Pernah suatu ketika, sekitar satu-dua tahun yang lalu, seorang dokter perempuan meninggal di pedalaman Papua. Dokter ini baru pulang menjalankan tugasnya menolong seorang perempuan yang melahirkan. Jarak antara rumah dinasnya di sebuah ibu kota kecamatan dengan rumah perempuan yang mau melahirkan tersebut sekitar 5 jam dengan kendaraan. Tentunya pengertian 5 jam tersebut bukan dalam pemahaman jalan yang dilalui di perkotaan atau daerah yang tidak terisolir. Si dokter perempuan yang masih muda ini harus melalui jalan terjal nan buruk. Ini sebenarnya telah sering dilaluinya, melayani lapisan masyarakat, baik yang berdomisili di daerah-daerah yang mudah dijangkau maupun harus melalui "perjuangan" keras menunju sebuah daerah yang membutuhkannya. Ini dilakoninya setelah ia ditetapkan untuk mengabdi di daerah Papua. Kembali ke cerita awal tadi, setelah menolong perempuan di sebuah daerah terisolir di pedalaman Papua, si dokter ini kemudian pulang. Melalui jalan terjal dengan estimasi waktu, lebih kurang 5 jam. Di tengah perjalanan, mungkin karena letih, dokter yang belum bersuami ini, bersama dengan mobil yang dikendarai-nya masuk jurang. Ia meninggal. Beberapa hari kemudian, berbagai media televisi dan cetak mengabadikan keluhurannya dalam menjalankan tugasnya, tepatnya tugas negara. Sebagai abdi negara melayani masyarakat. Ending-nya begitu inspiratif. Sebuah dedikasi yang tulus lagi militan. Si Dokter muda nan cantik ini, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (saya lupa, apa nama TPU-nya).
Beberapa minggu selang kemudian, seorang prajurit TNI meninggal dalam sebuah latihan menerbangkan pesawat/jet tempur. Pesawat yang diterbangkannya, mungkin karena soak, jatuh. Si prajurit muda ini kemudian meninggal di tempat (artinya, meninggal setelah menghantam daratan). Sebagaimana biasa, beberapa media televisi kemudian memberitakan peristiwa tragis ini. Prajurit muda ini meninggal dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara, latihan menerbangkan pesawat/jet tempur. Saya merasakan, porsi pemberitaan antara kematian dokter muda dan prajurit muda ini relatif seimbang. Tapi ada yang cukup berbeda. Si dokter muda yang meninggal sebagai abdi negara, dimakamkan di TPU, sementara prajurit (pasti militer) ini dimakamkan di Taman Pahlawan (saya lagi-lagi lupa, di Taman Makam Pahlawan mana ia dimakamkan).
Mayoritas Pahlawan berasal dari kalangan militer. Taman Makam Pahlawan Kalibata, misalnya, "dihuni" oleh lebih kurang sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya, lebih kurang, berasal dari kalangan militer. Ini-pun didominasi Angkatan Darat. Dari kalangan sipil hanya berjumlah 1/7-nya. Di antara 1/7 dari kalangan sipil ini, hanya 23 orang yang merupakan Pahlawan Nasional, diantaranya Haji Agus Salim. Di Taman Pahlawan Kalibata ini pula, bersemayam pahlawan "tercepat", yaitu Jenderal Basuki Rahmad (yang kala saya belajar PSPB waktu SD dahulu dianggap sebagai orang yang "menggertak" Sukarno mengeluarkan Supersemar bersama-sama dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Yusuf). Jenderal Basuki Rahmad dinyatakan Soeharto sebagai pahlawan pada hari kematiannya. Pada era Demokrasi Terpimpin, 36 orang dari 49 pahlawan berasal dari ernis Jawa. Pada masa Orde Baru, dua pahlawan yang "terdorong" diberi label pahlawan oleh rezim Soekarno yaitu Alimin dan Tan Malaka, justru "dicekal". Nama mereka berdua yang dianggap tokoh "kiri" ini tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah-sekolah. Dan biasanya, para pahlawan yang sering terlihat gagah dalam buku ini adalah pahlawan-pahlawan dengan baju-baju militer (khususnya Angkatan Darat).
Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hingga hari ini (setahu saya), belum diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY).
Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer. Dan si dokter muda yang dedikatif didaerah pedalaman Papua, meninggal karena menjalankan tugas negara dan kemanusiaan, "belum pantas" mendapatkan "kapling" di Taman Makam Pahlawan, karena ia sipil. Titik.
Referensi - Asvi Warman Adam (2006)
Beberapa minggu selang kemudian, seorang prajurit TNI meninggal dalam sebuah latihan menerbangkan pesawat/jet tempur. Pesawat yang diterbangkannya, mungkin karena soak, jatuh. Si prajurit muda ini kemudian meninggal di tempat (artinya, meninggal setelah menghantam daratan). Sebagaimana biasa, beberapa media televisi kemudian memberitakan peristiwa tragis ini. Prajurit muda ini meninggal dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara, latihan menerbangkan pesawat/jet tempur. Saya merasakan, porsi pemberitaan antara kematian dokter muda dan prajurit muda ini relatif seimbang. Tapi ada yang cukup berbeda. Si dokter muda yang meninggal sebagai abdi negara, dimakamkan di TPU, sementara prajurit (pasti militer) ini dimakamkan di Taman Pahlawan (saya lagi-lagi lupa, di Taman Makam Pahlawan mana ia dimakamkan).
Mayoritas Pahlawan berasal dari kalangan militer. Taman Makam Pahlawan Kalibata, misalnya, "dihuni" oleh lebih kurang sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya, lebih kurang, berasal dari kalangan militer. Ini-pun didominasi Angkatan Darat. Dari kalangan sipil hanya berjumlah 1/7-nya. Di antara 1/7 dari kalangan sipil ini, hanya 23 orang yang merupakan Pahlawan Nasional, diantaranya Haji Agus Salim. Di Taman Pahlawan Kalibata ini pula, bersemayam pahlawan "tercepat", yaitu Jenderal Basuki Rahmad (yang kala saya belajar PSPB waktu SD dahulu dianggap sebagai orang yang "menggertak" Sukarno mengeluarkan Supersemar bersama-sama dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Yusuf). Jenderal Basuki Rahmad dinyatakan Soeharto sebagai pahlawan pada hari kematiannya. Pada era Demokrasi Terpimpin, 36 orang dari 49 pahlawan berasal dari ernis Jawa. Pada masa Orde Baru, dua pahlawan yang "terdorong" diberi label pahlawan oleh rezim Soekarno yaitu Alimin dan Tan Malaka, justru "dicekal". Nama mereka berdua yang dianggap tokoh "kiri" ini tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah-sekolah. Dan biasanya, para pahlawan yang sering terlihat gagah dalam buku ini adalah pahlawan-pahlawan dengan baju-baju militer (khususnya Angkatan Darat).
Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hingga hari ini (setahu saya), belum diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY).
Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer. Dan si dokter muda yang dedikatif didaerah pedalaman Papua, meninggal karena menjalankan tugas negara dan kemanusiaan, "belum pantas" mendapatkan "kapling" di Taman Makam Pahlawan, karena ia sipil. Titik.
Referensi - Asvi Warman Adam (2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar