Selasa, 08 Februari 2011

Kejatuhan Dinasti Islam dari "Kacamata" Ibnu Khaldun

Oleh : Muhammad Ilham & Yulniza

Ibnu Khaldun[1] mengemukakan salah satu teorinya yang terkenal tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu Negara atau dinasti. Menurutnya ada lima tahapan pertumbuhan dan perkembangan suatu Negara atau dinasti, yaitu :

  1. Tahap Pertama yaitu tahap sukses, penggulingan seluruh oposisi dan penguasaan kedaulatan, dari dinasti-dinasti sebelumnya. Dalam menetapkan dan menentukan keputusan, penguasa tidk sendirian melainkan mengikutsertakan bawahan nya.
  1. Tahap Kedua dimulai dengan tindakan sewenang-wenang penguasa terhadap rakyatnya. Menetapkan keputusan sendiri tanpa mengikut sertakan bawahan, bahkan menjauhkan mereka agar tidak ikut ambil bagian dalam urusan pemerintahan. Seluruh kekuasaan berada ditangan keluarganya. Ia mencanangkan seluruh keagungan yang telah ia bangun untuk anggota “rumahnya”.
  1. Tahap Ketiga merupakan tahap bersenang-senang, ketika buah kedaulatan telah dinikmati, keinginan akan harta, menciptakan hal-hal yang bersifat monumental serta popularitas. Segala perhatian penguasa terfokus dan tercurah pada urusan pajak, mengatur uang belanja, pemasukan dan pengeluaran, mendirikan bangunan-bangunan besar, konstruksi-konstruksi kokoh, kota-kota luas dan monument-monumen yang menjulang, memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang terhormat dan pemuka-pemuka suku yang disegani. Pada tahap ini, ia mengabulkan permohonan yang diajukan oleh para pengikutnya, baik berupa uang maupun jabatan.
  1. Tahap Keempat merupakan tahap kepuasan hati, tentram, damai. Pada tahap ini penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang dibangun oleh para pendahulunya. Semua tradisi dan kebiasaan tersebut diikuti persis seperti apa adanya dan sangat hati-hati.
  1. Tahap Kelima merupakan tahap boros dan berlebihan. Pada tahap ini pemegang tampuk kekuasaan menjadi potensi perusak bagi kebaikan dan keberhasilan yang telah dikumpulkan oleh para pendahulunya. Ia menuju pemuasan hawa nafsu, kesenangan menghibur diri dan memper-tontonkan kedermawanannya kepada orang-orang dalam. Ia juga mengambil bawahan yang berwatak jahat untuk dipercayai melakukan tugas-tugas penting. Padahal mereka tidak memiliki kemampuan untuk memikul beban seberat itu dan tidak mengetahui apa-apa yang seharusnya mereka lakukan. Sang penguasa berusaha merusak orang-orang besar yang dicintai oleh rakyat. Mereka pada akhirnya membenci penguasa dan tidak mendukungnya lagi. Penguasa kehilangan banyak tentara dengan segala pemberian untuk kesenangannya. Ia menutup pintu bagi orang-orang yang secara jujur menasehati dan mengawasinya. Ia merusak dasar-dasar yang telah dibangun oleh para pendahulunya dan merobohkan apa yang telah mereka bangun. Pada tahap ini, Negara atau dinasti tersebut telah berada dalam kondisi “tua” dan dihinggapi penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan lagi hingga pada akhirnya hancur.
Berangkat dari teori diatas, dapat dianalogikan dengan pertumbuhan dan perkembangan Dinasti Abbasiyah, yaitu tahap pertama dapat dianalogikan dari khalifah Abu al-Abbas sampai kepada khalifah al-Mutawakkil. Tahap kedua sampai dengan tahap yang kelima dapat dianalogikan kepada masa-masa setelah pemerintahan al-Mutawakkil sampai kepada al-Mu’tashim.[2] Sedangkan proses kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak bisa dilepaskan dari masa kemundurannya. Penyebab langsung kehancuran Dinasti ini adalah datangnya serangan pasukan Mongol[3] dibawah pimpinan Hulagu Khan[4] pada tahun 656 H./1258 M. Proses kedatangan tentara Mongol ke Baghdad, menimbulkan ragam pendapat di kalangan sejarawan. Al-Suyuthi dan Ibn Katsir berpendapat bahwa kedatangan tentara Mongol tersebut ke Baghdad ada kaitannya dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Ibn Al-Qami dari kelompok Syiah Rafidah, dimana ia sangat berambisi untuk merampas khilafah dari tangan Bani Abbas dan kemudian meyerahkannya kepada Dinasti Fathimiyah. Kesempatan emas tersebut diperolehnya sewaktu pasukan Mongol menyerbu wilayah-wilayah Islam.[5] Ia aktif mengadakan kontak dengan pasukan Mongol untuk merebut Baghdad. Jika ia menerima surat dari pasukan Mongol, maka surat tersebut dirahasiakannya. Sebaliknya, seluruh hal yang berhubungan dengan Dinasti Abbasiyah, ia beberkan secara transparan dan detail kepada pasukan Mongol.[6] Hal ini juga terungkap dari ungkapan sejarawan Islam klasik lainya Ibn Katsir yang mengatakan bahwa Ibn Alqami menulis surat kepada Mongol yang intinya mendukung rencana mereka untuk merebut Baghdad dan siap “melicinkan” jalan bagi pasukan Mongol. Ia membeberkan kepada pasukan Mongol tentang kondisi yang dialami oleh Dinasti Abbasiyah termasuk kelemahan-kelemahan pasukan al-Mu’tashim. Itu semua dilakukannya tidak lain karena ia melihat Dinasti Abbasiyah hancur dan khalifahnya tumbang.[7]

Kebencian Ibn Alqami bertambah lagi setelah adanya tragedy di Baghdad pada tahun 655 H./1257 M. antara aliran Syiah Rafidah dan aliran Sunni. Ketika itu, aliran Sunni berhasil mengalahkan aliran Syiah Rafidah dan kemudian mengambil alih semua rumah-rumah pengikut aliran Syiah Rafidah tersebut, termasuk rumah keluarga Ibn Alqami. Ibn Alqami akhirnya dapat merayu pasukan Mongol untuk menyerang Baghdad. Ia menyarankan agar khalifah al-Mu’tashim mengirimkan hadiah yang berharga kepada Hulagu Khan agar ia membatalkan rencananya untuk menguasai Baghdad. Beberapa pembantu khalifah mengusulkan agar khalifah tidak memberikan hadiah dalam bentuk hadiah yang mewah, cukup hadiah yang secara materi biasa-biasa saja. Khalifah al-Mu’tashim sependapat dengan ususlan para pembantunya tersebut. Kemudian, beliau mengirimkan hadiah yang tidak begitu berharga kepada Hulagu Khan. Pada sisi lain, Ibn al-Aqlami kemudian memberikan informasi kepada Hulagu Khan tentang perdebatan di istana mengenai hadiah dari khalifah untuk Hulagu Khan. Hulagu Khan kemudian mengirim surat kepada khalifah al-Mu’tashim untuk mengirimkan pembantu dekatnya yang mengusulkan pemberian hadiah yang tidak berharga tersebut. Khalifah tidak membalas surat tersebut dan tidak menanggapinya secara serius. Hal ini menambah kegeraman Hulagu Khan terhadap khalifah al-Mu’tashim dan kaum muslimin.

Pada awal tahun 656 H./1258 M. Hulagu Khan mengirim-kan pasukan ke Baghdad di bawah pimpinan amir-nya sebagai bentuk kedatangan awal pasukan yang lebih besar. Sampai di Baghdad, mereka mendapati kota Baghdad dijaga dengan ketat. Akan tetapi hal tersebut tidak merubah rencana mereka untuk menyerang kota Baghdad. Mereka mengepung istana khalifah dan menyerangnya dengan “hujan panah” dari seluruh penjuru. Panah tersebut masuk ke dalam istana dan mengenai salah seorang pembantu istana. Melihat hal tersebut, khalifah al-Mu’tashim meminta kepada para pengawalnya untuk melipatgandakan pengawalan. Pada tanggal 12 Muharram 656 H./1258 M. pasukan yang berkekuatan 200.000 personil dipimpin oleh Hulagu Khan tiba di Baghdad. Mereka mengepung Baghdad dari Barat dan Timur. Cucu Jengis Khan ini meminta agar khalifah menemuinya. Al-Mu’tashim dengan kawalan hamper 700 orang keluar dari Baghdad. Menjelang sampai ke tempat Hulagu Khan, para pengawal tersebut tidak diperbolehkan mengawal khalifah sebanyak 700 orang tesebut, justru yang diperbolehkan Cuma 17 orang saja. Dan selanjutnya, pengawal-pengawal yang tinggal tersebut dibunuh. Pertemuan antara Hulagu Khan dengan khalifah al-Mu’tashim tetap berjalan seperti yang direncanakan.

Setiap Hulagu Khan menanyakan sesuatu kepada khalifah, khalifah menjawabnya dengan gemetar karena melihat penghinaan dan pelecehan yang dilakukan oleh hulagu Khan pada dirinya. Usai pertemuan tersebut, khalifah kembali ke Baghdad dengan pengawalan yang cukup ketat. Ia diikuti oleh Ibn Alqami dan salah seorang kepercayaan Hulagu Khan bernama Nashiruddin al-Thusi.[8] Tidak lama kemudian khalifah mengirimkan hadiah yang terdiri dari emas dan benda-benda berharga lainnya kepada Hulagu Khan. Namun pemberian hadiah tersebut tidak berarti karena Ibn Alqami dan Nashiruddin al-Thusi selalu mempengaruhi Hulagu Khan untuk tetap menyerang Dinasti Abbasiyah (dalam hal ini khalifah al-Mu’tashim). Bahkan Ibn Alqami mengusulkan pembunuhan khalifah dan usulan tersebut didukung oleh Nashiruddin al-Thusi. Ketika khalifah al-Mu’tashim untuk kali keduanya menemui Hulagu Khan, maka Nashiruddin al-Thusi mengatakan kepada Hulagu Khan bahwa inilah saat yang tepat untuk membunuh khalifah. Akhirnya, pada hari Rabu tanggal 14 Safar 656 H./17 Januari 1258 M., khalifah al-Mu’tashim terbunuh dalam usia 46 tahun. Setelah khalifah terbunuh, pasukan Mongol memasuki Baghdad dan membunuh siapa saja yang memungkinkan untuk mereka bunuh, laki-laki, perempuan, anak-anak dan seterusnya.

