Detik-detik menjelang tentara Soekarno menyerang kota Padang dan kota-kota penting Sumatera Tengah lainnya adalah saat-saat genting dan menegangkan. Bayangkanlah kepanikan seperti apa yang dirasakan warga kota ketika lampu-lampu kapal perang Tentara Pusat telah tampak bertebaran di lepas Pantai Barat? Di sisi lain, apakah pula yang berkelebat di benak para perwira militer dan sipil-- ‘gembong-gembong’ kaum pemberontak, yang telah secara berani menyulut perang dengan Pemerintah Pusat--ketika mengetahui bahwa di luar dugaan mereka tentara Soekarno benar-benar berani menyerbu? Adalah James Mossman (lahir pada 1926), seorang wartawan Inggris yang sengaja datang ke Sumatera Tengah untuk meliput kejadian-kejadian di daerah itu pada masa perang saudara itu. Dia meliput untuk Daily Mail dan Sidney Morning Herald . Mossman melaporkan tentang detik-detik menjelang terjadi dan menjelang jatuhnya Pemberontakan Sumatera. Maret 1958, ketika Nasution berhasil mengamankan Medan dan Palembang untuk kepentingan serangan Jakarta, Mossman berangkat dengan pesawat terbang ke Palembang, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus menuju markas besar kaum pemberontak di Bukittinggi. Beberapa hari kemudian Mossman telah turun ke Padang meliput keadaan kota itu dan kesiapan kaum pemberontak menghadapi serangan kapal-kapal perang Pemerintah Pusat yang sudah bertebaran di lepas pantai.
Di detik-detik menjelang perang benar-benar meletus, Mossman melaporkan, Padang telah sama sekali ‘pudur’ ketika malam. Lampu-lampu listrik telah dipadamkan. Setengah penduduk telah mengungsi ke kerabat-kerabat mereka di pedalaman, meninggalkan rumah dalam keadaan tertutup dan terabaikan. Persiapan menghadapi serangan Tentara Pusat sudah terlihat di sana-sini. Di Bandara Tabing bazooka dan ranjau telah dipancangkan untuk menghalangi pendaratan musuh. Dan ketika suatu kali kapal-kapal perang tentara Soekarno melepaskan tembakan ke arah pantai, prajurit-prajurit PRRI membalasnya dengan rentetan tembakan bazooka bertubi-tubi. Seperti di tataran perwira, lapor Mossman, di tataran prajurit rendah pun terlihat semangat bertempur terngah bergelora. Betul saja, beberapa waktu sebelumnya Amerika telah melepas jangkar kapal pemuat senjata di lepas-lepas pantai, mensuplai alat-alat perang dengan berbagai cara ke kantong-kantong kaum pemberontak. Persediaan senjata kaum pemberontak betul-betul melimpah. Sementara di sisi lain prajurit-prajurit PRRI yang setengahnya terdiri dari milisi tentara pelajar dan milisi rakyat--milisi ini betul-betul sudah gatal-gatal tangannya untuk segera meletuskan senjata. Dapat dibayangkan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah memegang senjata sekali pun kini diberi senjata.
Di tataran elit militer, Mossman mengunjungi beberapa kolonel PRRI dan mewawancarai mereka. Dahlan Jambek di Bukittinggi, Simbolon di Padang dan lalu Padangpanjang. Meskipun Tentara Pusat telah berhasil menguasai kota-kota penting Sumatera di pantai timur, perwira-perwira itu tetap percaya diri bakal melemparkan tentara Nasution “ke laut untuk dimangsa ikan hiu”. Para perwira tampaknya sepakat: membiarkan tentara Nasution masuk untuk kemudian membabatnya di darat dengan strategi gerilya yang dulu pernah mereka terapkan ketika menghadapi Belanda. Di tataran elit sipil, Syafruddin Prawiranegara yang diwawancarai Mossman di Bukittinggi menyimpan kepercayaan diri yang sama meskipun tidak seberapi-api perwira-perwira militer. Syafruddin, misalnya, ketika ditanya pendapatnya tentang pasukan Pemerintah Pusat yang telah melingkari Sumatera Tengah, menjawab: “mereka tidak akan bisa melukai kami, Tuhan bersama kami.”Tapi Syafrudin keliru. Para perwira salah perhitungan. Tiga setengah tahun perang berkecamuk di Sumatera Tengah, dan mereka kalah. Kaum pemberontak terjungkang. Harga yang harus dibayarkan mahal sekali. Puluhanribu pemuda, mahasiswa dan pelajar, tewas. Satu generasi hilang-lenyap ... !!
(c) Diskusi FB dan Note Dedi Arsa/Februari 2010
Di detik-detik menjelang perang benar-benar meletus, Mossman melaporkan, Padang telah sama sekali ‘pudur’ ketika malam. Lampu-lampu listrik telah dipadamkan. Setengah penduduk telah mengungsi ke kerabat-kerabat mereka di pedalaman, meninggalkan rumah dalam keadaan tertutup dan terabaikan. Persiapan menghadapi serangan Tentara Pusat sudah terlihat di sana-sini. Di Bandara Tabing bazooka dan ranjau telah dipancangkan untuk menghalangi pendaratan musuh. Dan ketika suatu kali kapal-kapal perang tentara Soekarno melepaskan tembakan ke arah pantai, prajurit-prajurit PRRI membalasnya dengan rentetan tembakan bazooka bertubi-tubi. Seperti di tataran perwira, lapor Mossman, di tataran prajurit rendah pun terlihat semangat bertempur terngah bergelora. Betul saja, beberapa waktu sebelumnya Amerika telah melepas jangkar kapal pemuat senjata di lepas-lepas pantai, mensuplai alat-alat perang dengan berbagai cara ke kantong-kantong kaum pemberontak. Persediaan senjata kaum pemberontak betul-betul melimpah. Sementara di sisi lain prajurit-prajurit PRRI yang setengahnya terdiri dari milisi tentara pelajar dan milisi rakyat--milisi ini betul-betul sudah gatal-gatal tangannya untuk segera meletuskan senjata. Dapat dibayangkan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah memegang senjata sekali pun kini diberi senjata.
Di tataran elit militer, Mossman mengunjungi beberapa kolonel PRRI dan mewawancarai mereka. Dahlan Jambek di Bukittinggi, Simbolon di Padang dan lalu Padangpanjang. Meskipun Tentara Pusat telah berhasil menguasai kota-kota penting Sumatera di pantai timur, perwira-perwira itu tetap percaya diri bakal melemparkan tentara Nasution “ke laut untuk dimangsa ikan hiu”. Para perwira tampaknya sepakat: membiarkan tentara Nasution masuk untuk kemudian membabatnya di darat dengan strategi gerilya yang dulu pernah mereka terapkan ketika menghadapi Belanda. Di tataran elit sipil, Syafruddin Prawiranegara yang diwawancarai Mossman di Bukittinggi menyimpan kepercayaan diri yang sama meskipun tidak seberapi-api perwira-perwira militer. Syafruddin, misalnya, ketika ditanya pendapatnya tentang pasukan Pemerintah Pusat yang telah melingkari Sumatera Tengah, menjawab: “mereka tidak akan bisa melukai kami, Tuhan bersama kami.”Tapi Syafrudin keliru. Para perwira salah perhitungan. Tiga setengah tahun perang berkecamuk di Sumatera Tengah, dan mereka kalah. Kaum pemberontak terjungkang. Harga yang harus dibayarkan mahal sekali. Puluhanribu pemuda, mahasiswa dan pelajar, tewas. Satu generasi hilang-lenyap ... !!
(c) Diskusi FB dan Note Dedi Arsa/Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar