Mitos "dibodohkan" orang modern karena orang modern "memitoskan" kemodern-an mereka (Ali Shariati)
Jangan cari arti teks, tapi pahami bagaimana teks itu difungsikan... ! (Gadamer)
Jangan cari arti teks, tapi pahami bagaimana teks itu difungsikan... ! (Gadamer)
Mungkin karena takdir, Mentawai berada di daerah administratif Sumatera Barat. Karena takdir ini pulalah, hujan badai yang tidak bisa diprediksi dan terkesan fluktuatif (kadang panas, kadang mendung, kadang hujan lebat plus petir ... sering pula lampu mati) dikorelasikan sebagian orang dengan "masih banyaknya" mayat-mayat saudara-saudara kita di Sipora-Mentawai yang masih belum ditemukan. "Laut dan langit masih ngamuk, karena mayat masih banyak belum ditemukan. Padang dan sekitarnya masuk daerah Sumatera Barat, Mentawai juga Sumatera Barat, maka cuaca ekstrim yang terjadi belakangan ini harus kita tempatkan dalam hubungan itu.!". Sebagian orang meyakini, sebagian tidak. Pengetahuan turun-temurun dari nenek moyang sebagai alasan bagi yang meyakini, mitos yang tidak terukur bagi yang menolak. "Sudah banyak contoh selama ini", kata kawan saya yang meyakini ada hubungan antara respon alam dengan mayat yang masih belum ditemukan. "Sudah diprediksi secara terukur oleh BMKG jauh sebelum gempa-tsunamy terjadi, bahwa cuaca akan ekstrim pendapat kalian adalah mitos", kata kawan saya yang lain. Akhirnya, (selalu) perdebatan itu "dimenangkan" oleh kawan saya yang "memitoskan" BMKG dan parameter ilmiah. Di lain waktu, ketika ada alternatif lain yang ditawarkan oleh kawan saya yang lain pula, bahwa cuaca ekstrim, tsunamy dan gempa karena "Tuhan sudah mulai bosan" - meminjam istilah Ebiet G. Ade, kawan saya yang "me-mitos-kan" parameter ilmiah tersebut, juga mengatakan itu mitos. "Hukum alam yang berlaku", katanya. Saya tidak ingin mengomentari perdebatan ini lebih jauh, karena sangat paradigmatik dan debatable. Saya hanya tergelitik ketika perdebatan ini "menyudutkan" mitos (atau entah apapun-lah namanya). Menganggap mitos sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, tidak terukur dan tidak bisa memberikan signal untuk menjaga peradaban dan ummat manusia ini. Seandainyalah mitos tak berguna (fungsional), mengapa ia selalu ada dalam "denyut nadi" perjalanan sejarah ummat manusia ?. Karena fungsional-lah, maka ia menstruktur. Karena ada kearifan dibalik mitos itulah, maka tradisi mitos itu hadir.
Terkadang kita sering menertawakan "nenek moyang". Mitos yang lahir dalam dunia dan masa "antah barantah", zaman dahulu-kala (sudah dahulu ditambah kala lagi) dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, a-historis, merendahkan akal, membuat "dunia" tertawa dan seterusnya, yang pada dasarnya ingin mengatakan : "mengapa nenek moyang kita dahulu tidak seperti SPA - Socrates, Plato dan Aristoteles - yang meninggalkan warisan "pola asah logika", bukan mitos yang membuat logika tidak pernah matching ?". Mitos yang oleh C.A. van Peursen (Strategie van-de Cultuur, 1981) dianggap sebuah cerita yang hanya memberikan pedoman dan arah tertentu, dan biasanya universal, kepada sekelompok orang. Inti-inti cerita itu berbicara mengenai lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia: kebaikan dan kejahatan, kehidupan-kematian, dosa dan penyucian, perkawinan-kesuburan, dan kehidupan setelah mati. Mitos, bagi van Peursen, bukan hanya sebuah dongeng, ia merupakan rumah pengetahuan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kearifan. Sampai di sini pengertian mitos masih berbicara dalam salah satu bagian dari kearifan lokal suatu masyarakat dengan berbagai ekspresinya. Peradaban bergeser, maka makna kata dari mitos pun terdegradasi. Definisinya jauh telah berubah dari apa yang dulu coba disandingkan untuk membungkusnya. Ia tereduksi menjadi pengertian yang maknanya sama dengan kata “bohong”, “khayalan”, “asbun”, “bullshit”, dan kata-kata lain yang menghancurkan keingintahuan kita untuk mendalaminya. Ia menutup bentuk-bentuk kearifan lokal dan tradisi masyarakat nusantara yang sarat akan nilai dan filosofi. Ia telah terjatuh dalam sebuah himpunan .... tak berguna!.
Terkadang kita sering menertawakan "nenek moyang". Mitos yang lahir dalam dunia dan masa "antah barantah", zaman dahulu-kala (sudah dahulu ditambah kala lagi) dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, a-historis, merendahkan akal, membuat "dunia" tertawa dan seterusnya, yang pada dasarnya ingin mengatakan : "mengapa nenek moyang kita dahulu tidak seperti SPA - Socrates, Plato dan Aristoteles - yang meninggalkan warisan "pola asah logika", bukan mitos yang membuat logika tidak pernah matching ?". Mitos yang oleh C.A. van Peursen (Strategie van-de Cultuur, 1981) dianggap sebuah cerita yang hanya memberikan pedoman dan arah tertentu, dan biasanya universal, kepada sekelompok orang. Inti-inti cerita itu berbicara mengenai lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia: kebaikan dan kejahatan, kehidupan-kematian, dosa dan penyucian, perkawinan-kesuburan, dan kehidupan setelah mati. Mitos, bagi van Peursen, bukan hanya sebuah dongeng, ia merupakan rumah pengetahuan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kearifan. Sampai di sini pengertian mitos masih berbicara dalam salah satu bagian dari kearifan lokal suatu masyarakat dengan berbagai ekspresinya. Peradaban bergeser, maka makna kata dari mitos pun terdegradasi. Definisinya jauh telah berubah dari apa yang dulu coba disandingkan untuk membungkusnya. Ia tereduksi menjadi pengertian yang maknanya sama dengan kata “bohong”, “khayalan”, “asbun”, “bullshit”, dan kata-kata lain yang menghancurkan keingintahuan kita untuk mendalaminya. Ia menutup bentuk-bentuk kearifan lokal dan tradisi masyarakat nusantara yang sarat akan nilai dan filosofi. Ia telah terjatuh dalam sebuah himpunan .... tak berguna!.
Capaian manusia modern, yang terefleksi dari majunya ilmu (sains) mengganti capaian-capaian pengetahuan dan kearifan lokal seumpama mitos. Semua hal diuji guna mendapatkan kebenaran berdasarkan metode dan tatacara yang telah ditentukan secara ilmiah atau keilmuan. Dan tentu saja, bagi sains, “mitos” di nusantara “tidak dapat diuji” kebenarannya. Sains mengingkari nilai kepercayaan dan kearifan tradisi yang sesungguhnya mempunyai tempatnya sendiri. Padahal, tak semua hal—apalagi yang bersifat nonmaterial—bisa dipahami oleh sains. Sains tak mampu mengejar nilai kearifan (sains belum dapat menguji kebenarannya). Dalam perspektif simbolik, “mitos” di nusantara, memiliki fungsi sebagai bagian dari interaksi simbolik, baik ketika berbicara mengenai sejarah, informasi penting, pengetahuan tentang suatu hal, dan fungsi-fungsi lainnya. Nilai kepercayaan, kearifan, dan ekspresi-ekspresi tradisi nyatanya lahir dari latar belakang budaya yang kuat. Ia menciptakan suatu bentuk interaksi, di mana antara satu dengan lainnya berbicara dalam tataran simbolik, berbicara dalam kode-kode alam, ketika— inilah yang hebat — manusia masih menempatkan alam dan bagiannya (gunung, lautan, hewan, tetumbuhan) di atas eksistensi ke-manusia-annya, ketika manusia belum menjadi penakluk bumi yang sangar lagi hingar-bingar.
Ketika masih kecil, ada sebuah mitos yang sangat sering didengar bahwa di setiap pohon yang ada mata airnya ditunggui makhluk halus. Ini mitos untuk menyampaikan ajaran bahwa menghargai lingkungan hidup mutlak diperlukan untuk kelestarian sumber air. Apalagi fungsi pohon adalah tempat pelindung air agar bumi tidak terlalu panas dan menguapkan air ke angkasa. Kita sering diingatkan agar jangan pipis sembarang tempat, karena setiap tempat ada penjaga-nya. Harus minta izin terlebih dahulu, walau tidak pada manusia. Karena banyak orang yang menangkap ini sebagai mitos, maka banyak sudut-sudut bangunan di muka bumi ini yang berbau aring. Nenek moyang kita dahulu pada dasarnya ingin mengajarkan, minta izin itu penting, bukan hanya pada manusia, pada "makhluk lain" dan binatang, juga mutlak dilakukan, karena bumi ini bukan hanya dihuni oleh manusia saja. Dan karena tidak minta izin pada alam (dengan mempelajari apakah layak ditebang atau tidak), akhirnya banjir dan longsor sering terjadi.
Nenek moyang kita lebih arif dan luas dalam memahami segala sesuatu. Itu artinya mereka lebih cerdas dari kita yang secara apriori beranggapan bahwa mitos adalah sesuatu yang tidak perlu dan bahkan secara frontal menuduh sebagai musyrik, bidah, khurofat, takhayul terhadap sebuah mitos. Kenapa tuduhan ini terjadi? Ini berawal dari ketika Logika (logos) "dituhankan". Mitos versus logos yang akhirnya dimenangkan oleh logos. Mitos kemudian dijauhkan dari wacana ilmu pengetahuan modern saat ini. Termasuk yang menyingkirkan peran mitos adalah berkembangnya penafsiran terhadap agama secara “modern.” Padahal, Ali Shariati ketika membedah Imam Mahdi dalam perspektif Syi'ah mengatakan bahwa apabila agama yang dipahami melulu dengan rasio atau akal, justeru memiskinkan hakekat agama itu sendiri. Agama tidak lebih dipahami sebagai benda, yang bisa dianalisa, dipotret, dipotong-potong oleh pisau bedah ilmu dan kemudian hanya diletakkan di laboratorium-laboratorium universitas. Agama dalam pengertian seperti ini tidak akan berkembang sebagai jalan dan petunjuk hidup manusia yang bercahaya terang benderang yang menerangi eksistensi manusia. Agama pun mengalami reduksi makna besar-besaran .... (wallahu'alam, semoga saya salah)
:: terinspirasi dari diskusi diantara kawan-kawan kampus .. !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar