Senin, 01 November 2010

P.a.h.l.a.w.a.n

Oleh : Muhammad Ilham

(Artikel ini pernah diterbitkan PADANG EKSPRES, Minggu, 10 November 2008. Memasuki bulan Nopember, bulan para "pahlawan", setidaknya artikel ini terasa aktual kembali. Konteks tulisannya sebelum Natsir ditahbiskan jadi Pahlawan).

Asvi Warman Adam, sejarawan urang awak tamatan EHESS Perancis ini suatu waktu pernah menjawab secara tegas pertanyaan yang terus bergelayut dalam memori historis masyarakat Sumatera Barat : “Mengapa Muhammad Natsir belum diberi label Pahlawan ?”. Asvi bilang, Muhammad Natsir merupakan tokoh historis panutan, tapi sayang, beliau memiliki kesalahan politis – “Muhammad Natsir seorang pemberontak”. Kemudian, ragam pendapat bermunculan. Asvi mengecilkan peranan Natsir dalam belantara sejarah Indonesia. Asvi tidak berangkat dari rasa empati dan seterusnya. Bahkan kita “menangisi” mengapa orang Sumatera Barat sekaliber Asvi – yang notabenenya memiliki otoritas keilmuan untuk “meluruskan” anggapan Natsir sebagai pemberontak tersebut – justru terkesan tidak membela. Asvi bahkan dianggap sebagai orang Minangkabau yang mengecilkan tokoh besar Minangkabau, “anak tak mau membesarkan ayah”. Kontroversi Asvi ini kemudian juga berlanjut ketika salah seorang jurnalis-birokrat juga menulis dan memberikan perbandingan : “Pahlawan : Mana yang lebih pantas Natsir dibandingkan Fatmawati yang hanya menjahit sang saka merah putih ?” Sebuah komparasi historis yang kehilangan konteks.

Saya teringat, ketika itu bulan September 2007. Pemprov Sumbar mengundang beberapa pakar sejarah (diantaranya Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong). Gawe ketika itu – Seminar untuk “kembali” mengusulkan Natsir jadi pahlawan. “Kembali” karena usulan pertama ditolak. Dari awal dan akhir seminar, semua sepakat, kontribusi Natsir jauh lebih besar dari cacat politiknya. Salah satu otak pemberontakan PRRI yang dianggap sebagai cacat politik tersebut, pada prinsipnya bisa dilihat dari latar belakang penyebabnya, tentunya dengan diperkuat data-data sejarah. Ketika itu, saya dan mungkin semua yang hadir hampir sepakat, tak ada lagi alasan rasional untuk tetap menolak Natsir memberikan label pahlawan. Peluh, keringat, nilai-nilai luhur, kemanusiaannya dan nilai-nilai adiluhung yang diberikan oleh Natsir bagi “peradaban sejarah Indonesia” ini, rasanya jauh “menggunung” dibandingkan “onggokan kecil” cacat politiknya. Tapi nyatanya, “kembali” Natsir ditolak. Majalah Tempo bahkan dalam tahun ini mengeluarkan edisi khusus untuk mengenang Natsir. Natsir dijulang. Sabak dan air mata berlinangan, kita baca riwayat hidup Natsir sebagaimana air mata juga berlinangan ketika kita baca Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib karangan sejarawan Yahudi, George Jordac. Kita tak menyamakan Natsir dengan Ali, tapi setidaknya episode kehidupan mereka yang sangat kontributif bagi ummat manusia, tidak diapresiasi oleh sejarah. Indonesia (baca: pemerintah Indonesia) menganggap Natsir bukan Pahlawan. Beliau yang bersahaja ini tetap dianggap sebagai pemberontak.

Setiap pemberontakan, apabila sudah ada komitmen untuk bersatu, apapun latar belakangnya, dianggap subversif. Itu diktum yang sudah menjadi hukum dalam dunia politik. Mengapa Kahar Muzakkar memberontak ? J. Soumokil melawan, Dewan Banteng karengkang, Buya Daud Beureuh marah pada Soekarno yang dianggapnya munafik, Hasan Tiro dan Ahmad Zaini serta Malik Mahmud mendirikan GAM dan masuk hutan Aceh dan lari ke Swedia dan seterusnya, Natsir serta Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo masuk dalam lingkaran “PRRI” dan seterusnya? Justifikasi historis tak diperlukan. Dalam dunia politik, mereka pemberontak. Kita tidak tahu, kapan gelar pahlawan akan diberikan kepada mereka. Mungkin nanti atau tidak sama sekali. Padahal, ada alasan-alasan “rasional” untuk setidaknya kita bisa memahami latar belakang mengapa mereka berseberangan dengan pemegang tampuk politik masanya. Mungkin “ketidakpuasan” atau alasan koreksi terhadap kebijakan pusat yang tak adil.

Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus dan 10 Nopember selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan. Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya.

Tidak ada komentar: