Soewardi Idris (1930-2004), yang bergabung dengan kaum pemberontak selama perang saudara, setelah turun dari hutan, menulis novel Dari Puncak Bukit Talang (1964). Soewardi juga menuangkan pengalamannya selama perang dalam dua antologi cerpen: Di Luar Dugaan (1964) dan Istri Seorang Sahabat (1964). Ketiganya diterbitkan NV Nusantara Padang. Memang, karya Soewardi Idris yang diterbitkan NV Nusantara banyak berbicara tentang PRRI. Bahkan secara lebih jauh Soewardi dalam karya-karyanya banyak menyoroti sisi buruk prajurit-prajurit PRRI, terutama pada masa-masa menjelang PRRI kalah. Ali Akbar Navis termasuk pengarang Sumatera Barat lainnya yang banyak menulis tentang periode ini. Novelnya Saraswati si Gadis dalam Sunyi (diterbitkan pertama kali pada tahun 1970), misalnya, adalah di antara sedikit novel yang secara khusus menyorot realitas perempuan selama perang saudara. Di sisi lain, novel ini juga dianggap telah dengan berani keluar dari pakem resmi historiografi saat itu yaitu dengan menolak untuk menyebut PRRI sebagai pemberontakan atau pembangkangan. Bahwa hampir tidak satu pun kata itu ditemukan dalam novel ini. Sementara, dalam genre lain, AA Navis juga menulis setidak-tidaknya 11 cerita pendek yang berbicara tentang PRRI. Cerpen-cerpen tersebut tersebar dalam beberapa kumpulan seperti Hujan Panas (1964), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Dua Kelamin Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980, Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996, dan Karya Lengkap AA. Navis (2008). Tahun 1978, Wildan Yatim menebitkan novel Pergolakan, berlatar Sidempuan pada periode pemberontakan. Di samping menulis Pergolakan, Wildan Yatim juga menulis cerpen yang menyinggung tentang kehidupan pada periode pemberontakan PRRI, salah satunya Saat Orang Berterus Terang.
Makmur Hendrik menulis Tikam Samurai. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh CV. Pena Emas Padang pada Febuari 1983 dengan harga awal per novelnya Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Novel ini diterbitkan 12 jilid. Si Bungsu, tokoh utama dalam novel ini, dianggap mewakili bangkitnya superioritas ‘orang Minang’ paska pemberontakan yang tertindas dan diperhinakan. Tahun 2005, Ular Keempat karya Gus Tf Sakai diterbitkan penerbit Buku Kompas. PRRI bukanlah tema sentral dalam novel ini, sebab novel ini lebih banyak berbicara tentang kisruh haji tahun 1970. Peristiwa PRRI hanya disinggung sebagai ingatan tokoh utama terhadap masa lalu puaknya. Di tataran pemrosa yang datang lebih agak belakangan, ada Ragdi F Daye dalam Lelaki Kayu dan Perempuan Bawang juga menulis beberapa cerpen tentang peristiwa PRRI. Beberapa cerpen Zelfeni Wimra dalam Pengantin Subuh juga berlatar periode ini. Dalam genre sajak, Rusli Marzuki Saria yang pernah terlibat dalam pemberontakan, menulis banyak sajak tentang periode perang saudara ini. Dari beberapa kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan, terdapat sajak-sajak yang berbicara tentang perang saudara.
Makmur Hendrik menulis Tikam Samurai. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh CV. Pena Emas Padang pada Febuari 1983 dengan harga awal per novelnya Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Novel ini diterbitkan 12 jilid. Si Bungsu, tokoh utama dalam novel ini, dianggap mewakili bangkitnya superioritas ‘orang Minang’ paska pemberontakan yang tertindas dan diperhinakan. Tahun 2005, Ular Keempat karya Gus Tf Sakai diterbitkan penerbit Buku Kompas. PRRI bukanlah tema sentral dalam novel ini, sebab novel ini lebih banyak berbicara tentang kisruh haji tahun 1970. Peristiwa PRRI hanya disinggung sebagai ingatan tokoh utama terhadap masa lalu puaknya. Di tataran pemrosa yang datang lebih agak belakangan, ada Ragdi F Daye dalam Lelaki Kayu dan Perempuan Bawang juga menulis beberapa cerpen tentang peristiwa PRRI. Beberapa cerpen Zelfeni Wimra dalam Pengantin Subuh juga berlatar periode ini. Dalam genre sajak, Rusli Marzuki Saria yang pernah terlibat dalam pemberontakan, menulis banyak sajak tentang periode perang saudara ini. Dari beberapa kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan, terdapat sajak-sajak yang berbicara tentang perang saudara.
Sumber : (Note FB : Deddy Arsa)