/Dipintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling" (Chairil Anwar)
Bacalah buku Perjalanan Haji-nya Ali Shariati, kita akan dibawa kepada kerendahhatian. "Bayangkan dirimu, kata sosiolog Iran tamatan Sorbonne ini, sebagai sebuah partikel besi di dalam sebuah medan magnet, seolah-olah engkau berada diantara berjuta-juta burung putih yang sedan melakukan mikraj". Ali Shariati yang dikenal sebagai ideolog Revolusi Islam Iran ini, benar dan menyentuh. Sebuah partikel besi diantara semesta jutaan partikel besi lainnya, sekor burung putih di antara jutaan burung putih. Lalu, siapakah saya ? siapakah kami ? dan siapakah kita ?. Ali Shariati dalam buku "kecil" nan fenomenal tentang hakikat azali perjalanan haji tersebut mendekonstruksi kepongahan sebuah konsep, "massa". Haji bukanlah sekedar massa. Haji ibarat penggalan sajak Rainer M. Rilke, "Tuhan, arti-Mu adalah kerendahhatian". "Massa" bagaikan kata ajaib dalam sebuah mantra perjuangan. Ia diberi tempat khusus. Paham totaliter seperti fasisme dan komunisme meletakkan sang "massa" selalu benar dan ditakdirkan untuk pada akhirnya menang. Sebuah kesombongan dan ketakaburan. Maka, Ali Shariati menggugat kesombongan "massa" itu. Kita tak bisa menyamakan gerak ribuan jamaah yang mengelilingi Ka'bah dengan "massa" dalam pengertian totaliter. Sebab ibadat Haji yang diikuti oleh "massa", pada asasnya adalah sebuah sujud, merendahkan hati dan jiwa dihadapan sang Maha Pencipta.
Bacalah buku Perjalanan Haji-nya Ali Shariati, kita akan dibawa kepada kerendahhatian. "Bayangkan dirimu, kata sosiolog Iran tamatan Sorbonne ini, sebagai sebuah partikel besi di dalam sebuah medan magnet, seolah-olah engkau berada diantara berjuta-juta burung putih yang sedan melakukan mikraj". Ali Shariati yang dikenal sebagai ideolog Revolusi Islam Iran ini, benar dan menyentuh. Sebuah partikel besi diantara semesta jutaan partikel besi lainnya, sekor burung putih di antara jutaan burung putih. Lalu, siapakah saya ? siapakah kami ? dan siapakah kita ?. Ali Shariati dalam buku "kecil" nan fenomenal tentang hakikat azali perjalanan haji tersebut mendekonstruksi kepongahan sebuah konsep, "massa". Haji bukanlah sekedar massa. Haji ibarat penggalan sajak Rainer M. Rilke, "Tuhan, arti-Mu adalah kerendahhatian". "Massa" bagaikan kata ajaib dalam sebuah mantra perjuangan. Ia diberi tempat khusus. Paham totaliter seperti fasisme dan komunisme meletakkan sang "massa" selalu benar dan ditakdirkan untuk pada akhirnya menang. Sebuah kesombongan dan ketakaburan. Maka, Ali Shariati menggugat kesombongan "massa" itu. Kita tak bisa menyamakan gerak ribuan jamaah yang mengelilingi Ka'bah dengan "massa" dalam pengertian totaliter. Sebab ibadat Haji yang diikuti oleh "massa", pada asasnya adalah sebuah sujud, merendahkan hati dan jiwa dihadapan sang Maha Pencipta.
Ka'bah, kata Ali Shariati yang satu kelas dengan "si jagal" Polpot kala kuliah di Sorbonne ini, adalah sebuah kebersahajaan, tanda menyerahnya manusia di hadapan sang Azza wa Jalla. Ia hanyalah sebuah kubus tanpa ornamen nan indah, kecuali kaligrafi pada kiswah yang membungkusnya - ia praktis tanpa keelokan, tanpa ornamen, tanpa keinginan menjadi impresif. Ia berdiri begitu saja di halaman dalam Masjidil Haram, dan - sebagaimana kata Muhammad Assad - "tak menyentak". Muhammad Assad, penulis Islam keturunan Yahudi Eropa itu benar. Dalam bukunya Jalan ke Mekkah, sebuah buku nan indah tentang perjalanan hidupnya, Assad mengatakan, "Saya telah menyaksikan di berbagai negeri kaum Muslimin, tempat para tangan seniman besar menciptakan karya yang diilhami, tapi justru dalam kesederhanaan Kubus Ka'bah, yang menyangkal segala keindahan garis dan bentuk, tercermin satu sikap bahwa betapapun indahnya segala apa yang dapat dibuat oleh tangan-tangan manusia, adalah congkak jika dibandingkan dengan kebesaran Tuhan". "Oleh karena itu, kata Assad, semakin sederhana yang dapat disombongkan manusia, merupakan hal yang terbaik yang dapat dibuatnya untuk menyatakan kebesaran Tuhan".
Buku Ali Shariati dan Muhammad Asad ini ingin mengajarkan kepada kita tentang "kesederhanaan" haji dan ka'bah. Ka'bah adalah sebuah "pulau tenang", karena pembangun pertama tanda ini tahu, ambisi kita untuk kemegahan, kekerasan hati untuk keunggulan, hanya akan pucat pasi pada detik kita menyadari posisi kita yang sesungguhnya. Kubus yang bernama Ka'bah dan selalu dikunjunggi "massa" setiap perayaan Haji adalah produk kesadaran itu, sebuah pernyataan kerendahhatian. Karena yang akan dikunjungi itu adalah Ka'bah dalam setiap Haji, sudah sepantasnyalah kita meletakkan satu ukuran "mabrur" yaitu kerendahhatian. Karena setiap sholat yang "lima putaran" sehari semalam, kita menghadap dan tertuju pada Kubus yang bernama Ka'bah, sudah selayaknyalah kita yang sholat ini selalu tertuju pula pada kerendahhatian.
:: Kepada seorang sahabat saya yang berangkat menuju Tanah Suci menunaikan Rukun Islam Kelima. Hanya ini yang bisa saya "posting" kepadamu sebagai do'a dari saya. Semoga buku Ali Shariati dan Muhammad Assad yang saya berikan padamu, selalu kamu baca di Pesawat jelang sampai ke Mekkah. Semoga mabrur, dan do'akan saya agar secepatnya kesana. Rinduku pada Ka'bah semoga tertunai dalam waktu yang tak terlalu lama. Daku selalu berdo'a pada mu Ya Allah Robbi Izzati, perkenankanlah !
Inspired : Ali Shariati (1995), G. Mohammad (1987), Muhammad Assad (1989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar