Kamis, 25 November 2010

Kemana Saya Harus Pergi untuk Menjadi Pahlawan ?

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Nama saya Setan, saya datang untuk berguru. Ajarilah saya menjadi pahlawan.....” (Putu Wijaya)

Bulan november 2010, panggung “hari pahlawan” telah dikudeta oleh Obama hanya karena kata-kata ” sate”, “bakso”, “pulang kampung nih”, “assalamu’alaikum”, “bhineka tunggal ika”, “bemo”, “becak”, “sarinah” dan sebelumnya di jamuan makan malam ada kata “nasi goreng” ” emping”, “krupuk”, serta yang pasti “semua enak”. Kata-kata yang bagi kita-kita adalah “biasa” disulap menjadi “luar biasa”, dan sepertinya kata-kata inilah yang berhak mendapat gelar “pahlawan” dalam panggung teatrikal Obama 18 jam transit di Indonesia tepatnyah Jakarta. Kata-kata yang telah mengalahkan para nomine gelar pahlawan yang salah satunya adalah bapak pembangunan Soeharto. Sepuluh november 2010 di jamuan makan malam, SBY memberikan gelar “pahlawan” pada emaknyah Obama yang disambut oleh Obama dengan perkataan yang menggugah “Indonesia bagian dari diri saya”, … Fantastis … Bombastis … 6000-an penonton menyambutnya dengan tepuk tangan riuh gempita, mengalahkan tepuk tangan “kejujuran” ala realiti show "Uya Memang Kuya"… maka tak salah kalo sastrawan Bali Putu Wijaya bilang : "Indonesia adalah tempat untuk menjadi pahlawan". Hicks.

Teringat di tahun 2006, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya menggedor penonton di Taman Ismail Marzuki dengan pertunjukan Zetan dengan lakon : “Zetan: Setan Berguru Jadi Pahlawan“, dengan konsep “bertolak dari yang ada” untuk menciptakan tontonan yang menjadi teror mental, sehingga menjadi pengalaman spritual dan pembelajaran untuk mandiri. Kisah bermula dari guru berhenti mengajar, karena bertentangan pendapat dengan pihak sekolah yang hanya berusaha mencetak ijazah. Lalu guru mendirikan pendidikan gratis yang mengajarkan mencintai bangsa, negara, tanah air dan keberagaman. Tetapi bertahun-tahun tidak ada yang mau belajar. Pada suatu malam datang Zetan, minta dididik menjadi pahlawan. “Nama saya Setan, saya datang untuk berguru. Ajarilah saya menjadi pahlawan.” Begitulah si Setan memperkenalkan dirinya. Sang Guru terhenyak keheranan, mengapa Setan yang ingin menjadi pahlawan? Tapi karena tekad si Setan untuk menjadi pahlawan sudah bulat, maka si Lelaki tua itu mengajarkan ilmu kepahlawanan: seorang pahlawan harus rela berkorban, pantang menyerah, membela kaum tertindas, dan tanggguh.

Ia tak muncul dalam penampakan seram. Zetan-memakai “Z”, bukan “S”, meski dari famili yang sama-datang bertamu ke rumah seorang guru. Ia mengendarai sebuah sepeda. Baju dan celananya, alamak…, bak siswa sekolah dasar: putih dan merah. Ia membawa meja lipat segala. Dengan muka kolokan, sembari duduk manis, ia memohon kepada Pak Guru untuk dididik menjadi seorang pahlawan yang sanggup menyeberangkan orang dari neraka ke pintu surga. Sang guru terenyak. Ketemu berapa perkara: setan tiba-tiba ingin berperi-laku baik? Sang guru pun menolak, karena ia hanya mengajar manusia. Tak mau ditampik, Zetan kemudian menunjukkan kekuatannya di atas panggung: mengancam dan menerkam sang guru. Sebuah boneka raksasa serba hitam-sekitar tiga meter tiba-tiba muncul dari balik layar, menegaskan sisi angkara-murka yang dimilikinya. Berbarengan dengan munculnya sang raksasa, musik berdentam keras. Mengagetkan. Bayang-bayang hitam di layar putih di belakang panggung menebalkan daya teror pertunjukan itu pada penonton. Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya menggedor penonton di Taman Ismail Marzuki dengan pertunjukan Zetan. Bayang-bayang raksasa itu menciptakan efek visual yang menekan. Ia yang digerakkan dengan tangkas oleh para pemain di belakangnya mencengkeram, menampar, menerjang. Lalu Zetan kembali ke wajah imutnya, menyampaikan permintaannya sekali lagi : meminta dididik budi pekerti agar bisa menjadi pahlawan. Sang guru- yang bertahun-tahun tak punya murid lantaran dipecat setelah memasukkan pelajaran budi pekerti pada kurikulum sekolah-pun mengabulkannya. Zetan atau setan atau syaiton itulah yang membuat para guru kelimpungan dibuatnya. ”Bagaimana mungkin setan atau syaiton hendak menjadi muridku dan lebih dari itu, kau mau menjadi pahlawan kemanusiaan,” pekik Guru kalang kabut ketika Zetan mendatanginya.

Maka, setelah berbekal budi pekerti, setan pun bertanya, “Ke mana saya harus pergi untuk menjadi pahlawan?“ Sang guru menganjurkan untuk ke Indonesia. “Kalau ada gunung meletus, kalau ada gempa, dan orang-orang datang bukannya menolong tapi menyusahkan, itulah Indonesia. Kalau ada gedung parlemen dengan deretan mobil mewah, itulah Indonesia,” ucap guru. Singkat cerita, Zetan lulus cumlaude dan siap ditugaskan ke sebuah wilayah yang penuh dengan kesemrawutan di dunia bernama Indonesia. Maka si Setan terbakar semangat kepahlawanannya, ia dikirim ke sebuah negeri yang tengah dilanda bencana alam dan kemrosotan kepribadian rakyatnya. Aneh, belum berbuat apapun ia telah dielu-elukan sebagai pahlawan. Mungkin rakyat di negeri itu merindukan sosok seorang pahlawan. Tetapi setelah pulang ke dunianya, ia dibenci temannya sesama setan. Ia dituding sebagai penghianat. Si Setan baik hati itu dihajar beramai-ramai oleh temannya sendiri. Tubuhnya bersimbah darah saat mendatangi gurunya. Si Setan tidak tahu jika menjadi pahlawan harus membayar mahal dengan nyawanya. Ia mati di tangan bangsanya sendiri. Cerita teatrikal Putu Wijaya tentang “Zetan” beberapa tahun lampau ini tentunya kalah pamor dengan panggung “pahlawan” Obama tanggal 10 November 2010. Panggung perayaan “hari pahlawan” yang telah mengangkat kata-kata ” sate”, “bakso”, “becak” dan “bemo” sebagai pahlawan ditahun 2010.

:: Sumber (c) Kopral Cepot/Nopember 2010 - Putu Wijaya (dalam Goenawan Mohammad, 2007)

2 komentar:

Sang Pejalan mengatakan...

assalamualaikum, pak.
saya seorang mahasiswa di kota padang
saya kagum dan sangat tertarik membaca ulasan-ulasan bapak di blog ini.meski baru pertama kali berkunjund, tapi saya ingin membuat tautan blog bapak di blog saya. terimakasih sebelumnya.

aida

BELAJAR BAHASA mengatakan...

ulasan menarik