Polri untuk mengusut tuntas para penggepalangan pajak. Waktu itu juga telah dilangsir daftar 10 perusahaan pengemplang pajak, tiga di antaranya dari Grup Bakrie.

Dalam hal ini SBY mungkin mengira dengan melontarkan pernyataan tersebut publik akan menaruh apresiasi kepadanya bahwa dia seorang presiden yang begitu perduli dan begitu tegas terhadap kasus pengemplangan pajak, tak perduli melibatkan grup konglomerat. Tetapi sebenarnya yang terjadi sebaliknya, publik justru mencibir, melihat ada udang di baliknya. Kalau memang presiden serius, kenapa setelah dirinya terpojok baru tiba-tiba melontarkan penrnyataan demikian? Padahal sudah cukup lama media melangsir dugaan pengemplangan pajak di tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Tidak itu saja, lewat Partai Demokrat pun ditebar ancaman bahwa Presiden SBY akan melakukan reshuffle kabinet yang pada intinya adalah menglengserkan tiga menteri asal Golkar dari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua itu. Alih-alih kedua ancaman tersebut mempan, Aburizal Bakrie malah balik menantang. “Saya bukan orang yang suka main ancam, tetapi jangan coba-coba ancam saya. Mati pun saya tidak takut,” katanya waktu itu.
Aburizal yakin SBY tak punya nyali untuk melawannya. Betapa tidak dalam pilpres 2004 dia adalah penyumbangterbesar kampanye SBY-JK sebagaimana pernah dilangsir majalah Tempo, dan diakui oleh JK. Entah dalam pilpres 2009 lalu? “Golkar tidak terpengaruh dan berubah pikiran, demi kepentingan bangsa dan negara akan terus mengusut skandal Bank Century sampai benar-benar tuntas,” katanya lebih lanjut. Maka nyali kubu Demokrat dan SBY pun segera susut. Mau menggertak, balik digertak, malah susut nyalinya. Tak terdengar lagi ancaman-ancaman seperti itu. Sampai kemudian kita dapat kabar bahwa SBY telah menyetujui Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mundur dari jabatannya, dengan alasan untuk bekerja di Bank Dunia di Washington sebagai Direktur Operasional Bank Dunia. Persetujuan SBY yang demikian cepat sangat kotradiksi dengan pernyataannya sebelumnya ketika membela Sri Mulyani yang dijadikan sasaran tembak utama Pansus DPR. Waktu itu SBY mengatakan tidak akan mengganti Sri Mulyani, dan bahwa Sri Mulyani adalah anak bangsa terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Jasanya sangat besar dalam menghindari Indonesia dari malapetaka krisis ekonomi jilid dua. Pertanyaannya, kalau memang nilai seorang Sri Mulyani sebegitu tinggi di matanya, kenapa sedemikian cepat dan mudahnya SBY melepaskan Sri Mulyani ke Bank Dunia? Kabar yang beredar, jabatan itu ditawarkan kepada Sri Mulyani oleh Presiden Bank Dunia Robert B. Zoelick, setelah berbicara dengan SBY. Dan SBY pun langsung setuju. Apakah ini suatu kebetulan agar SBY punya alasan tepat untuk menglengserkan Sri Mulyani dari kabinet yang dipimpinnya sekaligus memenuhi kehendak Aburizal Bakrie, ataukah jangan-jangan malah dia sendiri yang menyodorkan Sri Mulyani kepada Presiden Bank Dunia itu, sebagai suatu trik agar Sri Mulyani bisa dilepas dengan alasan yang bagus. Yang ujung-ujungnya demi memenuhi kehendak pihak Aburizal Bakrie juga. Setelah mencoba berbagai cara untuk tetap bertahan gagal. Merasa semakin terpojok dengan skandal Bank Century di Pansus, SBY akhirnya terpaksa menjadikan Sri Mulyani semacam tumbal politiknya.

Demi memenuhi kepentingan politiknya, SBY juga rela menjadikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu sebagai salah satu tumbal politiknya yang lain. Anggito sebelumnya oleh SBY sendiri telah dipersiapkan sebagai wakil menteri keuangan. Tinggal menunggu dilantik saja. Tetapi tanpa pemberitahuan sebelumnya, seiring dengan mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan diganti oleh Agus Martowardojo, tiba-tiba saja yang dilantik orang lain, Anny Ratnawati. Sampai sekarang pun tidak ada kabar kepada Anggito kenapa dia tidak jadi dilantik sebagai wakil menteri keuangan itu. Tidak berlebihan jika dia menyatakan merasa harga dirinya terusik dengan ulah SBY tersebut. Tapi mana SBY perduli?! Kenapa bisa begitu? Jangan-jangan ini juga bagian dari kesepakatannya dengan kubu Aburizal, bahwa yang menentukan siapa Menteri Keuangan dan Wakilnya adalah Aburizal? Anggito juga tidak disukai karena dia dikenal sangat dekat dengan Sri Mulyani, yang bisa jadi malah nanti jadi ganjalan baru. Kalau bukan karena itu, lalu kenapa? Setelah Sri Mulyani berhasil dilengserkan, maka ganjalan utama hubungan antara SBY dengan Aburizal Bakrie pun tersingkir, maka keduanya pun bersatu kembali untuk memenuhi kepentingannya masing-masing, dengan membentuk Sekretariat Gabungan Koalisi dengan ketuanya Aburizal Bakrie. Yang dalam beberapa hal mempunyai kewenangan yang nyaris setara dengan Wakil Presiden, atau bahkan Presiden! Seperti memanggil para menteri, menentukan arah kebijakan pemerintah sebelum kebijakan itu dijalankan, dan seterusnya.

Aburizal Bakrie dengan terang-terangan berkata bahwa dengan sekretariat gabungan koalisi itu kini Golkar memegang peran sentral di pemerintahan. Rasanya lebihtepat apabila disebutkan Aburizal Bakrie lah yang memegang peran sentral dipemerintahan. Barangkali menjadi seperti “presiden bayangan” khususnya dalam menentukan arah kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan bisnis dan politik Golkar? Maka jangan harap kalau ada kasus-kasus apapun yang menyangkut kepentingan bisnisnya, pemerintah bisa mengusutnya. Kalau sampai benar akan menjadi seperti ini, berarti SBY setelah “menyingkirkan” JK, gara-gara JK sering dibilang “The Real President,” sekarang malah dia sendiri yang menciptakan “The Real President” yang baru, yang lebih kuat daripada JK? Sampai-sampai Mabes Polri saja takut, atau barangkali lebih tepat karena bagian tak langsung dari koalisi ini, atau harus patuh kepada atasannya (Presiden yang telah berkoalisi demikian)? Karena kesannya Polri tidak serius dalam menindaklanjuti pengakuan Gayus Tambunan yang mengaku menerima sedikitnya Rp 65 miliar dari tiga perusahaan Grup Bakrie yang saat ini sedang mendapat sorotan kuat. Mungkin untuk menepis kesan tersebut, Mabes Polri mengaku bahwa Polri sangat hati-hati dalam memeriksa Grup Bakrie (Jawa Pos, Selasa, 07 Juni 2010). Kenapa mesti memberi keterangan seperti ini, apa kalau dengan pihak lain Polri tidak “sangat hati-hati”? Atau memang betul saking kuatnya Bakrie, sampai Polri saja takut. Maklum saja, Presidennya saja takut, kok? Pembentukan sekretariat gabungan koaliasi dengan kewenangan seperti ini menjadi sistem politik Negara ini akan menjadi kacau. Majalah Tempo edisi 17-23 Mei 2010 dalam opininya menulis: “Pembentukan sekretariat gabungan koalisi bisa memperancu sistem politik kita. Wadah baru ini akan memindahkan pembahasan politik di gedung Dewan Perwakilan Rakyat ke ruang tertutup dengan peserta yang terbatas. Alih-alih memperkuat posisi pemerintah melalui koalisi yang diformalkan, sekretariat bisa menjadi wahana “patgulipat yang dilembagakan.” Apalagi jika agenda yang dibahas mengutamakan kepentingan politik jangka pendek bagi segelintir orang, bukan untuk memperjuangkan kemaslahatan rakyat.” Jadi, seolah-olah sekretariat gabungan koalisi ini bukan saja mengambil-alih sebagian kewenangan presiden dan wakil presiden, tapi juga kewenangan dari DPR. Sebelum suatu masalah dibicarakan di DPR, wajib dibahas dan diputuskan di Sekretariat Gabungan Koalisi ini. Setelah itu baru dibawa ke DPR, yang hanyalah formalitas saja? Kalau pun ada fraksi yang menolak hasil tersebut, pasti akan kalah ketika voting dilakukan. Mau jadi apa, atau mau dibawa kemana bangsa dan negara ini oleh para pimpinan dan politikusnya? Seolah-olah negara ini merupakan prasarana mereka itu untuk mencapai maksud dan tujuan, kepentingan, dan ambisi pribadi dan kelompoknya saja.

Setelah sekretariat koalisi ini terbentuk maka jelaslah bahwa pernyataan kedua orang ini, SBY dan Aburizal tentang tekad mereka masing-masing untuk membongkar kejahatan demi kepentingan bangsa dan negara sebagaimana saya singgungkan di atas adalah bohong belaka. Semuanya adalah demi kepentingan jangka pendek mereka. Pernyataan Aburizal bahwa Golkar telah bertekad bulat, tidak akan berubah pikiran, tidak akan terpengaruh oleh apa dan siapapun, karena sangat yakin bahwa ada kejahatan besar dalam skandal Bank Century, dan oleh karena itu demi kepentingan bangsa dan Negara akan membongkarnya sampai tuntas, terbukti hanya bohong belaka. Semuanya ada udang di balik batu. Pansus Bank Century, dan lain-lain hanyalah prasasaran untuk mencapai tujuan politik kelompoknya. Setelah terbentuk Sekretariat Bersama Gabungan Koalisi, semua tekad Golkar itu tiba-tiba tenggelam. Seolah hilang tanpa bekas. Sekian miliar rupiah yang telah digunakan membentuk Pansus dan kerjanya selama berbulan-bulan menjadi sia-sia, karena maksud dan tujuan politiknya telah tercapai. Demikian sama saja dengan SBY. Pernyataannya yang menyinggung pihak Bakrie, bahwa pemerintah akan mengusut kasus-kasus pajak di perusahaan-perusahaan besar, terbukti hanya bualan politik saja. Setelah terbentuk Sekretariat Bersama Gabungan Koalisi tersebut, tak terdengarl lagi semangatnya yang berkoar-koar memberantas kasus perpajakan di perusahan-perusahaan besar, khususnya pada Grup Bakrie. Seperti yang saya singgung di atas, polisi saja kelihatannya takut terhadap Grup Bakrie ini. Meskipun Gayus telah mengakui telah menerima uang sedikitnya Rp 65 miliar dari Grup Bakrie, polisi dengan alasan “sangat hati-hati” belum juga terdengar melakukan pengusutan yang serius.

Saya yakin kasus ini cepat atau lambat akan tenggelam di polisi, seperti halnya kasus Bank Century tenggelam di DPR. Kalau hal-hal tersebut di atas adalah benar semua, maka rasanya sebutan koalisi di sini kurang tepat, barangkali lebih tepat digunakan istilah “Sekretariat Bersama Gabungan Konspirasi” Menyinggung sedikit lagi tentang Gayus Tambunan yang bermuara ke Grup Bakrie ini. Fenomena seperti ini seolah menjadi bumerang bagi Bakrie. Pihaknya lah sebagai pelopor dan motor utama mengungkap kasus skandal Bank Century, sampai merembet ke mana-mana. Sampai juga mengena Susno Duadji, yang mengungkapkan peran Gayus Tambunan sebagai makelar kasus pajak. Dari Gayus ini kemudian keluarlah pengakuan menerima uang haram tersebut dari Grup Bakrie juga. Senjata makan tuan? Tapi tuan yang sangat sakti, jadi senjata itu akan dengan mudah ditepisnya?

Sumber : Diskusi Kompasiana/facebook (c) Daniel H.T.

Rabu, 19 Januari 2011

Pajak, Gayus dan Pangeran Gua Selarong

Oleh : Muhammad Ilham

Gayus telah divonis 7 tahun. Entah adil entah tidak, saya tak punya parameter. Bila Menkopulhukam Djoko Suyanto mempersilahkan publik untuk menilai adil tidak adilnya hukuman 7 tahun itu, maka saya juga "senada", biarlah ahli hukum yang menilai. Dan setelah Hakim Albertina Ho membacakan keputusannya, Gayus mulai menembakkan beberapa amunisinya, dari klaimnya telah ditunggangi sebagai pion politik Satgas Anti Mafia Hukum hingga aparat hukum yang "dikentutinya" - meminjam istilah advokat senior, Adnan Buyung Nasution. Tapi, bau pengemplang pajak tetap menyebar. "Saya hanya teri, big fish tidak tersentuh", demikian yang (selalu) diucapkan si-Tambunan ini dalam berbagai kesempatan. Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat itu, bisa disunat si "teri" Gayus yang III/a itu hampir 100 Milyar., bagaimana dengan yang Paus-nya ? Baliho "Orang Bijak Sadar Pajak" terus terpampang di berbagai sudut. Pada titik ini, saya teringat dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Gua Selarong yang menjulang tinggi ini, membuat Jawa "berdarah-darah" karena marah bergejolak melihat masyarakat di "pajak-i".

Sejarawan Peter Carey pada tahun 1821 melaporkan bahwa para petani terpaksa menjual seluruh hasil kebun tembakaunya hanya untuk membayar pajak tanah, sementara mereka harus tetap hidup hanya dengan memakan sedikit jagung belaka. Sistem pajak yang amat sangat menekan itu ditambah lagi dengan pajak lain - pajak "tol". Orang-orang Cina yang mendapat "lisensi" pengelolaan jenis pajak ini, meninggikan sewa jalan-jalan "tol" yang harus dilalui pedagang dari berbagai desa. Ironisnya, para pedagang tersebut seringkali "terpisah" dengan dagangannya hanya untuk bisa membayar pajak "tol" ini. Para Bupati dan kaum bangsawan, berselingkuh dengan kolonial Belanda, untuk memperkaya pundi-pundi mereka. Sistem pajak yang menghinakan dan menyengsarakan ini, membuat rakyat kecil merindukan kedatangan Ratu Adil. Ketika Pangeran Diponegoro, yang juga memiliki keprihatinan mendalam, langsung menyambutnya. Jawa berkobar dengan biaya mahal. Perang Jawa, menurut Carey telah melibatkan 2 juta rakyat Jawa dan menewaskan hampir 200.000 orang, 8.000 pasuka Eropa dan 7.000 "Belanda Hitam". Pemerintah Belanda harus mengeluarkan dana hingga 20 juta gulden untuk memadamkan Pangeran Diponegoro. Hampir 5 tahun, Jawa bergenangan darah.

Kalau bolehlah saya berandai-andai (itupun kalau boleh), bila persoalan mafia pajak tidak tertangani menurut prinsip keadilan, tidak kecil kemungkinan peristiwa Pangeran Diponegoro dalam "bentuk lain" akan terjadi di Indonesia. Historia Me Absolvera, biarlah sejarah yang membebaskan atau menilai, demikian Castro. Wallahu a'lam.

Ketika Pidato Menggelegar Salah Zaman : Antara Soekarno dan Hatta

Oleh : Muhammad Ilham

Kekuatan bahasa dalam pengolahan Soekarno bisa menjadi "as a great in strument of power and expression" (Peter Hastings)

Kalau Soekarno hidup pada era sekarang nan kritis ini, tentu Soekarno akan dicela-sinis bahwa masyarakat tidak akan "kenyang" dengan pidato menggelora. Tapi karena Soekarno hidup pada "zamannya", masyarakat Indonesia menjadi terkesima pada seorang orator ulung. Konon, sejarawan, tepatnya biografer, spesialis Soekarno - Cyndi Adams - begitu terkesima dengan "langgam" kata indah nan menggelegar Putra Ida Ayu Rai ini. Soekarno memang ditakdirkan punya kemampuan olah verbal luar biasa. Ia ekspressionis seperti Hitler yang "bergetar" kala pidato di depan Gestapo. Soekarno diterima dengan hangat melalui pidatonya dan hingga sekarang masih inspiratif itu, karena memang ia hidup pada masa teknologi audio-visual absen. Ini menyebabkan pesan-pesan politik berlangsung secara lisan, karena itu-lah tokoh yang muncul megah-meriah dihadapan rakyat adalah para singa podium. Karena itu pula-lah, Soekarno bisa menggeser posisi Hatta yang "dingin" serta "rasional", bahkan di kampung halamannya sendiri. Lihatlah, bagaimana kedatangan Soekarno ke Sumatera Barat (kala itu : Sumatera Tengah) disambut dengan gegap gempita. Kedatangannya membawa pesan pada masyarakat Minangkabau kala itu, sebuah kehadiran "pidato" luar biasa.

Fachry Ali pernah menukilkan dalam sebuah artikelnya dengan mengutip laporan "pandangan mata" Kedaulatan Ra'jat tanggal 7 Juni 1948. "Satu kilometer menjelang Solok, penyambutan rakyat luar biasa meriahnya. Sesampai di kota, rombongan Presiden Soekarno tenggelam dalam lautan manusia yang bergelombang-gelombang itu. Mereka menantikan pidato luar biasa dari seorang Presiden yang dikenal sebagai ahli pidato". Sambutan spontan luar biasa, jauh dari Tanah Jawa, yang membuktikan bahwa Soekarno milik "semua tanah" Indonesia. Hatta yang rasional dan dingin itu tak disambut segempita Soekarno. Bahkan tokoh proklamator yang oleh Michael Vatikiotis dianggap sebagai "Ayam Gadang Minangkabau" ini dianggap terlampau rasional pada masa itu. Seandainyalah Hatta hidup pada masa sekarang yang lebih mengedepankan rasionalitas dan moralitas, tentu ia akan disambut gegap gempita, oleh ranah sosial politik Indonesia sekarang. Bukan pidato menggelora. Sayang Hatta hidup pada masa dulu.

Sang Maestro Ibnu Rusyd dan Masa Depan Peradaban Islam

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Saya sedang membaca sebuah buku karya Prof. Dr. Atif Iraqi, seorang pakar filsafat Mesir dari Universitas Cairo. Prof. Atif Iraqi adalah salah seorang yang cukup produktif menulis buku-buku filsafat, yang sangat berat isinya bagi saya. Diantara buku-buku filsafat yang ditulisnya mengenai Ibn Rusyd antara lain, “Al-Naz’ah al-Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd” (Tendensi Rasionalisme dalam Filsafat Ibn Rusyd), ”Al-Manhaj al-Naqdy fi Falsafah Ibn Rusyd" (Metodologi Kritik Filsafat Ibn Rusyd), dan buku ‘Al-Failasuf Ibn Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqafah al-Arabiyah” (Filosof Ibn Ruyd dan Masa Depan Kebudayaan Arab). Buku terakhir ini merupakan buku kenang-kenangan Prof. Irqi bersama pemikiran pencerahan Ibn Rusyd selama 40 tahun. Selain itu masih banyak lagi buku-buku filsafat lain yang dihasilkan oleh Prof. Iraqi, seperti "Mazahib Falasifah al-Masyriq (Mazhab Para Filosof Timur (Dunia Islam Timur)”, “Tsawrat al-Aql fi al-Falsafah al-Arabiyah” (Revolusi Rasional Filsafat Arab-Islam), “Al-Mitafiziqa fi Falsafat Ibn Tufail’ (Metafisika Filsafat Ibn Tufail),’ dan banyak lagi karya-karya yang lain. Sebagaimana diketahui Ibn Rusyd hidup di Spanyol (Andalusia) pada abad pertengahan yang telah memberikan kontribusi nyata akses pencerahan terhadap benua Eropa. Cak Nur seringkali mengatakan bahwa model perguruan tinggi Eropa diilhami oleh model pendidikan Islam di Spanyol-Islam (Andalusia).

Selama 700 tahun Islam di Andalusia, Islam telah memberikan kontribusi berharga kepada dunia Barat yang saat itu masih belum berperadaban (setidaknya bila dibandingkan dengan peradaban Andalusia-Cordoba). Filosof Ibn Rusyd ini yang telah merekonstruksi peradaban modern yang mengambil jalan tengah peradaban antara akal dan syariat (bahasa Arabnya, al-tawfiq bayn al-Aql wal Syariah). Keseimbangan antara rasionalisme dengan syariah. Buah pemikiran rasioalisme yang menjelmakan benua Eropa pada revolusi ilmu pengetahuan. Peranan Ibn Rusyd sendiri dan Islam pada umumnya sudah banyak diakui oleh para sejarawan Eropa modern dan kalangan orientalis. Bahkan Paus Silvester III pun pada saat itu mengirim murid-muridnya untuk belajar di Andalusia.

Pada saat itu, Eropa juga mengalami Islamophobia atau Ibn Rusydphobia, yang sedikit-sedikit mereka selalu bilang, "awas dipengaruhi oleh Ibn Rusyd’" sama dengan orang Islam sekarang yang selalu bilang "awas dipengaruhi oleh Barat". Karena peradaban Islam pada saat itu sedang menguasai dunia Eropa abad pertengahan. Dalam buku ini Prof. Iraqi ingin mengingatkan kembali para intelektual Musalim dan Arab untuk mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai dunia Islam dalam bidang peradaban klasik dan meraihnya kembali kepemilikan peradaban tersebut sebagaimana dilakukan oleh Ibn Rusyd dan kawan-kawan di Spanyol-Muslim.

Sumber : Bang Nasr/Januari 2011 (Referensi Tambahan : Montgomery Watt : 1998)

Selasa, 18 Januari 2011

Cost Politik Bila Popularitas SBY "Jatuh"

Oleh : Muhammad Ilham

Saya bukan membela atau berada pada posisi "SBY pantas dibela". Tidak. Bagi saya sederhana saja. Ia terpilih dalam Pemilihan Umum 2009 yang lalu. Suka tak suka, demokrasi jadi sebuah pilihan, maka apresiasi terhadap pilihan mayoritas harus dilakukan. Kala ia mampu menjadi Presiden dengan baik, ia akan dicatat dengan baik sebagai Presiden baik. Bila jelek dan peragu, mungkin sampai berakhirnya Republik yang bernama Indonesia ini, catatan tentangnya juga tak bisa dihilangkan. Kita dan mungkin juga saya, mungkin sudah ditakdirkan untuk selalu melihat sisi tak baik dari seorang Presiden. Akhirnya, siapapun Presidennya, sejak era Soekarno hingga Megawati sebelum SBY ini, selalu suara-suara ketidakpuasan menggema bening dalam ruang publik. Soekarno yang dipuja-puji setinggi "langit nan tujuh" hari ini, dulunya mungkin dihina habis-habisan. Soeharto dijulang kala Soekarno "dipinggirkan" sejarah. Habibie yang pintar dengan mata "bola pingpongnya" itu begitu dipuja luar biasa kala ICMI mendapat peran politik di Indonesia era 90-an. Ijo royo-royo menjadi pembuktian pengaruh Habibie yang luar biasa (tentunya dibawah Soeharto). Tapi lihatlah, kala ia memegang tampuk kekuasaan, Soekarno dijulang gilang gemintang, sementara putra Pare-Pare Sulawesi Selatan yang beristrikan si "mata indah" Hasri Ainun Habibie tersebut didemo hampir setiap hari dalam rentang masa pemerintahannya yang tak demikia panjang. Bahkan Gus Dur memberikannya label Presiden "gila" (terlepas dari konteks syntagmatisme-nya). kala Gus Dur jadi Presiden hasil "kreasi" Poros Tengah, puja puji tak berlangsung hitungan bulan. Hujatan dan berita-berita memalukan tentang cucu pendiri NU ini tak kalah serunya dibandingkan dengan berita-berita picisan para artis di media infotaimen. Gus Dur kemudian "dipaksa mundur" dengan membawa banyak hujatan. Megawati yang diagung-agungkan sebagai insan yang selalu dizalimi masa Orde Baru, naik bersamaan dengan menjulang kembalinya nama besar sang ayah, Soekarno. Tapi, itu tak berlangsung lama. Ia kemudian sering dihujat dengan label yang juga tak sedikit seram, "Presiden Diam Seribu Basa". Lalu, SBY datang ke istana. Ekspektasi publik tinggi. Tapi dalam perjalanannya, SBY tak selamanya dipuja. Hari-hari yang dilaluinya, penuh dengan demonstrasi dan hujatan, sesuatu yang menjadi hasil dari "kreasi" keterbukaan yang diakomodirnya. Bila kita melihat satu demi satu tokoh-tokoh yang menghujat SBY, juga mereka yang dulunya menghujat Megawati, Gus Dur, Habibie, Soeharto ataupun Soekarno.

Tapi sudahlah ..... ! Nanti saya dikatakan membela SBY. Padahal saya sering geram melihatnya. Namun, sangat tidak fair bila kegeraman kita itu, justru membuat kita haru menggeneralisir segala sesuatunya. "Elit kita sekarang bejat, pembohon dan munafik", demikian kata Jenderal TNI. (Pur) Tyasno Sudarto yang mantan KASAD serta Rizal Ramli, "maka revolusi harus dilakukan karena mereka gagal dan harus turun". Setidaknya demikian kata mereka tadi malam sebagaimana yang disiarkan beberapa meda televisi. "Popularitas SBY menjadi turun. Syukur alhamdulillah, ini membuktikan masyarakat tidak suka padanya. Semakin turun popularitasnya, bagi saya itu lebih baik", demikian SMS seorang kawan saya yang "memakan mentah-mentah" analisis komentator politik "dadakan" yang muncul belakangan ini. Tapi sudahlah. Saya tak mau berkomentar lebih panjang tentang hal ini. Saya termasuk orang yang tidak begitu senang dengan pendekatan kunatitatif-survey. Tapi kala mendengar "kebahagiaan" seorang sahabat tentang popularitas SBY yang turun, saya juga tercenung. Bukan tercenung kasihan pada SBY. Bukan. Nol persen nehi !. Saya hanya ingin kembali membaca artikel Feizal Qamar K. di Kompasiana yang menyorot implikasi sosial ekonomi bila "kita bahagia" dan selalu berharap popularitas SBY turun.

LSI misalnya, menyebutkan bahwa tingkat kepuasan persepsi publik terhadap kinerja beliau menurun dari 85% pada bulan Juli 2010 menjadi hanya 63% pada bulan Desember 2010. Secara detil Metro TV melaporkan bahwa selama 15 bulan itu popularitas SBY dalam bidang Ekonomi turun dari 45% menjadi 28,6%; bahkan dalam bidang Politik dan Keamanan yang mestinya jadi kompetensi beliau, juga turun dari 58% menjadi 39,6%. Menanggapi penurunan ini, Syarief Hasan, Menteri Koperasi dan UKM yang juga anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, menganggap biasa hasil survey tentang kepuasan publik terhadap kinerja presiden itu. Itu biasa pada pemerintah yang terus bekerja dan mengelola isu dan persoalan, katanya. Ia mengaitkan pula dengan kemungkinan keberpihakan masyarakat yang masih akan tetap pada partainya pada pemilu 2014. Juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha yang mengaku belum tahu rincian hasil survey itu, juga menilai wajar ada fluktuasi pada persepsi publik terhadap kinerja pemerintah dan itu masih dalam batasan normal dan belum ekstrim. Survey itu dilakukan LSI pada 18-30 Desmber 2010 dengan wawancara secara tatap muka terhadap 1229 orang responden. Melemahnya tingkat kepuasan terhadap kinerja SBY itu dikaitkan dengan kegagalan mengatasi masalah ekonomi yang ditunjukkan dengan harga kebutuhan hidup yang tinggi, tingkat pengangguran, dan angka kemiskinan. Juga dikaitkan dengan lemahnya pemberantasan korupsi. Kita tidak tahu nilai persepsi itu sekarang, setelah adanya tudingan kebohongan oleh para tokoh lintas agama tanggal 10 Januari lalu.

Popularitas itu memang diperlukan guna adanya dukungan kepada Presiden SBY dalam meminpin pemerintahan. Walaupun tidak substansial pengaruhnya terhadap capaian kinerja tapi dapat sebagai indikasi adanya yang tidak pas antara yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah dengan apa yang diharapkan masyarakat. Mungkin pula sebagai akibat tidak optimalnya pengelolaan tugas dan kewajiban pemerintah dan tontonan perilaku elit yang jauh dari menghibur, bahkan mungkin merugikan. Sementara banyak dijelajali dengan promosi keberhasilan melalui indikator-indikator makro, patut diwaspadai pula jika masyarakat sering menyaksikan drama kemiskinan dan ketertinggalan dalam tema ketidakberdayaan. Hikmahnya, ke depan kita tentu ingin pemimpin tertinggi kita populer dan dicintai. Untuk memperbaikinya tentu harus dimulai dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY sendiri. Tudingan politik pencitraan sudah waktunya dibantah dengan keterbukaan dan kesediaan beliau untuk menerima kritik dengan lapang dada dan segera memperbaiki yang perlu. Langkah perbaikan bukan karena reaksi dari kritik tapi memang sudah terdeteksi dan terprogram dengan baik. Mungkin ada manfaatnya memilih dan memilah mana yang perlu beliau sampaikan sendiri kepada umum atau cukup melalui juru bicara yang kuat penguasaan relasi publiknya (PR). Bagaimana pun popularitas SBY saat ini, yang lebih penting lagi adalah bagaimana keadaan menjadi lebih baik. Kinerja pemerintah, termasuk kementerian dan lembaga yang tidak performed, dari sisi pandang manapun seyogyanya lah ditingkatkan. Indikator makro lebih baik tidak dipakai untuk promosi keberhasilan di dalam negeri seandainya banyak masalah-masalah mendasar yang langsung dirasakan masyarakat belum terselesaikan. Efektifitas dan keberhasilan otomatis akan menaikkan popularitas yang juga menguntungkan kita semua. Wallahu a'lam bish shawab.

Senin, 17 Januari 2011

Ibrahim Datuk Sangguno Dirajo

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ibrahim Dt. Sangguno Diradjo mungkin sebuah nama yang tak asing lagi bagi para pencinta kebudayaan Minangkabau. Namnya menjadi tenar berkat karya-karya tulisnya di bidang adat dan budaya Minangkabau. Dua bukunya, Kitab Tjoerai Paparan ‘Adat Lembaga ‘Alam Minangkabau (Fort de Kock: Agam, 1919) dan Moestiko ‘Adat ’Alam Minangkabau (Weltevreden: Balai Poestaka, 1920 [seri no. 277]) telah dicetak berulang kali.Bukunya yang lain: Hikajat Tjindoer Mata (Fort de Kock: Merapi, 1923), Kitab Peratoeran Hoekoem ‘Adat Minangkabau (Fort de Kock: Lie, 1924), Kitab Soal Djawab tantangan ‘Adat Minangkabau (Beladjar ‘Adat dengan Tidak Bergoeroe) (Fort de Kock: Lie, 1927) dan Papatah Minangkabau (Fort de Kock: Merapi, 1928). Beliau menerbitkan pula satu berkala yang berjudul Koempoelan ‘Adat Minangkabau (edisi 1, 27 Mei 1935). Ibrahim pernah berpolemik dengan Haji Rasul (Ayah Buya Hamka). Rupanya bukunya, Kitab Tjoerai Paparan, dikritik oleh Haji Rasul (Abd al-Karīm b. Muḥammad Amr Allāh al-Dānawī) dalam bukunya, Pertimbangan Adat Lembaga Orang” Alam Minangkabau: Sjarah (Kenjataan) bagi Tjoerrai Paparan Adat Lembaga” Alam Minangkabau jang Dikarangkan oléh Ankoe Datoeʹ Sanggoeno Diradjo (Fort de Kock: Lie 1921). Kala itu semangat berpolemik di kalangan intelektual Minangkabau dari berbagai ideologi sedang marak. Ibrahim membalas kritikan Haji Rasul dengan menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kitab Pertjatoeran ‘Adat Lembaga ‘Alam Minangkabau; Akan Pelawan Noot E.H. Rasoel gl. H. Abdul Karim Amaroellah, Danau (Fort de Kock: Agam, 1923).

Informasi dari berbagai sumber (Abraham Ilyas, Arman Bahar, Armen Zulkarnain, Aslim Nurhasan, Nursyah Kartakusuma, dan Zalmahdi melalui milis rantau-net) menyebutkan bahwa Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo yang bersuku Kutianyie lahir di Sunggayang, Tanah Datar, tahun 1858. Ibrahim mendapat pendidikan di Government School di Batusangkar dan tamat tahun 1868. Ia pernah mondok dengan seorang dokter sehingga ia memperoleh pengetahuan medis yang dimanfaatkannya untuk menolong penduduk Batusangkar dan sekitarnya yang terjangkit penyakit cacar. Sebagai imbalan atas jasanya itu, pada tahun 1910 Ibrahim menerima penghargaan dan uang tunai sebesar 122 Gulden dari Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1870 Ibrahim diangkat menjadi jurutulis Tuan Titah di Sungai Tarab. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ibrahim untuk memperdalam pengetahuannya mengenai adat dan kebudayaan Minangkabau. Ia mengkodifikasikan adat dan kebudayaan Minangkabau yang bersifat lisan itu ke dalam bentuk tulisan. Hasilnya adalah sejumlah buku yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 1913 Ibrahim dilewakan menjadi pemuncak dalam kaumnya dengan gelar Datoek Sanggoeno Diradjo. Foto Ibrahim yang kami tampilkan ini dibuat sekitar tahun 1923. Cukup gagah dan berwibawa kelihatannya Datuk kita ini dalam pakaian kebesarannya. Tongkatnya tentu melambangkan fungsi seorang datuak yang akan dipatungkek oleh anak-kemenakannya di siang hari dan dipasuluah di malam hari.Ibrahim meninggal di Sunggayang pada tahun 1949. Almarhum adalah salah satu contoh terbaik dari educated penghulu di Minangkabau. Atas jasa-jasanya dalam merintis pengkodifikasian adat dan budaya Minangkabau secara tertulis, pada 17 Agutus 1970 Pemda Sumatra Barat menganugerahi Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo penghargaan sebagai Pembina adat Minangkabau. Bagi para datuak di zaman kini, yang masih saja belum banyak yang suka menulis, Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo adalah sebuah sentilan sekaligus tamsil.

(c) Suryadi (Sumber foto: Datuak Sangguno Dirajo, Hikajat Tjindoer Mata. Fort de Kock: Merapi, 1923: di muka hlm. 174). Ditulis ulang dari Singgalang, Minggu, 16 Januari 2011

Jumat, 14 Januari 2011

Ode buat Seorang Guru yang "Sahabat" Kala Gerbang Pensiun Dimasuki

Oleh : Muhammad Ilham

Asrul Sani, sastrawan dan sutradara film jempolan yang pernah dimiliki Indonesia, begitu sederhana melihat manusia. Bagi putra Rao Pasaman yang merupakan sahabat karib Chairil Anwar ini, jenis manusia itu hanya ada dua : “Ada orang yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang luks, dan berfikir atau berbuat sebagai hal yang biasa. Kemudian, ada yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang biasa, tapi berfikir dan berbuat sebagai sesuatu yang luks”. Satu, berbuat terbaik karena posisi yang diemban, status yang disandang dan fungsi-peran yang dimiliki. Dua, berbuat baik dan maksimal, tanpa tergantung pada posisi dan jabatan yang disandang. Dan, Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De, yang kesehariannya biasa dipanggil dengan Pak Men ini, bagi saya, bila meminjam kategorisasi sederhana Asrul Sani, termasuk insan manusia yang kedua. Menganggap berfikir dan berbuat itu adalah sesuatu yang substansial, memiliki nilai tinggi tanpa harus melihat, posisi dan jabatan apa yang disandangnya.

Sebagai orang yang sangat “senior” (baik ilmu dan pengalaman), Pak Men diakhir pengabdiannya, perkhidmatannya kata orang Malaysia, terus berbuat seperti Kuda Troya. Jabatan tertinggi yang pernah disandangnya sebagai Pembantu Rektor II serta Dosen Senior dengan golongan IV/c, sudah sepantasnya-lah beliau pada “detik-detik” terakhir sebelum pensiun, hanya menikmati “keseniorannya”. Datang ke kampus, menyapa, memberikan nasehat-nasehat “makro”, atau bertindak sebagai seorang Begawan dalam tradisi cultural perwayangan. Tapi, itu tidak dilakukan oleh satu-satunya dosen IAIN/UIN se-negeri Sumpah Palapa yang memenangi Kalpataru ini. Beliau tetap energik mengelola Jurusan IIP, sebagai ketua Jurusan. Sebuah jabatan yang sebenarnya “jauh” lebih rendah dibandingkan dengan, katakanlah, Pembantu Dekan II Fakultas Adab dan Pembantu Rektor II IAIN Imam Bonjol Padang, yang pernah disandangnya. Beliau tetap menganggap – sejauh yang saya rasakan dari interaksi interpersonal selama ini – jabatan tersebut bukan sesuatu yang luks. Jabatan itu biasa. Karena itu-lah, Beliau tetap energik mengelola Jurusan IIP seperti mengelola IAIN kala beliau menjadi Pembantu Rektor II. Keningnya tetap berkerut, khawatir dan cemas, kala Jurusan IIP mengalami “musibah” izin operasional. Untuk itu pula, beliau mau bolak balik “mancibuak” dan mengurus perizinan tersebut Jakarta-Padang. “Berkeringat” mengembangkan kualitas Jurusan IIP dan D III PAD, yang karena itu pula, beliau harus sering “hinggap” di Unpad dan UI, hanya untuk sekedar menjaga dan memastikan, apakah dosen-dosen Ilmu Perpustakaan Unpad Bandung dan UI Jakarta tetap mau membagi ilmu mereka pada civitas akademika IIP dan PAD. Beliau juga “berpeluh” menjaga hubungan baik dengan institusi-institusi di Sumatera Barat yang berpotensi membesarkan IIP dan PAD, ditengah-tengah keterbatasan financial yang ada. Dan itu beliau lakukan, dalam usianya dan perkhidmatannya yang sebenarnya hanya untuk ukuran seorang Begawan. Sungguh, Asrul Sani, tepat membagi jenis manusia.

