"Indonesia" lebih dulu hadir dalam kesadaran rakyat kecil ... !!
"Ketika Piramida selesai berdiri, kemanakah para budak di/tersembunyikan, mengapa Fir'aun yang tercatat dalam sejarah ?"
Sejarawan Anhar Gonggong dan politisi partai Golkar Chaeruman Harahap berdebat. Kedua tokoh (akademisi dan politisi) ini nampaknya sejalan di "intonasi" suara, bertolak belakang dalam pendapat. Satu Gonggong yang berasal dari Sulawesi Selatan, sementara si-Harahap dari Sumatera Utara (tak terbayangkan bila bukan si-marga Harahap lawan Gonggong, tapi marga Radjagukguk). Mereka sama-sama memiliki kedekatan aksentuasi intonasi yang mirip, keras. Maklum, satu Bugis yang satu lagi Batak. Tapi mereka berbeda tentang "Apakah Soeharto layak jadi Pahlawan Nasional?". Dan perdebatan itu, saya tonton malam ini di TV One, televisi-nya Ical Bakrie sang Ketua Umum Golkar itu. Sudah dapat diprediksi, Chaeruman Harahap yang politisi Golkar keukeuh mengatakan Soeharto layak jadi Pahlawan Nasional, berbanding terbalik dengan Anhar Gonggong. Saya tak ingin memaparkan hangat-nya debat tersebut. Namun yang pasti, jong bugis menolak dengan rekomendasi fakta historis, sementara jong batak melihat dalam kacamata politis. Pada saat melihat debat ini, saya teringat dengan Pemberontakan Silungkang.
Mungkin kita tak begitu kenal dengan sosok yang bernama Abdul Muluk. Dia menjadi Pemimpin Redaksi Panas dan Suara Tambang, sebuah media buruh tambang Ombilin. Mengingat nama media Panas, teringat saya dengan Djago-Djago-nya Datuak Batuah. Unik, membara dan menyadarkan, walau nasib Panas tak sebagus Djago-Djago yang dianggap Ruth Mc. Vey sebagai satu diantara tiga media massa paling berpengaruh di nusantara tahun 1920-an. Media massa Panas hampir tak pernah dikenal, mungkin karena "panas", sehingga ia dibakar sejarah. Abdul Muluk menjadi tokoh Sarikat Rakyat yang kemudian membawanya sebagai salah seorang tokoh kunci pemberontakan Silungkang 1 Januari 1927 - sebuah pemberontakan yang ia nilai sendiri sebagai sebuah kegagalan. Ia kemudian ditangkap, disiksa dan dihukum penjara, 12 tahun plus kerja paksa. Pemerontakan yang diawali tepat pukul 12 malam, Gedung Societet Sawah Lunto di bom granat dari lemper. Para pembesar Belanda kala itu sedang berdansa malam tahun baru. Setelah "penaklukan" Gedung Societet ini berhasil dilakukan, besoknya, penduduk dan buruh tambang Ombilin mengadakan rapat raksasa - menuntut kemerdekaan. Ini semua dalam strategi mereka, akan memberikan inspirasi bagi munculnya gerakan yang sama di daerah-daerah lain. Tapi sayang, Abdul Muluk cs terjerambab. Tapi munculnya tuntutan kemerdekaan dalam rapat raksasa, satu tahun sebelum Sumpah Pemuda, sangat-lah fenomenal.
Kita tidak tahu apa arti "Indonesia" dan kemerdekaan bagi rakyat yang melakukan pemberontakan 1927 ini. Tapi, kawan Abdul Muluk yang lain, Kamaruddin alias Manggulung bersama dengan Sampono Kayo dan Ibrahim dijatuhi hukuman gantung. Dalam pledoinya, mereka mengatakan "terus terang" motif pemberontakan mereka - hasrat untuk merdeka. Satu tahun sebelum Sumpah Pemuda. Mereka meminta untuk di hukum gantung di pasar Silungkang, daerahnya mereka sendiri. Menghadapi kematiannya, Kamaruddin masih tetap imajinatif, menuntut agar dagingnya diiris-iris dan dikirimkan kepada Ratu Belanda, Wilhelmina. Bak Omar Muchtar " Lion of Desert from Libya" , Kamaruddin menolak menutup mata bahkan mengejek ulama yang menuntun jalan jelang sakaratul maut sebagai orang yang telah mengkhianati Islam. Lewat "Indonesia", sebuah konsep yang mungkin belum dikenalnya dengan jelas, Kamaruddin membagi dua, yang "tunduk" dan yang "menentang" penjajahan.
"Indonesia", sebagai sebuah konsep abstrak bagi sebagian besar masyarakat Nusantara, tetaplah sebuah misteri. Tapi pada 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, konsep ini membakar Penjara Glodok, tempat Abdul Muluk - kawan Kamaruddin - di hukum kurungan dan kerja paksa. Abdul Muluk bersama kawan-kawan dalam penjara, menghapal diam-diam lagu Indonesai Raya, setelah mereka mendapat bocoran hasil Sumpah Pemuda. Di bawah pimpinan Sulaiman Labai, tokoh Pemberontakan Silungkang lainnya, Sumpah Pemuda mereka bacakan dan lagu Indonesia Raya pun mereka gemakan serentak di sel masing-masing. Mereka kemudian dicambuk dan diasingkan ke dalam sel gelap, konon dengan kaki dan tangan terantai. Sungguh, dinding penjara dan dinding kolonialisme yang lebih luas di luar, tak mampu menahan gerak ekspansif konsep itu kedalam kesadaran wong cilik Silungkang dan tahanan politik lainnya. Tak seorang pun mengetahui dengan pasti, kapan "Indonesia" lahir. Muluk, yang miskin dan pengelana, hanya menjanjikan oleh-oleh pada orang tuanya dalam bentuk kata - "kemerdekaan", dan bukan harta benda. Tahun 1920-an dan 1930-an, Indonesia dan kemerdekaan lebih merupakan obsesi di kalangan rakyat. Adakah di antara para pemimpin pada awal Agustus 1945 berfikir bahwa "Indonesia" akan lahir dalam bentuk revolusi ?
Kisah Muluk, Kamaruddin dan Pemberontakan Silungkang memberikan kesaksian bahwa "Indonesia" lebih dulu hadir dalam kesadaran rakyat kecil. Kalau tidak, bagaimana revolusi bisa berjalan serentak dimana-mana pada tahun 1945-1949? Nyatanya, "Indonesia" bagi Muluk dan Kamaruddin tetaplah sebuh misteri. Demang yang menangkap dan menyiksa mereka pada tahun 1927 pasca pemberontakan telah naik pangkat menjadi hoofd mantri politie. Dan, ketika "Indonesia", yang diperjuangkan para pemberontak itu lahir, sang Demang menjadi salah satu residen di Sumatera Tengah. Dalam jabatan itu, pastilah ia menjadi pendukung Soekarno, tokoh yang sebelumnya dicaci makai dan diejek. Sejarah terkadang terasa "asin" - untuk tidak mengatakan "nano-nano".
Saya tak tahu, apakah ada hubungan antara perdebatan Gonggong dan Harahap diatas dengan peristiwa pemberontakan Silungkang. Lebih baik saya menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul ..... dan Channel-pun saya tukar .. !.
Referensi : Avi Warman Adam (2009)
Mungkin kita tak begitu kenal dengan sosok yang bernama Abdul Muluk. Dia menjadi Pemimpin Redaksi Panas dan Suara Tambang, sebuah media buruh tambang Ombilin. Mengingat nama media Panas, teringat saya dengan Djago-Djago-nya Datuak Batuah. Unik, membara dan menyadarkan, walau nasib Panas tak sebagus Djago-Djago yang dianggap Ruth Mc. Vey sebagai satu diantara tiga media massa paling berpengaruh di nusantara tahun 1920-an. Media massa Panas hampir tak pernah dikenal, mungkin karena "panas", sehingga ia dibakar sejarah. Abdul Muluk menjadi tokoh Sarikat Rakyat yang kemudian membawanya sebagai salah seorang tokoh kunci pemberontakan Silungkang 1 Januari 1927 - sebuah pemberontakan yang ia nilai sendiri sebagai sebuah kegagalan. Ia kemudian ditangkap, disiksa dan dihukum penjara, 12 tahun plus kerja paksa. Pemerontakan yang diawali tepat pukul 12 malam, Gedung Societet Sawah Lunto di bom granat dari lemper. Para pembesar Belanda kala itu sedang berdansa malam tahun baru. Setelah "penaklukan" Gedung Societet ini berhasil dilakukan, besoknya, penduduk dan buruh tambang Ombilin mengadakan rapat raksasa - menuntut kemerdekaan. Ini semua dalam strategi mereka, akan memberikan inspirasi bagi munculnya gerakan yang sama di daerah-daerah lain. Tapi sayang, Abdul Muluk cs terjerambab. Tapi munculnya tuntutan kemerdekaan dalam rapat raksasa, satu tahun sebelum Sumpah Pemuda, sangat-lah fenomenal.
Kita tidak tahu apa arti "Indonesia" dan kemerdekaan bagi rakyat yang melakukan pemberontakan 1927 ini. Tapi, kawan Abdul Muluk yang lain, Kamaruddin alias Manggulung bersama dengan Sampono Kayo dan Ibrahim dijatuhi hukuman gantung. Dalam pledoinya, mereka mengatakan "terus terang" motif pemberontakan mereka - hasrat untuk merdeka. Satu tahun sebelum Sumpah Pemuda. Mereka meminta untuk di hukum gantung di pasar Silungkang, daerahnya mereka sendiri. Menghadapi kematiannya, Kamaruddin masih tetap imajinatif, menuntut agar dagingnya diiris-iris dan dikirimkan kepada Ratu Belanda, Wilhelmina. Bak Omar Muchtar " Lion of Desert from Libya" , Kamaruddin menolak menutup mata bahkan mengejek ulama yang menuntun jalan jelang sakaratul maut sebagai orang yang telah mengkhianati Islam. Lewat "Indonesia", sebuah konsep yang mungkin belum dikenalnya dengan jelas, Kamaruddin membagi dua, yang "tunduk" dan yang "menentang" penjajahan.
"Indonesia", sebagai sebuah konsep abstrak bagi sebagian besar masyarakat Nusantara, tetaplah sebuah misteri. Tapi pada 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, konsep ini membakar Penjara Glodok, tempat Abdul Muluk - kawan Kamaruddin - di hukum kurungan dan kerja paksa. Abdul Muluk bersama kawan-kawan dalam penjara, menghapal diam-diam lagu Indonesai Raya, setelah mereka mendapat bocoran hasil Sumpah Pemuda. Di bawah pimpinan Sulaiman Labai, tokoh Pemberontakan Silungkang lainnya, Sumpah Pemuda mereka bacakan dan lagu Indonesia Raya pun mereka gemakan serentak di sel masing-masing. Mereka kemudian dicambuk dan diasingkan ke dalam sel gelap, konon dengan kaki dan tangan terantai. Sungguh, dinding penjara dan dinding kolonialisme yang lebih luas di luar, tak mampu menahan gerak ekspansif konsep itu kedalam kesadaran wong cilik Silungkang dan tahanan politik lainnya. Tak seorang pun mengetahui dengan pasti, kapan "Indonesia" lahir. Muluk, yang miskin dan pengelana, hanya menjanjikan oleh-oleh pada orang tuanya dalam bentuk kata - "kemerdekaan", dan bukan harta benda. Tahun 1920-an dan 1930-an, Indonesia dan kemerdekaan lebih merupakan obsesi di kalangan rakyat. Adakah di antara para pemimpin pada awal Agustus 1945 berfikir bahwa "Indonesia" akan lahir dalam bentuk revolusi ?
Kisah Muluk, Kamaruddin dan Pemberontakan Silungkang memberikan kesaksian bahwa "Indonesia" lebih dulu hadir dalam kesadaran rakyat kecil. Kalau tidak, bagaimana revolusi bisa berjalan serentak dimana-mana pada tahun 1945-1949? Nyatanya, "Indonesia" bagi Muluk dan Kamaruddin tetaplah sebuh misteri. Demang yang menangkap dan menyiksa mereka pada tahun 1927 pasca pemberontakan telah naik pangkat menjadi hoofd mantri politie. Dan, ketika "Indonesia", yang diperjuangkan para pemberontak itu lahir, sang Demang menjadi salah satu residen di Sumatera Tengah. Dalam jabatan itu, pastilah ia menjadi pendukung Soekarno, tokoh yang sebelumnya dicaci makai dan diejek. Sejarah terkadang terasa "asin" - untuk tidak mengatakan "nano-nano".
Saya tak tahu, apakah ada hubungan antara perdebatan Gonggong dan Harahap diatas dengan peristiwa pemberontakan Silungkang. Lebih baik saya menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul ..... dan Channel-pun saya tukar .. !.
Referensi : Avi Warman Adam (2009)
1 komentar:
Dalam sejarah dunia, ada kemiripan karakteristik sejarah pergeseran kekuasaan Indonesia dengan sejarah pergeseran kekuasaan dalam kekhalifahan Khulafaur Rasyidin yaitu Ali bin Abi Thalib versus Muawiyah bin ABu Sofyan...
Menurut saya Soeharto itu berkarakter seperti Muawiyah bin Abu Sofyan (anak Hindun yang merobek hati paman Nabi) dan SOekarno adalah Ali bin Abi Thalib... begitu berhasil merebut kekuasaan dengan cara seakan2 konstitusi dengan peristiwa Tahkim, maka jatuhlah Khalifah (Presiden) ALi bin abi Thalib
Peristiwa Tahkim mengikut sejarah yang kita pelajari ialah berlaku perebutan kuasa antara Ali dan Mu`awiyah yang membawa mereka ke meja perundingan. Perundingan antara mereka berdua telah diwakili oleh Abu Musa al-`Asyari bagi pihak Ali dan `Amr bin al-`Ash bagi pihak Mua`wiyah. Kedua-dua perunding telah bersetuju untuk memecat Ali dan Mua`wiyah. Menurut sejarah lagi, `Amr bin al-`Ash dengan kelicikannya berjaya memperdayakan Abu Musa yang digambarkan sebagai seorang yang lalai dan mudah tertipu.. Akibatnya, Ali terlepas dari jawatan khalifah.... alias De-Ali bin ABi Thalib-isasi segala bidang....
Apa kesamaan sejarahnya?
1. Ada fitnah akibat pembunuhan dari suatu kaum, dan ada segolongan yang seakan2 menuntut bela/Qishas..
Jika Mu'awiyah menuntut bela kematian Presiden/Khalifah Usman bin Affan, maka SOeharto seakan2 menuntut bela pembunuhan para jenderal2 Angkatan Darat dan menuntut pembubaran PKI..
2. Adanya semacam surat perintah/command untuk membatalkan keabsahan keutamaan ajaran Presiden/Khalifah sebelumnya
Mu’awiyah menulis surat keputusan yang dikirimkan kepada para gubenur dan kepala daerah segera setelah ia berkuasa:
“Lepas kekebalan bagi yang meriwayatkan sesuatu apapun tentang keutamaan Abu Thurab (Imam Ali as.) dan Ahlulbaitnya.”[1]
Maka setelah itu para penceramah di setiap desa dan di atas setiap mimbar berlomba-lomba melaknati Ali dan berlepas tangan darinya serta mencaci makinya dan juga Ahlulbaitnya. Masyarakat paling sengsara saat itu adalah penduduk kota Kufah sebab banyak dari mereka adalah Syi’ah Ali as. Dan untuk lebih menekan mereka, Mu’awiyah mengangkat Ziyad ibn Sumayyah sebagai gubenur kota tersebut dengan menggabungkan propinsi Basrah dan Kufah. Ziyad menyisir kaum Syiah –dan ia sangat mengenali mereka, sebab dahulu ia pernah bergabung dengan mereka di masa Khilafah Ali as.. Ziyad membantai mereka di manapun mereka ditemukan, mengintimidasi mereka, memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka, menusuk mata-mata mereka dengan besi mengangah dan menyalib mereka di atas batang-batang pohon kurma. Mereka juga diusir dari Irak, sehingga tidak ada lagi dari mereka yang tekenal.[2]...alias De-Ali bin ABi Thalib-isasi segala bidang....
Soeharto dengan memanipulasi Supersemar dan menggalang dukungan TAP MPRS untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden/Khalifah Soekarno dan memberangus ajaran2 soekarno... alias De-Sukarnoisasi dan barang siapa (masa Orde Baru) yang membawa aspirasi & ajaran Bung Karno akan ditindas dengan kejam...
3. Adanya penyimpangan cita-cita bangsa/umat dari founding father menuju ke pola penindasan jaman lama/jahilliah/Orde Baru
Soeharto dengan Orde Baru-nya melencengkan cita2 Proklamasi 1945 dengan fokus point melarang dan melencengkan ajaran founding father... Muawiyah melencengkan ajaran/cita2 Nabi & Khulafaur Rasyidin dengan memulai fokus awal memutus silsilah ajaran dari Khalifah/Presiden Ali bin ABi Thalib dan pelencengan terbesar dengan mengangkat Yazid anaknya sebagai Khalifah/Presiden (dikator kejam) puncaknya membunuh secara kejam cucu Nabi yaitu Sayyidina Hussein ra di karbala....
Tidaklah sama seorang pahlawan dengan seorang munafik...
Posting Komentar