Sabtu, 20 November 2010

"Tukang Pajak" Gayus Halomoan Tambunan

Oleh : Muhammad Ilham

" ... defenisi koruptor, yaitu bila dibawa ke mulut ia akan terasa amat pahit, dimasukkan ke perut, akan membuat sembelit ... "

Kala menidurkan anaknya, pada masa dulu, ibu sering "mendodoikan" anaknya. Biasanya dalam bentuk kisah yang sedikit dinyanyikan, walaupun dengan nada "fals". Saya masih ingat, ketika adik saya yang paling kecil, didodoikan almarhumah ibu saya - biasa juga dengan istilah "didendangkan" - maka yang paling sering saya dengar adalah : "ondeh anak sibiran tulang, bilo lah gadang, jan lupo sumbayang, bilo bakarajo, jujur lah kapado urang lain, bilo ingin kayo, jadilah padagang" (wahai anak, anak nan tersayang, bila kamu sudah besar, jangan lupa sholat, bila bekerja, bekerjalah dengan jujur, dan bila ingin kaya, jadilah pedagang). Ya ... orang tua kita dahulu memahami, berdagang dan berniaga adalah "jalan" logis untuk menjadi kaya. Tak pernah sekalipun orang tua - sejauh yang saya alami kala kecil - menginginkan anaknya miskin, dan tak terdengar orang tua menginginkan anaknya jadi Pegawai Negeri (ambeetenaar kata umak saya). Mereka ingin anaknya kaya, dan jalan itu hanya diperoleh melalui berdagang. Walaupun, Pegawai Negeri merupakan profesi bonafid-elitis, setidaknya bagi masyarakat kampung saya dari dulu hingga sekarang, tapi bagi orang tua dahulu, Pegawai Negeri tak akan pernah membuat anaknya menjadi kaya. Gajinya terukur (ditaka : istilah kampung saya), sementara berdagang, bila pandai, keuntungan akan berlipat ganda (dikunci dengan jujur). Tapi, di Indonesia, Pegawai Negeri bisa kaya-raya-luar biasa. Kalau tak percaya, lihatlah Gayus Halomoan Tambunan.

Gayus Tambunan, pegawai negeri golongan III A di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu), yang baru bekerja selama 10 tahun, ternyata memiliki simpanan uang hampir (tidak kecil kemungkinan) lebih dari Rp 100 miliar di rekeningnya. Tak terbayangkan, mungkin tumpukan uang itu bisa dijadikan springbed. Gaji dan honor Gayus Rp 12,1 juta. Uang Rp 100 miliar di rekening Gayus sama dengan gajinya untuk bekerja selama 1.192,8 tahun! Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini, kekayaan yang dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelang Pilpres 2009 hanya Rp 7 miliar ! Kekayaan Gayus Tambunan memang sungguh mencengangkan. Stroke kita mendengarnya, kata tetangga saya yang telah bekerja sebagai Pegawai PT. Kereta Api selama 30 tahun, dan tak mampu beli Sepeda Motor Mio yang diidam-idamkan anaknya. Seluk-beluk korupsi yang dilakukan Gayus terkait dengan “budaya instan” yang melanda sebagian pegawai negeri sipil serta pegawai di instansi pemerintah lain yang ingin cepat kaya.

Lantaran kemiskinan yang mereka derita selama ini, tidak sedikit generasi muda pegawai negeri sipil yang terjangkit penyakit “ingin cepat kaya” dengan cara apa pun. Jika itu mereka lakukan melalui cara-cara halal seperti berbisnis atau melipatgandakan uang melalui reksa dana, hal itu merupakan suatu yang wajar walau tidak mungkin dalam 10 tahun seorang pegawai negeri bisa memiliki kekayaan Rp 100 miliar. Alih-alih mereka berusaha meningkatkan kualitas diri dan mengikuti jalur tingkatan jabatan melalui pendidikan dan pengalaman kerja, pegawai negeri sipil semacam Gayus justru melihat kesempatan emas menjadi kaya karena posisinya yang strategis di Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Dulu sering kita mendengar dan melihat di beberapa media televisi, bagaimana orang-orang yang bekerja di direktorat tersebut karena secara berapi-api mereka amat pro pada wajib pajak yang katanya terlalu besar membayar pajaknya kepada negara. Kini penulis baru terbuka matanya, bahwa apa yang mereka lakukan tidak semuanya bersifat “altruism” (tanpa pamrih), melainkan “ada udang di balik batu”.

Yang terungkap pada kasus Gayus mungkin hanyalah puncak gunung es. Masih banyak lagi “Gayus-Gayus lain” yang mungkin korupsinya lebih besar atau lebih kecil (tapi bila dibandingkan dengan "hepeng" Gayus, tetap tak kecil). Tak aneh bila kasus ini menjadi guyonan pula di antara teman-teman penulis dengan kalimat : “Kalau orang gak suka bergaul namanya gak gaul. Kalau orang yang sudah lama kerja tapi gak kaya-kaya seperti kamu dan aku, namanya gak Gayus!” Alangkah baiknya jika persoalan korupsi di Ditjen Pajak ini bukan melulu dilihat dari kacamata remunerasi akibat dari reformasi birokrasi di pemerintahan, melainkan juga dari sisi psikologi orang yang bekerja di direktorat tersebut. Selain persoalan “budaya instan” tersebut, ada pula budaya “solider” dalam artian yang negatif. Maksudnya, mereka melakukan itu karena rasa solidaritas sesama pegawai yang kemudian dibagi-bagi kepada sesamanya atau di direktorat lain yang “kering” atau mereka takut dikucilkan oleh teman-temannya karena dianggap tidak solider dan “sok suci”. Negeri ini memang lucu, orang yang suci dan ingin berbuat kebajikan untuk negara kadang justru diasingkan oleh lingkungannya. Penulis yakin tidak sedikit dari mereka yang bekerja di Ditjen Pajak adalah orang-orang yang jujur. Namun nasib mereka justru tidak sebaik orang seperti Gayus, baik dari segi ekonomi, posisi jabatan maupun wilayah kerja. Gayus yang sudah tertangkap basah karena diduga melakukan korupsi dapat saja menjadi pahlawan dalam artian positif. Ia dapat saja membuka segala ketidakberesan yang terjadi di lingkungan tempatnya bekerja demi membersihkan bekas institusinya. Memang dia akan dianggap tidak solider oleh kawan atau atasannya..... Wallahu a'lam !

Foto : FB Muhammad Ilham via NVV.

3 komentar:

Nasution Clan mengatakan...

setju bang....banyak juga kawan2 di pajak yang hidp sederhana dan mereka menanggung malu akibat perbuatan gayus dkk

Unknown mengatakan...


http://student.blog.dinus.ac.id/sasjepyusufal/2016/11/13/cara-mudah-menyelesaikan-rubik-3x3-untuk-pemula/

BELAJAR BAHASA mengatakan...

artikel menarik