Rabu, 29 Desember 2010

"Neraka" bernama DIGOEL

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Tempat dengan kesunyian yang mencekik dan mematikan," ucap Chalid Salim, adik kandung Agus Salim yang pernah dibuang di tempat itu selama 15 tahun dalam bukunya, Lima Belas Tahun Digoel. "Kolam neraka," kata Mohammad Hatta dalam tulisannya berjudul The Digoel Tragedy of Dutch Colonial Imperialism memberi gambaran tentang kamp Tanah Merah Digoel itu.
Hatta pada tulisan yang diterbitkan pada 12 September 1930 itu masih mengutip Dr Van Blankenstein, seorang koresponden Nieuwe Rotterdamsche Courant yang pernah datang pada tahun-tahun awal pembangunan kamp pembuangan massal di tanah Papua itu. Tulisan Blankenstein itu kemudian dimuat ulang dalam Het Haagse Maandblad dan Frankfurter Zeitung. "Persediaan bahan makanan sangat terbatas, karena tempat itu sukar dicapai melalui daratan. Kami temui di sana suatu pondok kecil beratapkan seng tanpa dinding. Di mana-mana terdapat genangan air. Ditinjau dari segi kesehatan dan tempat tinggal, tempat itu merupakan neraka," tulis Blankenstein pada November 1928. "Kematian terus menerus tersenyum pada kami. Digoel tak lagi sebuah tempat. Ia menjadi timbunan penderita paru-paru dan penderita malaria, penderita sakit jiwa dan setengah gila, di bawah panas menyengat yang tak kenal ampun, dikelilingi oleh rawa-rawa yang tak sehat di tengah-tengah hutan belantara yang tak bisa ditembus," tulis seorang penghuni Digoel. Dengan citra yang seram dan mematikan itulah kamp Digoel telah mengudarakan ketakutan pada para aktivis pergerakan politik. Soekarno, misalnya, seperti ditulis Takashi Shiraishi dalam buku Hantu Digoel, dengan penuh imajinasi ketakutan oleh bayangan akan dibuang ke Digoel, meminta pengampunan pada pemerintah dengan imbalan siap menghentikan aktivitas politiknya dan bila perlu bekerja sama dengan pemerintah. Soebakat, pendiri partai politik revolusioner bawah tanah Partai Republik Indonesia (PARI) yang juga tangan kanan Tan Malaka bahkan menciptakan bahasa sandi di kalangan anggota PARI dengan menyebut Digoel sebagai "Rumah Sakit Umum". Sementara istilah "Rumah Sakit" berarti penjara. Lantaran takut akan "diopname" di "Rumah Sakit Umum" itu Soebakat sehari menjelang pengasingannya ke Digoel memilih untuk bunuh diri.

Apa yang membuat Digoel ditakuti? Bukankah kamp yang dibangun pada Januari 1927 itu tak seperti kamp konsentrasi Nazi dengan para napi disiksa dan dibunuh? Memang tak ada kerja paksa, apalagi kamar-kamar gas. Kawat berduri pun tak mengelilingi lokasi tahanan di Tanah Merah Digoel. Para tahanan justru dibebaskan berkeliaran 25 kilometer dari kamp. Tapi justru dengan kebebasan bergerak yang diberikan itu pemerintah Hindia Belanda sengaja membiarkan tahanan itu mati, gila, bunuh diri, atau hancur secara fisik dan mental.
Tak ada jalan untuk melarikan diri. Jika ada, hutan yang lebat, keganasan alam dengan sungai penuh buaya, dan penduduk kanibal akan menelan mereka. Ada 50 orang buangan yang mencoba meloloskan diri antara 1929-1934. Hanya satu kelompok yang berhasil mencapai Thursday Island Australia, namun mereka kemudian ditangkap polisi Australia dan dikembalikan kepada pemerintah Hindia Belanda yang memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia. Para pelarian itu kemudian justru dikirim ke Tanah Tinggi, kamp buat para pembangkang yang berjarak 55 kilometer dari Tanah Merah atau lima jam dengan menggunakan perahu polisi--Salim menyebut jaraknya 40 kilometer. Di Tanah Merah itulah Hatta yang menulis kritik pada 1930 akhirnya diasingkan mulai 28 Januari 1935 hingga Desember 1935. Penahanan Hatta menimbulkan protes, karena kamp Digoel pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat pengasingan bagi mereka yang terlibat dalam pemberontakan PKI di Jawa Barat pada 1926 dan Sumatera Barat pada 1927.
Pemerintah Hindia Belanda ternyata kemudian melebarkan kategori "layak Digoel" pada semua aktivis politik yang berpikiran radikal. Seorang aktivis bisa saja dibuang ke Digoel hanya oleh rekomendasi polisi rahasia dan residen. Gubernur Jenderal Hindia Belanda cuma mengesahkannya. Dalam kasus ini, Hatta diasingkan dengan tuduhan "ketika tinggal di Belanda sampai 1931 ia memimpin Perhimpunan Indonesia yang bertujuan untuk melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintahan di sana." Hatta berangkat dari penjara Glodok pada Minggu pertama Januari. Ia berangkat dengan enam pengurus PNI Baru lainnya: Sjahrir, Bondan, Burhanuddin, Maskun, Suka Sumitro, dan Murwoto. Mereka menaiki kapal Melchior Treub menuju Makassar. Bondan dalam buku Pribadinya dalam Kenangan (UI Press-Sinar Harapan, 1980, disunting oleh Meutia Farida Swasono) mengatakan meski Hatta dan Sjahrir diberi tempat di kelas dua, namun sehari-hari mereka selalu berkumpul dengan teman-temannya di geladak. Sewaktu kapal singgah di Surabaya, Hatta ditemui Saerun, redaktur kepala surat kabar Pemandangan yang naik ke kapal atas izin dari pembesar kapal. Saerun meminta Hatta menulis sebulan dua kali selama dalam masa pengasingan dengan honor 5 gulden per kolom. "Aku merasa lega menerima tawaran itu karena sudah ada jaminan hidup bagiku," tulis Hatta dalam Memoir (1979). Seminggu ditahan di Makassar, Hatta kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal Van Der Wijck yang berukuran lebih kecil ke Ambon. Di Ambon ia kembali dibui seminggu. Lalu dari Ambon menuju Digoel, ia berpindah kapal yang kian mengecil, bernama Albatros. Kapal itu diberi juluk "Kapal Putih" karena warnanya yang putih. Berbeda dengan orang-orang buangan yang lain, Hatta ke Digoel membawa buku sebanyak 16 peti. Begitu sampai di Digoel buku itu diangkut oleh orang Kaya-Kaya, penduduk asli Digoel yang sudah bekerja sama dengan para tahanan menuju rumah Hatta yang disediakan. "Sesaat sampai di rumahnya, saya bertanya, apakah Bung Hatta mau buka toko buku? Beliau hanya menjawab dengan tersenyum," tutur Bondan.

Dengan buku itulah kemudian Hatta "buka praktek", memberi kursus falsafah, ekonomi dan sejarah. Sedangkan untuk politik dan sastra diajar oleh Sjahrir. Bondan ingat, ia pernah diajar tentang filsafat Yunani dengan membaca buku Alam Pikiran Yunani. Hatta juga meminjamkan buku-bukunya pada siapa saja yang memerlukan. "Tapi kalau meminjam bukunya, kita tidak boleh mengotorinya sedikit pun. Ia akan marah," kata Bondan.
Buku-buku Hatta itu, kata Salim, ternyata menjadi cara yang efektif untuk tetap bertahan hidup selama di pengasingan. Selain bertanam sayur, buah, membuka kios kecil, berolahraga, memelihara hewan, atau yang seperti dilakukan Salim yaitu dengan berburu nyamuk penyebar malaria, Hatta menawarkan cara yang mencerdaskan. Pejabat kolonial Belanda di Digoel, kata Salim, menganggap banyaknya buku yang dibawa Hatta itu sebagai bentuk "pameran keunggulan mental". "Tapi bagi kami itu berarti memperkaya pengetahuan dan melupakan nasib kami yang malang," kata Salim. Hatta dan Sjahrir mengajar dan menggelar diskusi hampir tiap malam. Dampak diskusi itu dirasakan kemudian. Salim membanggakan pengetahuan itu dengan menggambarkan bahwa setelah keluar dari Digoel ternyata pengetahuan orang-orang bebas di luar Digoel masih kalah maju dan kalah beradab dari orang-orang buangan dari Digoel.

Di Tanah Merah itu, kata Bondan, Hatta adalah satu-satunya tahanan yang mendapat rumah dari Belanda dengan perabotan yang lengkap. Fasilitas ini diberikan karena Hatta dianggap sebagai pemimpin. Sedangkan tahanan lain diminta membuat rumah sendiri. Tentara Belanda hanya memberi seng, sementara tahanan diminta menebang kayu sendiri. Hatta pun ikut turun membantu membangun rumah teman-temannya.
Dalam proses pembangunan itu, teman-temannya menginap di rumah Hatta. Beberapa orang dari mereka mendapat tugas bergiliran memasak di dapur. Pada giliran pertama, tutur Bondan, Hatta harus menanak nasi dan ia yang mengangkatnya. Dalam soal menanak nasi itu Bondan meledek Hatta dengan mengatakan bahwa Hatta adalah seorang ekonom yang tidak ekonomis. "Hatta tersenyum dan Sjahrir bertanya, 'Mengapa?' Saya jawab, 'nasinya hangus'," ungkap Bondan sembari tertawa, "Hatta kemudian menjawab, 'Terbuang untuk orang, tapi tidak terbuang untuk ayam'." Pada minggu pertama itu, panitia penerimaan membuat agenda pertandingan persahabatan sepakbola. Dalam pertandingan itu Sjahrir menjadi penyerang, Hatta dam Burhanuddin menjadi bek, sedangkan Murwoto menjadi penjaga gawang. "Saya perhatikan Bung Hatta dapat menendang bola dengan kaki kanan dan kirinya, terkadang kepalanya yang hampir botak itu digunakan untuk menerima bola," ucap Bondan.
Sejak hari pertama di Tanah Merah itu Hatta sudah membuat agenda harian secara rinci. Ia bangun pukul 04.30 untuk mandi dan shalat subuh. Lalu ia mulai memasak air panas, merebus telur. Ia makan pagi dengan makan sebuah telur dan 1-2 mangkuk kopi. Pada pukul 07.30 ia mulai jalan-jalan lewat kampung A dan keliling kampung B. Sejam kemudian ia kembali untuk membaca buku. Hatta menyebutnya sebagai belajar. "Biasanya saya belajar pagi sampai pukul 11 atau 11.30," tulis Hatta dalam Memoir. Setelah itu ia menanak nasi dan sayur-sayuran. Tetangganya kemudian biasa datang buat mengajari memasak ikan asin. Hatta mendapat jatah ransum setiap bulan 18 kg beras, 2 kilo ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonade minyak kelapa. Hatta hanya menghabiskan 10 kg jatah beras. Sisanya, 8 kg ia berikan kepada siapa saja yang meminta. Hatta juga membagi pendapatannya dari menulis di Pemandangan pada tahanan-tahanan lain yang kekurangan uang. Sesudah makan siang, ia biasanya mengajar murid-muridnya yang ingin tahu ekonomi, tata buku, sejarah dan filsafat. Pada sore hari, ia membantu menjadi tukang jika ada rumah yang akan dibangun atau berjalan-jalan sore menemui tahanan lain. Lalu pada malam hari, sesudah makan, kawan-kawan lama dan baru berdatangan untuk belajar atau berdiskusi atau ia membuat artikel untuk dikirimkan ke koran. Pada pukul 22.00 Hatta tidur. "Aku membuat rencana akan tinggal di Digoel sekurang-kurangnya 10 tahun. Karena itu yang kupentingkan adalah menjaga kesehatan. Di Digoel aku selalu berpesan pada kawan-kawan yang dibuang agar menjaga kesehatan, pikiran dan perasaan agar jangan terganggu apa-apa, dan tetap menerima segalanya dengan hati yang tenang," tulis Hatta. Menjaga kesehatan adalah perkara yang penting, karena mereka berada di daerah yang rawan penyakit, terutama malaria. Kaum buangan juga sering mengidap kesepian yang akut atau penyakit yang menurunkan secara drastis kesehatan fisik dan mental mereka. Bagi Hatta tak ada jalan lain selain harus tetap sehat.

Para tahanan politik itu dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama disebut naturalis, yaitu orang-orang yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah, dan hanya menerima jatah makanan (ransum) secara natura. Kelompok kedua disebut werkwillig, yaitu mereka yang mau bekerja sama, misalnya dengan mencangkul tanah dan melakukan pekerjaan kasar lainnya. Untuk pekerjaan itu, mereka menerima upah 40 sen sehari. Kelompok ketiga disebut onverzoenlijken, yaitu mereka yang terus bersikap menentang, sehingga diasingkan ke Tanah Tinggi. Di antara mereka yang tetap membangkang adalah Aliarcham, Sardjono Sumantri, Boedisoetjitro, Soemarjo, Dahlan, dan Mas Marco Kartodikromo.
Hatta tak ragu memilih menjadi naturalis, sekalipun kepala pemerintahan setempat Kapten Van Langen memintanya masuk dalam kelompok werkwillig agar memperoleh imbalan dan bisa lebih cepat keluar dari Digoel. Dalam memoarnya, Hatta menjawab tawaran itu dengan pedas, "Kalau saya ingin menjadi anggota golongan werkwillig, saya sudah menjadi werkwillig di Jakarta di mana berbagai pekerjaan pemerintah ditawarkan pada saya. Di sana saya pasti telah menjadi tuan besar, tidak perlu pergi ke Digoel lagi untuk menjadi kuli yang diupah 40 sen per hari." Pada suratnya yang ditujukan kepada iparnya, Dahlan Sutan Lembaq Tuah, pada Maret 1935, Hatta menceritakan ada pembagian golongan pada orang buangan itu. Ia juga bercerita bahwa ransum yang diterima setiap bulan harganya sama dengan separo harga makanan orang hukuman di bui biasa. Ia pun mengungkapkan tengah bersiap membuat rumah yang tahan hingga 10 tahun. Ia meminta iparnya itu mengirim alat pertukangan.
Penulis Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, Mavis Rose, juga mengungkapkan keluhan Hatta yang lain. "Saya sudah hidup di tengah-tengah hutan belantara, tetapi pengawasan atas kegiatan saya tetap berlanjut," kata Hatta. Ternyata ipar Hatta itu menunjukkan surat Hatta itu pada Saerun yang memuatnya di Pemandangan. Berita itu kemudian dikutip koran-koran di Belanda dan mengalirkan kritik pada pemerintah Belanda untuk mengevaluasi kembali Digoel. Namun Perdana Menteri Colijn menekankan bahwa pembuangan Hatta di Digoel tidak dimaksudkan untuk menghancurkannya, tapi untuk mengasingkannya dari masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda juga menawari Hatta uang 7,5 gulden per bulan untuk membayar porto pos. Konsisten dengan sikap non kooperasinya, tawaran itu pun ditolak. Namun di lain pihak Sjahrir justru menerimanya, karena ia sama sekali tak punya ongkos untuk korespondensi pada istrinya di Belanda. Sikap Sjahrir itu dicela kaum naturalis yang menuduh dia menyerah kepada pemerintah Belanda. Hatta membela Sjahrir. "Bagaimanapun aku terpaksa mempertahankannya. Dia tidak mengubah prinsip, dia hanya menerima, tidak meminta. Ia menerima karena benar-benar tidak mempunyai pendapatan untuk mengongkosi korespondensinya dengan istrinya. Setelah dua minggu, celaan pada Sjahrir tidak terdengar lagi," tulis Hatta.

Bagaimana Hatta, Sjahrir dan kawan-kawan bisa berkorespondensi dan bahkan menulis artikel ke berbagai surat kabar sementara sensor surat di Digoel sangat ketat? Salim mengungkapkan bahwa surat-surat itu diselundupkan pada para kelasi di Kapal Putih yang datang sebulan sekali. Suatu saat, kata Salim, ada seorang mata-mata dari kaum buangan yang membocorkan soal itu. Penggeledahan pun dilakukan di kapal. Tapi selalu saja mereka punya cara untuk tetap berhubungan dengan kelasi, yaitu dengan mengirim perahu kecil di malam hari ke Kapal Putih menjelang berangkat kembali ke Ambon.
Dari surat-surat inilah kemudian protes-protes kian membanjir. Pemerintah Belanda pada akhir November 1935 memerintahkan pemindahan Hatta dan Sjahrir ke Banda Neira. Hatta gembira dan sedih mendengar kabar pemindahan itu. Senang karena nasibnya akan lebih baik, tapi sedih karena ia harus berpisah dengan para pejuang. Hatta pun kemudian meminta pemindahannya diundur sampai Desember 1935. "Aku harus meminta kembali buku-buku yang kupinjamkan kepada teman-teman dan kemudian mengepaknya kembali ke dalam peti," kata Hatta. Saat hari pemindahan tiba, Hatta meninggalkan 100 bukunya pada teman-temannya. Mereka pun berangkat dengan Kapal Putih menuju Banda Neira pada akhir Desember. Dari Banda maupun sesudah itu, ketika diterbangkan dari Banda pada 1 Februari 1942 menuju tahanan Sukabumi, Hatta tetap rajin meminjamkan buku pada teman-temannya di Digoel. Lahan Digoel yang dibuka oleh Kapten L. Th. Becking, dengan mengerahkan 120 orang dari Jawatan Bangunan Tentara Belanda dan 60 orang hukuman sebagai buruh kasar pada 1927 akhirnya ditutup pada 1943 setelah Jepang masuk ke Indonesia.

Sumber : (c) Yos Rizal S. (2002)

Referensi bagus untuk Digoel, lihat "Hantoe-Hantoe Digoel" Takashi Shiraishi (1999)

Selasa, 28 Desember 2010

Ketika Bola Begitu Merakyat

Oleh : Muhammad Ilham

" .... boooola, kau terobos gawang cintaku ... ooo ya ... oo ya .... kaulah sang primadoona ... booola " (Ona Sutra, penggalan nyanyi Dangdut)

Setiap event bola skala internasional, katakanlah itu Piala Champions dan Piala Dunia, rasanya saya rindu dengan suasana kampung halaman saya. Apalagi suasana Piala AFF sekarang ini. Ya, daerah pantai paling barat di Sumatera Barat itu, memiliki suasana yang "menggairahkan" ketika event Bola skala dunia bergulir. Saking menggairahkan sehingga di Air Bangis dikenal adanya kedai (biasa disebut Lopo) Real Madrid, Manchester United, AC Milan, Inter Milan dan seterusnya, tapi tidak ada kedai Semen Padang, Sriwijaya FC apatah lagi PSP Padang. Mungkin sekarang sudah ada Lopo Irfan Bachim atau Gonzales dan Bepe, tapi Lopo Nurdin Halid dijamin 100 peratus (bak kata orang Malaysia), tak ada. Masyarakat nelayan disana memiliki "cita rasa" tinggi sehingga mereka tidak tahu menahu tentang perkembangan Liga Indonesia, siapakah Beni Dolo atau nama-nama pemain yang diimpor dari luar negeri sana untuk memperkaya dinamika persepakbolaan Indonesia. Tapi jangan tanya tentang Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Alex Fergusson, Mourinho, Massimo Moratti, Cannavaro, der-Kaizer, Les-Blues, Los Galacticos hingga Total Footbal dan Cattenaccio, praktis banyak para "komentator" bola dadakan di kampung saya tersebut bisa menjelaskan dengan baik, bahkan hampir mirip - untuk tidak mengatakan kalah - dari komentator sekaliber M. Kusnaeni atawa Rayana Djakasurja. Tidak berlebihan memang, tapi banyak diantara komentator kelas kampung tersebut memiliki pengetahuan umum persepakbolaan dunia yang cukup mengagumkan. Bahkan perselingkuhan Silvio Berlusconi atau John Terry bisa dengan baik dan antusias mereka ceritakan mengalahkan penceritaan perselingkuhan artis-artis Indonesia. Dan analisa itu selalu "mendapat tempatnya" atau " mengena" karena selalu dihubungkan dengan maju mundurnya sebuah klub. Kegagalan AC Milan dalam mereka kaitkan dengan kegilaan si pemilik klub, Berlusconi, terhadap wanita. Chelsea menurun karena isu perselingkuhan sang kapten, John Terry. Pokoknya, setiap yang berbau "sensasi atau bumbu-bumbu"pun mampu mereka hubungkan dengan moncernya sebuah klub. Dan ini terjadi hampir di segala level usia. Konon, waktu saya menulis artikel ini, saya dapat SMS dari sahabat di kampung nan denai cintai itu, nama Riedl telah mengalahkan Fergusson. Firman Utina cs "mulai" familiar. Bahkan banyak yang sudah tahu, Kiki Amalia itu istri si Markus "kiper" dan Irfan Bachim sudah punya pacar ... halah !

Bila sebuah perhelatan event sepakbola berlangsung, maka malam di kampung halaman saya tidak memiliki arti. Pertandingan Liga Champions, misalnya, yang selalu ditayangkan tengah malam tidak menjadi halangan. Kedai-kedai bahkan menjadi lebih hidup dengan teriakan dan sedikit (pertaruhan). Apalagi Piala Dunia sekarang, praktis kedai-kedai di Air Bangis "menggeliat-kencang" tanpa kenal lelah. Adu mulut, komentar jenius hingga analisis asbun menghiasi tayangan selama pertandingan. Asap rokok mengepul (mungkin merasa berhutang budi, karena rokok-lah yang mampu menjadi sponsor sebuah TV swasta sehingga bisa menyiarkan secara Live). Minuman bergizi seumpama Teh Telor dan Teh Susu menjadi menu paling favorit. Dan ketika pertandingan usai - sekitar jelang Shubuh - mayoritas dari mereka-pun menyebar dengan saling "menertawakan", terutama yang jadi pesakitan adalah pihak yang klub jagoannya kalah. Dan yang kalah tidak merasa gundah, bahkan sering ketawa sambil berkompensasi ria dengan analisis yang terkesan justifikatif terhadap kekalahan klub kesayangannya. "Pola permainan yang tidak pas, pelatih yang tidak jempolan ataupun belum saatnya untuk menang". Tapi yang jelas, perdebatan dan gurauan di antara mereka sangat humanis tanpa dendam dan kepentingan apapun. Ketika uang minuman dan makanan dibayar, bahkan bisa terkadang lebih karena biasa saja setiap selesai pertandingan berlangsung, satu dua buah gelas-piring akan terburai-pecah, mereka ada yang terus melaut (ke laut), sebagian lagi pulang ke rumah.

Sungguh, bola memberikan nilai tersendiri bagi sebagian (kaum laki-laki) di kampung halaman saya. Candu bola ini nampaknya sudah berlangsung lama, seusia dan seumur dengan TV dan listrik masuk ke daerah ini. Saya masih ingat, kala Piala Dunia Meksiko 1982, demam bola (Piala Dunia) sudah mulai terasa. Padahal TV dan listrik baru masuk hanya berjarak satu Pemilu. Dari Piala Dunia Meksiko ini pula, untuk kali pertama saya merasa jatuh hati dengan Maradona dan tim Tango-nya. Melihat dari TV Hitam Putih yang dibeli ayah saya di Bukittinggi, bagaimana Maradona mencatatkan sejarah "tangan Tuhan"nya. Bagaimana Karl Heinz Rummenigge memperkenalkan "tendangan pisang"nya dan seterusnya. Siaran Live TVRI (waktu itu hanya Live untuk pertandingan Semi Final dan Final saja) pukul 5.00 dinihari bukan menjadi halangan untuk "begadang". Ketika sampai di sekolah dengan mata "redup" 3 jam berikutnya, Maradona menjadi perbincangan hangat diantara anak-anak SD ingusan jelang bel tanda masuk berbunyi. Saya pribadi, mendapat berkah dari pertandingan bola ini yaitu : belajar menghapal nama-nama pemain bola. Sehingga sekarang, nama-nama seperti Jorge Valdano, Boniek, Paolo Rossi, Bettega, Buruchaga, Karl Heinz Rumenigge, Johan Cruijf, Sergio Goecheycea, Preben elkjaer, Brian dan Micahel Laudrup, "Si Burung Nasar" Emillio Butragueno, Hugo Shanchez, Ian Rush dan seterusnya masih teringat dengan baik. Jangan ditanya tentang Maradona yang Diego Armando itu, rasanya masih lekat-lengket gaya mainnya. Dan pada detik itu saya melihat, bola menawarkan : keindahan, sportifitas untuk mengatakan saya kalah serta apa yang dinamakan dengan kerja tim. Karena itulah mungkin saya merindukan suasana kampung halaman saya di kala Piala AFF ini bergulir.


Catatan tambahan : Salah seorang teman saya, pernah mengganti Sticker salah seorang calon Gubernur dengan gambar Maradona. Ia menjadi marah bergejolak, ketika gambar itu ditutup kembali dengan sticker baru oleh tim sukses salah seorang calon gubernur. "Maradona dan Piala Dunia jauh lebih bermakna dibandingkan Pilkada", setidaknya demikian yang ingin ia sampaikan. Sekarang, saya lagi membayangkan, foto Firman Utina cs. sudah mulai dipesan, apalagi baju Garuda Didadaku. Dan Irfan Bachim menjadi daya tarik tersendiri ... apalagi ibu-ibu, buktinya ... imut-imut wajah Irfan Bachim itu ya bang", kata istri saya beberapa malam lalu. Nah ... lho !!

Sabtu, 25 Desember 2010

"Ayam Gadang" Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Tiok Lasuang ba Ayam Gadang", begitu bunyi satu ungkapan Minangkabau lama. Dalam konteks ini, maksudnya adalah bahwa setiap etnis melahirkan beberapa orang yang kesohor di tingkat nasional maupun internasional. Dan Minangkabau jangan ditanya lagi tentang itu. Mengenai hal itu Jeffrey Hadler dalam bukunya Muslim and Matriarchs : Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (2008) menulis : “Peta jalan kota mana pun di Indonesia pastilah berisi jalan-jalan raya dengan nama Haji Agus Salim (lahir 1884), negarawan dan menteri luar negeri ; Mohammad Hatta (lahir 1902), wakil presiden pertama; Muhammad Yamin (lahir 1903), filsuf nasionalis; Muhammad Natsir (lahir 1908), politikus Islam; Hamka (lahir 1908), ulama ; Sutan Sjahrir (lahir 1909), sosialis dan perdana menteri pertama; Rasuna Said (lahir 1910), pemimpin revolusioner dan politikus; dan, bila sensor Soeharto lalai, Tan Malaka (lahir 1896), filsuf revolusioner komunis. Rakyat Minangkabau sangat bangga akan pemimpin-pemimpin generasi pertama ini beserta sejumlah besar politikus, ulama, dan cerdik cendekia Minangkabau yang kurang terkenal tapi yang juga punya peran penting dalam sejarah Indonesia.” Orang Minangkabau, yang pada tahun 1930-an hanya berjumlah 3.36 persen (sekitar satu juta jiwa) dari total penduduk Hindia Belanda, begitu mendominasi sejarah nasional. Mereka memainkan peran utama dalam pergerakan nasionalis dan pergerakan Islam, dan merekalah pemberi warna dunia sastra dan budaya Indonesia.

Kami suguhi foto tiga orang ‘ayam gadang’ Minangkabau, benih-benih terbaik dari ranah matrilineal terbesar di dunia ini, yang telah berjasa besar terhadap Republik Indonesia. Mereka adalah (dari kanan ke kiri): Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Muhammad Hatta. Sedangkan Amir Sjarifuddin (pakai dasi), yang berdiri paling kiri, berdarah Batak (lihat: Jacques Leclerc, Amir Sjarifuddin; Antara Negara dan Revolusi, 1996). Cukup unik bahwa ketiga ‘ayam gadang’ Minangkabau itu sama-sama memakai jas panjang ala Eropa. Mungkin Bukittinggi pada waktu itu cukup sejuk seperti suhu pada musim gugur di Eropa. Konteks historis foto ini adalah tahun 1948, waktu Belanda melakukan aksi polisionil terhadap Republik Indonesia yang masih bayi. Pada tanggal 9 Januari 1948 Sutan Sjahrir (penasihat Presiden Soekarno) tiba kembali di Jakarta setelah mengunjungi sejumlah negara selama enam bulan. Bersama Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri) dan Amir Sjarifuddin (Perdana Menteri) ia berangkat ke Bukittinggi (ibukota Republik Indonesia di Sumatra). Di sana mereka bertiga berjumpa dengan Muhammad Hatta yang telah berkeliling Sumatra dan berkunjung ke India. Amir Sjarifuddin berkunjung ke Sumatra Barat untuk menjemput Wakil Presiden Muhammad Hatta karena ia memerlukan dukungan Hatta untuk merampungkan persetujuan Renville yang sedang dalam perundingan.

H. Agus Salim, Hatta dan Sjahrir, tiga putra Minangkabau terbaik, dikenang karena kesederhanaan mereka. Sejarah telah mencatat bahwa mereka tak ragu-ragu meninggalkan kekuasaan bila gerak gerik kekuasaan itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan hati nurani mereka. Mereka tak lena oleh uang berkebat, apalagi yang berbentuk ‘komisi’ ini dan itu yang diserahkan dalam bentuk amplop yang disuruk-surukkan. Mereka adalah teladan dan ‘cermin terus’ yang dilupakan oleh kebanyakan politikus negeri ini sekarang. Duhai, di manakah orang-orang seperti mereka dapat dicari dalam ranah politik Indonesia kini, yang sudah ‘kelam’ oleh celaga korupsi dan makin carut-marut tak berkeruncingan.

Sumber/diketik ulang dari : (c) Suryadi – Leiden, Belanda (Singgalang, 18/12/2010)
(Sumber foto: H Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir; Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, 1909-1966. Jakarta & Leiden: Kompas & KITLV Press, 2010: 110).

Jumat, 24 Desember 2010

Kisah Rahasia Sang Pemimpin Iran

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Penulis buku Ahmadinejad, Kisah Rahasia Sang Pemimpin Radikal, yaitu Kasra Naji, menyebut Ahmadinejad adalah calon presiden yang lusuh. Berikut penuturannya : kala mencalonkan diri jadi Presiden Iran untuk pertama kalinya, Ahmadinejad, jelas, menjadi Calon Presiden paling lusuh. Iklan politiknya tertayang di media hanya karena “keberuntungan” (bahwa ada peraturan setiap kandidat memperoleh hak yang sama berpromosi di stasiun televisi). Itupun berisi rekaman video dengan kualitas gambar buruk, berisi pesan yang teramat klise bagi rakyat Iran —tentang penghargaan terhadap para pahlawan perang Iran versus Irak (halaman 66). Melihat promosi seperti itu, publik Iran hanya punya satu pikiran: bahwa Ahmadinejad adalah calon presiden pertama yang harus mundur. Mereka menilai mantan Walikota Teheran ini tak layak. Tanggapan “mengentengkan” ini wajar belaka. Ahmadinejad bukan politisi kaliber sebagaimana para calon presiden yang lain (misalnya Ali Akbar Rafshanjani). Jangan tanya soal modal uang dan kapital, publik mengenal Ahmadinejad adalah sosok yang bersahaja, bahkan tak terdapat sofa di ruang tamu rumahnya. Mobil pribadinya pun hanya sebuah Peugot tua. Lalu bagaimana dukungan politik dari pihak lain?. Hampir semua media massa meyakini satu hal, bahwa beberapa hari lagi datang berita penting : Ahmadinejad mengundurkan diri dari pertarungan kursi Presiden Iran. Tak ada satupun media massa yang mendukung tokoh Islam Radikal ini. Pun, yang menyedihkan, sekutu terdekat, kawan-kawannya seperjuangan, juga beberapa politisi parlemen, sama-sama menjauh dari dirinya.

Keyakinan bahwa Ahmadinejad akan habis, kian diperkuat dengan beberapa kali survey, yang menunjuk popularitas Ahmadinejad berada di nomor 2 (dihitung dari belakang, dari 8 kandidat, artinya, ia hanya menempati posisi ke enam). Lalu dunia menatap dengan gembira, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Mereka optimis, bahwa kelompok Islam Radikal di Iran sudah habis, salah satu tokohnya yaitu Ahmadinejad tak akan terpilih menjadi presiden. Tetapi di 17 Juni 2005 itu seolah-olah mimpi buruk datang. Ahmadinejad menang dalam pertarungan, menempati posisi kedua di bawah Ali Akbar Rafsanjani, dan itu artinya berhak bertarung di putaran kedua. Persis sejarah mencatat, diputaran kedua dirinya lah yang unggul, menyalip posisi mantan Presiden Ali Akbar Rafsanjani. Dunia terperangah. Seorang duta besar Inggris lalu mengirim faximile yang berbunyi: “ini adalah hasil dari perkembangan yang tak terduga”.

Pada awal kemenangannya jadi Presiden Iran, lawan-lawan yang kalah menghujat terjadi kecurangan sistematis. Kemenangan di luar dugaan ini adalah hasil rekayasa. Mereka menuding Pasukan Pengawal Revolusi, Pemimpin Agung Ayatulloh Khamenei, dan tokoh bangsa yaitu Ali Movahedi telah mengotori pemilihan umum demi kemenangan Ahmadinejad. Berikutnya, karena gagal menghadang laju kemenangan, lawan politik melansir isu keterlibatan Ahmadinejad dalam tragedi penyanderaan berdarah di Kedutaan Besar AS, di Tahun 1979, yang berlangsung selama 444 hari, di era Presiden Richard Nixon. Pihak yang kalah, memfitnah bahwa Ahmadinejad adalah pelaku yang berlumuran darah, dan sangat kotor. Serangan ini begitu gencar, menghumbalang di dalam dan luar negeri. Berbagai saksi mata dari Inggris, Amerika Serikat, dan mereka yang disandera di saat itu mengaku bahwa Ahmadinejad adalah “pelaku penyanderaan”. Tetapi serangan ini pun sirna. Segera setelah keluar pernyataan resmi dari CIA, bahwa Ahmadinejad tak terlibat!. “Mencoba meramalkan apa yang terjadi di Iran adalah main tebak-tebakan”, demikian ujar seorang diplomat Inggris, demi melihat kemenangan Ahmadinejad. Bila Inggris terlihat hati-hati, Amerika Serikat lain lagi. Negara adidaya ini terlihat berang. Mereka melihat masa depan demokrasi di Iran telah habis, bersama dengan kekalahan telak kubur moderat dan Islam modernis. Para pemimpin dunia melihat dengan beragam cara. Begitu banyak julukan tersemat kepada Ahmadinejad, seiring dengan beragam kontroversi yang dimunculkannya. “Presiden berjiwa labil”, “pemimpin arogan dan bodoh”, dan “menjijikan”, adalah beberapa tudingan yang dialamatkan ke Presiden Iran ini. Sebuah pertemuan, ketika Ahmadinejad melakukan lawatan ke Amerika Serikat, berlangsung di Columbia University, sambutan sang rektor menyebutnya sebagai loose cannon, yaitu orang ceroboh yang selalu mengejutkan! (Halaman 143).

Mengapa julukan arogan, keras kepala, bodoh, dan ceroboh begitu gencar? Atau bahkan The Loose Cannon, alias ceroboh dan megejutkan. Dunia tak terlalu pening bila kebencian Ahmadinejad terhadap Israel hanya sebatas retorika. Tak terhitung gaya Anti Israel (tetapi kemudian berkompromi) yang hinggap di kalangan pemimpin Arab. Tetapi hanya Akhmadinejad yang menikam ke ulu hati Ummat Yahuid, dengan menyebut Holocaust (pembantaian di kamp-kamp konsentrasi rezim Nazi) adalah mitos dan bohong! Ahmadinejad bahkan memetik kemarahan komunitas Yahudi yang Anti Zionis —dan anehnya, mereka sudah ribuan tahun menetap di Iran, ketika mengadakan Konferensi Holocaust di Iran. Dengan mengundang para tokoh rasis dunia, mulai dari pemimpin Xu Xluk Klan di Amerika Serikat, pengagum Nazi, dan lain-lain. Presiden Iran ini juga memercikan bensin di tengah upaya perdamaian Timur Tengah, dengan menyebut bahwa “Israel harus dihapus dari peta dunia.” Banyak lagi. Seorang fanatik Imam Mahdi ini bahkan nyaris disebut mengidap delusi, penghayal yang tidak lagi rasional. Berkali-kali kalangan moderat Iran disakiti dengan tingkah polah Ahmadinejad. Paling menonjol terkait dengan ancaman dunia internasional terhadap Iran, bila negeri itu tetap ngotot mengolah industri nuklir. Sang presiden menjawab serampangan, bahwa “pengayaan nuklir iran adalah kereta tanpa rem dan tak perlu perseneling, meluncur tanpa boleh berhenti”. Sontak pernyataan mengejutkan ini membuat dunia marah, dan tekanan terhadap Iran kian dahsyat. Presiden Iran inipun dinilai berkali-kali membuat perbuatan memalukan, seperti mengirim Surat Pribadi kepada Angela Markel, George W Bush, dan pemimpin dunia lain (sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh pemimpin Iran lain). Juga tentang seruannya agar Program Keluarga Berencana dihapuskan di Iran, dengan tujuan memperbanyak orang Islam di Iran.

Tak pelak, dibalik berbagai kelemahan dan dosa politik Ahmadinejad, buku ini memperlihatkan bahwa Sang Presiden tegar dalam membela kaum papa. Ia juga menjalin hubungan baik dengan para pemimpin sosialis, dan mencoba membangun poros anti Amerika Serikat. Sebuah poster, menunjukkan adanya koalisi bertajuk keadilan, yang menggambarkan Ahmadinejad, Evo Morales, Hugo Chavez, Fidel Castro dan Daniel Ortega. Setidaknya, dunia memang selalu punya orang-orang yang tak menjadi penjilat Amerika Serikat. Rekomendasi ..... Buku ini sangat bagus untuk dibaca !.

Referensi : kompas.com/endibiaro.blogdetik.com

Kekuasaan itu Wajar dan Manusiawi

Oleh : Muhammad Ilham

" ..... tak berbeda rasa istriku dengan madonna/tak lebih ketawa Obama dibandingkan Indra si Tukang Becak ..." (Puisi "tak berbentuk" dari seorang kawan).

Kekuasaan itu menggiurkan. Apalagi ketika "dibungkus" dalam bentuk jabatan. Privelese dan fasilitas, merupakan sesuatu akibat dari jabatan itu sendiri. Tidaklah mengherankan, jarang orang mengucapkan "innalillahi wa inna ilaihi rooji'un" kala menerima sebuah jabatan, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar atau Umar bin Abdul Aziz. Justru yang sering terdengar adalah ucapan "syukur alhamdulillah, berkat do'a dan prestasi kerja". Saya masih ingat, seorang pejabat tinggi negara memberikan komentar di sebuah media TV kala ditanya, "bagaimana perasaan Bapak dengan jabatan baru nan prestisius ini ?". "Alhamdulillah, terima kasih saya ucapkan kepada Bapak ....... yang telah mempercayakan jabatan ini pada saya. Istri dan keluarga pasti gembira karena ini merupakan hadiah ulang tahun perkawinan kami". Ya .. hadiah. Luar biasa. Dan yang "sejenis" ini, tumbuh berkembang biak di mana-mana. Mereka menganggap kekuasaan-jabatan merupakan sesuatu yang prestisius untuk digapai, bahkan diusahakan semaksimal mungkin. Bila dapat, tentunya ini merupakan sesuatu yang pantas dibanggakan dan "dipupuk". Ketika kekuasaan-jabatan itu "hilang" dari genggamannya, maka dianggap sebagai sebuah "kemalangan". Ia akan merasa tercampakkan, tak lagi berjalan dengan "muka tengadah".

Sudah saatnya, sedari manusia itu masih kecil, harus ditanamkan bahwa kekuasaan itu merupakan sesuatu yang biasa, manusiawi dan - dalam bahasa teologis - titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini akan menimbulkan kondisi biasa-biasa saja, kala seseorang kehilangan kekuasaan, tidak menganggap sebagai "kemalangan" ketika kekuasaan itu berpindah tangan. Kehilangan kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar dan natural, seperti kata Kahlil Gibran "yang lama dan usang-layu, akan berganti dengan kebaruan dan muda-gagah-perawan". Nampaknya kita harus banyak belajar dari episode hidup seorang Lech Walesa. Tak ada yang tidak tahu, tukang listrik berkumis tebal ini. Berawal dari buruh listrik di Gdansk Polandia, bermetamorfosis menjadi demonstran-politisi dengan memimpin perjuangan kaum buruh untuk "menggulung" Partai Komunis Polandia dibawah pimpinan Jenderal "berkacamat hitam" Jaruzelski. Dunia terperangah, Lech Walesa yang bukan seperti Nelson Mandela, bisa menjadi Presiden Polandia. Bila Nelson Mandela memiliki "genetik politik" serta memiliki track konsisten dalam proses ia menjadi orang besar, maka Lech Walesa "dikondisikan" oleh situasi. Ada yang mengatakan, naiknya Walesa menjadi Presiden Polandia karena "kecelakaan" sejarah politik Polandia. Walesa biasa-biasa saja bersikap kala ia menjadi Presiden Polandia. Buruh pabrik yang "keras" dan cenderung berada dalam "kalkulasi matematika peluh-keringat", berubah total menjadi Presiden yang disanjung-dielukan. Walesa - pemimpin Partai Solidaritas Polandia ini - tetap menganggap perubahan nasibnya tersebut sebagai sesuatu yang lumrah. Karena itu mungkin, Walesa hanya memegang tampuk kekuasaan Presiden Polandia, tak lebih dari 5 tahun. 1995, ia kalah. Walesa tak post power syndrom.

Ia tak menganggap kekalahannya sebagai sesuatu "kemalangan", sedih berkepanjangan karena berbagai fasilitas dan penghormatan menjadi hilang. Sekali lagi, ia menganggap jabatan Presiden sebagai sesuatu yang natural, manusiawi dan layak untuk berganti-ganti. Dan Walesa-pun, pada tahun ia tak lagi menjabat sebagai Presiden Polandia, kembali menjadi buruh, jadi tukang listrik di pelabuhan Gdansk. Gajinya, kira-kira Rp. 500.000 (tahun 1995). Ketika ia ditanya mengapa dia kembali menjadi tukang listrik, padahal dengan label "mantan Presiden", Walesa bisa menghindari pekerjaan "kasar" yang ditekuninya sebelum menjadi Presiden. Walesa menjawab, "masih terlalu muda untuk pensiun, tidak punya cukup uang untuk hidup dan Presiden serta buruh itu sama, sama-sama bekerja dan sama-sama menghasilkan uang". Walesa menganggap bahwa alangkah wajar dan bersahajanya kekuasaan itu di matanya". Presiden yang tadinya sangat-sangat "diatas", ketika selesai, ia mau menjalani profesi menjadi buruh yang "sangat dibawah". Walesa, bukan "melenggang" meninggalkan tampuk kekuasaan kepresidenan yang dipegangnya selama 5 tahun dengan dompet "membengkak". Padahal dengan waktu 5 tahun itu, ia memiliki potensi besar mengumpulkan duit banyak. Tapi itu tak dilakukannya. Ia kembali ke "habitat"nya semula, jadi buruh, di sebuah pelabuhan bernama Gdansk. Tanpa beban. Karena Presiden dan Buruh juga profesi, juga pekerjaan, juga amanah. Ia tak merasa memiliki beban berat walau banyak orang - terutama simpatisannya - merasa "kasihan". Walesa tetap tersenyum tanpa post power syndrom. Pada Walesa kita bisa belajar bahwa kekuasaan itu amat bersahaja.

Senin, 20 Desember 2010

Ketika Bola Lebih Bermakna dari Politik : "Garuda di Dadaku"

Oleh : Muhammad Ilham

Teringatlah saya dengan ucapan salah seorang petinggi panitia Nobel Prize, "Seandainya bola itu orang, niscaya ia akan memperoleh hadiah nobel berulang kali".

Dan setidaknya itu terasa di Indonesia. Sudah sekian bulan, ranah publik diisi oleh syak wasangka politik, permainan "batu domino" hukum yang tak kunjung tamat-tamat, duka-pilu alam yang "enggan" bersahabat, membuat publik terkotak-kotak, tapi tak jarang mereka muak. Dua puluh empat jam tayangan TV diisi oleh berita-berita pengamat yang luar "biasa pintar", karena dengan amat begitu mudah ia memetakan kesalahan-kesalahan elit politik bangsa ini. Seringkali TV dan media massa cetak lainnya (setidaknya demikian yang saya rasakan) "menghantuk-hatukkan" satu kelompok dengan kelompok yang lain, tentunya dengan dimoderasi oleh pengamat politik yang luar "biasa pintar" tadi (bukan "luar biasa pintar", tapi luar "biasa pintar"). Sebagai pelaku ekonomi, TV tentunya lebih mengedepankan berita yang kontroversial - "hangat" dalam bahasa Rosihan Anwar. "Bila berita dingin apalagi basi, tentunya berita itu tak menarik, bila perlu hangat-hangat cirit ayam-lah", kata jurnalis senior asal Sumatera Barat ini. Akhirnya, jadilah publik selalu berada dalam kotak-kotak yang senantiasa berseberangan di antara mereka. Senantiasa curiga dengan semua elit (elit politik, elit sosial bahkan elit agama). Musykil mempersatukan mereka, karena memori publik selalu disuguhi menu yang membuat mereka tak harus bersatu.

Tapi lihatlah, satu bulan belakangan ini. Markus Harison Rihihina, Mohamad Nasuha, Zulkifli Syukur, Maman Abdurachman, Christian Gerard Alfaro Gonzales, Bambang Pamungkas, Oktavanius Maniani, Arif Suyono, Firman Utina dan kawan-kawan, mampu menjadi "perekat" publik untuk mencintai negara dan bangsa ini. Garuda di Dadaku menjadi icon yang emosional bagi seluruh masyarakat belakangan ini, melintasi strata sosial, melintasi usia. Yaa, publik merindukan sesuatu yang membuat mereka bangga. Dan itu mereka dapatkan pada sesuatu yang selama ini "hampir tak bisa mereka harapkan", Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Cobalah lihat, antusiasme penonton itu tanpa kotak-kotak politik, tulus sepenuh hati dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang menyemangati anak-anak asuhan pelatih Alfred Riedl tersebut. Seandainya-lah antusiasme itu mendominasi suasana kita berbangsa dan bernegara, barangkali, program kabinet dan kinerja DPR semakin berkenan di hati rakyat. Berkenan karena para aktor dan elit negara dan politik itu kian bergairah, karena apa yang dilakukannya dielu-elukan publik, sebagaimana penonton GBK memberikan hatinya kepada Firman dkk.

Dalam praktik komunikasi empirik, hubungan aktor dan rakyat itu dikenal. Lakon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) boleh dikata tidaklah buruk. Pidatonya sangat sistematis. Rangkaian kalimat dibangun dengan logika, dan juga angka-angka argumentatif. Tidak betele-tele, tak terlalu panjang, dan pesannya selalu jelas. Dia pembicara yang baik. Bukan gombal. Tetapi juga nalar. Namun, nahas. Apa saja sikap dan wacana pemerintah yang direpresentasikan oleh Presiden SBY, Wapres Boediono, atau para menteri, termasuk oleh anggota DPR, selalu ditanggapi minor. Seakan-akan ada frame, bahwa pemerintah, atau SBY mestilah salah. Bukan The King can do not wrong, tetapi sebaliknya. Mulai dari kasus Century, Munir, tragedi Trisakti dan Semanggi, lambannya pergantian Kapolri dan Jaksa Agung, masalah keistimewaan DIJ, soal cicak versus buaya, bencana alam, lambannya penanganan kasus korupsi dan berbagai kasus yang mendera bangsa ini, dilamatkan sebagai kelemahan atau kesalahan SBY. Persis rezim Orde Baru. Semua dipersalahkan kepada Soeharto. Padahal, yang bercokol di rezim Orde Baru ada banyak menteri, jenderal, para politikus, anggota parlemen, pengusaha papan atas dan sebagainya. Kebijakan Orde Baru yang sedemikian luas, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya, rasanya tak mungkin diputuskan oleh Soeharto sendirian. Sebelum jadi presiden, dia hanya seorang Mayor Jenderal di Kostrad yang tak mungkin tahu segala hal. Bahkan yang diadili di meja hijau pun hanya segelintir. Kasus Soeharto terputus di tengah jalan karena kondisi kesehatan yang secara hukum memungkinkan dia tak bisa dilanjutkan peradilannya. Uniknya, tokoh lain di sekitar Soeharto tak tersentuh hukum. Semua bebas melenggang kangkung. Padahal sedemikian banyak kebijakan Orde Baru yang salah. Di berbagai bidang. Ya, ekonomi, hukum, sosial, HAM, hingga kekerasan dan penghilangan nyawa serta lain sebagainya. Tetapi Soeharto diadili dan dipersalahkan justru setelah ia tak berkuasa, dan terus dipersalahkan setelah beliau meninggal dunia. Memang yang selalu menyalahkan SBY hanya segelintir para pengamat, politikus, NGO tertentu.

Belum tentu juga mewakili ratusan juta rakyat Indonesia. Buktinya, dalam Pilpres, SBY memenangkan pertarungan. Namun pengaruhnya ketika ditayangkan di televisi atau media cetak bisa merasuki banyak orang. Sampai ada komentar di Facebook, bahwa kita susah payah menang 2-1 melawan Thailand gara-gara SBY, Ibu Ani dan sejumlah menteri menonton laga itu melalui televisi dan disiarkan media pula. Astaga, bro ! Bahkan ia menulis syair lagu dan menyanyikannya pun dipersalahkan, bak kisah ayah dan anak dengan seekor keledai yang serba salah itu. Bukannya kritik tidak penting, bahkan perlu, sepanjang tak melihat dunia ini dengan kacamata hitam melulu. Tetapi ibarat permainan sepakbola dan lakon teater, para aktor kenegaraan pun membutuhkan "good will" masyakarat.

Manusia itu ada narsisnya, anugerah Ilahiat belaka, sepanjang tidak berlebihan melampaui porsinya. Narsis dan Marxis itu beda, pasti !. Yang terakhir ini memang melegitimasi pertentangan kelas sebagai paradigma perjuangan. Kinerja SBY, bagaimana? Tak patut dipuji? Soal korupsi dinilai gagal karena semakin banyak saja kasus korupsi yang tersibakkan di Indonesia. Tunggu dulu. Bukankah itu sebuah sukses? Justru akan dinilai gagal manakala kasus korupsi semakin sedikit yang terungkap padahal reformasi birokrasi belum terselenggara dengan baik, bahkan masih jauh panggang dari api. Resumenya, penegakan hukum telah bekerja dan akan terus bekerja. Jangan kaget jika akan semakin kasus korupsi yang terungkap di masa depan. Mungkin, memang tidak drastis. Korupsi habis dalam tempo sekejab? Mustahil. Ekspektasi publik mungkin terlalu besar. Bagus-bagus saja sehingga menjadi cemeti bagi pemerintahan SBY untuk bergerak tahap demi tahap dengan tren yang kian baik. Pula penegakan hukum tak seperti perang yang tinggal menembakkan peluru untuk membunuh musuh. Selalu ada proses, apalagi sistem meja hijau mengenal hirarki dari tingkat pertama hingga kasasi bahkan peninjauan kembali. Kita harus belajar dari lapangan hijau tatkala timnas memenangkan empat pertarungan melawan Malaysia, Laos, Thailand dan Filipina. Dukungan semua stasiun televisi, infotainment, media radio, dotcom, termasuk fans sepakbola dari berbagai lapisan sosial, termasuk selebritis dan gadis-gadis cantik, penonton berjubel adalah sesuatu yang tak dimiliki pentas politik di negeri ini.

Kesimpulannya : ..... "Di GBK tak ada bendera parpol, LSM pengunjuk rasa serta kaum oposan. Di GBK hanya ada pecinta sepakbola yang merindukan nama PSSI kembali berkibar, kendatipun banyak yang tak menyukai Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI itu. Tapi apalah arti Halid dibanding Indonesia, seperti halnya SBY dibanding negeri ini? Panggung politik bolehlah belajar dari politik sepakbola yang menyatukan, bukannya memisahkan karena politik kepentingan dan kepentingan politik".

:: Sebagian tulisan dari Bersihar Lubis (Riau Pos, 18/12/2010). Foto : jppn.com dan myopera.com

Markus Harison Rihihina (kiper), Mohamad Nasuha, Zulkifli Syukur, Maman Abdurachman, Christian Gerard Alfaro Gonzalez, Bambang Pamungkas, Oktavanius Maniani, Arif Suyono, Firman Utina (kapten), Ahmad Bustomi, Yongki Ariwibowo, Muhammad Ridwan, Hamka Hamzah ...... Danke alias Tarimo Kasih !! (konon ... kata seorang teman saya, berkah dari semua ini, tiket GARUDA pun mulai naik .. hehehehehe). Kalian "pejuang". Titik






Minggu, 19 Desember 2010

Puisi, Keterasingan dan "Rasa Sakit"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Berkatalah seorang filosof, puisi tak mengemban tugas menyalin-rupa realitas seakurat mungkin. Ia bekerja dengan imajinasi. Puisi bergerak dalam ruang kehampiran, bukan keakuratan. Ukuran yang paling sesuai dengan puisi adalah performativitas: sukses-tidaknya ia menciptakan efek katarsis guna menekan nafsu-nafsu rendah. Pada perkembangan sejarah selanjutnya, puisi tak hanya dimartabatkan dengan timbangan etis, tetapi juga dipandang menghembuskan gairah epistemologis, geliat pencarian yang bahkan jauh lebih menukik ketimbang petualangan filsafati. Sebutlah misalnya keberpihakan Martin Heidegger (1889-1976) terhadap sajak-sajak penyair Jerman, Friedrich Holderin, yang disebutnya sebagai “sangkar kenyataan” di tengah kegersangan padang makna. Bagi Heidegger, puisi bukan saja sumber kenikmatan estetik, tapi juga mendedahkan nalar “baharu”. Nalar puitik, demikian Heidegger menyebutnya. Dan, lantaran ketekunan menyelami semesta keasingan yang misterius, dalam batas-batas tertentu, nalar puitik dapat menjadi puncak perjalanan filsafati. Demikian pembelaan Heidegger dalam The Thinker as Poet. Puisi memang tak berpretensi menyalin-rupa peristiwa, tapi ia sanggup membangun realitas baru dengan penampakan yang lain, yang dalam kesadaran non-puitik tiada pernah terpikirkan.

Fakir yang daif dagang yang hina/mengarang syair sebarang guna/sajaknya janggal banyak tak kena. Begitu lelaku kepenyairan Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam (1884) sebelum ia menulis syair berlatar suasana kalut dan panik, beberapa saat selepas letusan Krakatau (1883) yang disebut-sebut letusan paling akbar di sepanjang sejarah Bumi itu. Sebagaimana dicatat oleh Suryadi (2009) dalam Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883, syair yang pernah terbit dalam bentuk litografi di Singapura itu diidentifikasi sejumlah pakar sebagai “syair kewartawanan”. Sebentuk laporan pandang mata perihal sebuah peristiwa agar dapat diketahui khalayak, sebagaimana kerja jurnalistik masa kini. Dengan begitu, Syair Lampung Karam dapat menjadi salah satu dokumen sejarah tentang bencana maha-dahsyat yang pernah melanda negeri ini. Namun, aspek “khayali” (imajinasi) dan efek dramatik tentu tak lepas dari kerja kepenyairan. Tak diragukan bahwa Syair Lampung Karam bersandar pada fakta-fakta di seputar peristiwa letusan Krakatau 1883sebelum atau sesudahnyatapi penyair tidak semata-mata menyalin rupa peristiwa ke dalam syair. Mata kepenyairan lebih menukik pada labirin “suasana hati” saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri), atau yang disebut “Stimmung” oleh Martin Heidegger.

Sejumlah sajak yang terhimpun dalam kumpulan LUKAMATA barangkali juga dapat terkategori sebagai laporan pandang mata perihal sebuah bencana, misalnya: Dia mungkin hanya ingin bertanya/dia panggil aku, kamu, kita, berulang-kala, tapi kita tak menghiraukannya/Dia pasti hanya ingin sebentar saja/mempermisikan diri, dengan banyak maaf, dan gerik yang amat berhati-hati (sajak Gegap Gempa). Tapi, tidak mungkin mengharapkan akurasi yang utuh tentang sebuah peristiwa dari sajak ini. Begitu juga dengan sajak Di Lobi Hotel, Di Ruang Praktik Dokter Gigi, Ke Remang Kemang, dan Di Ruang Tunggu Keberangkatan. Sebab, penyair hanya mengambil aspek mental dari sebuah peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Lagi pula, realitas itu, semakin dibahasakan, alih-alih semakin jelas dan terang-benderang, malah semakin menyusut. Itu sebabnya, Ludwid Wittgeinstein (1889-1951) menegaskan bahwa bahasa bersifat “sewenang-wenang” terhadap realitas. Dan, kesemena-menaan bahasa itulah yang hendak dilawan oleh bahasa puisi, meski dalam kenyataannya, ada yang berhasil membuat bahasa bertekuk lutut, ada pula yang terpelanting sebagai pecundang.

Namun, bagaimanapun juga, ada sebuah medan asing yang sejak berkurun-kurun lalu telah dihuni oleh puisi. Para filsuf menyebutnya semesta keremang-remangan, medan kehampiran yang tak berhingga, atau yang dalam analogi Nietzsche: pelayaran yang tiada bakal tertambat di sebuah pelabuhan. Bila lelaku filsafat berhasrat hendak berlabuh pada sebuah totalitas kebenaran, puisi justru tekun menggali lubang-lubang kemungkinan. Di titik ini, puisi bukanlah sebuah modus peniruan, penggambaran, penyalinan, sebagaimana dipersangkakan selama ini, melainkan medium penyingkapan ranah misterius, medan keremangan yang senyap, atau yang disebut aleitheia oleh Heidegger. Penyingkapan itu hanya dapat digenggam oleh kesadaran murni, ketika puisi tidak lagi melulu dipandang sebagai benda-benda literer yang diamhingga ia terkurung dalam kuasa kesadaran subyek (pembaca/pengamat). Bila dalam tradisi pengkajian puisi selama ini yang berlaku adalah bagaimana kesadaran subyek merumuskan makna sebuah puisi, maka dalam perbincangan ini, modusnya diputar-balik menjadi; bagaimana cara puisi menyingkapkan dirinya kepada subyek pembaca, sehingga dengan ketersingkapan itu, puisilah yang menentukan, bahkan membentuk kesadaran subyek pembacanya.

Mari kita praktikkan prosedur ganjil ini pada sajak Lukamata yang menjadi tajuk antologi ini. AKU akan jadi tua/tebu terunduk/seseruas batang memanjang/sebelum datang seorang penebang/dengan parang tak berlidah/tak kenal manis atau hambar sepah. Dengan segala hormat, mohon abaikan segala asumsi dan pra-konsepsi tentang analogi tebu yang pada lazimnya semakin menanjak ke pucuk bukannya semakin matang
malah semakin hambar. Tundalah pertanyaan: kenapa aku lirik tidak menamai dirinya dengan analogi padi, yang semakin berisi semakin runduk? Setelah ruang kesadaran benar-benar kosong, biarkan sajak itu menyingkapkan dirinya, dan rasakan apa yang terjadi! Di titik ini, yang hendak direngkuh bukan lagi esensi atau substansi, melainkan situasi keterhubungan (relasionalitas) yang tak pernah padam antara pembaca dengan sajak itu. Adapun yang perlu dicatat adalah bahwa cara sebuah sajak menyingkapkan dirinya selalu berbeda pada setiap subyek pembaca. Persepsi seorang perempuan yang baru saja kematian suami terhadap sekuntum bunga, dipastikan berbeda, bahkan bertolak belakang dengan persepsi perempuan yang sedang dimabuk asmara terhadap bunga yang sama. Begitu pula persepsi pembaca terhadap analogi tebu dalam sajak Lukamata. Ia akan tenggelam dalam keberbagaian yang tak berhingga, kehampiran tak bersudah, hingga kuasa tunggal kesadaran subyek juga ikut terhisap ke dalamnya.

Tengok pula sejumlah bait: Keadilan sedang sakit/sakit bersama kami, para pasien yang tak tahu harus berobat ke mana/ke rumah sakit? Aduh, kami akan tambah sakit, dan kami tak boleh mengeluh/karena keluhan hanya akan membawa kami ke gedung sakit lain bernama pengadilan/dan di sana dengan hakim yang sakit, keadilan yang sakit, kami tak akan pernah bisa sembuh (sajakApakah Rumah Sakit di Kotamu Suka Memakan Pasiennya Juga?”). Seorang korban malpraktik tentu akan menyambut sajak ini dengan penuh-riang, karena mewakilkan gairah perlawanannya. Tapi, seperti apa kesadaran subyek yang akan terbentuk bila pembacanya seorang dokter teladan? Tentu ia akan mengurut dada, sebab ia harus menanggung hukuman dan ganjaran yang tak semestinya.Maka, sajak sebagai obyek dan pembaca sebagai subyek, dapat saling bertukar-tempat, lalu sama-sama tenggelam dalam puspa-ragam kesadaran yang tercipta. Puisi, apapun bentuk dan alirannya, akan selalu bersarang dalam liang keasingan. Dunia lain yang bisa saja terbangun dari hal-ihwal remeh. Namun, di tangan penyair, ia tersingkap dalam rupa yang lain, tak lazim dan sukar digapai oleh kesadaran non-puitik. Ada yang menimbang bahwa sajak-sajak Hasan Aspahanikatakanlah sejak Orgasmaya (2007), Telimpuh (2009), mungkin pula buku terkini yang akan pembaca selami initidak berangkat dari gagasan besar, tapi dari persoalan remeh dan sepele, yang tanpa dipuisikan pun tetap terpahami. Saya kira, setiap sajak lahir dengan “asbab ul-wurud” sendiri-sendiri. Persoalannya bukan remeh atau tak remeh, tapi sejauhmana kesadaran penyair dapat menggapai keasingan yang tak tersentuh itu, hingga yang remeh dapat tegak sebagai gagasan besar, penting dan perlu. Sentimentalisme itu dapat dimaklumi, sebab puisi masih dipandang sebagai modus penyampaian sejumlah pesan, bukan sebagai medium penyingkapan realitas “baharu” yang tak terukur.

Pada mulanya adalah kaki, lalu perjalanan dari sepatu ke sepatu. Pada mulanya hati, lalu perjalanan dari ragu-ragu. Bukankah begitu maklumat yang masih terpampang di weblog “sejuta puisi” milik Hasan Aspahani? Pada mulanya memang soal “Sakit Hati”, yang sekilas-pintas sama saja dengan encok, pegal linu, sariawan atau sakit gigi. Tapi, adakah sebuah pemahaman yang padat tentang bagian tubuh mana yang paling sakit ketika seseorang terjangkit “saki hati?” Dapatkan positivisme sains yang mengklaim telah berhasil menjelaskan 1/3 dari semua gejala di semesta jagat raya, merumuskan teori yang tak terbantahkan perihal “sakit hati”? Di sinilah jasa puisi mesti ditandai. Ia menyingkapkan segala macam rasa sakit yang tak pernah jelas di bagian tubuh mana menjalarnya. Sakit karena pada mulanya seolah-olah dicintai padahal dibenci, seolah-olah dapat dipercayai tapi dengan gampang mengkhianati, seolah-olah dipuji padahal sedang disumpah-serapahi. Inilah dunia tak kasatmata, dunia abu-abu, tempat puisi bersitumbuh. Ia mengumpulkan remah-remah rasa sakit yang berserak di segala tempat, dari waktu ke waktu ia tumpuk hingga membentuk piramida kesakitan yang menjulang tinggi. Tapi anehnya, setelah rasa sakit itu disingkapkan oleh puisi, percaya atau tidak, ia berubah menjadi obat.

(c) Damhuri "Yonk" Muhammad (sources : diskusi facebook)

Jumat, 17 Desember 2010

Izinkan Saya untuk (Sekedar) Mengagumi Ahmadinedjad

Oleh : Muhammad Ilham

"storia e storia contemporania ..... sejarah yang sejarah itu, adalah sejarah kekinian" (Benndicto Croce)

"saya benci dosa, tapi bukan si-pendosanya .. !" (Mahatma Gandhi)

Beberapa bulan belakangan ini, ada tokoh yang menjadi "fokus" diskusi dalam status saya di facebook, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad. Berbagai reaksi muncul dalam diskusi. Komentar ringan mendukungnya hingga pandangan sinis. Sinis bukan pada karakter pribadinya, tapi lebih kepada "habitat"nya yang terbentuk dari negara penganut Syi'ah (Itsna Asy'ariah) terbesar di dunia, Iran. Beberapa komentar "miring" juga agak sedikit pedas, dialamatkan beberapa sahabat-teman diskusi ke Inbox saya. Saya dikatakan telah dipengaruhi oleh aliran Syi'ah, sebuah aliran yang dianggap (tentunya oleh yang anti Syi'ah) sebagai aliran sesat. Menjadikan foto Ahmadinedjad (terkadang Khomeini) di Pic Profile saya, seakan-akan membuat beberapa sahabat saya ingin mengatakan : "Anda telah menjadi Syi'ah". Dengan segala dalil-hadits, mereka utarakan pada saya (via In-Box) yang lucunya justru dalil-dalil hadits versi sunni. Saya hanya tertawa, dan terkadang membalas sinisme mereka dengan ungkapan : "daripada saya mengagumi Paus Benedictus atawa Brad Pitt apalagi Micahel Jackson, kan lebih baik saya mengagumi Ahmadinedjad". Saya tak tahu persis mengenai Syi'ah hingga detail aqidahnya, saya juga yakin, beberapa sahabat saya itu juga tak memahami Syi'ah dengan baik. Paling-paling mereka "membaca dan meneropong" Syi'ah dari kacamata ulama-ulama anti Syi'ah. Walau saya cukup familiar - bukan berarti memahami betul - dengan buku-buku (terjemahan) karangan Ayatullah Ruhullah Khomeini, Ayatullah Mohammad Baqr al-Shadr, Ali Shariati, Murthada Mutahhari, Ayatullah Nateq Nauri, Allahamah Thabathaba'i, Ayatullah Bahesti dan buku-buku Kang Jalal (Djalaluddin Rahmat), toh saya belum memahami dengan baik Syi'ah. Kala saya masih kecil (Sekolah Dasar) sekitar tahun 1980 - 1986, oleh almarhum ayah yang selalu berlangganan Majalah Tempo di kampung kecil kami - Air Bangis Pasaman Barat - saya sudah sering melihat foto-foto elit politik Iran seumpama Abolhassan Bani Sadr, Ali Raja'i, Gotbzadeh ataupun Ali Shariati (yang terakhir ini pernah menjadi intellektual yang saya idola-kan hingga skripsi saya (1999) mengupas analisis komparasi pemikirannya dengan Marxisme. Saya hanya berusaha empati dan menyimpulkan bahwa mereka muslim, dan saya muslim, berarti formulanya kita bersaudara. Itu saja. Kebetulan dari kecil hingga saya "mengaji" di Perguruan Tinggi, saya agak dekat dengan Ahlussunah wal Jama'ah dan Muhammadiyah, tapi bukan berarti, semua itu mengekang saya untuk mengagumi seorang dua orang tokoh yang inspiratif yang bukan berasal dari "habitat" yang membentuk masa kecil hingga dewasa saya.

Kita sering mendengar kisah-kisah kezuhudan ulama dan kesederhanaan elit politik masa dulu. Tapi itu masa dulu. Mereka juga hidup dengan nilai-nilai pada masanya, tantangan masanya. Bisa jadi inspirasi bagi kita, tapi tidak begitu "matching" dengan kerinduan kekinian kita. Lalu mari-lah kita inventaris satu demi satu, pada siapa kita menyandarkan kekaguman untuk dijadikan inspirasi bagi kita. Para Sulthan di Timur Tengah, atau pemimpin Islam di Asia Tenggara ? Banyak yang "menjulang", tapi kemunjalangan mereka bukan pada sesuatu yang kita rindukan. Untuk memahami bagaimana "agungnya" sebuah praktek politik, yang didalamnya tak ada dendam-kesumat politik, nampaknya kita (terpaksa) membaca "kehidupan" seorang Nelson Mandela. Padanya kita akhirnya tahu, bahwa panggung politik itu indah, kala dendam politik diredam ke titik nol. Ketika, beberapa bulan yang lalu, saya "menawarkan" figur Nelson Mandela dalam diskusi facebook saya, ada pula yang mengatakan : "takkah ada tokoh dari kita yang nampak oleh anda ? Mengapa orang bukan seagama kita yang anda agung-agungkan?". Ketika saya sodorkan pertanyaan, "Apakah anda telah pernah membaca (sedikit saja) nilai-nilai luhur Mandela ? Dalam pertarungan politik yang penuh intrik, apakah ada tokoh yang bisa anda sodorkan kepada kita semua sebagai sumber inspirasi seperti Mandela?". "Ada, nabi Muhammad", kata mereka. Akhirnya diskusi selesai, dan mereka kalah. Nabi Muhammad itu sudah pasti. Tapi juga ada sebuah kesemestian, saya dan kita hidup pada zaman sekarang, maka saya dan kita butuh, tokoh-tokoh inspiratif yang memiliki nilai-nilai "kesekarangan".

Kembali ke Ahmadinedjad. Bagi saya, ia adalah segelintir tokoh dunia, yang hidupnya mirip dengan gabungan "kemandirian" Soekarno dan kesederhanaan Muhammad Natsir serta Agus Salim. Posisi sebagai penguasa memang hal yang selalu menggiurkan banyak kalangan, terlepas apakah mereka memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengembannya ataupun tidak. Terlepas apakah model kehidupan pribadi, keluarga dan kelompok mereka dengan pemikirannya bisa diteladani oleh masyarakat banyak. Syahwat politik memang tidak jarang menenggelamkan akal sehat manusia dalam sejarahnya. Kebanyakan para pencari dan penggila kekuasaan di negeri ini cenderung berpikir pragmatis, janji berbuat banyak untuk rakyat hanya terucap dan diikrarkan saat berusaha meraih simpati rakyat agar memilihnya saat pesta pemilihan umum. Bahkan para politisi sekelas partai Islam saja tidak konsisten untuk hidup dalam kesederhanaan, rapat di tempat-tempat mewah dengan alasan untuk kepentingan dakwah dan umat, belum lagi dengan parpol lainnya yang lebih dulu mengurangi optimisme kita untuk menyaksikan peragaan hidup sederhana oleh para politisi mereka. Kita pantas tersayat mendengar berita yang sangat mengiris hati. Anggaran untuk baju dan furniture presiden serta anggaran untuk Keppres dan pidato presiden yang mencapai angka miliaran. Pelesiran Dewan kita ke luar negeri dengan alasan studi banding di saat negeri ini sedang ditimpa oleh berbagai musibah dan sebagainya.

Kemudian lihat saja buktinya, setiap menjelang pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif, jendela-jendela mobil mewah para kandidat dipastikan akan banyak yang terbuka, kacamata hitam mereka dipastikan akan disimpan sejenak, para kandidat akan menari dari kampung ke kampung sambil mengiba kepada rakyat agar meraih simpatinya, dan selepas itu, mereka yang menang akan kembali jarang terdengar sebagaimana populernya mereka saat menjelang pemilihan umum, mereka demikian sibuk sebagai alasan untuk menjauh dari rakyat. Itulah fakta yang selalu kita saksikan dan mungkin akan kembali kita saksikan. Dan tentunya, ini adalah hal yang ironis dan memiriskan hati kita sebagai rakyat. Sejujurnya, kesederhanaan pada diri pemimpin dan pejabat di negeri ini di semua levelnya merupakan kerinduan terbesar bagi rakyat di negeri ini. Saya tidak percaya kesederhanaan bagi seorang pemimpin itu adalah hal yang tidak mungkin (mustahil), karena faktanya, saat ini kita sedang menyaksikan tampilan penuh kharisma seorang pemimpin sekelas Mahmoud Ahmadinejad, seorang presiden Iran yang saat ini begitu poluler dengan kesederhanaannya di samping karena konsistensinya menentang arogansi Amerika Serikat dan negera-negara Barat yang hegemonik.

Pola hidup Ahmadinejad saat ini menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, khususnya para pemuda-pemudi yang merindukan pemimpin sederhana. Membaca status-status di jejaring sosial Facebook serta di miling list, terlihat sekali bagaimana kerinduan mereka yang memiliki semangat baru untuk hidup dalam naungan seorang pemimpin yang sederhana. Setiap kali mereka berbicara tentang Ahmadinejad yang begitu populer, kesederhanaannya-lah yang selalu mereka bicarakan dan menjadi alasan utama mereka yang menggandrungi sosok Ahmadinejad selain karena keseriusannya untuk membawa Iran ke puncak kemajuan dan menentang semua pihak yang menghalangi kebangkitan negeri itu. Kapasitas dan tekad seorang pemimpin untuk membangun negeri memang perlu, tapi faktor kesederhanaan tetaplah alasan utama rakyat mencintai para pemimpinnya. Karena pemimpin atau pejabat yang sederhana akan dipandang dekat dengan rakyat, dianggap turut merasakan kepedihan rakyatnya meski ia belum sanggup membantu rakyat di semua level untuk keluar dari kepapaannya. Rakyat memang butuh materialisme, tapi jangan lupa, materialisme tidak selamanya menjadi alasan kecintaan dan kebersamaan rakyat kepada pemimpinnya. Beberapa waktu lalu, Ahmadinejad melelang mobil pribadinya untuk membantu rakyat miskin di negerinya, berbanding lurus dengan sikap para politisi kita, mengeruk untung di atas derita rakyatnya, lihatlah berapa banyak orang kaya baru pasca kehancuran yang menimpa rakyat Indonesia oleh tragedi tsunami dan konflik, bandingkan dengan realitas kondisi rakyat yang hingga kini masih memprihatinkan.

Ahmadinejad seperti yang ditulis oleh banyak sumber suatu ketika diwawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya: "Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?" Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya. 'Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran'." Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya, ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu-satunya uang masuk adalah uang gaji bulanannya. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinya seorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yang selalu dibawa sang Presiden tiap hari selalu berisikan sarapan : roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden. Begitu juga banyak kesederhanaannya lainnya yang diperlihatkan oleh Ahmadinejad. Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden? Tidak! Sekali-kali tidak. Begitulah model pemimpin yang dirindukan oleh rakyatnya. Adakah pemimpin atau calon pemimpin kita di Indonesia yang siap hidup sesederhana Ahmadinejad seperti yang diajari Rasulullah? Wallahu a'lam, namun penulis kira, kita belum memilikinya dan harus mencarinya karena pemimpin model Ahmadinejad tidak tergila-gila kepada jabatan!

:: Saya hanya (sekedar) mengagumi Ahmadinedjad, sebagaimana juga saya (sekedar) mengagumi ayah saya, ibu saya dan istri saya. Sekedar, karena membabi buta, justru menjatuhkan kita pada kewarasan dalam berfikir. Beberapa sahabat saya, setidaknya dari diskusi (terutama di Inbox facebook saya) tidak (sekedar) membenci Syi'ah, tapi betul-betul membenci, walau tidak pernah membaca berbagai buku tentang Syi'ah dari kalangan intelektual Syi'ah, toh kalaupun mereka baca, mereka hanya sekedar membacanya saja, bukan dengan "hati". Wallahu a'lam bish shawab. Semoga denai salah !

Sambutan meriah dan spektakuler terhadap Ahmadinedjad di Lebanon. Kapan SBY bisa disambut meriah negara lain ? .... di negara sendiri justru sering di demo oleh demonstran.

Sumber foto : www.irna.com

Improvisasi Seksualitas dalam Sejarah "Laki-Laki" Asia Tenggara

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Malam ini, saya membaca buku karangan Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Saya tak ingin mengupas dinamika perdagangan kawasan Asia Tenggara. Terlalu panjang dan pelik. Ada satu bagian yang membuat saya "tertawa sendirian" kala membaca buku sejarawan dari Australia ini, tentang bagaimana upaya luar biasa yang ditempuh oleh para lelaki - dalam sejarah "laki-laki" Asia Tenggara masa lalu - untuk memberikan kepuasan seks terhadap pasangannya. Para lelaki rela menanggung pembedahan kelaminnya - tentunya sangat menyakitkan - hanya untuk meningkatkan kenikmatan erotik pasangannya. Laki-laki di Philiphina, misalnya, terutama di Philipina tengah dan selatan serta beberapa daerah di Kalimantan, dari masa dahulu, "familiar" memasang peniti logam yang dilengkapi dengan dengan berbagai roda, taji (saya tak tahu apa itu taji), atau kancing pada alat kelaminnya. Hal yang sama dipraktekkan juga sampai pada masa modern oleh beberapa kelompok masyarakat Kalimantan Barat Laut, khususnya suku Iban dan Kayan.

Di tempat lain seperti Siam dan Malaka, dulunya juga berjalan praktek sejenis ini. Para lelaki memasukkan bola-bola kecil antara setengah dan satu lusin lebih pada kulit lepas di bawah penis (membrum virille). Seorang pelancong Italia pernah meriwayatkan bahwa di Malaka dan Siam (Thailand) selama abad ke-15, raja-raja memakai sebanyak sembilan butir emas sebesar buah lonca yang setiap mereka melangkah, bergemericing. Waw, tak terbayangkan riuhnya. Emas untuk kalangan bangsawan, maka butir-butir timah hitam bagi kalangan laki-laki biasa. "Kaum perempuan mendapatkan kenikmatan yang tak tergambarkan dari situ", kata pengelana tersebut. Menurut Anthoni Reid, gejala-gejala "gemericing" ini juga ditemui di daerah Makassar pada abad ke-17, tapi tidak sebanyak yang di Siam atau Malaka. Hanya satu dua buah bola kecil pada penis mereka yang terbuat dari gading atau tulang ikan keras. Islam yang kemudian masuk ke Nusantara menghilangkan praktek demikian. Namun, sejumlah penduduk Toraja bukan Islam di pedalaman, masih tetap memakai bola-bola nan gemericing ini hingga abad ke-19. Kreatif sekali nenek moyang kita masa dulu .... !.

:: Sumber : Anthony Reid (1989)

Simbolisasi Sensualitas Batu

Oleh : Muhammad Ilham

"Kala batu bicara", demikian kata Brainwood puluhan tahun yang lalu, "maka tafsiran bisa terkesan liar ketika pemahaman konteksual dikesampingkan". Dan itu saya rasakan beberapa tahun lalu, kala berkesempatan pergi ke beberapa tempat di Sumatera Utara, Aceh dan beberapa daerah di Sumatera Barat. Saya terpana melihat phallus. Sebuah istilah dalam ilmu arkeologi untuk menamakan batu tua "tegak berdiri" sedikit melengkung yang dijumpai di makam-makam raja-raja "saisuak". Phallus, batu tegak penanda makam raja. Bentuknya sangat sensual, mirip penis "anak jantan", dengan kepalanya yang sudah disunat. Ketika melihat phallus ini, secara tidak langsung ada ada pesan yang kita tangkap (setidaknya saya) : "hei bung, disini dimakamkan pejantan tangguh" - hehehe, meminjam istilah Sheila on 7. "Nenek moyang kita doyan porno", kata seorang teman saya yang terheran-heran memandang phallus ini sambil menggosok-gosok kepala phallus yang batangnya melengkung dan sudah menua dilumuri lumut, tapi tetap gagah.

Phallus hanyalah bagian kecil dari sensualitas sejarah masa lalu. Bila kita lihat peninggalan tradisi Hindu-Budha kuno, banyak simbol-simbol free sex. Bila ditinjau dari etika kekinian, karya zaman "mpu Tantular" dan mpu-mpu lainnya ini, terkesan pornografis. Tapi, sebagaimana yang diungkapkan Brainwood diatas, pemahaman kontekstual haruslah diperhatikan. Jiwa zaman dalam bahasa ilmu sejarahnya. Patung-patung ini merupakan produk dari masa seksualitas tradisional. Diperkirakan wacana seksualitas ini berasal dari India yang merupakan hulu dari tradisi Hindu (hehehe, jadi ingat Kamasutra). Dalam beberapa candi di India dan Indonesia, ada penggambaran nyata alat kelamin dan hubungan seks. Hubungan seksual di zaman Hindu-Budha kuno tersebut, merupakan simbolisasi dari kesuburan. Simbol-simbol seksualitas ini, baik dalam praktek sehari-hari maupun secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan kemakmuran. Ong Kho Kham mengatakan pada masa Raja Singasari terakhir, Kertanegara (1268-1292), mencari jimat atau kekuatan ghaib agar panen berhasil dengan jalan Tantrisme - melakukan hubungan seksual sepuas-puasnya sampai letih-muak. Seksualitas juga terungkap pula dalam perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes. Seksualitas bukan hanya dimaknai sebagai sebuah keliaran/barbarisme, tapi sebuah jalan untuk memakmurkan masyarakat. Mungkin dalam konteks inilah, raja-raja dahulu memiliki anak puluhan, cucu ratusan dan cicit hampir ribuan dengan istri yang berjumlah entah berapa puluh pula.

Rabu, 15 Desember 2010

Gender dan Teror Kekuasaan (Sebuah Pengantar Makalah 1 dan 2)

Oleh : Muhammad Ilham

Persepsi yang terbangun adalah bagaimanapun wanita harus dianggap “lemah”. Dianggap sebagai sesuatu yang ideal untuk “mengerangkeng” potensi wanita. Padahal, bukan “mengerangkeng” mereka, yang harus dilakukan adalah “mengerangkeng” nilai-nilai yang membuat wanita “terkerangkeng”).

Pernah ada anekdot feminis yang bagus yang saya kutip dari Ariel Heryanto (2000). Saya modifikasi "sedikit). Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasamaa. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menjelaskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alas an keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.

Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens. Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh. Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu berkembang belakangan ini yang dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah public (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” public. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki.

Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun consensus sosial. Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantic) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topic makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan.
Dalam konteks diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.

Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa berdasarkan genetically. Hampir seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic releigion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa Eksistensialisme - sebagai bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan, Bandung: Mizan, 1993, hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006. Novel Saman karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan justifikasi-historis-teologis ini (walau terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis Abrahamic Religion mengenai nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa, lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, Bandung: Mizan, 2005.