Jika kita lihat lelaki dengan ransel yang disandang menyilang berjalan menyusuri kampus IAIN Imam Bonjol Padang, hampir setiap pagi dan jelang sore, jika kita ingat sosok berkacamata dengan tinggi sedang yang sangat menyukai olah raga “jalan kaki” yang juga disukai Mohammad Hatta kala dibuang di Bandarneira dulu, kita bisa iri kepadanya. Di usia 65 tahun, doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De, tetap energik seperti anak muda (dalam artian positif). Hampir tak pernah – bahkan tak pernah sama sekali – saya melihat beliau menyetir mobil sendirian (bukan berarti beliau tak punya mobil. Mobilnya merasa “sedih” karena tak pernah diduduki doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De ini). Selalu mencintai yang namanya “olah raga” jalan kaki. “Menyehatkan badan dan membuat kita senantiasa berinteraksi dengan berbagai fenomena yang terlihat”, katanya suatu ketika kala “mentraktir” saya minum Kopi Gingseng. Karena itu pulalah mungkin, beliau tidak pernah kehilangan stock “menulis”. Ide terus bermunculan, selalu actual. Bila pada umumnya insan akademik selalu menulis dalam bentuk teks-buku, maka “menulis” a-la Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De adalah melalui foto-foto yang indah, “menggigit” dan actual. Dalam sebuah catatan Yurnaldi, seorang koresponden Kompas pada tahun 1995, Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De dianggap sebagai insane akademik yang menyampaikan ide dan gagasannya dalam “ranah” yang dianggap asing oleh mereka yang bergelut dalam dunia akademik. Tapi disitulah kekuatan Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De. Sesekali, beliau juga berpuisi. Saya tak tahu, darimana beliau belajar menulis puisi. Namun, kala saya membaca autobiografi-nya yang ditulis dalam format puisi serta buku-nya yang berjudul “Sarok”, saya berfikir, kita tak akan gamang bila beliau disandingkan dengan Taufik Ismail dalam sebuah forum seminar tentang pusi, katakanlah demikian.

Waktu demi waktu, energi dan fikiran dicurahkan beliau. Tanpa terasa, sudah 33 tahun beliau yang humoris ini, berkhidmat di IAIN Imam Bonjol Padang. Saya secara pribadi, telah berinteraksi dengannya sejak tahun 1993. Interaksi intens sekitar 10 tahun. Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya, bagi saya beliau sangat inspiratif. Di akhir beliau berkhidmat, beliau masih sempat menghidupkan sebuah tradisi yang jarang dihidupkan insane akademik, khsususnya di IAIN Imam Bonjol Padang, yaitu “pergi tampak punggung” dengan meninggalkan sebuah teks-buku. Penyair Kahlil Gibran suatu ketika pernah berkata, "Jangan kau tangisi hilangnya harus mawar di taman, tapi tangisilah kehilangan tradisi menanam mawar itu". Bukan harumnya, tapi tradisi untuk menciptakan keharuman itu. Dari mana datangnya harum, bila kita tak menanam sumber harum tersebut ?.

Indonesia, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku. Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal : "Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas." Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936. Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer. Dari buku ke buku, dari tulisan ke tulisan, sambung-menyambung menjadi satu, itulah insane akademik. Sayangnya, itu insane akademik dulu, setidaknya (sekali lagi) apa yang terdapat dan berlaku di IAIN Imam Bonjol Padang. Maka Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De diakhir masa tugasnya kembali menghidupkan tradisi tulis, meninggalkan “ranah” aktualisasi peran formalnya dengan meninggalkan buku Refleksi Pengabdiannya selama ini di IAIN Imam Bonjol Padang. Sebuah usaha mengharumkan tradisi, sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran diatas. Itulah Pak Men, selalu memberikan inspirasi bagi orang lain. Tak salah, bila seandainya saya ingin mengatakan, bahwa beliau adalah : “Seonggok Sejarah dalam Miniatur yang Padat”. 33 tahun adalah onggokan sejarah. Dan, selama 33 tahun tersebut, terlampau sedikit yang bisa diceritakan beliau dan yang bias kita tangkap. Selamat menempuh “ranah” yang lain, pak Men. Dan saya yakin, Bapak akan terus inspiratif. “Kenalkan, nama saya Raichul Amar, biasa dipanggil Men !”. Itulah kalimat yang pertama sekali saya dengar dari beliau, ketika memperkenalkan diri, di suatu tempat dan ruangan, kala pertama saya mengikuti tes masuk IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1993. Rasanya baru kemaren !


:: Artikel ini diterbitkan dalam Buku "33 Tahun Pengabdian Raichul Amar"/Launching 21 Januari 2010

Rabu, 12 Januari 2011

Insan Fanatik dan A-Historis

Oleh : Muhammad Ilham

Sejarah mencatat, kebangkitan peradaban dunia "barat" berawal dari zaman pencerahan, pasca renaisan. Salah satu issu sentral dalam abad pencerahan adalah apresiasi yang maksimal terhadap potensi akal (rasio) dan upaya minimalisir peranan agama bahkan sampai pada titik yang terkesan menyederhanakan - untuk tidak menyebut melecehkan. Gerakan ini dipelopori oleh para filsof, terutama Immanuel Kant (1724-1804) dan Voltaire (1694-1778). Voltaire, misalnya, mengabdikan dirinya pada "jihad intelektual" melawan fanatisme agama. Kesemua surat-surat dan karya tulisnya yang hampir 30.000 halaman, senantiasa ditutupnya dengan kalimat yang maknanya kira-kira "ganyang barang brengsek itu!". Yang dimaksud Voltaire dengan "barang brengsek" tersebut adalah kejumudan dan fanatisme. Karyanya Ecraszed L'infameLetters on the English yang diterbitkan tahun 1734 (?) merupakan tanda sesungguhnya dari era pembaharuan Perancis yang kemudian memberikan inspirasi bagi pembaharuan dunia barat pada umumnya. Pada masa ini berkembang dua macam aliran yang menghargai posisi akal yaitu di bidang agama dan di bidang filsafat. Pada abad Pencerahan, aliran ini melahirkan perlawanan pada otoritas gereja dan dipergunakan untuk mengkritisi ajaran agama. Namun, sebetapapun sinisnya pandangan para filosof terhadap agama, semangat sekuler gerakan pencerahan sama sekali tak mampu melenyapkan agama, dalam artian agama sebagai ajaran normatif dan institutif. Gerakan pencerahan hanya berhasil mengurangi pengaruh agama yang demikian besar terhadap kehidupan kemanusiaan sebagaimana yang terjadi pada abad pertengahan. Implikasi abad pencerahan terhadap agama lebih terasa dalam aspek pemikiran dan politik. Abad pencerahan melahirkan kondisi marginalisasi peran agama. Perhatian agama beralih dari "centre of life" ke "phery-phery of life" - meminjam istilah sejarawan Immanuel Wallerstein. Secara historis, hal ini tak terlepas dari peran signifikan Isaac Newton yang "menyerang" otoritas kebenaran agama dengan pendekatan ilmiah-saintifik.

Diantara sebab-sebab di atas, ada sebab lain yang begitu penting yaitu orang mulai berpergian lebih jauh menjelajahi bumi dan menemukan bahwa di belahan dunia lain ditemui peradaban dari bangsa dan kepercayaan lain. Bahkan interaksi dengan dunia luar out siders mereka, menimbulkan anggapan ada peradaban lain yang setinggi peradaban barat. Anggapan bahwa agama Kristen sebagai satu-satunya agama dan iman yang benar, mulai diragukan bahkan dipertanyakan. Dalam ketenangan abad ke 18, demikian kata sejarawan-orientalis William Montgomery Watt, orang dapat membuang rasa takut, rasa bebas dari intimidasi dan teror serta ketidakpastian karena perang dan mulai mengejar kesenangan (yang dalam filsafat sejarah dikenal dengan aliran pragmatisme-hedonistisme). Di Inggris pada abad ke 17, para penganut Plato di Universitas Cambidge nan fenomenal itu, memberikan anjuran agar ajaran Kristen dirangkum kembali dan di re-interpretasi dalam beberapa bentuk dan rumusan logis-rasional, yang kemudian dikenal dengan teologi rasional. Teologi rasional ini dianut oleh kelompok yang cukup besar yang kemudian dalam sejarah pemikiran agama-agama dikenal dengan kelompok Latitudarian. Kaum ini menganggap diri mereka sebagai orang Kristiani yang baik, tapi kesahalehan mereka sedang-sedang saja sehingga hampir tidak kelihatan bedanya dengan sopan santun masyarakat awam pada umumnya. Jadi janganlah heran, bila ada individu "barat" sana yang dalam kesehariannya sangat baik-humanis, namun tidak mau terkooptasi atau diberikan label dengan aturan-aturan agama tertentu. Perjalanan historis mereka memberikan justifikasi. John Locke, seorang cendekiawan Inggris pada masa ini adalah figur yang menyebarluaskan gagasan-gagasan Latitudarian. Bahkan John Locke dianggap oleh filosof sejarah abad ini, Bertrand Russel (1872-1970) sebagai filosof yang paling beruntung karena pandangan filsafat dan politiknya dipahami secara luas dan disambut hangat oleh orang-orang semasanya. John Locke dianggap sebagai filosof yang mempopulerkan bahwa manusia haruslah bersikap "tahu batas" terhadap rahasia-rahasia alam dan beranggapan bahwa wahyu agama hanyalah merupakan sebuah kelanjutan dari akal budi. Mukjizat katanya, adalah sesuatu kejadian alam biasa, bukan unik apalagi sesuatu yang luar biasa.

Beberapa buku diterbitkan untuk memperkuat dan menyebarkan pendapat-pendapat se"irama" dengan pendapat John Locke di atas. Tahun 1696, buku yang berjudul Agama Kristen Bukan Rahasia karangan John Tolland dipublikasikan kepada publik. Menyusul kemudian buku Thomas Waltson yang mengarang buku Enam Ulasan Mengenai Mukjizat. Buku-buku tersebut mendapat respon antusias masyarakat, tapi disisi lain dianggap melecehkan agama (dalam hal in : institusi gereja). Namun buku yang paling terkenal sekaligus kontroversial adalah Philosophy Dictionary yang terbit pada tahun 1764, tanpa pengarang. Substansi buku ini menyangkal adanya campur tangan nilai-normatif teologis dalam peristiwa-peristiwa alam. Berangkat dari spirit buku ini pula, kemudian berkembang wacana "liar" yang mulai meragui adanya peranan Tuhan bahkan lebih ekstrimnya, mulai meragui adanya eksistensi dan "adanya" Tuhan itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa tanpa campur tangan (intervensi) Tuhan-pun, mereka mampu untuk mewujudkan impian dan cita-cita mereka. Cita-cita, tujuan dan keinginan kehidupan tidak bergantung, menurut mereka, secara mutlak dengan takdir ke-illahi-an. Tidak ada intervensi Tuhan terhadap proses kehidupan manusia, atau dalam bahasa sederhananya, manusialah yang sebenarnya mengatur proses kehidupannya. manusia mampu untuk mendisain tujuan kehidupannya. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran-pemikiran ini, pada gilirannya, mereka meninggalkan agama Kristen dan kemudian mereka menggantikan sorga yang sesungguhnya dengan masyarakat yang baik .... di dunia. Nilai-nilai yang berpusat kepada transedental normatif-teologis kemudian digantikan oleh nilai-nilai yang berpusat pada kebaikan dan potensi manusia (antropomorphisme).

Intinya, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis.

Kritik Keras Tokoh Agama : "Ketika SBY dianggap Berbohong"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

" ...... negara dan sistem hukum kita telah "diketutin" Gayus !" (Adnan Buyung Nasution: Metro TV)

Kritik datang silih berganti ditujukan kepada pemerintahan Presiden Yudhoyono. Bahkan, pada hari yang sama, Senin (10/1), kritik keras dilontarkan dua kalangan yang berbeda. Yang pertama berasal dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ia menilai negara gagal meletakkan fondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Sumber kegagalan itu ialah pemimpin yang hanya mementingkan pembangunan citra. Kritik dari partai oposisi tentu perkara yang lazim. Sepatutnya partai oposisi setiap awal tahun, terlebih di hari ulang tahun partai, menyampaikan evaluasi yang tajam kepada yang berkuasa. Yang extraordinary ialah bila pemuka lintas agama juga menyampaikan kritik, bahkan lebih keras dan lebih pedas. Dan itulah yang terjadi. Sembilan pemuka agama, terdiri dari Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Uskup D Situmorang, Biksu Pannyavaro, Salahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suseno, dan Romo Benny Susetyo, menganggap pemerintahan Presiden Yudhoyono telah gagal mengemban amanah rakyat. Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat. Lebih dari itu, para pemuka agama itu berjanji mengajak umat mereka untuk memerangi kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Yudhoyono. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif bahkan mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga kepala desa, untuk membuka telinga lebar-lebar. "Telinganya harus dibuka untuk mendengar aspirasi rakyat. Jangan ditutupi telinganya."

Pemuka agama meminta pemerintah membuka telinga, jelas, seruan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pemerintah, yang dipilih rakyat itu, sudah tidak peduli dengan suara rakyat. Membuka telinga saja enggan, apalagi mengubah kebijakan yang keliru. Dari perspektif itu, tidaklah mengherankan bila tingkat kepuasan publik terhadap Yudhoyono terus merosot sejak Juli 2009. Menyebut pemerintah berbohong, jelas, penilaian yang sangat negatif. Sebab itu menyangkut legitimasi moral yang mendalam. Bukankah siapa pun yang berbohong tak pantas dipercaya? Terlebih, karena yang tidak percaya itu adalah para pemuka agama, yang menyandarkan diri pada nilai-nilai yang dipertanggungjawabkan terutama secara vertikal, yaitu kepada Sang Khalik. Suara mereka jelas suara yang bersih dari kepentingan sempit. Suara mereka bukan suara oposisi yang memang selayaknya menekankan segi-segi kegagalan yang berkuasa. Oleh karena itu, sesungguhnya tiada alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk tidak mengindahkannya. Pertanyaannya, apakah kritik itu didengarkan? Apakah pemerintahan Presiden Yudhoyono membuka telinga? Tak mudah untuk jujur. Lebih mudah memproduksi kebohongan demi kebohongan untuk menutupi kegagalan. Padahal, honesty is the best policy. Termasuk, jujur untuk mengakui gagal.

Sumber : editorial.mediaindonesia/12-1-2011 & MetroTV/Metro Hari ini

Senin, 10 Januari 2011

Pemimpin Itu Integritas dan "Berfikir"

Oleh : Muhammad Ilham

".... ada dua jenis pemimpin, ada yang duduk di sofa (baca : kekuasaan dan jabatan) sebagai keharusan dan berfikir (untuk rakyat) sebagai sesuatu yang luks, dan ada pemimpin yang berfikir (untuk rakyat) sebagai sebuah keharusan dan duduk di sofa sebagai luks." (Asrul Sani)

Gamal Abdel Nasser, pemimpin kharismatik Mesir yang menghembuskan Pan-Arabisme sanggup menjadi pemimpin Mesir berpengaruh, bahkan Arab. Pengagum penyanyi legendaris Arab Ummi Kaltsum ini mampu menggulingkan Raja Farouk yang gembrot ketika usianya belum 30 tahun. Muammar Qaddafi menghalau Raja Idris dan berkuasa di Libya yang kaya minyak itu, juga dalam usia yang belum 30 tahun. Si Brewok, Fidel Castro, berhasil menggulingkan diktator Batista dan memimpin mahasiswa revolusioner memasuki kota Havana serta jadi kepala negara Kuba, padahal umurnya belum 30 tahun. John Fritgerald Kennedy, dalam usia mendekati 40 tahun, menjadi presiden termuda lewat pemilu sepanjang sejarah negeri Paman Sam ini. Ia ganteng, cerdas dan selalu tampil rapi. Sisiran rambutnya yang "manis" mencerminkan bagaimana ia ingin tampil sempurna. Dalam usia muda, ia menjadi pemimpin yang mampu mengambil sikap tegas dan berani mengambil tanggung jawab, bukan melempar. Peristiwa "Teluk Babi" tercatat dalam sejarah sebagai bentuk keberanian dan ketegasan seorang "anak muda" dan klan Kennedy yang pernah menulis dua buah buku ini, Why England Slept dan Profiles in Courrage. Mereka semua muda dan mereka matang, tegas dan dewasa serta berintegritas.

Mao Ze Dong yang tinggi besar bagai patung lilin dan berwajah dingin, dalam usia yang sudah "larut" mampu menggerakkan revolusi besar dan menghalau Chiang Kai Shek hingga lari ke Taiwan. Kamerad Mao ini masih sanggup menggerakkan Revolusi kebudayaan. Bahkan konon, ia juga masih sanggup dalam usia mendekati 70 tahun, berenang-renang di Sungai Kuning dan sesudah itu melahap habis sebaskom mie bakso tanpa berkedip. Dalam usia tua, vitalitasnya justru makin berkembang. Bung Karno yang ganteng dengan pancaran mata sangat berbinar, gelegar suara membahana, orator ulung dan sangat flamboyan, bisa jadi pemimpin berwibawa. Ia bersama Hatta "memutar" roda sejarah Indonesia. Ganteng dan muda. Nikita Kruschev mampu menjadi pemimpin Uni Sovyet yang brilyan dan masyhur. Badannya tambun dan berkepala bundar. Konon ia baru bisa membaca dalam usia hampir 20 tahun. Tapi ia pintar, bertanggung jawab dan berintegritas. Pemimpin Rusia sewaktu Kennedy jadi pemimpin Amerika Serikat ini pernah membuka sepatunya dalam Sidang Umum PBB ...... dan memukul-mukul meja, sebagai ekspresi kemarahan luar biasanya pada Amerika, pada Kennedy. Ketika John Kennedy mati tertembak, ia adalah salah seorang "lawan" yang menitikkan air mata dan termasuk orang pertama mengucapkan belasungkawa.

Sejarah telah mengajarkan, tak ada referensi terbaik bahwa usia memberikan kontribusi besar terhadap potensi kepemimpinan. Sejarah juga memberikan pelajaran berharga, bahwa pemimpin terbaik itu tidak ditentukan "profile-tubuh" indah sedap dipandang mata. Pemimpin-pemimpin besar di atas, selalu berfikir dan memiliki integritas tinggi bagi rakyatnya. Berfikir dan integritas tidak monopoli kaum muda atau kaum tua atau orang jelek apatah lagi orang gagah.

Antropologi "Menangis"

Oleh : Muhammad Ilham

Saya mendapat "potongan" artikel dari salah seorang sahabat yang kuliah di negeri Belanda. Biasanya kami selalu diskusi tentang sejarah Indonesia, tentang arsip di KITLV Belanda yang memuat data tentang Indonesia, arsip yang terkumpul dalam rak rapi seluas lapangan bola kaki, tentang Ratu Beatrice, Juliana maupun Wilhelmina. Hari ini, kami diskusi tentang "menangis", sebuah topik sederhana yang sebenarnya cukup "menggoda". Saya katakan cukup menggoda karena sahabat saya ini memaparkan beberapa varian-varian pemaknaan menangis dalam konteks antropologis. Ia seringkali mengutip pendapat seorang guru besar yang sangat tertarik "mengupas" fenomena menangis. Ad Vingerhoets nama guru besar yang sering dikutipnya itu. Meneer Ad yang orang "londo" ini meneliti "orang-orang" menangis dengan mewawancarai 5500 orang di 37 negara. Mulai dari Islandia hingga Australia, dari Cile hingga Nepal, dari Kenya hingga Jepang. Vingerhoets kemudian mengambil kesimpulan ada perbedaan budaya besar dalam soal menangis. Baiklah saya narasikan ulang diskusi kami itu dengan "titik sentralnya" Ad Vingerhoets dan menangis (mungkin ia mengutip pendapat Profesor Ad ini dari salah satu artikel di Radio Netherland).

"80% dari orang-orang yang diselidikinya, kata Ad Vingerhoets, lebih memilih untuk menangis di rumah,". Tidak ada bedanya apakah kita tinggal di di gubuk atau di rumah biasa. Menurutnya perbedaan budaya terbesar justru menyangkut situasi di luar rumah. Di tempat ini ada aturan yang tidak tertulis. Dengan menangis kita mendesak orang-orang di sekitar untuk merawat kita, membangun sebuah hubungan sosial, atau mengurangi agresi pada orang lain. Kita menangis pada saat-saat ritual yang penuh emosi seperti perkawinan dan pemakanan. Tapi pakar ini juga menyebutkan contoh bagaimana orang Spanyol dulu punya kebiasaan untuk menangis, dengan harapan dapat mencegah bencana kekeringan. Hubungan antara menangis dan bencana kekeringan juga dijumpai pada orang-orang Aztek. Tiap musim semi mereka mengorbankan anak-anak yang harus menangis dan mengeluarkan banyak airmata untuk mencegah kekeringan. Juga di Tunisia masih ada tradisi mencegah kekeringan, juga dengan cara mengharuskan anak-anak untuk menangis. Di Tunisia anak-anak dipisahkan dari orangtua mereka atau diikat dengan tali di lehernya. Begitu mereka mulai memangis, orang-orang dewasa pun ikut menangis. Di negara ini orang berpikir bahwa tangisan anak lebih dapat menarik perhatian Tuhan. Bahwa perempuan lebih banyak menangis daripada laki-laki, semua orang sudah tahu. Tapi psikolog Belanda ini juga menemukan perbedaan budaya di kalangan perempuan. "Perempuan di negara yang lebih emansipatif menangis lebih banyak dibandingkan negara-negara lain." Hal itu mungkin disebabkan karena di negara-negara yang lebih maju, tekanan sosial jauh lebih besar.

Masih lebih banyak lagi perbedaan budaya. Di luar perkiraan orang, mereka yang tinggal di negara-negara bermusim dingin lebih sering menangis dibandingkan negara tropis. Sebelumnya kita mengira bahwa mereka yang tinggal di negara seperti Italia dan Spanyol menangis jauh lebih banyak. Tapi justru di negara-negara seperti Islandia, Norwegia dan Swedia. Belanda juga termasuk negara yang suka menangis. Kebebasan berekspresi di negara-negara ini kemungkinan menentukan berapa banyak seseorang menangis. Tapi juga ada penjelasan yang sebaliknya. Di negara di mana orang punya kebebasan yang lebih besar, maka orang merasa lebih bahagia dan lebih makmur. Akan tetapi, banyak suku bangsa yang melarang rakyatnya menangis. Misalnya di Tanah Toraja, Indonesia, orang dewasa dilarang menangis bersuara, kecuali sewaktu pemakanan. Seorang perempuan boleh menangis apabila ia tidak bisa hamil. Apabila demikian maka ia boleh menangis bersama perempuan lainnya di dekat sebuah batu yang ditinggali arwah leluhur yang bisa menyuburkan kembali perempuan tersebut. Orang Turki banyak menangis bila menguburkan seseorang, tapi orang dilarang memangis bila mayat dimasukkan ke liang kubur. Sedangkan menurut orang Maori di Selandia Baru, dengan menangis orang memperlihatkan bahwa ia sangat kehilangan. Justru dianggap tidak sopan jika menyatakan duka cita tanpa menangis. Sementara di Nepal orang dilarang keras menangis di muka umum. Sebagai gantinya mereka boleh menyanyikan lagu-lagu sedih. Berkabung menurut pakar Belanda ini pengetahuan mengenai perbedaan budaya sangatlah bermanfaat karena bisa memperbesar tenggang rasa. Sebagai contoh perbedaan cara orang berkabung di Israel dan Palestina. Orang Israel berkabung dengan menahan diri dan perasaan seperti di negara-negara Barat lainnya. Sementara orang Palestina justru terlihat histeris dan agresif jika berduka.

Sumber : diskusi facebook & rnw.nl