Jumat, 25 Juni 2010

Ketika Bola Lebih Bermakna

Oleh : Muhammad Ilham

Seandainya bola itu manusia, niscaya ia akan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, mungkin setiap empat tahun sekali (Sepp Blatter : Presiden FIFA)

Setiap event bola skala internasional, katakanlah itu Piala Champions dan Piala Dunia, rasanya saya rindu dengan suasana kampung halaman saya. Ya, daerah pantai paling barat di Sumatera Barat itu, memiliki suasana yang "menggairahkan" ketika event Bola skala dunia bergulir. Saking menggairahkan sehingga di Air Bangis dikenal adanya kedai (biasa disebut Lopo) Real Madrid, Manchester United, AC Milan, Inter Milan dan seterusnya, tapi tidak ada kedai Semen Padang, Sriwijaya FC apatah lagi PSP Padang. Masyarakat nelayan disana memiliki "cita rasa" tinggi sehingga mereka tidak tahu menahu tentang perkembangan Liga Indonesia, siapakah Beni Dolo atau nama-nama pemain yang diimpor dari luar negeri sana untuk memperkaya dinamika persepakbolaan Indonesia. Tapi jangan tanya tentang Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Alex Fergusson, Mourinho, Massimo Moratti, Cannavaro, der-Kaizer, Les-Blues, Los Galacticos hingga Total Footbal dan Cattenaccio, praktis banyak para "komentator" bola dadakan di kampung saya tersebut bisa menjelaskan dengan baik, bahkan hampir mirip - untuk tidak mengatakan kalah - dari komentator sekaliber M. Kusnaeni atawa Rayana Djakasurja. Tidak berlebihan memang, tapi banyak diantara komentator kelas kampung tersebut memiliki pengetahuan umum persepakbolaan dunia yang cukup mengagumkan. Bahkan perselingkuhan Silvio Berlusconi atau John Terry bisa dengan baik dan antusias mereka ceritakan mengalahkan penceritaan perselingkuhan artis-artis Indonesia. Dan analisa itu selalu "mendapat tempatnya" atau " mengena" karena selalu dihubungkan dengan maju mundurnya sebuah klub. Kegagalan AC Milan dalam mereka kaitkan dengan kegilaan si pemilik klub, Berlusconi, terhadap wanita. Chelsea menurun karena isu perselingkuhan sang kapten, John Terry. Pokoknya, setiap yang berbau "sensasi atau bumbu-bumbu"pun mampu mereka hubungkan dengan moncernya sebuah klub. Dan ini terjadi hampir di segala level usia.

Bila sebuah perhelatan event sepakbola berlangsung, maka malam di kampung halaman saya tidak memiliki arti. Pertandingan Liga Champions, misalnya, yang selalu ditayangkan tengah malam tidak menjadi halangan. Kedai-kedai bahkan menjadi lebih hidup dengan teriakan dan sedikit (pertaruhan). Apalagi Piala Dunia sekarang, praktis kedai-kedai di Air Bangis "menggeliat-kencang" tanpa kenal lelah. Adu mulut, komentar jenius hingga analisis asbun menghiasi tayangan selama pertandingan. Asap rokok mengepul (mungkin merasa berhutang budi, karena rokok-lah yang mampu menjadi sponsor sebuah TV swasta sehingga bisa menyiarkan secara Live). Minuman bergizi seumpama Teh Telor dan Teh Susu menjadi menu paling favorit. Dan ketika pertandingan usai - sekitar jelang Shubuh - mayoritas dari mereka-pun menyebar dengan saling "menertawakan", terutama yang jadi pesakitan adalah pihak yang klub jagoannya kalah. Dan yang kalah tidak merasa gundah, bahkan sering ketawa sambil berkompensasi ria dengan analisis yang terkesan justifikatif terhadap kekalahan klub kesayangannya. "Pola permainan yang tidak pas, pelatih yang tidak jempolan ataupun belum saatnya untuk menang". Tapi yang jelas, perdebatan dan gurauan di antara mereka sangat humanis tanpa dendam dan kepentingan apapun. Ketika uang minuman dan makanan dibayar, bahkan bisa terkadang lebih karena biasa saja setiap selesai pertandingan berlangsung, satu dua buah gelas-piring akan terburai-pecah, mereka ada yang terus melaut (ke laut), sebagian lagi pulang ke rumah.

Sungguh, bola memberikan nilai tersendiri bagi sebagian (kaum laki-laki) di kampung halaman saya. Candu bola ini nampaknya sudah berlangsung lama, seusia dan seumur dengan TV dan listrik masuk ke daerah ini. Saya masih ingat, kala Piala Dunia Meksiko 1982, demam bola (Piala Dunia) sudah mulai terasa. Padahal TV dan listrik baru masuk hanya berjarak satu Pemilu. Dari Piala Dunia Meksiko ini pula, untuk kali pertama saya merasa jatuh hati dengan Maradona dan tim Tango-nya. Melihat dari TV Hitam Putih yang dibeli ayah saya di Bukittinggi, bagaimana Maradona mencatatkan sejarah "tangan Tuhan"nya. Bagaimana Karl Heinz Rummenigge memperkenalkan "tendangan pisang"nya dan seterusnya. Siaran Live TVRI (waktu itu hanya Live untuk pertandingan Semi Final dan Final saja) pukul 5.00 dinihari bukan menjadi halangan untuk "begadang". Ketika sampai di sekolah dengan mata "redup" 3 jam berikutnya, Maradona menjadi perbincangan hangat diantara anak-anak SD ingusan jelang bel tanda masuk berbunyi. Saya pribadi, mendapat berkah dari pertandingan bola ini yaitu : belajar menghapal nama-nama pemain bola. Sehingga sekarang, nama-nama seperti Jorge Valdano, Boniek, Paolo Rossi, Bettega, Buruchaga, Karl Heinz Rumenigge, Johan Cruijf, Sergio Goecheycea, Preben elkjaer, Brian dan Micahel Laudrup, "Si Burung Nasar" Emillio Butragueno, Hugo Shanchez, Ian Rush dan seterusnya masih teringat dengan baik. Jangan ditanya tentang Maradona yang Diego Armando itu, rasanya masih lekat-lengket gaya mainnya. Dan pada detik itu saya melihat, bola menawarkan : keindahan, sportifitas untuk mengatakan saya kalah serta apa yang dinamakan dengan kerja tim.

Karena itulah mungkin saya merindukan suasana kampung halaman saya kala Piala Dunia ini. Saya membayangkan Tim Sukses masing-masing calon Bupati/Wakil Bupati dan Gubernur/Wakil Gubernur kewalahan melihat apatisme masyarakat terhadap perhelatan politik tingkat lokal tersebut. Biasanya setiap perhelatan elektoral politik, pasti menggairahkan. Saling memanaskan dan menertawakan menjadi hiasan. Tapi kali ini, semuanya dikalahkan oleh momentum Piala Dunia yang bagi sebagian masyarakat jauh lebih bermakna daripada sekedar kampanye Pilkada. Seluruh baliho masing-masing calon berkibar di seluruh sudut negeri, tapi tidak bisa mengalahkan berkibarnya Piala Dunia. Dan ini cukup beralasan karena Piala Dunia ataupun Bola mengajarkan kepada masyarakat (setidaknya kepada para pecandu bola) tentang sebuah keindahan dan sportifitas dalam sebuah kompetisi. Tak ada kebohongan, tak ada janji-janji muluk. Dalam bola, kekalahan dan kemenangan biasanya sama. Dan setiap bintang, biasa tenggelam dan dikesampingkan. Dan, minggu-minggu ini, Piala Dunia jauh lebih memberikan arti bagi masyarakat dibandingkan Pilkada. Dan itu sangat terasa.

Si kulit bundar bernama "Jabulani" telah ditendang di Stadion Soccer City, Johannesburg, mengawali perhelatan akbar Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Semua mata dan harapan tertumpah ke sana. Bagi Benua Afrika sendiri, "Jabulani" tentu saja adalah berkah yang diharapkan bisa mengubah pandangan dunia tentang manusia-manusia penghuni Benua Hitam, yang sering dinistakan sebagai kaum terbelakang itu. Ke nako, it's Africa turn, kinilah giliran Afrika. Ke nako, it's time to celebrate humanity, inilah saatnya merayakan kemanusiaan. Begitulah semboyan yang mengiringi Piala Dunia 2010. Dan, African Renaissance, begitulah mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki menyebut perhelatan sepak bola dunia kali ini. Samuel Eto'o, kapten kesebelasan Kamerun, juga punya harapan yang amat tinggi. Ia yakin Piala Dunia kali ini bisa menghapuskan rasisme yang menghinggapi dunia, juga dunia bola, terutama di Eropa. Karena warna kulitnya, Eto'o memang sudah kenyang cacian bernada rasis, baik ketika ia masih bermain di Barcelona maupun saat di Inter Milan.

Eto'o percaya, pandangan dunia yang melecehkan manusia berkulit hitam akan berubah karena Piala Dunia kali ini. Alasannya, perhelatan bola ini ikut digagas oleh Sang Madiba, Nelson Mandela, tokoh yang lama menderita karena politik apartheid, tetapi juga memaafkan semua lawan yang telah menindas kemanusiaannya dengan politik rasisme itu. Mandela sendiri memang berniat agar dengan adanya Piala Dunia 2010 ini manusia disadarkan untuk bersama-sama memberantas rasisme yang masih merajalela di dunia. "Kebanyakan orang memandang Afrika dari segi kemiskinan, kelaparan, dan bencana. Piala Dunia kali ini memberi kami kesempatan untuk menunjukkan Afrika yang lain. Saya kira seluruh dunia akan dikejutkan oleh Afrika. Ini dapat menjadi Piala Dunia yang terbaik dalam sejarah," kata Eto'o, yang mengaku memang sangat mengagumi dan mengidolakan Nelson Mandela.

"Jika bola hanya berkenaan dengan hasil akhir, apa gunanya kita bermain?", setidaknya demikian kata Presiden FIFA Sepp Blatter. Cukup kita melempar keping uang di lapangan untuk menentukan siapa pemenangnya. Penonton sungguh ingin melihat permainan karena mereka mencintainya. Ya, karena respek akan manusia, sepak bola harus merebut kembali cinta. Oleh karena itu, bermain bola mengajarkan untuk mengatakan "tidak". Tidak terhadap kebohongan yang terang-terangan dari para politikus. Tidak terhadap keberhasilan yang diraih dengan segala cara. Tidak terhadap perang dan kemiskinan. Tidak terhadap ketidakadilan di bidang pendidikan. Sesudah kita berkata tidak, baru kita bekerja untuk sebuah "Ya": Ya terhadap kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Kata Menotti, jalan menuju "Ya" itu sangatlah sulit dan panjang. Kiranya Piala Dunia 2010 dapat menjadi salah satu jalan meraih impian kemanusiaan itu. Karena itu pula, jauh-jauh hari sudah dicanangkan Fair Play. Para aktor bola harus memperlihatkan bahwa mereka tidak akan bermain dengan kebohongan dan kecurangan. Mereka harus menunjukkan respek kepada sekian juta mata yang mengharapkan kejujuran dan sportivitas dari mereka. Karena itu pula, mereka jangan hanya bermain untuk asal menang. Sesuatu yang "jelas-nyata" tak didapatkan dalam dunia politik.

:: Salah seorang teman saya, mengganti Sticker salah seorang calon Gubernur dengan gambar Maradona. Ia menjadi marah bergejolak, ketika gambar itu ditutup kembali dengan sticker baru oleh tim sukses salah seorang calon gubernur. "Maradona dan Piala Dunia jauh lebih bermakna dibandingkan Pilkada", setidaknya demikian yang ingin ia sampaikan.

Rabu, 23 Juni 2010

Institusi Pendidikan Belanda di Minangkabau dalam Lanskap Photografi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Landasan pendidikan di Sumatera Barat semasa pemerintahan Hindia Belanda tidak berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Sekolah yang pertama terdapat di Sumatera Barat terletak di kota Padang yang didirikan pada tahun 1856, yaitu "Gouvernment lnlansche School" atau Sekolah Kelas Dua. Sistem tingkatan sekolah ini berbeda dengan sistem sekolah sekarang. Pada waktu itu murid Sekolah Kelas Dua diterima pada kelas V yaitu kelas tertinggi menurut ukuran sekarang. Pada waktu itu kelas V itulah yang merupakan kelas yang terendah, murid yang naik kelas akan memasuki nomor kelas yang makin rendah atau menurun, yaitu naik ke kelas IV, III, II, dan I. Tiga tahun kemudian Belanda mendirikan pula sekolah di Bukittinggi yang bernama Kweekschool atau lebih dikenal dengan nama "Sekolah Raja" di Sumatera Barat pada waktu itu, karena itulah satu-satunya sekolah yang tertinggi. Anak-anak yang diterima adalah anak dari orang terpandang, seperti Kepala Nagari, Laras (suatu jabatan yang kira-kira sama dengan Regent atau Camat sekarang), atau anak dari pegawai-pegawai Belanda. Anak rakyat biasa tidak akan dapat masuk sekolah ini, walaupun tinggi tingkat kecerdasannya.




Sekolah Raja merupakan sekolah yang dipandang tinggi oleh rakyat Sumatera Barat. Semua murid memakai pakaian yang rapi dengan dasi. Murid Sekolah itu dipandang tinggi kedudukannya oleh masyarakat, apalagi kalau sudah memegang suatu jabatan pada pemerintahan. Murid itu memperlihatkan tingkah laku yang berbeda, mereka menganggap dirinya orang yang mulia di tengah masyarakat. Murid sekolah tersebut membentuk kelompok sendiri dalam masyarakat. Mereka memisahkan diri dari pergaulan masyarakat yang mereka anggap orang rendah yang tidak setaraf dengan mereka. Belanda berhasil menanamkan suatu rasa yang merupakan bibit perpecahan dalam masyarakat, yang kemudian memperlihatkan diri dengan nyata.


Tetapi terlepas dari itu, adanya Sekolah Raja merupakan suatu keuntungan dan kesempatan baik bagi masyarakat Sumatera Barat. Tidak semua murid mau memenuhi keinginan Belanda, banyak di antara mereka dapat melihat kenyataan bahwa mereka disekolahkan terutama untuk kepentingan Belanda. Pelajaran yang mereka peroleh membuka mata mereka terhadap keburukan pemerintahan Belanda di Indonesia. Bacaan mereka tentang keadaan dunia luar menyebabkan mereka mengetahui bagaimana baiknya keadaan bangsa yang tidak terjajah. Didirikannya Sekolah Raja adalah untuk mendidik guru, tamatan sekolah itu akan ditugaskan menjadi guru pada sekolah yang dibuka Belanda kemudian di Sumatera Barat, tenaga guru Belanda kurang untuk memenuhi jumlah sekolah. Untuk menampung pembukaan sekolah pemerintah Belanda mempersiapkan guru lebih dahulu.



Perkembangan Sekolah Raja makin lama makin ditingkatkan mutunya oleh Belanda. Selama sebelas tahun dari pembukaannya bahasa Belanda belum diajarkan, karena murid yang diterima pada mulanya anak yang belum kenal bahasa Belanda. Pada tahun 1865, bahasa Belanda mulai diajarkan, murid sekolah tersebut bertambah bangga, karena mereka sudah pandai mempergunakan bahasa asing. Derajat mereka di tengah masyarakat bertambah tinggi. Pada tahun 1871, bahasa Belanda sudah merupakan bahasa wajib yang harus dipelajari oleh semua murid dan harus lulus dengan baik, tamatan Sekolah Raja harus pandai berbahasa Belanda dengan lancar. Semenjak itu ukuran kepandaian murid adalah kecakapan mereka dalam mempergunakan bahasa Belanda sehari-hari. Selanjutnya empat belas tahun kemudian bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar di Sekolah Raja, sekolah itu bertambah tinggi dipandang masyarakat, mereka mempersamakan murid dengan orang Belanda. Dengan berkembangnya kepandaian berbahasa Belanda di sekolah itu, maka penerimaan muridpun makin ditingkatkan, saringan masuk makin diperketat.


Sewaktu bahasa Belanda sudah merupakan bahasa Wajib di Sekolah Raja, sekolah lain yang lebih rendah tingkatannya sudah banyak didirikan oleh Belanda seperti sekolah : Valksschool, Vervolgschool, Sekolah Kelas Satu, dan beberapa sekolah kejuruan Indonesia. Pada mulanya masukan Sekolah Raja dapat diterima dari Vervolg School, tetapi semenjak awal abad ke-20 yang dapat diterima masuk Sekolah Raja hanya murid yang berasal dari tamatan Sekolah Kelas Satu. Dengan bertambah tingginya mutu masukan Sekolah Raja itu, bertambah tinggi pula pandangan masyarakat. Terhadap sekolah yang lebih rendah tingkatannya, sudah tinggi pandangan masyarakat, apalagi terhadap Sekolah Raja. Bagi murid Sekolah Raja yang sudah bekerja pada pemerintah Belanda berkecukupan hidupnya hanya dari gaji yang diterima. Belanda seolah-olah memberi angin kepada mereka dengan mengangkat derajat mereka. Kenyataannya keadaan ini memang disengaja oleh Belanda untuk tetap menanamkan rasa perpecahan di kalangan rakyat.

Tamatan Sekolah Raja juga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi jabatan pada pemerintahan atau dipekerjakan di tempat lain yang ditentukan oleh Belanda. Dengan demikian tamatan Sekolah Raja makin mendapat angin, karena mereka juga mulai dapat memegang kekuasaan pemerintahan, walaupun kekuasaan itu bukan menentukan.
Tamatan Sekolah Raja juga diangkat sebagai jaksa pada pengadilan Belanda (Landraad). Mereka itu bukan saja ditempatkan di Sumatera Barat, tetapi juga di daerah lain di Sumatera seperti Medan, dan Palembang. Dari 28 orang tamatan Sekolah Raja angkatan pertama, hanya 12 orang saja yang dipekerjakan sebagai guru, yang selebihnya dipekerjakan pada berbagai bidang pemerintahan. Belanda membutuhkan tenaga bukan guru jauh lebih banyak dari tenaga guru. Tamatan Sekolah Raja juga diangkat sebagai pengawas gudang, pegawai perusahaan dagang Belanda. Tamatan Sekolah Raja tidak kalah pintar dari bangsa Belanda, semua tugas yang diberikan kepada mereka dapat diselesaikan dengan baik. Keadaan itu menimbulkan rasa harga diri mereka, menimbulkan kesadaran dan menghapus perasaan rendah diri. Di bidang administrasi pemerintahan hasil kerja orang Sumatera Barat lebih baik dari orang Belanda.


Akibat sampingan dari dibukanya sekolah oleh Belanda adalah munculnya golongan terpelajar dengan hati dan mata yang telah terbuka melihat kepincangan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda selama ini di Indonesia. Mereka dapat melihat kemelaratan masyarakat Sumatera Barat pada umumnya dan menumbuhkan cara berfikir yang kritis. Timbul daya kritik yang tajam terhadap pemerintah Belanda di Sumatera Barat mengenai adanya kemiskinan dan kesengsaraan hidup masyarakat Sumatera Barat yang oleh Belanda selama ini didiamkan saja. Daya kritis itu mereka lontarkan pada bangsa asing yang sedang berkuasa dan terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang dilakukan oleh para pemimpin adat. Walaupun mereka sudah merupakan orang terdidik, tetapi dalam struktur adat Minangkabau mereka hanya tergolong kepada anak kemenakan yang harus patuh kepada mamaknya yang belum mendapat pendidikan Barat.
Pengaruh lain adalah timbulnya kegairahan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, karena dengan ilmu yang mereka dapat di sekolah yang masih rendah saja sudah mendatangkan manfaat pada mereka, apalagi kalau dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi bertambah besar, kalau perlu keluar daerah Sumatera Barat seperti ke Jawa atau keluar negeri sekalipun. Ongkos pendidikan sudah cukup dan gaji yang mereka terima, sedangkan beberapa fasilitas lain akan diperoleh, karena mereka adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda.

Foto : Johannis Bachir (telah memperoleh izin diup-load)
Sumber Narasi : Sumarsono Mestoko dkk., Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998)

Selasa, 22 Juni 2010

Soekarno, Bendera Pusaka dan 21 Juni

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tak lama setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno dengan wajah sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang diperintahkan Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang". Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu?" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu" rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain itu punya negara". Kata Bung Karno lalu ia pergi ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia.

Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara". Semua ajudan menangis Bung Karno mau pergi, "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan" salah satu ajudan hampir berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. "Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita, perang dengan bangsa sendiri tidak, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". Beberapa orang dari dapur berlarian saat tau Bung Karno mau pergi, mereka bilang "Pak kami tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya" Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa...."

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang seorang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, bapak segera meninggalkan tempat ini" beberapa tentara sudah memasuki beberapa ruangan. Dalam pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia ke dalam ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia masukkan bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung Karno bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar. Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. "Bapak tidak berpakaian dulu" Bung Karno mengibaskan tangannya, ia terburu-buru. Dan keluar dari Istana dengan naik mobil VW kodok ia minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hato-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya, ia sakit ginjal parah namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak kunjung diberikan. Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya tiba-tiba datang satu truk tentara ke rumah Sriwijaya. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku Bung Karno bilang "Aku pengen duku..Tri, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya juga sedikit ngelihat dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno "Mau pilih mana Pak, manis-manis nih" kata Tukang Duku dengan logat betawi. Bung Karno berkata "Coba kamu cari yang enak" Tukang Duku-nya merasa sangat akrab dengan suara itu dan dia berteriak "Lha itu kan suara Bapak...Bapak...Bapak" Tukang Duku berlari ke teman-temannya pedagang "Ada Pak Karno...ada Pak Karno" serentak banyak orang di pasar mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa tapi dalam hati ia takut orang ini akan jadi sasaran tentara karena disangka mereka akan mendukung Bung Karno. "Tri cepat jalan"..... Mendengar Bung Karno sering keluar rumah maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung Karno diasingkan. Di Bogor dia diasingkan ke Istana Batu Tulis dan dirawat oleh : Dokter Hewan..... !!

Lalu Rachmawati datang dan melihat ayahnya ia menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit jalan, Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Malamnya ia memohon pada bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan pada Presiden" kata Bung Karno dengan mengucurkan air mata dia menulis surat dengan tangan bergetar dan pagi-pagi sekali Rachma ke Cendana, rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget karena ada Rachma disana. Bu Tien memeluk Rachma dan disaat itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya, hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu membawanya ke atas, ke ruang kerja Pak Harto. "Lho Mbak Rachma ada apa?" Kata Pak Harto dengan nada santun, Rachma-pun menceritakan kondisi ayahnya. Pak Harto berpikir sejenak dan dia menuliskan memo untuk diperintahkan kepada anak buahnya agar, lalu dia dipindahkan ke Wisma Yaso yang sama sekali tidak terawat. Kamar Bung Karno sudah berantakan sekali, bau dan tidak diurus. Bung Karno tidak boleh keluar kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu. Dokter yang diperintahkan untuk merawat Profesor Mahar Mardjono sampai mau menangis saat tau bahwa semua obat-obatan yang biasa digunakan oleh Bung Karno dibersihkan dari laci obat atas dasar perintah Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya adalah madu. Jika sulit tidur dia diberi valium, Sukarno tidak diberikan obat bila terjadi pembengkakan ginjal.

Rumor yang mengatakan Bung Karno hidup sengsara banyak beredar di masyarakat, beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno tapi penjagaan sangat ketat. Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Muka Bung Karno sudah bengkak, ketika banyak orang tau Bung Karno datang ke rumah itu orang banyak berteriak "Hidup Bung Karno...Hidup Bung Karno...Hidup Bung Karno!!!" Sukarno yang reflek karena ia tau benar dengan suasana gegap gempita tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik. Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja, tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan, biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi Psikis yang kacau. Ia berteriak "sakit...sakit ya Allah.." tapi tentara terpaksa diam saja karena disuruh komandan, sampai ada salah satu tentara yang sampai menangis mendengar teriakan Bung Karno di dalam kamar sambil tangannya memegang senjata. Kepentingan politik tak mungkin bisa membendung rasa kemanusiaan dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno.

Di rumah Hatta duduk di beranda ia menangis diam-diam mengenang sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak tidak mungkin bisa kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" Hatta menoleh pada isterinya "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno terlalu sakit seperti ini". Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia boleh menjenguk Sukarno.Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda -Bagaimana pula kabarmu, Hatta ! . Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan rusak, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya Bung Karno juga menunggu Hatta dulu baru ia berangkat menemui Tuhan.Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer dijalan. RakyatIndonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang orang-orangnyamenangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agarjangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat wajah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Begitu cintanya rakyat Indonesia pada Bapaknya. Tau sikap rakyat seperti itu akhirnya tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang Indonesia yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih, Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno.

Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan secara manusiawi meninggalnya dengan cara yang agung. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan mereka datang karena cinta bukan paksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah bangsa memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar kenapa Indonesia harus berdiri. Tapi diperlakukan layaknya binatang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti itu........ 21 Juni - Tanggal meninggalnya Bung Karno.

(c) AD Hanung Nugrahanto/Diskusi via Facebook

Minggu, 20 Juni 2010

Singgasana Terakhir Padjajaran

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Deddi Arsya)

Jika Anda pernah membaca Arus Balik Pramoedya Ananta Toer, Anda tentu tahu, bahwa epos sejarah itu berbicara tentang detik-detik menjelang kehancuran Majapahit, yaitu di saat negara-negara Islam mulai melebarkan kekuasaan politik mereka di pulau Jawa. Jika Arus Balik berbicara tentang keresahan negeri-negeri Hindu di bagian tengah dan timur Jawa dalam menghadapi dominasi kekuasaan-kekuasaan Islam yang mulai tumbuh, novel yang saya bahas ini berbicara persoalan yang lebih-kurang mirip, namun dengan latar kerajaan Hindu terakhir di bagian barat Jawa: Pakuan Pajajaran. Cerita dibuka: Syahbandar dan beberapa orang penjaga pelabuhan sedang asyik berburu babi di pinggiran pelabuhan Sunda Kelapa. Di tengah keasyikan berburu, dari arah pelabuhan mengepul api dan asap yang membubung tinggi ke udara. Sekelompok perusuh telah membakar bandar penting milik kerajaan Pakuan Pajajaran berikut beberapa kapal dagang yang tersandar di sana.

Siapakah perusuh yang membakar pelabuhan? Pelacakan dan pencarian mulai dilakukan prajurit-prajurit kerajaan. Terdapat indikasi bahwa kerajaan Islam Cirebon dan Demak yang mulai berkembang di tanah Jawa itu mendalangi penyerangan terhadap pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka berencana hendak merebut Sunda Kelapa, atau setidak-tidaknya berusaha mengalihkan konsentrasi dagang dari Sunda Kelapa ke pusat-pusat perdagangan mereka di pesisir utara Jawa yang lain. Lalu ketegangan dan pergolakan antara kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hindu dan kerajaan-kerajaan Islam yang mulai tumbuh di sekitarnya seperti Cirebon dan Demak mendominasi epos sejarah ini kemudian. Keberadaan Sunda Kelapa atau Bandar Kelapa sebagai pelabuhan dagang adalah salah satu pemicu. Sunda Kelapa sebagai pelabuhan penting dalam perdagangan Nusantara ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran diperebutkan oleh beberapa daerah di sekitarnya yang telah memeluk Islam dan memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam. Demak misalnya sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa telah melebarkan pengaruhnya sampai jauh. Cirebon yang mulanya adalah sebuah provinsi Pakuan kini telah direbut Demak dan diislamkan. Sementara di paling ujung barat pulau Jawa, Banten, perlahan-lahan mulai berdiri sebagai kerajaan Islam Sunda yang kelak akan besar. Mereka sama-sama mengincar Sunda Kelapa.

Novel sejarah ini mencatat bagaimana kekuasaan Hindu nyaris terdesak di mana-mana oleh perkembangan Islam yang begitu pesat. Ketegangan antara negara-negara Islam yang mulai tumbuh dan kerajaan-kerajaan Hindu yang kehilangan pamor memang menjadi kecendrungan masa itu, abad yang dibicarakan novel ini. Tidak hanya di barat pulau Jawa, ke arah timur misalnya ketegangan semacam ini juga terjadi antara bekas-bekas provinsi Majapahit yang telah hancur dengan negara-negara Islam yang baru berdiri itu. Majapahit telah runtuh dan hanya menyisakan sedikit daerah di timur pulau Jawa seperti di Blambangan dan Pasuruan (seperti dicatat Arus Balik). Novel sejarah ini menyorot detik-detik menjelang kehancuran kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran berada di bawah ancaman serangan dari kerajaan-kerajaan Islam di sekitarnya. Ketika kecemasan akan diserang oleh kerajaan-kerajaan Islam itu semakin meningkat, Pakuan terpaksa memohon bantuan dari Portugis yang ketika itu tengah bercokol di Malaka. Di samping itu, intrik-intrik dalam tubuh kerajaan sendiri semakin melemahkan Pakuan Pajajaran. Abdi-abdi kerajaan saling menjatuhkan untuk memperoleh jabatan penting. Kegelisahan-kegelisahan abdi-abdi negara Pakuan disorot secara tajam, dan intrik-intrik politik pembesar-pembesarnya didedahkan. Meskipun sesungguhnya tokoh-tokoh penting dalam novel ini adalah orang-orang di pinggiran kekuasaan.

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang pesinden dan penari istana bernama Retnayu. Ia berasal dari desa pedalaman Sunda yang jauh dari ibukota kerajaan. Karena kecantikan dan kemahirannya menembang dan menari, seorang senapati mengambilnya menjadi istri kedua. Ia dibawa ke ibukota dan hidup dalam lingkungan keraton sebagai pesinden. Sekalipun hidup di lingkungan keraton, ia sesungguhnya tidak bahagia. Bukan saja karena statusnya sebagai istri kedua, tetapi juga karena ia tidak pernah mencintai suaminya itu, karena ia dikawinkan secara paksa oleh ayahnya. Diam-diam Retnayu menaruh hati kepada seorang kepala pasukan elit kerajaan Pakuan Pajajaran bernama Adeghada. Ia memimpikan hidup bersama lelaki itu suatu waktu kelak meskipun impian itu tak pernah berani ia utarakan. Sampai ketika suaminya hilang di tengah lautan setelah kapal yang ditumpanginya dihantam badai dalam perjalanan pulang dari perlawatan kenegaraan ke Malaka yang ketika itu dikuasai Portugis, impian itu perlahan-lahan mendapat tempatnya. Walaupun sempat bersedih, dengan kematian suaminya ia merasa terbebas dari penderitaannya selama ini. Adeghada pun sebenarnya menyimpan maksud hati yang sama. Mereka kemudian menikah.

Adeghada (tokoh utama lain dalam novel ini) melakoni kehidupan yang dilematis. Sebagai prajurit elit kerajaan, ia harus tunduk-setia kepada titah Sang Prabu, sementara di lain sisi ia juga terikat sumpah pada seorang mantan senapati (mantan suami Retnayu yang ternyata berhasil selamat dari hantaman badai). Mantan senapati itu dengan ambisius hendak mengembalikan jabatannya yang telah direnggut oleh oranglain setelah ia dianggap hilang di lautan dalam perjalanan pulang dari Malaka. Ia menginginkan Adeghada membantunya mewujudkan ambisinya itu. Mantan senapati yang ambisius itu menjebak Adeghada. Adeghada akhirnya terdepak dari lingkungan militer, hampir dihukum mati, tetapi raja Pakuan meringankan hukumannya dengan hanya menjadikannya seorang tetega (rahib dalam Hindu-Sunda). Selama Adeghada menjalani hukuman, pimpinan pasukan elit kerajaan diambil-alih oleh orang lain yang tidak cakap. Akibatnya dalam tubuh pasukan elit kerajaan muncul perpecahan di antara prajurit karena tidak ada pemimpin yang cakap yang mampu menyatukan mereka. Sementara ancaman semakin besar datang dari Demak, Cirebon, dan Banten. Di lain pihak, beberapa daerah Pakuan juga memberontak terhadap ibukota. Akhirnya, Adeghada dipanggil kembali untuk memimpin pasukan elit kerajaan. Di bawah Adeghada perang berkecamuk di mana-mana. Negera-negara Islam yang semakin kuat dan dengan gencar menyerang. Pemberontakan di daerah-daerah Pakuan juga meletus di waktu yang bersamaan.

Sebagai penutup: Sebuah novel sejarah berpotensi untuk terjerumus dalam lumpur hitam carut-marut pertarungan kekuasaan dan intrik-intrik politik seperti yang mendominasi halaman kitab-kitab sejarah jika ia tak lebih dari sekedar mendedahkan fakta-fakta. Jika telah begitu, akibatnya, novel sejarah kehilangan daya pukau sebagai karya sastra; ia menjadi pontong tangan yang tak bisa menyentuh dada kemanusiaan. Tatang Sumarsono tampaknya memahami ini, sehingga ia tidak begitu larut dalam membicarakan orang-orang besar dalam lingkungan politik keraton, tetapi ia mencoba menghadirkan orang-orang kecil di pinggiran arus deras kekuasaan, yang terdepak, yang tak memberi pengaruh yang berarti terhadap perubahan sejarah, tetapi sesungguhnya ada sebagai manusia. Meskipun tak dapat kita menutup mata, beberapa kelemahan novel ini juga terasa misalnya: ketegangan cerita yang mengendor di pertengahan novel bahkan terus terasa sampai ke akhir cerita. Selain itu, kadang dialog-dialog antar tokoh yang seharusnya bisa diringkas dan dipepatkan menjadi berpanjang-panjang dan bertele-tele, sehingga terasa membosankan. Tak apalah, novel ini tetap layak untuk dijadikan refesensi mengenal akhir-akhir keruntuhan kerajaan Hindu terakhir di tanah Pasundan.

Rabu, 16 Juni 2010

"Sihir" Mandela dan Piala Dunia Afrika Selatan

Oleh : Muhammad Ilham

Bila kehilangan satu mata dibalas dengan mengambil mata yang lain, niscaya dunia ini akan buta (Mohandas Karamachand Mahatma Gandhi)

"Untuk rakyat Maroko, Mesir, Libia, dan Tunisia, kalian jangan bersedih. Nanti, kalau kalian bertanding di Afrika Selatan, saya kira kalianlah yang akan lebih beruntung." (Mandela)

Pada diri Nelson Mandela, salah satu diantara sedikit pemimpin, "spirit" Gandhi dimaknainya. Disekap dan "diporak-porandakan" oleh rezim Apartheid (terutama pada masa rezim Peter W. Botha) puluhan tahun, Mandela memegang teguh prinsip dasar kemanusiaan, melawan dan merubah tanpa dendam. Mandela memberikan keteladanan pada rakyatnya untuk melepaskan dendam dan ia memulai dari dirinya sendiri. Sejarah mencatat, Mandela yang memenangi hadiah Nobel Perdamaian ini ingin menyatakan : "ibda' bi nafsih", ia yang pertama mengulurkan tangan untuk perdamaian dengan senyum tanpa dendam. Walau, untuk itu, sebenarnya ia pantas. Karena teladannya ini pula, Mandela kemudian dikenang sebagai legenda hidup. Belum pernah sebelumnya ada pemimpin yang begitu dihormati dunia seperti tokoh yang satu ini. Penghormatan lintas ideologi, lintas ras dan generasi. Bila Castro, Che Guevara, Soekarno, Mao Tse Tung, Ho Chi Minh, Lenin, Stalin, Winston Churchill, Mc. Arthur, Yasser Arafat atau John F. Kennedy dan Mahathir Mohammad - untuk menyebut beberapa contoh diantaranya - hanya "terkungkung" pada pengkultusan parsial, maka Mandela lebih universal. Isu yang melekat pada dirinya-pun lebih manusiawi dan humanis, sebagai tokoh cinta damai yang memberikan pesan dan pencerahan kepada seluruh ummat manusia. Mandela beruntung. Dunia dan sejarah menghargainya. Dunia dan sejarah tidak "berdebat" untuk menyimpulkan bahwa ia adalah tokoh besar.

Siapakah Mandela ? Nelson Mandela atawa Rolihlala Mandela ataupun Madiba yang dilahirkan tanggal 18 Juli 1918 ini, pernah merasakan "upah" dari perjuangannya. Sesudah pertama kali dibidik dengan tuduhan subversif tahun 1956, Nelson Mandela terus bolak-balik diadili, jadi buronan dan hidup belasan bulan dalam persembunyian. Akhirnya, sejak tahun 1964 Mandela menjalani hukuman penjara seumur hidup. Delapan belas tahun pertama ia jalani di penjara pulau Robben. Lebih dari seperempat abad, atau tepatnya 26 atau 27 tahun lamanya Nelson Mandela dipenjara. Di pulau terkucil itu sehari-harinya dari balik jeruji jendela penjara, Mandela menyaksikan pertandingan sepak bola yang disebut liga Makana. Itu merupakan pertandinangan bola antar penghuni penjara pulau Robben. Beberapa tahun kemudian aparat menutup jendela itu, hingga Mandela tak lagi bisa menikmati pertandingan liga Makana.

Rezim apartheid Afrika Selatan dengan minoritas kulit putih (terutama keturunan Belanda) di atas mayoritas kulit hitam, mengerahkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan dan terutama melalui kekerasan, penindasan damn pelanggaran hak asasi manusia. Akhirnya, betapapun kuatnya, rezim kulit putih terakhir itu runtuh juga. Presiden terakhir kulit putih, Friedrich Wilhelm de Klerk mengambil langkah bersejarah. Mengakhiri politik apartheid, membuka jalan bagi suatu Afrika Selatan yang baru, dengan membebaskan tokoh utamanya yang dipenjarakan sejak tahun 1964. FW de Klerk, dalam pidato tanggal 2 Februari 1990, "Saya ingin mengatakannya secara tegas bahwa pemerintah telah mengambil keputusan bulat untuk membebaskan Nelson Mandela tanpa syarat". Sebuah keputusan yang implikatif. Keputusan yang "mengubah dunia". De Klerk tak bisa menghidar yang memang tak terhindarkan. Sejak saat itu pula ia melegalkan seluruh organisasi anti-apartheid yang sebelumnya dinyatakan terlarang. Termasuk Kongres Nasional Afrika ANC, partai yang dipimpin Mandela. Dan tibalah hari besar itu, 11 februari 1990. Mandela dibebaskan.

Salah satu teladan Mandela adalah tokoh besar lain, Mahatma Gandhi, yang memperoleh inspirasi gerakan anti kekerasan semasa hidup di Afrika Selatan. Namun ternyata Mandela pernah pula terlibat gerakan kekerasan. Pada tahun 1961 ia mendirikan dan memimpin sayap militer ANC, yakni Umkhonto we Sizwe atau Tombak Bangsa. Di pengadilan. Mandela mengakui merancang berbagai tindakan sabotase terhadap tentara, bahkan menyiapkan perang gerilya. Belakangan, dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diciptakannya setelah menjabat sebagai presiden, Mandela bahkan mengakui, bahwa dalam perjuangannya melawan apartheid, ANC juga melakukan sejumlah tindakan yang melanggar HAM. Ini membuat sejumlah pejabat ANC marah dan berusaha menghapus pernyataan itu dari laporan Komisi. Namun justru dengan pengakuan atas kesalahan itu, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi mendapat posisinya yang istimewa. Juga Nelson Mandela. Sebagaimana disebutkan Nadine Gordimer, perempuan kulit putih Afrika Selatan pemenang Nobel sastra tahun 1991, "Mandela tak ragu lagi adalah wujud hati nurani manusia. Ia menciptakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan itu ia mengundang orang yang menjebloskannya ke penjara selama puluhan tahun untuk makan siang dan memaafkannya. Dan ia menegur pemerintahan yang sekarang yang dianggapnya tidak cukup mengurusi orang-orang yang akan mati karena AIDS. Hidup dengan hati nurani adalah manusia dengan solidaritas". Dari dulu hingga kini, Mandela adalah seorang revolusioner sejati.

Memang itulah dia Nelson Mandela. Bahkan dalam sejumlah keputusannya yang seakan paling tidak heroik. Yang pertama, tentu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sebuah lembaga orisinal dengan gagasan brilian yang mengambil jalan tengah untuk mencegah pembalasan dendam mayoritas kulit hitam tertindas terhadap minoritas kulit putih bekas penindas. Dengan Komisi itu, para korban kekejaman bertemu para pelaku kekejaman dalam persidangan. Ya, korban dengan perilaku. Ada sebuah jarak yang tegas-jelas. Pertemuan untuk membahas peristiwa kekejaman itu. Para pelanggar HAM yang mengakui perbuatan mereka dan meminta maaf, akan diampuni. Namun yang tidak mengaku, atau berbohong, harus menjalani proses hukum. Dengan Komisi ini sebagian besar dari luka-luka Afrika Selatan diobati, walau tidak dengan seketika. Afrika Selatan pun terhindar dari kekerasan, dan melewati transisi demokrasi dengan cukup mulus. Komisi ini kemudian menjadi inspirasi bagi penyelesaian konflik secara damai di berbagai belahan dunia lain. Kendati ikhtiar tersebut tak banyak yang berhasil.

Sebagai politikus, sudah menjadi presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih sepenuhnya melalui suatu Pemilihan Umum yang bebas, tahun 1994 -dan presiden tertua dunia saat dilantik, Mandela menciptakan keteladanan baru: menyatakan tidak bersedia dipilih lagi. Dan ia betul-betul pensiun sesudah masa jabatannya berakhir tahun 1999. Ini sebuah langkah revolusioner pula. Mandela menjadi pemimpin pertama Afrika yang mundur secara sukarela di tengah puluahn diktator Afrika yang berusaha melanggengkan kekuasaan dengan segala cara. Sesudah pensiun dari pemerintahan, Mandela mengambil peran sebagai aktifis dunia untuk berbagai bidang. Gerakan penanggulangan HIV-AIDS, serta TBC, gerakan pengentasan kemiskinan, pencegahan perubahan iklim, pendidikan anak-anak Afrika, penengahan berbagai konflik dan berbagai kegiatan lain. Untuk itu ia melakukan perjalanan tak terhitung ke berbagai penjuru dunia untuk berkampanye.

Mandela dikenal pula sebagai penentang perang Irak yang sangat lantang. Katanya tentang kebijakan perang George Bush dan Tony Blair : "Apa yang mereka perkenalkan dengan kebijakan itu adalah kekacauan politik dunia. Dan kita mengecam hal itu sekeras-kerasnya".: "Apa yang mereka perkenalkan dengan kebijakan itu adalah kekacauan politik dunia. Dan kita mengecam hal itu sekeras-kerasnya". Bahkan Nelson Mandela menuduh langkah George Bush dan Tony Blair melancarkan perang Irak kendati tanpa izin PBB, dilatari sikap rasis. Katanya, "Geoge Bush serta Tony Blair mengesampingkan gagasan-gagasan para pendahulunya. Mereka tak peduli. Apakah itu karena sekrtetaris jenderal PBB yang sekarang adalah seorang kulit hitam?" "Geoge Bush serta Tony Blair mengesampingkan gagasan-gagasan para pendahulunya. Mereka tak peduli. Apakah itu karena sekrtetaris jenderal PBB yang sekarang adalah seorang kulit hitam?" Sekretaris Jenderal PBB waktu itu. Kofi Annan, memang adalah warga Ghana kulit hitam. Namun Mandela kali ini dianggap terlalu jauh. Ia dikecam, juga oleh para pendukung Mandela sendiri. Belakangan Mandela mengaku pernyataan itu tidak pada tempatnya. Namun Mandela tetap dipandang sebagai salah satu tokoh terbesar era modern.

Sampai usianya yang ke 92, sebuah capaian "tingkat umur" yang fenomenal mengalahkan para Kamerad Tua Komunis Cina yang dikenal berusia tua, Mandela telah menerima lebih banyak penghargaan. Termasuk Nobel perdamaian. Ia juga menjadi ilham tak terhitung karya musik, pertunjukan, peristiwa kesenian, juga film. Bahkan bisa jadi ia merupakan tokoh yang paling banyak diabadikan oleh para musikus dunia.
Mulai Stevie Wonders, Santana, hingga Yousou N'Dour, Salif Keita, Tracy Chapman, dan banyak lagi. Sejak tahun 2004, ia sebenarnya sudah mengundurkan diri dari kegiatan umum. Dikatakan Mandela, kini kehadirannya akan lebih banyak melalui yayasan-yayasannya. Pemunculannya secara langsung, hanya akan dilakukan sesekali saja, secara sangat terbatas.

Tanggal 15 Mei 2004, sebanyak 24 anggota Executive Committee FIFA, dalam sidangnya di Zurich, Swiss, memilih dan menetapkan Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 dalam pemilihan lewat voting. Afsel mengungguli calon dari Afrika lainnya, Maroko, Mesir, Libia, dan Tunisia. Welcome to World Cup South Africa 2010. Lalu kenapa Afrika Selatan? Padahal, negeri tempat persinggahan terakhir Syekh Tajul Khalwati penyebar Islam di Afrika Selatan yang dibuang oleh kolonial Belanda dari Nusantara, tergolong "belia", tentunya dalam urusan bisnis atau industri sepak bola. Negeri penghasil berlian terbaik di dunia serta pengekspor utama dunia untuk komoditas emas dan platinium ini juga tergolong pendatang baru pada ajang kejuaraan sepak bola piala dunia. Sepanjang sejarah, mereka hanya dua kali berhasil lolos ke putaran final, yaitu pada World Cup 1998 Perancis (dengan bintangnya Doctor Khumalo) dan Piala Dunia 2002 di Jepang/Korea (dengan pemain bintangnya : Shaun Bartlet). Prestasi mereka pada kedua ajang itu pun rontok pada babak penyisihan grup. Pada ajang Piala Dunia terakhir tahun 2006, Afsel bahkan tak mampu lolos ke Jerman. Lantas? Ya, boleh jadi pilihan FIFA itu karena faktor Nelson Mandela atawa Madiba, sang legenda.

Dalam sambutannya di markas FIFA pada 7 Juli 2006, Mandela mengatakan, "Untuk rakyat Maroko, Mesir, Libia, dan Tunisia, kalian jangan bersedih. Nanti, kalau kalian bertanding di Afrika Selatan, saya kira kalianlah yang akan lebih beruntung." Itulah gaya Mandela, selalu berkata bijak dan menyejukkan. Nelson Mandela pun memang disegani oleh rakyat seluruh Benua Afrika. Ia bukan saja mantan Presiden Republik Afrika Selatan (yang pertama), melainkan juga sudah menjadi Bapak Bangsa bagi keseluruhan bangsa di seantero Benua Afrika., inspirasi perdamaian dunia. Apa hubungannya Nelson Mandela dengan pilihan FIFA? Mungkin, itu karena Mendela dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar negara untuk membawa Afrika Selatan maju di bidang pembangunan ekonomi dan stabilitas politik dibanding negara-negara lain di seantero Benua Afrika. Akhirnya tidaklah salah malam kemaren dalam prosesi pembukaan Piala Dunia Afrika Selatan 2010, ada dua event yang pada prinsipnya ingin ditonton oleh penduduk Planet yang bernama Bumi ini. Prosesi pembukaan dan "sihir" sang legenda yang dianggap menjadi "kartu truf" menangnya Afrika Selatan jadi Tuan Rumah Piala Dunia, si-Mandela. Sayang, ia lagi berduka. Tapi Mandela ingin mengajarkan kepada dunia, bahwa antara Ia-Afrika Selatan dan Sepak Bola memiliki satu kesamaan yaitu : "sportifitas dan persaudaraan". Beruntung Afrika Selatan dan Benua Afrika memiliki "ICON" kharismatik seumpama Mandela. Sejarah akan terus mencatat "sihir"nya bagi manusia dan kemanusiaan.

::: Beberapa data "dasar/umum" penulis kutip dari wikipedia.com

Senin, 14 Juni 2010

Tenaga Kerja Indonesia (Baca: TKI) : "Sekelumit" Cerita TKI di Malaysia (Komparasi Makalah Ka'bati)

Oleh : Muhammad Ilham

Ada pertanyaan yang terus bergelayut dalam benak saya : "Mengapa para TKI (baca : pahlawan devisa Indonesia), terkadang ditangkap karena faktor dokumen yang tidak lengkap, terkadang dihina, disakiti, diusir dan disabat (dirotan) ...... namun mereka tetap betah di Malaysia untuk "berimprovisasi hidup" dan ingin kembali lagi ke negeri Hang Tuah ini, bila dipulangkan ke Indonesia?". Diantara banyak faktor yang menyebababkan hal di atas terjadi, faktor EKONOMI merupakan faktor super-signifikan. Namun, ada faktor-faktor "kecil" yang justru membuat para TKI tersebut menjadi "at-home" di Malaysia. Untuk melihat faktor-faktor "kecil" tapi signifikan tersebut, saya akan bercerita tentang dua cerita ringan berdasarkan pengalaman emipirik saya yang pantas untuk diceritakan.

Cerita Pertama. Namanya Dasril, asal Pesisir Selatan. Saya lupa-lupa ingat (meminjam istilah KuburanBand), dimana kampung kecilnya di Pesisir Selatan. Tapi yang pasti, waktu pertama sekali saya mengenalnya, ia masih bujangan, dan ketika saya berinteraksi selama lebih kurang 2-3 bulan pada tahun 2005 pertengahan, ia berumur 28 tahun, kurang lebih. Berdomisili (dalam bahasa Malaysia : "bermastautin") di Hulu Langat, Selangor. Pekerjaannya di Malaysia, 3 jenis : menyadap getah, berniaga buah dan menjaga kebun orang Melayu. Ia masuk ke Malaysia sejak tahun 1999, mengikuti kakaknya yang telah memiliki IC Biru. Selama rentang 6 tahun tersebut (1999-2005), Dasril sudah dua kali masuk penjara, tertangkap karena "kosong" (istilah tidak memiliki dokumen), satu kali di sabat (dipukul dengan rotan ke arah daging pinggul bagian atas, dan biasanya setelah disabat tersebut, butuh 3 hari untuk tidur menelungkup) dan dua kali di usir. Ia pernah lari ke hutan, sendirian sambil menghuni satu kebun orang Melayu yang simpati padanya. Saya pernah dibawanya ke kebun (tepatnya : hutan belantara) tersebut, sungguh lengang dan mirip dengan suasana yang diceritakan Pramudya Ananta Toer tentang pulau Buru). Disinilah waktu dulu, Dasril hidup kayak "Rambo", makan buah-buahan dan sesekali dikirimkan beras oleh temannya orang Melayu yang simpati padanya. Temannya yang orang Melayu ini tidak begitu leluasa berkirim makanan pada Dasril karena takut ketahuan oleh Rela (semacam Tim Pol PP a-la Indonesia yang bertugas menswipping TKI Illegal). Apabila ketahuan, konsekuensinya jelas : masuk lokap @ penjara. Walaupun kondisi seperti ini, Dasril tetap bertahan dan tidak ingin pulang ke Indonesia. Ketika keluar kebijakan "pemutihan" pada awal pemerintahan PM Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, Dasril keluar dari "pertapaannya", dan kemudian memanfatkan momentum ini untuk menyelesaikan administrasi-dokumen. Ia kembali ke Indonesia, untuk beberapa bulan. Setelah itu, ia masuk kembali ke Malaysia. Atas jaminan kakak dan kawan melayu-nya, ia memperoleh visa untuk berniaga buah dan menyadap karet.

Ketika saya tanyakan, mengapa tekadnya begitu kuat untuk tetap bertahan di Malaysia, bahkan mau "bertapa" di hutan belantara dan pinggulnya masih terlihat jejak bekas sabat-rotan (dan, konon katanya kawannya, "burungnya" sulit untuk hidup dan berpotensi impoten, mungkin karena "hempasan kuat" rotan waktu disabat). Saya bahkan memberikan argumentasi-logis bahwa selama 6 tahun beliau berniaga dengan "onak duri kehidupannya", toh Ringgit-pun tak diperolehnya dalam jumlah banyak, bahkan mungkin ia merugi. Lebih baik pulang ke Indonesia, berniaga di Padang atau Pesisir Selatan atau di Jakarta atau dimana saja, mungkin uang banyak yang bisa dikumpulkannya. Dasril menjawab, "disamping lambaian ringgit yang luar biasa, ketenangan berniaga dan berusaha di Malaysia jauh lebih aman dibandingkan di Indonesia ....... asal dokumen lengkap. Dalam berniaga, di Malaysia, bila dokumen lengkap, kita tak punya musuh. Di sini tak ada "orang bagak", preman yang minta uang, harus melapor ke sana ke mari jelang berniaga dan seterusnya. Berniaga di kampung orang Cina atau orang India, berdekatan dengan mereka bahkan bersaing dengan mereka tidak akan membuat kita khawatir. Tidak akan ada kata-kata : "pergi......... kamu orang Indonesia, ini wilayah peniaga India atau Cina, tidak boleh berniaga di sini. Di Indonesia, saya jamin kata Dasril, saya yang orang Pesisir Selatan akan kesulitan berniaga di daerah orang Pariaman apatah lagi kalau tidak melapor pada "orang bagak". Ringgit ............ nanti akan bisa terkumpulkan. Namun, suasana batin yang tenang-lah yang ingin dicari Dasril. Ia telah belajar, dokumen sebagai bentuk penghormatan. Orang akan memberlakukannya dengan hormat, apabila dokumennya lengkap. Ketika dokumen telah "ditaklukkannya", Dasril mulai merasakan bagaimana "nikmatnya" berniaga di Malaysia...... ia tidak mengenal pungutan liar, orang bagak, preman, kecemburuan etnik (orang pribumi-pendatang) dan pencurian. Bahkan, ia pernah menghardik orang Melayu asli di perkampungan Melayu di Sungai Lui Hulu Langat karena menghina profesi dan negaranya. Orang Melayu ini minta maaf dan tak pernah lagi mendengar : "hei kamu orang Indon, tak boleh berniaga di Malaysia". Ini yang dianggapnya tidak akan pernah didapatkannya bila berniaga di Indonesia. Sekarang, saya tidak tahu dimana Dasril berada. Tapi dua tahun yang lalu, saya dapat kabar dari kawan-kawan perantau Pesisir Selatan di Selangor bahwa Dasril berada di Pahang. Ia nomaden, mengikuti ritme musim durian. Konon ...... ia telah punya istri, orang Bangladesh (biasanya orang Malaysia menyebut dengan istilah orang Bangla dan konon, menjelang nikah ia mengobati "burungnya" sama orang India), muslimah-cantik dan telah punya Van (mobil khas untuk berniaga buah). Alhamdulillah, ia telah mapan. Mungkin ia telah melupakan Indonesia. Ia tidak mau tahu dengan nasionalisme, Ambalat apalagi cerita melankolik Manohara. Ia lebih mau tahu dengan kepastian dan kehormatan kehidupannya. Dan untuk itu, mungkin ia merasa bahwa ia lebih bisa "hidup" dan hormat ketika ia hidup di Malaysia.

Cerita Kedua. Karena menghemat biaya dan agak sedikit "takut terbang", saya biasanya naik Feri ke Malaysia, dari Padang - Dumai - Malaka - Kuala Lumpur. Disamping biaya lebih murah, tapi meletihkan, menggunakan transportasi mobil dan feri tersebut justru memberikan pengetahuan-pencerahan bagi saya melihat secara empirik bagaimana orang diperlakukan dan memperlakukan seseorang. Tak luput dengan para TKI. Dalam setiap perjalanan dengan feri, pasti saya akan mencari TKI untuk sekedar ber-"curhat" dan belajar dari mereka. Dari bolak-baliknya saya Malaysia-Indonesia via Feri Dumai-Malaka, ada satu hal yang sangat membuat saya trenyuh. Umumnya, para TKI yang pulang dan pergi via Feri Dumai-Malaka ini, akan merasa deg-degan melewati imigrasi Indonesia (dalam hal ini imigrasi Dumai) dibandingkan dengan imigrasi (imigresen) Malaysia di Malaka. Simpulan dari percakapan saya dengan para TKI sewaktu berada di feri Dumai-Malaka tersebut, bahwa para TKI telah menstrukturkan sebuah "image" dan berlaku sebuah teori : "bila dokumen lengkap, maka imigresen di Malaka akan aman, walau ketika "masuk" maupun "keluar". Bila dokumen kita lengkap, apalagi ketika kita kembali dari Malaysia, maka kita belum tentu aman di imigrasi Dumai".

Indonesia ........................... mungkin cerita diatas bisa memberikan kita pencerahan. Nasionalisme sejati itu adalah sebuah ideologi yang diejawantahkan oleh negara untuk mampu memberikan kepastian "kehidupan" bagi warganya. Kalau tidak, nasionalisme itu ibarat "candu" seperti yang dikatakan oleh Jacquess Derrida (mungkin ia meniru tipologi Marx : "Agama adalah Candu") - meninabobokkan karena ketidakmampuan mengatasi persoalan yang lebih substansial.

Tenaga Kerja Indonesia (Baca: TKI) dan Representasi Budaya (Kasus Korea Selatan)

Penulis : Ka'bati (diedit : Muhammad Ilham)

Saya sengaja membuka tulisan ini dengan memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimana Indonesia dikenal oleh masyarakat Korea? Ini sebuah pertanyaan tentang identitas. Tentu saja jawabannya akan cukup beragam, mengingat Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk lebih dari 200 juta orang. Juga dengan luas wilayah yang terdiri dari ribuan pulau, kemajemukan etnis dan keragaman budaya. Bisa jadi kelompok masyarakat pencinta olah raga mengenal Indonesia lewat dunia bulutangkis, karena seringnya atlet Indonesia beradu tanding dengan atlet Korea. Bisa juga Indonesia dikenal sebagai negara teroris karena kasus-kasus bom yang sepanjang tahun 2000an ini begitu sering mengguncang Indonesia. Atau bisa juga Indonesia dikenal sebagai negara rawan bencana, negara miskin, negara agraris dan sebagainya. Tetapi tentu saja jawaban itu belum bisa mewakili sebuah negara seperti Indonesia. Seperti juga tidak selalu pedas identik dengan masakan Padang, karena ternyata orang Jawa menyukai masakan pedas dan orang Padang ternyata sekarang juga sangat menggemari ayam kecap yang berasa manis. Bahkan kimchi Korea pedasnya juga luar biasa. Atau wayang yang dulu diidentikan dengan masyarakat Jawa sekarang tidak berlaku lagi. Karena ternyata orang Belanda atau orang Jepang pun sudah mahir bermain wayang.

Ini adalah efek dari perubahan masyarakat, dari masyarakat dengan budaya homogen ke masyarakat heterogen. Dari masyarakat monokultural ke masyarakat yang multikultural. Efek dari perkawinan antar etnis maupun lintas negara, migrasi dan sebagainya yang melahirkan masyarakat dan kebudayaan yang terbuka. Penanda budaya seperti makanan (kuliner), bahasa, kesenian atau pakaian menjadi tidak konsisten lagi karena yang muncul menjadi ciri-ciri utama masyarakat seperti ini adalah keterbukaan serta deferensiasi.

Menjadi sedikit rumit memang menemukan penanda dan petanda dalam proses penentuan identitas ini. Tetapi kalau kita merujuk pada pemikiran Derrida (Of Gramatology,1984), seperti yang diulas oleh Ninuk Kleden (Etnografi Gandrung: Pertarungan Identitas 2008), maka kita akan menemukan penanda dan petanda tersebut melalui kehadiran Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut TKI) di Korea. Jumlah pengiriman TKI yang terus bertambah serta prilaku keseharian mereka dalam bekerja, memberikan sebuah pemaknaan terhadap Indonesia di kalangan masyarakat Korea. Mereka, terutama masyarakat umum Korea yang hidup dalam lingkaran industri rumah tangga (kecil/ menengah) dan mempekerjakan para TKI, mengenal Indonesia secara lebih dekat melalui para TKI tersebut. Dengan begitu TKI muncul sebagai representasi identitas Indonesia.

Pemaknaan seperti di atas --menurut Kleden-- diperoleh dengan menghadirkan differance yang bagi Derrida tidak hanya berarti berbeda tetapi juga menunda. Differance mengacu pada pemakaian tanda yang berbeda akan menghasilkan makna berbeda, tergantung perbedaan ruang dan waktu. Karena itu, tanda dapat mempunyai makna yang berbeda pula. Sedangkan penunda yang dikategorikan oleh Kleden sebagai bentuk kedua dari differance, oleh Derrida disebutnya dekonstruksi, karena penundaan yang dilakukan secara sadar dapat mendorong orang untuk berpikir kritis tentang lahirnya hubungan baru antara penanda dan petanda. Hal ini menyebabkan makna petanda sebenarnya sangar tergantung pada the act of sign-i- fying. Bagi Derrida tanda harus dimaknai melalui suatu proses.

Salah satu kategori realitas yang memunculkan differance adalah identitas. Dalam hal ini, TKI menunjukkan differance. Pertama mereka adalah kelompok pekerja rendahan, orang yang mau bekerja di sektor yang sama sekali tidak digemari masyarakat Korea sendiri atau yang diistilahkan dengan pekerjaan 3D (dangerous, dirty, difficult). Kedua, mereka berasal dari negara yang kondisi ekonominya berada di bawah negara mereka. Selanjutnya para TKI juga digambarkan sebagai orang-orang dengan keterampilan terbatas (unskilled labour), patuh, rajin (atau sebenarnya ‘harus’ patuh dan rajin?) dan sangat membutuhkan pekerjaan. Differance yang muncul dari keberadaan TKI ini mencakup citra, pengetahuan, wacana dan politik kebudayaan. Dengan demikian, keberadaan TKI bukan lagi sebatas identitas masyarakat Indonesia, tetapi TKI muncul menjadi representari identitas.

Menurut Stuart Hall (Representation: Cultural Representations and Signifying Practies,1997) representasi bukan sebagai objek saja tetapi juga berhubungan dengan politik. Misalnya, pada selembar kartu pos bergambar gedung Petronas di Kuala Lumpur atau Tugu Monas di Jakarta, bukankah politik (istilah Kleden; Politik kebudayaan) yang membuat kartu pos tersebut dianggap merepresentasikan Kuala lumpur maupun Jakarta? TKI sebagai representasi identitas Indonesia dengan meminjam sudut pandang Hall (yang dianggap mewakili pemikir poststrukturalis) bisa dimaknai secara berubah disebabkan oleh politik. Karena dia menganggap representasi merupakan produk penguasa. Kalau Derrida menganggap makna representasi berubah berdasarkan interpretasi orang terhadap objek maka Hall menganggapnya bisa berubah tergantung penguasa dan kekuasaan yang sedang berlangsung. Ada faktor kekuasaan yang memberi makna terhadap TKI sehingga dia muncul sebagai objek atau petanda. Dalam kasus kartu pos bergambar gedung Petronas atau Tugu Monas, petanda memunculkan penanda. Kemegahan gedung Petronas bisa dijadikan penanda kemodrenan kota Kuala Lumpur atau emas di puncak tugu Monas sebagai lambang kekayaan alam Indonesia. Lalu apa yang bisa diterjemahkan dari kehadiran TKI sebagai representasi identitas Indonesia di Korea?

Pada awal tahun 1980-an, terjadi peningkatan perekonomian masyarakat Korea yang kemudian juga diiringi dengan peningkatan kesejahteraan serta kualitas hidup masyarakatnya. Kebutuhan tenaga kerja, terutama untuk sektor industri kecil dan menengah yang tumbuh dengan pesat tidak terpenuhi secara maksimal. Ini terutama disebabkan karena standar gaji pekerja lokal yang tinggi juga meningkatnya gengsi generasi muda Korea untuk bekerja disektor yang dianggap rendah (Karena lebih mengandalkan otot dibanding otak). Latarbelakang inilah yang kemudian membuka peluang masuknya pekerja asing (migran worker) ke Korea, termasuk dari Indonesia.
Menurut data dari Badan nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sampai tahun 2009 lalu jumlah TKI Indonesia yang ada di Korea mencapai 12.304 orang. Jumlah ini belum termasuk TKI Ilegal yang diperkirakan mencapai 6000 orang lebih. Jumlah ini, menurut data Buletin Depnaker Korea (Employment Permit System/EPS Newsletter, Januari 2009) menempatkan Indonesia di peringkat kedua urutan populasi pekerja migran setelah Vietnam (19,707) yang kemudian diikuti Thailand (9,287), Srilanka (7,163), Philipina (6,289), Mongolia (4,775), Uzbekistan (4,492), Kamboja (2,793), Nepal (2793), Pakistan (2,720), China (1,833), Bangladesh (1,494) Kyrgyzstan (451) serta Myanmar (67) ( Sumber : bnp2tki).

Menurut catatan Kedubes RI Seoul, sudah tercatat 26.000 orang TKI yang telah dan sedang bekerja di Korea sampai tahun 2007 (lihat: http://www.aksesdeplu.com/berebut%20hoki.htm). Bahkan baru-baru ini pemerintah meminta jumlah penerimaan TKI di Korea ditingkatkan mengingat banyaknya permintaan dan peminat orang Indonesia, sementara peluang di Korea mulai terbatas. Pemerintah Indonesia juga membuat kesepakatan dengan Pemerintah Korea untuk menambah masa perpanjangan Visa kerja TKI yang sebelumnya hanya 3 tahun menjadi 5 tahun. Sebagai petanda, kondisi ini menandakan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk banyak namun tidak mampu memberdayakan sumberdaya manusia yang ada. Atau dalam arti yang lain, tenaga kerja produktif yang ada tidak terpakai karena terbatasnya lowongan pekerjaan yang tersedia. Secara sadar --maupun tidak-- dengan mengirim TKI ke luar negeri, khususnya ke Korea, pemerintah Indonesia seolah memunculkan penanda yang melahirkan interpretasi bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara miskin, kekurangan lapangan kerja dan tidakmampuan (teidak becus) memanfaatkan tenaga manusianya untuk membangun negara sendiri (bekerja di negara sendiri). Indonesia bisa jadi ditandai (mendapat interpretasi) sebagai negara penghasil tenaga kerja murah bukan tenaga kreatif dan inovatif. Orang-orang Indonesia ternyata mau bekerja (bukan hanya mau tetapi juga berebutan/antri) untuk bekerja di sektor usaha yang bagi orang Korea sendiri dianggap rendah. Petanda ini bisa saja mengalami perubahan makna berdasarkan interpretasi orang terhadap tanda yang muncul. Misalnya pemerintah bukannya memohon untuk ditambah lowongan kerja bagi para TKI tetapi meningkatkan kemampuan TKI dan mengirim tenaga-tenaga profesional buat bekerja di sektor industri Korea yang lebih bergengsi misalnya di perusahaan besar seperti Samsung, Hyundai dan sebagainya yang bagi orang Korea sendiri bekerja di tempat tersebut termasuk sebuah prestasi dan prestise.

Hal menarik lainnya dari persoalan TKI adalah berkaitan dengan komoditas. Keberangkatan para TKI ke luar negeri, khususnya ke Korea jelas bernuansa ekonomi. Proses pertama keberangkatan orang-orang muda Indonesia sebagai TKI ke Korea dimulai dengan cara mengajukan lamaran dan
penerimaan lamaran serta data calon TKI oleh BNP2TKI. Data tersebut termasuk formulir pendaftaran bekerja ke Korea yang dapat di download di website BNP2TKI (www.bnp2tki.go.id) dan sertifikat Korean Language Proficiency Test (KLPT). Kumpulan data para calon TKI yang sudah lengkap dikirimkan ke Kementerian Tenaga Kerja Korea Selatan (HRD Korea). Data TKI yang memenuhi syarat kemudian disebarkan ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pekerja asing. Bagi calon TKI yang namanya dipilih oleh pengguna di Korea, akan mendapatkan kontrak kerja (Standard Labour Contract/SLC).

Apabila calon TKI telah menandatangani SLC maka proses selanjutnya adalah penerbitan visa yang diurus oleh pengguna di Korea Selatan dan diterbitkan oleh Kedutaan Besar Republik Korea di Jakarta. Sebelum berangkat ke Korea Selatan, calon TKI akan mendapat pelatihan yang diadakan oleh BNP2TKI. Kontrak kerja hanya untuk setahun dan dapat diperpanjang sebanyak tiga sampai lima kali.


Semua proses itu-- menurut beberapa orang TKI yang sempat saya wawancarai-- menghabiskan dana sampai belasan juta rupiah. Di sini jelas bahwa untuk menjadi TKI dibutuhkan modal ekonomi yang lumayan besar. Komoditifiksasi berlangsung di semua tahapan pengiriman TKI ini. Misalnya dari pendaftaran di agen tenaga kerja, lembaga pengujian bahasa, in house training di beberapa tempat di Indonesia, penyalur tenaga kerja, pengurusan visa oleh agen, pembelian tiket pesawat, bahkan nantinya ketika pulang ke Indonesia mereka harus melewati pintu khusus bagi TKI dengan membayar biaya tersendiri.

*(Makalah diposting hanya sebagian atas izin dari penulis. Makalah lengkap akan dipresentasikan oleh Penulis dalam "Temu Ilmiah" di Seoul). Penulis adalah mantan wartawan di Padang dan Kontributor Jurnal Perempuan Multikulturan Srintil Jakarta. Menulis Novel: Padusi (Kisah Kuli Semenanjung, Guci Publisher, Padang, 2010) juga menulis artikel untuk Jurnal Perempaun Jakarta tentang Buruh Perempuan dari Minang. Saat ini menetap di Yongin Korea Selatan.

Minggu, 13 Juni 2010

Cermin Bagi Propinsi Pusat Industri Otak

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Suryadi)

Elizabeth E. Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (Penerjemah: Novi Andri, Leni Marlina, Nurasni; Editor ahli: Mestika Zed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007 (xvi +309 halaman)

Sejarah mencatat bahwa masyarakat Minangkabau adalah etnis yang sangat responsif terhadap kebijakan pendidikan dan politik Belanda di zaman kolonial. Asal-usul Elite Minangkabau Modern (8 bab) memberi kupasan mendalam tentang reaksi masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda di daerah ini sejak pertengahan abad ke-19. Jauh jarak waktu yang telah ditempuh buku ini untuk sampai kepada pembaca Indonesia. Buku ini berasal dari disertasi Graves, “The Ever-victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia solved their ‘colonial question’” (University of Wisconsin, 1971) yang kemudian diterbitkan tahun 1981 dengan judul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project). Baru 26 tahun kemudian edisi Indonesianya terbit. Karena itu selayaknya pujian diberikan kepada para penerjemah, editor ahli, dan penerbit yang telah berupaya menghadirkan buku ini kepada pembaca Indonesia.

Judul utama versi Indonesia buku ini langsung berperan sebagai “etalase” yang menggiring pembaca untuk membayangkan isinya yang memang berbicara tentang sejarah kemunculan kaum elite Minangkabau modern sebagai efek pengenalan pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda di daerah ini.

Penulis mengawali uraiannya dengan mendeskripsikan alam Minangkabau dan masyarakat tradisionalnya (Bab 1; hlm.1-34). Ada dua topik utama yang dibahas dalam bab ini, yaitu sistem nagari yang khas Minangkabau, dan sistem matrilineal yang sangat mewarnai pola kekerabatan (kinship) dalam keluarga Minangkabau serta sistem pewarisan harta di antara anggota keluarga. Bab 2 (hlm.35-60) masih membahas nagari dan dunia kehidupannya. Nagari adalah “republik-republik kecil” yang membentuk semacam federasi semu dan berada dalam entitas geografis, budaya, dan politik di bawah wibawa (bukan kuasa) raja Pagaruyung. Penulis juga membahas tradisi merantau yang menjadi saluran masuknya ide-ide pembaharuan ke Minangkabau sekaligus sebagai katup pelepas untuk mengurangi tekanan-tekanan dan letupan sosial di Minangkabau. Selanjutnya dibahas pula kemunculan lembaga-lembaga Islam dan perkembangannya, yang mula-mula memberi ciri tertentu kepada sturuktur sosial masyarakat Minangkabau di kawasan pantai (barat) tetapi akhirnya membawa pengislaman ke pedalaman yang berujung pada munculnya gerakan puritanisme yang dikenal sebagai Perang Paderi.

Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya, Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda) residen (tiga keresidenan) (Belanda) asisten residen (Belanda) controleur [kontrolir] (Belanda) kepala laras (bumiputera) kepala nagari (bumiputera). Untuk mempertahankan status-quo, Belanda melakukan berbagai kebijakan agar format politik baru itu bias jalan. Namun muncul berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam sistem politik “republik nagari” yang bersifat egaliter itu (Bab 3, hlm.61-101). Motif ekonomi dibalik tujuan Belanda melakukan reorganisasi sistem politik Minangkabau itu dibahas dalam Bab 4 (hlm.102-148). Dalam bab ini penulis menguraikan penerapan sistem perpajakan dan penanaman kopi, komoditas ekspor utama zaman itu, dengan segala konsekuensi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan yang diakibatkannya. Salah satu efek dari penetrasi politik dan ekonomi Belanda itu adalah munculnya sekolah sekuler yang belakangan mulai menyaingi sistem pendidikan tradisional (surau). Dalam Bab 5 (hlm.149-209) Graves membahas kemunculan sekolah sekuler di Minangkabau dan reaksi masyarakat terhadapnya.

Rupanya masyarakat Minang pada umumnya bereaksi positif terhadap kehadiran sekolah sekuler ini, terbukti dengan munculnya domestikasi terhadapnya melalui pendirian apa yang disebut sebagai sekolah nagari (nagari school) yang berkembang di nagari-nagari penting penghasil kopi di pedalaman Minangkabau. Antusiasme orang Minang terhadap sistem pendidikan sekuler itu memaksa pemerintah melakukan pembenahan sistem pendidikan untuk peningkatan mutu (Bab 6, hlm.210-47). Mulai 1870 Belanda menertibkan kurikulum sekolah-sekolah nagari dan mendirikan sekolah dasar pemerintah serta sekolah lanjutan. Tahun 1880 terdapat tidak kurang dari 27 sekolah dasar pemerintah yang tersebar sejak dari Rao di utara sampai Balai Selasa di selatan. Reorganisasi ini dibarengi pula dengan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Hasil dari sistem pendidikan sekuler ini adalah lahirnya generasi muda Minangkabau yang bisa membaca “huruf Wolanda”. Merekalah tunas awal kaum elite Minangkabau modern. Dalam Bab 7 (hlm.248-70) penulis menelusuri sejarah kaum elite baru Minangkabau itu dengan melacak genealogi keluarga-keluarga yang pernah menduduki posisi cukup penting dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda dan profesi-profesi yang cukup tinggi pada abad ke-20. Koto Gadang menjadi tempat studi lapangan Graves yang utama karena nagari ini memang sejak semula sudah menunjukkan respon positif terhadap sistem pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda.

Bab 8 yang merupakan epilog buku ini (hlm.271-81) membahas reaksi golongan elite baru ini terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah kaum elite baru ini yang bekerja dalam birokrasi dalam negeri (binnenlandsch bestuur) telah menyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah agar memperluas sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka menuntut supaya pengajaran bahasa Belanda, yang sempat dihentikan, diadakan lagi dan diperluas. Namun, pada saat yang sama efek bumerang sistem pendidikan sekuler ini mulai terasa. Belanda merasa khawatir kaum bumiputera jadi makin cerdas. Maka dilakukan lagi pengetatan administratif dan kurikulum di sana-sini. Namun, rupanya bagi elite baru Minangkabau, kesempatan mencicipi pendidikan sekuler itu tidak semata-mata digunakan untuk bekerja menjadi ambtenaar dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial; dengan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah-sekolah Belanda banyak di antara mereka yang menjadi wirausahawan tangguh. “Orang Minangkabau menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mereka mengambil apa yang mereka butuhkan dan menyesuaikannya untuk tujuan-tujuan khusus mereka” (hlm.280).

Studi Graves ini, yang mengombinasikan data arsip kolonial dan penelitian lapangan di Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau menyebabkan ambruknya kekuasaan elit tradisional kelas atas akibat rotasi berlangsung secara alami karena penerapan sistem administrasi politik baru bikinan Belanda selepas Perang Paderi. Mobilitas kelas menengah terpelajar hasil pendidikan sekuler itu ternyata mandek dalam ranah budaya-politik tradisional mereka. Untunglah mereka mendapat tempat dalam sistem birokrasi pemerintah kolonial. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal elite Minangkabau modern, yang sebagian kemudian mengisi sebagian besar elite politik Indonesia—sepenggal cerita tentang sejarah kegemilangan etnis Minangkabau yang kini mulai redup.

::::: Sumber : Suryadi, peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda. Artikel ini telah dipublikasikan pula diharian Pos Metro Padang, Selasa 28 Desember 2009 (telah diizinkan untuk dishare/dipublish di blog ini atas seizin Penulis melalui komunikasi Facebook)

Albert Camus dan Saya

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Deddi Arsa)

“Apa jadinya aku tanpa jam-jam kantor?” (Albert Camus).

Saya membayangka Camus berjalan-jalan di kota-kota Aljazair, jauh dari jam kantor yang pernah dikutuknya. Sesekali ketika punya uang dia menyinggahi bar dan menghabiskan malam mendengar jazz. Hampir seratus tahun yang lalu Camus mengatakan hidupnya berada di antara keinginan bunuh diri dan semangat yang menggebu-gebu namun gampang padam. “apa yang kau pikirkan tentang hidupmu di masa depan adalah kesia-siaan yang kau rawat senantiasa.” Dan kini, bayangan Camus tetap hidup meskipun diingat dengan keengganan yang parah. Saya tak tahu, apakah Camus pernah ke Indonesia. Jika pun pernah, dia akan tahu lebih dari orang Indonesia sendiri, bahwa kemiskinan dan rasa bersalah lebih membunuh dari bencana kemanusiaan yang paling parah sekalipun, seperti perang dan wabah. Indonesia adalah tempat yang pantas untuk Camus, ironi adalah kehidupan sehari-hari itu sendiri.

Tidak, tidak, Camus tidak pernah ke Indonesia. Dan saya percaya, Camus tidak mengenal kota saya ini. Saya katakan pada Anda, kota ini tak pernah mengakui keberadaa bar dan diskotik, meskipun diam-diam semuanya itu ada dan berdenyut setiap malam. Jika Anda datang dari jauh dan bertanya, arah ke manahkah tempat di mana Anda bisa menghabiskan malam-malam Anda dengan mendengar jazz dan segelas bir, saya tidak tahu, sungguh tidak tahu. Ke Vallas (apakah saya salah tulis?) atau ke mana? Saya bisa saja membayangkan bahwa Anda datang dari masa lalu yang jauh, seratus tahun yang lalu barangkali. Saya membayangkan Anda Camus yang datang mengunjungi kota saya. Dalam ransel Anda ada beberapa catatan-catatan yang Anda bawa dari Prancis—berapa ongkos ferry dari Marseile ke Aljazair?

Saya bisa saja keliru, dan sudah pasti keliru, tapi kita kadang perlu merawat impian-impian yang tak akan pernah jadi nyata sekalipun untuk merasa bahagia. Ini kebahagiaan yang semu, ya, saya tahu. Tapi apakah yang tidak semu dari hidup kita ini? Saya tak pernah mencintai kota saya ini, tetapi ada beberapa hal yang membuat saya tak bisa meninggalkannya. Sesekali saya merindukan pementasan drama yang panjang dan menarik, tapi hal itu jarang sekali terjadi. Sering saya dengar justru khotbah-khotbah dari seorang yang sok tahu dengan pemain yang bergerak seperti orang-orang terjangkiti ayan.

Kadang, saya ingin berjalan sendirian di pantai, atau memasuki pasar. Membicarakan pasar, saya kadang ingat Olie, dia mungkin tak pernah membaca Camus, tapi sekali dia memperlihatkan sebuah sajak yang panjang dalam bahasa Inggris. Anda sudah tahu sejak lama, Inggris saya buruk. Saya tidak bisa seperti Olie yang terkagum-kagum melihat pasar dunia ketiga. Rumah saya sekitar 7 kilometer dari pantai, 7 kilometer dari pasar. Pantai dan Pasar, betapa sulit keduanya dibedakan dalam diri saya, sama-sama berdebur, sama-sama hiruk-pikuk. Di titik di mana kita ditelan kesunyian yang parah, kesepian yang tak tertahankan sakitnya, pasar dan pantai bisa jadi penawar. Tapi hidup kita sehari-hari tak melulu bergelut dengan pasar, dengan pantai.

Barangkali ini tak penting. Baik, saya akan berbicara masalah lain. Ketika malam saya tidak bisa tidur karena cuacanya terlalu panas. Saya merindukan punya istri dari daratan yang mataharinya agak sedikit lembut. Di kota kami, Anda yang datang dari negeri yang memiliki empat musim tidak akan bisa merawat hidung Anda untuk tidak jadi merah. Kota kami, kota dengan matahari yang garang, kota yang membuat hidung siapa saja jadi merah. Di masa lalu, gelombang pantai barat menelan sejarah kapal-kapal dagang, dari Peranggi, VOC, perusahaan India Timur, Prancis dan Amerika, Inggris dan Spanyol, mereka tidak pernah lebih berani dari seekor anjing kampung untuk berlabuh di pantai kota kami. (Saya mengatakan ini kepada Anda hanya untuk mengenang dosen saya yang memberi saya sebuah majalah, Amogapasha, majalah arkeologi, yang di dalamnya ada beberapa tulisan tentang tinggalan dunia bawah laut pantia barat!).

Dan Camus, kembali ke Camus, saya membayangkan dia menaiki kapal, melambai pada daratan Eropa yang kering-basah. Afrika, Afrika, tempat orang-orang Arab membangun kemah, dan angin gurun Sahara menghembus memasuki kota memasuki hidung—bersiap-siaplah untuk mimisan ya Saudara. Dalam ranselnya yang berat, kritik-kritik Sartre, Kierkegaard (maa, saya tak begitu baik mengenal mereka), juga bayangan kota Stalin yang baru saja diruntuhkan perang saudara, terus diusung dari hotel ke hotel. Sayang, Camus tidak pernah ke Indonesia, tidak pernah ke Padang yang panas ini! Saya akhiri, saya membayangkan Camus tak bernyawa di sebuah hotel murah di Aljazair, TBC, pes, dan masa lalu yang akut merontokkan dadanya sejak lama, kesepian telah mematahkan batang leher dan mencopot kelaminnya yang panjang. Jika Niethsche menjadi gila sebelum kematiannya, saya tidak tahu, kesunyian seperti apa yang diidap Camus sebelum pintu hotel di kota Aljazair itu didobrak dengan paksa.

(c) Dedi Arsa