Disamping itu, mereka juga membunuh para khatib, imam dan penghafal al-Qur’an. Mereka dibunuh secara kejam. Selain membunuh masyarakat, pasukan Mongol ini juga memporakporandakan kota Baghdad, menghancurkan masjid, sekolah dan juga menghancurkan pilar-pilar peradaban Islam yang tidak ternilai harganya seperti membakar dan memusnahkan buku-buku di berbagai perpustakaan di kota Baghdad. Setelah terbunuhnya al-Mu’tashim, maka secara resmi berakhirlah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang telah mampu bertahan selama lebih kurang 600 tahun.


[1] Ibnu Khaldun, The Muqaddimah……, hal. 141-144

[2] Dalam hal ini penulis memperoleh kesulitan dalam membagi secara detail-elaboratif tentang kekuasaan khalifah Dinasti Abbasiyah berdasarkan teori diatas. Hal ini disebabkan karena Dinasti Abbasiyah tersebut mencapai puncaknya pada masa al-Mutawakkil, setelah itu dinasti ini mengalami fase kemunduran. Penggantinya tidak ada yang mampu mengerjakan pembangunan yang bersifat monumental.

[3] Mongol adalah sebuah bangsa yang berasal dari Siberia yang dating dari arah Utra menuju Mongolia. Mereka menamakan diri mereka sebagai “Putra Serigala Berbulu Hijau”dan sebagai “Rusa Tak Bertanduk”. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan binatang. Imperium Mongol mulai terbentuk dengan berdirinya Dinasti Chi’in di Cina Utara dan Dinasti Sung di Cina Selatan yang didirikan oleh Temujin. Ia berkuasa atas nama Jengis Khan (Penguasa Lautan, Penguasa Dunia atau bisa saja diartikan sebagai Penguasa di Tengah Laut). Jengis Khan memimpin Mongol dan sejumlah suku-suku Turki yang bergabung dengannya dalam rangka menyerbu kerajaan Hsia di Barat dan mengusir Dinasti Chin ke Sungai Kuning. Pada tahun 615 H./1218 M. setelah Gubernur Khawarizm membantai 100 orang lebih suku Mongol di Sungai Atrar, maka semenjak saat itu, pasukan Mongol mulai melancarkan serangan-serangan mereka ke wilayah-wilayah Islam. Setelah Jengis Khan meninggal, usaha-usahanya dilanjutkan oleh para cucunya. Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, London: Stacey International, 1989, hal. 272

[4] Ia merupakan salah seorang cucu Jengis Khan yang memipin pasukan Mongol dalam penyerbuan terhadap kekuasaan Abbasiyah dan menghancurkan pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah (Baghdad). Sekaligus penyebab utama kehancuran Dinasti atau kekhalifahan bangsa Arab. Dua tahun kemudian, ia dapat menaklukan Damaskus, namun akhir dari ekspansi Hulagu Khan yang sangat ekspansif tersebut bisa cditahan dan diredam oleh Dinasti Mamluk dalam peperangan di ‘Ain Jalut tahun 659 H./1260 M.

[5] Sementara sebagian sejarawan berpendapat bahwa kedatangan Mongol ke Baghdad dilatarbelakangi oleh factor pribadi mereka. Dimana mereka adalah bangsa nomad yang suka berpindah-pindah untuk mencari nafkah sekaligus menguasai daerah-daerah tersebut. Disamping itu, Hulagu Khan ini adalah cucu dari Jengis Khan yang yang bercita-cita untuk menguasai dunia. Hulagu Khan dianggap melanjutkan rintisan usaha dari kakeknya, Jengis Khan. Lihat Ahmad Syalabi, Mawsu’ah ……, hal. 328

[6] Al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, hal. 465

[7] Ibn Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid XIII, Kairo: t.p., 1932, hal. 196

[8] Salah seorang yang berasal dari Dinasti Fathimiyah dan sengaja direkrut oleh Hulagu Khan sebagai penasehatnya. Lihat Muhammad Sayyid al-Wafil, Latimatun Min Tarikh al-Da’wah Asbat al-Dha’fi fi al-Ummah al-Islamiyyah, Mesir: dar al-Arqam Zaqaziq, 1989, hal. 259

Tidak ada komentar: