Mempelajari mengapa "masa dulu" itu bisa sedemikian maju. Bukan, selalu "berfantasi" dan ber-apologia bahwa kita pernah memiliki "masa dulu". Kalau hanya sebatas ini, lebih baik kita menjadi fosil.
Bukan apologia, tapi sejarah "sepakat", bahwa pada abad ke-12 M., Eropa mulai belajar dari peradaban Islam. Tercatat, beberapa nama tokoh Eropa masa itu, menjadi "murid intelektual" peradaban Islam sebutlah seperti pendeta terkenal Gerbert d'Aurillac yang kemudian menjadi Paus. Lalu ada nama Adelard of Bath yang kemudian mempelopori gerakan keilmuan di Inggris. Ia dianggap sebagai ilmuan Inggris pertama, menterjemahkan buku matematika Al-Khawarizmi. Lalu ada Gerard of Cremoda yang menterjemahkan buku astronomi karya Al-Zarqaly, yang kemudian menjadi karya astronomi paling akurat Eropa masa itu. Lalu siapa yang tak kenal dengan Ibnu Khaldun. Tak hanya dikenal sebagai ahli sejarah dunia dan sosiologi, ia juga tajam dalam analisa ekonomi. Muqaddimah menjadi salah satu "mahakarya"nya yang selalu jadi sebutan hingga sekarang. Tak salah, jika kemudian Adam Smith, sang Bapak Kapitalisme dunia dalam bukunya yang (asli) menjadi "kitab suci para kaum kapitalis", Nation of Wealth mencantumkan Ibnu Khaldun sebagai inspirator. Lalu pandanglah angka "Nol". Angka ini memiliki daya "pembeda" signifikan dalam deretan dan kumpulan angka-angka. Siapa penemunya ?. Ada yang mengatakan, angka Nol ditemukan tradisi-peradaban lembah Sungai Indus India. Tapi, mayoritas ahli sejarah Eropa dan dunia mengakui bahwa angka Nol merupakan kreasi dari ahli matematika muslim, Al-Khawarizmi namanya. Di gerbang masuk Universitas Paris Perancis, terpahat nama dan wajah Ibnu Sina. Karyanya Al-Qanun (the Cannon) menjadi rujukan kedokteran dunia hampir 700 tahun lamanya.
Bila abad 21 M. ini, orang mengenal Harvard, Cambridge, MIT, Sorbonne dan Stanford sebagai pusat/univesitas ternama di planet bumi nan bulat ini, maka pada beberapa abad yang lalu, dunia mengenal tradisi peradaban Islam Damaskus (Dinasti Umayyah), Baghdad (Dinasti Abbasiyah) dan tradisi Islam Spanyol (Cordoba) sebagai "avant garde". Dinasti Abbasiyah menyulap Baghdad menjadi menjadi metropolis dunia, lalu di Spanyol, Cordoba, Toledo dan Malaga menjadi Cahaya Paeradaban Eropa. Henry Lucas, sejarawan Eropa klasik mengatakan bahwa kekhalifahan Abbasiyah barangkali merupakan periode yang makmur dalam sejarah ummat manusia pada masa itu. Baghdad tak hanya menjadi cahaya ilmu, tapi juga pusat perekonomian. Kota yang diapit Sungai Eufrat dan Tigris ini menjadi penghubung pusat-pusat ekonomi lainnya. baghdad bak pemilik Jalur Sutera (silk road). Baghdad, Bashrah dan Iskandariyah di Mesir seperti Tokyo, New York dan London di zaman sekarang.(ni kata Lucas, bukan kata saya). Mereka mengembangkan kertas dari China, berdagang sampai ke Nusantara, membangun industri dan pertanian.
Sementara Islam di Andalusia-pun ilmiah. Saking cintanya dengan ilmu, salah seorang khalifahnya, Al Hakam II, memiliki perpustakaan pribadi 400.000 koleksi buku (belum apa-apa dibandingkan dengan perpustakaan Hassanal Bolkiah yang kaya raya itu apatah lagi dibandingkan dengan perpustakaan pribadi Obama atau SBY). Pada masanya, Cordoba maju pesat. Kertas dan buku merupakan salah satu kunci kemajuannya. Dari peradaban Cordoba inilah kemudian lahir ilmuan besar seperti Ibnu Rusyd yang ahli filsafat, An-Nafis si penemu sirkulasi darah, Ibnu Haitam yang dikenal sebagai bapak optik, Ar-Razi penemu cacar, Al-Farabi si ahli musik, Al-Battani yang pakar astronomi, Ibnu Batuta penjelajah dunia dan ahli geografi, dan mungkin begitu banyak lagi yang pantas untuk diketengahkan. Marshal GS. Hodgson beserta William M. Watt, pernah menginventarisir nama-nama ilmuan yang berasal dari tradisi peradaban Islam klasik yang hingga hari ini, nama mereka masih dirujuk dan disebut oleh kalangan ilmuan dalam bidang mereka masing-masing. Peter Jenning, dalam bukunya yang terkenal - "Beauty of Learning" - secara terbuka mengakui peradaban Islam "masa dulu" memiliki potensi besar bagi pencerahan dan kemajuan ummat manusia. Sebuah pengakuan yang berbasis data dan tentunya, tulus. Tapi ada yang cukup membuat kita termenung, "masa dulu". Hanya "masa dulu". Cerita manis diatas-pun juga "masa dulu". Biarlah itu menjadi masa lalu. Tugas kita sekarang, terutama umat Islam masa kini, untuk me-renaisance-kan peradaban. Sebetapapun kecil yang bisa kita lakukan. Mempelajari mengapa "masa dulu" itu bisa sedemikian maju. Bukan, selalu "berfantasi" dan ber-apologia bahwa kita pernah memiliki "masa dulu". Kalau hanya sebatas ini, lebih baik kita menjadi fosil.
:: (artikel lengkap telah diterbitkan dalam Jurnal KHAZANAH Vol. I/Nomor 3 : Januari-Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar