Sabtu, 13 November 2010

Hatta, Syahrir dan Tan Malaka : "Hulunya Sama, Hilirnya Bercabang"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tiga Minang itu berdiri tegak di simpang jalan bercabang. Mereka kukuh dengan ideologi masing-masing. Tapi hari ini kemana orang-orang Minang itu ?

Tan Malaka, Hatta dan Sjahrir pun bukan milik orang Minang. Mereka tak pantas dimiliki oleh mereka yang justru mengkerdilkan para pendiri bangsanya dan meninggikan kesukuannya yang entah untuk apa ! (Devi Kurnia A.)

Jika dibandingkan dengan Sjahrir, Hatta dengan Tan Malaka, maka bisa ditarik satu kesimpulan subjektif bahwa hanya Tan Malaka yang paling banyak berbicara tentang Minangkabau di dalam karyanya. Sjahrir sepanjang hidupnya hanya menulis dua buku, sejauh yang saya tahu, dan itupun tak membahas tentang Minangkabau. Bahkan, konon kabarnya, Sjahrir sudah menanggalkan keminangannya sehingga ia tak mau disebut sebagai orang Minang namun anehnya ia masih memakai kata Sutan di depan namanya. Hatta, yang lebih intens dalam menulis ketimbang Sjahrir, juga bukan orang Minang jika itu ditarik dari garis Ibu. Hatta tak pernah memiliki gelar adat — berbeda dengan Sjahrir dan Tan Malaka — yang memang dilakukan suatu upacara resmi dalam pemberian gelar adat tersebut. Hatta adalah orang yang paling necis dan yang paling disiplin dalam menerapkan mimesis Eropa. Mereka bertiga lahir dan tumbuh besar di Sumatera Barat. Tan Malaka di Payakumbuh, Sjahrir di Padang Panjang dan Hatta di Bukit Tinggi. Mereka sama-sama memperoleh didikan Islam yang kuat semasa kecilnya. Mereka bertiga pun sama-sama bersekolah di Belanda dengan jurusan yang berbeda namun memiliki satu kesamaan; mereka sama-sama jatuh cinta terhadap marxisme. Mereka sama-sama paham bahwa melalui marxisme mereka bisa membuka simpul-simpul penjajahan Belanda selama ini. Hanya hulunya saja yang sama tapi semakin ke hilir mereka semakin bercabang.

Hatta, sosok kalem, serius dan religius ini adalah yang paling lurus jalan hidupnya—selurus pilihan hidupnya kepada ekonomi kerakyatan. Sjahrir, si penggila pesta nan senang bercanda, ini lebih memilih jalur sosialis diplomatis sebagai pilihan politiknya. Tan Malaka, si misterius dengan puluhan nama samaran ini, lebih radikal lagi : baginya konfrontasi jauh lebih penting daripada diplomasi ala Sjahrir. Ya, tiga tokoh Minang ini adalah tiga tokoh republik yang paling signifikan sekaligus saling berlawanan. Hatta dan Sjahrir adalah teman dekat selama di Belanda, di partai, di pemerintahan dan di pengasingan. Sedang Tan Malaka, yang jauh lebih tua, dianggap senior dalam beberapa hal. Tapi itu tak membuat Hatta gentar. Tan Malaka ketika di Belanda pernah dibantah oleh Hatta terkait dengan pilihan ekonomi untuk Indonesia merdeka. Di sanalah untuk pertama kalinya Hatta menawarkan konsep koperasi yang kemudian ia terapkan di Indonesia hingga hari ini. Sjahrir, pasca proklamasi, pernah menelikung Hatta sehingga beliau mengeluarkan Maklumat X yang akhirnya membuat Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama di Indonesia—hal yang bertentangan dengan UUD 45 yang merubah sistem presidential menjadi parlementer. Inilah kudeta sunyi Sjahrir terhadap Soekarno. Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan—organisasi politik yang ia bentuk bersama Jend. Soedirman—adalah yang paling menekan kabinet Sjahrir di awal republik terbentuk. Bagi Tan Malaka, Merdeka 100% itu mutlak harus diperjuangkan bukan dengan jalan diplomasi melainkan konfrontasi. Diplomasi boleh dijalankan tapi dengan syarat Belanda mesti angkat kaki terlebih dahulu dari negeri ini. Sejarah kemudian mencatat bahwa setiap diplomasi yang dibentuk Sjahrir selalu membawa kegagalan bagi republik.

Tiga minang ini saling mengagumi masing-masing namun juga saling menjatuhkan masing-masing—secara sadar dan tak sadar—secara tersembunyi maupun terang-terangan. Menjelang proklamasi santer beredar di kalangan pemuda siapa yang pantas memimpin negeri ini. Ada tiga pasangan yang dianggap layak memimpin republik kala itu; Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir Sjarifuddin dan Tan Malaka-Soedirman. Ketiga pasangan itu ada satu orang Minang di dalamnya. Inilah yang selalu membuatku bangga dilahirkan di ranah minang—walau aku bukan orang minang yang mesti tahu kato nan ampek. Orang minang ditakdirkan untuk tidak bisa tidak memikirkan republik ini sedari awal dan kuharap hingga akhir. Itulah kutukan bagi orang Minang. Tan Malaka adalah orang yang sangat Minangsentris, setidaknya bila kita telusuri karya-karyanya. Ia selalu meninggi-ninggikan Minangkabau dalam setiap tulisannya—walaupun orang Minang hari ini banyak yang tak mau mengenal dirinya.

Di dalam Madilog, Tan Malaka bermimpi bahwa masa depan Indonesia bukan di Jawa melainkan di Sumatera yang inginkan itu berada di poros Bonjol-Malaka sebagai poros yang strategis dan ekonomis. Konsep Indonesia Raya yang ia inginkan itu adalah Nusantara; bukan saja yang bekas jajahan Belanda. Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand hingga Australia ingin ia gabungkan menjadi satu kawasan multiregional yang berdaulat dan sama besar dengan dua blok yang tengah bertikai kala itu dengan nama Aslia. Asia Australia. Inilah Indonesia Asli bagi Tan Malaka. Mungkin bisa dibandingkan dengan konsep Bamantara-nya Sutan Takdir Alisjahbana yang baru saja mendapat Bintang Mahaputra dari Presiden SBY. Tan Malaka ingin mengubah semboyan kolonial yang mengatakan “Maluku masa lalu, Jawa masa kini dan Sumatera masa depan” menjadi “Sumatera adalah pioneer, Jawa masa sekarang dan kelak semuanya akan kembali ke Sumatera”. Ada kepercayaan diri yang luar biasa dari pernyataan itu. Namun sayang, apa yang ia cita-citakan itu belumlah terwujud hingga hari ini. Konsep Aslia ini kemudian diaplikasikan Adam Malik—wakil presiden Soeharto pertama yang berasal dari Partai Murba; partainya Tan Malaka—ke dalam ASEAN. Indonesia Raya yang dinyanyikan setiap upacara bendera dan acara olahraga lintas negara itu memiliki makna mendalam bagi Tan Malaka. Ia memimpikan satu negara industri modern yang besar, yang mampu menghidupi segenap tumpah darahnya dan mampu berdiri sejajar dengan dua blok lainnya yang saling bertentangan.

Bagi Tan Malaka, anjing yang sama besar takkan saling menggigit. Indonesia Raya bukan sekedar lagu kenegaraan biasa saja, tapi ada setiap cita di setiap liriknya—yang digubah WR Supratman dari buku Massa Actie-nya Tan Malaka—lagu itu adalah sebuah mimpi untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang besar karena bagi Tan Malaka bangsa ini layak menjadi besar. Bukan karena korupsi tapi karena prestasi. Tan Malaka adalah seorang pemimpi. Ia mengutarakan setiap mimpi besarnya di dalam karya-karyanya. Ia mendesain Republik Indonesia lebih dulu daripada Soekarno dan Hatta menentukan seperti apa konsep negara ini. Bahkan secara tak sadar Soekarno menobatkan Tan Malaka sebagai mentor politiknya. Pernah suatu ketika selepas proklamasi, Soekarno memberikan semacam mandat—yang kemudian dikenal dengan sebutan Testamen Politik—kepada Tan Malaka. Soekarno meminta Tan Malaka menggantikannya sebagai presiden jika dirinya tak sanggup lagi memimpin negeri ini; dalam artian Soekarno ditawan atau dibunuh dalam peperangan. Maka adalah Hatta yang menolak testamen ini. Ia marah kepada Soekarno yang telah memutuskan sepihak saja. Hatta lalu menambah tiga nama lain selain Tan Malaka.

Tiga orang Minang ini selalu meruncing di dalam pilihan ideologinya. Mereka tak hanya berdialektika di dalam segala hal namun mampu menunjukkan bahwa mereka berkualitas dalam berdialektika. Mereka saling menjaga keotentikan satu sama lain. Satu kecerdasan yang hilang bagi orang-orang Minang hari ini. Hanya Muhammad Fahmi saja yang berbeda, lihat saja komentarya yang sangat brilian dan berkelas. Sjahrir telah menghilangkan keminangannya karena ia sudah merasa menjadi sesuatu yang besar ketimbang meninggikan rasnya. Hatta pun demikian. Sebagaimana Agus Salim—yang menyuruh setiap anak laki-lakinya untuk tak menikah dengan perempuan Minang—menentang adat Minang terutama segi matrilinealisme yang hingga hari ini masih diterapkan di minangkabau, maka Hatta dan Sjahrir pun tak mau menikah dengan gadis Minang. Sjahrir menikah dengan orang Belanda lalu menikahi sekretarisnya. Hatta menikahi gadis Jawa. Sebagian besar tokoh Minang tak mau untuk menikahi gadis Minang. Mereka pada umumnya menolak matrilinealisme. Sepertinya tak ada gerakan feminisme di Sumatera Barat karena hanya kaum patriarki ini saja yang selalu mendemo kedudukan perempuan di ranah Minang. Tiga kali sejarah konsesi di Minangkabau selalu saja dimenangkan kaum adat dan kaum agama mesti puas diri dengan itu. Adat adalah agama asli Minangkabau yang hingga hari ini masih menang terhadap kaum agama. Realitasnya seperti itu. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah Kalimat yang belum selesai. Syarak Mangato Adat Mamakai adalah kalimat yang entah kenapa sering dihilangkan oleh kaum adat tentu saja. Merantau adalah cara kaum patriarki ini untuk lari dari tekanan matrilinealisme dan menikahi perempuan yang bukan orang Minang. Itulah kemenangan mereka tampaknya.

::  (c) Devi Kurnia. A (diskusi via FB)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas H.Agus Salim ama H.Natsir kok gak ada. kurang fair nich. Harusnya 5 bukan3

BELAJAR BAHASA mengatakan...

mantap