Tapi ada satu yang mengganjal, jangan-jangan Madilog kita berbeda? Kemana pula kan kucari "Matematika Idiologi Logika" itu wahai Cutaik?
Tan Malaka itu komunis. Komunis itu atheis. Atheis itu tak bertuhan. Itulah komentar umum yang kudapat. Aku pun mulai percaya tentang ketidakpercayaan Tan Malaka akan adanya Tuhan saat itu. Untuk lebih jelasnya aku kemudian mewawancarai Mestika Zed — salah seorang dosen sejarah di kampus Air Tawar — penulis buku “Pemberontakan Komunis Silungkang 1927”. Aku tentu menanyainya terlebih dahulu kenapa provinsi Sumatera Barat bisa menjadi provinsi terbesar di Indonesia yang mempraktikkan komunisme kala itu. Setelah itu baru aku menanyakan Tan Malaka yang memiliki peran besar dalam komunisme tanah air.
“Apakah benar Tan Malaka itu atheis, Pak?” tanyaku. Pak Mestika Zed terdiam lalu menjawab, “Saya bukan orang yang paling berkompeten untuk menjawab itu. Ada orang yang jauh lebih paham tentang Tan Malaka ketimbang saya. Kamu pergilah ke Mesjid Al Azhar sana, lalu setelah itu temui salah seorang khatib di sana. Namanya Buya Mas’oed. Ia jauh lebih paham tentang Tan Malaka ketimbang saya. Setelah dari sana baru kamu ke sini lagi menemui saya.” Aku pun pergi. Di salah satu ruang kecil di Mesjid Al Azhar, yang kini sedang dirombak dan akan dipindahkan itu, aku duduk di lantai dan Buya Mas’oed di depanku. Beberapa anak murid keluar masuk ruangan itu untuk menanyakan bacaan Qur’an. Ia tengah mengajar ketika aku datang. Lalu ia pun menyelesaikan dulu pengajarannya dan kemudian kembali lagi ke kamarnya yang kecil itu namun penuh dengan buku. “Anda ini siapa dan ada keperluan apa?” tanyanya. “Aku ingin meneliti tentang Tan Malaka dan tadi Pak Mestika menyuruhku ke sini untuk menemui Bapak,” lalu beliau mencatat namaku di secarik kertas. “Apa yang ingin adik ketahui tentang Tan Malaka?” tanyanya sembari tersenyum. “Hampir sebagian besar orang mengatakan Tan Malaka itu komunis sementara pemahaman awam selama ini adalah komunis itu identik dengan atheis. Bagaimana menurut Bapak?” aku menyodorkan muncung handycam-ku ke mukanya. “Tan Malaka adalah seorang muslim yang tegas dan konsisten dengan jalan pendiriannya terutama dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.” Sontak aku terkejut kala itu. Tan Malaka muslim?
“Tan Malaka terlahir dengan nama Ibrahim di Suliki, nagari Pandam Gadang, Payakumbuh dan dia dididik di dalam lingkungan Islam yang ketat. Ketika remaja ia kemudian diberikan gelar adat Datuk Tan Malaka. Ia adalah orang ketiga di dalam ranji Koto Piliang yang mendapat gelar itu. Ia bersekolah di Kweekschool atau lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Raja di Bukit Tinggi. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Guru di Belanda atas dukungan dana dari Angku Fonds—semacam Yayasan Para Ninik Mamak—dan bantuan dana dari Horensma gurunya di Bukit Tinggi. Hari ini mana ada ninik mamak yang peduli dengan pendidikan anak kemenakannya? Di Belanda itulah Tan Malaka mulai berkenalan dengan bacaan-bacaan kiri. Ia mulai membaca Nietzsche yang mengatakan Tuhan telah mati, teori evolusi Darwin hingga ke Das Capital-nya Karl Marx—nabi kaum komunis sedunia. Tan Malaka mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang salah di negerinya—tempat di mana Belanda telah menjajah bangsanya selama berabad lamanya. Ia mulai berpikir dan mempertanyakan konsep-konsep kolonialisasi. Semakin ia membaca mengenai Marxisme semakin ia paham tabiat dan watak dari kolonialisme Eropa—terutama terhadap bangsa-bangsa Timur yang bodoh.”
“Lalu apakah Tan Malaka keluar dari Islam atau apa yang terjadi sesungguhnya?” “Jangan terburu-buru men-judge seseorang kafir atau atheis, anak muda. Seorang muslim yang menuduh sesama muslim itu kafir sungguh adalah kafir itu sendiri.” Aku terdiam. “Apa yang dilakukan Tan Malaka sepulang dari Belanda ke Indonesia—selain membuat sekolah—adalah merangkul kaum muslim tertindas. Ia bergabung ke dalam Syarikat Islam yang kemudian terbagi dua menjadi putih dan merah. Tan Malaka memilih yang merah dan kemudian berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Jadi satu hal yang harus diinsyafi adalah PKI lahir dari satu organisasi muslim terbesar saat itu. Tan Malaka berusaha mencegah perpecahan ini karena baginya Islam adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan merebut kemerdekaan.” “Lalu apa yang terjadi?” “Tan Malaka tak mampu mencegahnya. Idenya ditentang oleh Agus Salim dan Abdul Muis. Ketiga orang ini adalah orang Minang.” “Ada apa dengan orang Minang?” “Tan Malaka ketika dia ke Rusia tahun 1922, mengatakan bahwa sesungguhnya Rusia belum sepenuhnya menjadi Negara Komunis.”
“Loh, kenapa begitu?” “Karena baginya komunisme sebenarnya adalah komunisme ala Minangkabau. Komunisme yang tak pernah mengenal konsep penjara. Komunisme—yang kependekan dari komunalisme—di mana moda produksi bukan dikuasai oleh individu tapi dikuasai, dikelola, diproduksi, dikonsumsi, didistribusi oleh kaum itu sendiri. Tak ada kaya ataupun miskin. Semua derita ditanggung bersama. Rumah Gadang pun dibangun dengan semangat kebersamaan bukan karena faktor uang. Di situlah ruang filsafat bisa berkembang dengan pesat dan pendidikan menjadi bagian terpenting. Inilah komunisme asli Minangkabau yang sangat dibanggakan Tan Malaka. Setelah Belanda datang, semua itu kemudian mulai terkikis dan hilang hingga hari ini.” Aku semakin bingung dengan Tan Malaka, komunis kok beragama? Susah bagiku untuk mencerna ini. “Lalu hubungan Islam dengan Tan Malaka apa Buya?” “Bagiku Tan Malaka tidak hanya seorang pemikir muslim tapi ia juga bertindak untuk mencapai apa cita-citanya yaitu Indonesia yang merdeka dan berdaulat atas dirinya sendiri. Buya membaca hampir seluruh karyanya dan Buya tak menemukan di bagian mana yang mengatakan bahwa ia atheis. Bahwa ia komunis iya, tapi jika masalah atheis sudah tentu itu tidak. Bahkan seorang Buya Hamka pun tak percaya Tan Malaka itu atheis sehingga dia mau memberi kata pengantar di buku Tan Malaka yang berjudul “Islam dalam Tinjauan Madilog”. Semakin aku bingung. Aku pun beranjak pergi karena Buya Mas’oed hendak kembali mengajar.
“Tan Malaka melakukan banyak hal untuk kaum muslim terjajah di mana saja dia berada. Di Indonesia, Malaysia, Rusia, Filipina hingga Thailand. Konsep Pan-Islamisme-nya dulu coba kamu bandingkanlah dengan konsep Hizbut Thahrir hari ini. Jauh sekali bedanya. Oh iya, satu hal lagi yang penting adalah Tan Malaka pernah aktif di PKI namun kemudian keluar karena tak sejalan dengan pendiriannya. Kemudian Tan Malaka jadi musuh PKI nomor wahid,” ujarnya sembari berlalu. Ah, sukses Buya satu ini membuat kepalaku pusing. Tapi satu hal yang akhirnya aku tahu bahwa Sumatera Barat adalah gudangnya kaum komunis. Lalu apakah mereka semua itu atheis? Ataukah hanya Tan Malaka saja yang atheis?
Kembali ke hari ini. Aku paham kenapa temanku Cutaik tetap bersikukuh mempertahankan pendiriannya bahwa Tan Malaka itu atheis—dan seperti atheis yang lain maka ia layak untuk dibenci dan disingkirkan tentu berdasar pemahaman pemeluk monotheis. Namun jika aku boleh memberi saran sekali-sekali tanyakanlah pada Buya Mas’oed itu tentang keatheisan Tan Malaka. Karena sepertinya cara persuasiku belum cukup berhasil. Mungkin Buya Mas’oed bisa lebih gamblang menjelaskan keislaman Tan Malaka yang entah kenapa tak pernah dibahas peneliti asing. Bagi mereka tak penting apakah Tan Malaka itu mengaji atau shalat. Aku pun mulai mencari buku tentang Sumatera Barat tahun 1920an—tahun di mana Marxisme beredar luas di provinsi ini. Aku pun berhasil menemukan satu buku yang kemudian merubah hidupku. Buku itu ditulis Audrey Kahin yang berjudul “Dari Pemberontakan ke Integrasi; Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998”. Ini buku wajib buat anak muda Minang hari ini untuk mengetahui jatuh bangun mereka selama ini. Audrey mengatakan bahwa republik ini didirikan oleh sebagian besar mereka yang terlahir dari provinsi ini. Provinsi ini adalah provinsi yang tingkat dinamisitasnya saat tinggi terutama di saat penjajahan Belanda. Beragam pemberontakan terjadi, seperti Perang Kamang hingga Pemberontakan Silungkang. Sehingga tersiar kabar bahwa provinsi ini adalah negeri para pemberontak di mata Belanda. Tak hanya di jaman Belanda saja provinsi ini memberontak, setelah merdeka pun mereka memberontak kepada kaum Republiken atas nama PRRI. Di sinilah hipotesis Audrey di mulai, kenapa provinsi paling cemerlang di Nusantara ini justru menjadi provinsi paling terbelakang setelah Penumpasan PRRI dilakukan? Dan apa yang ia temukan sungguh membukakan mataku kenapa provinsi tempatku dilahirkan itu menjadi seperti ini hari ini.
Temanku Cutaik itu juga berasal dari Bukit Tinggi—tempat di mana Hatta dilahirkan, tempat di mana Tan Malaka, Marah Rusli dan AH Nasution bersekolah, tempat di mana markas PDRI berada. Perlu teman-teman ketahui bahwa PRRI lahir sebagai bentuk ketidakpuasan daerah terhadap pusat sehingga—selain mengembalikan dwitunggal SoekarnoHattadan membubarkan PKI—keterciptaan semacam otonomi daerah di daerah luar Jawa. Hal lain yang juga cukup signifikan adalah krisis komando di Angkatan Darat yang merupakan kritik terhadap kepemimpinan AH Nasution. Satu ultimatum diberikan kemudian kepada Pusat. Kabinet Djuanda diserang kebijakannya. Achmad Husein kemudian mengumunkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 yang kemudian dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara—yang sepuluh tahun sebelumnya juga memimpin PDRI. Sehari sesudah itu Pusat berang dan menyerang Painan, Padang dan Bukit Tinggi pada tanggal 21 dan 22 Februari. Nasution kemudian memerintahkan Ahmad Yani untuk memimpin penyerangan ke Sumatera Barat yang kemudian dikenal dengan nama “Operasi 17 Agustus” di bulan April. 17 April kota Padang dibom dari Kapal Perang Indonesia. Solok dihabisi tanggal 21 April dan esoknya Sijunjung. Padang Panjang baru bisa dicapai tanggal 1 Mei dan tak lama kemudian Bukit Tinggi—kota di mana pusat pemberontakan berada. Tanggal 5 Mei Bukit Tinggi berhasil dikuasai. TNI—dibantu ormas-ormas PKI—berhasil menangkap para pemberontak.
Sjafruddin dan M. Natsir—dua pemimpin PRRI—bingung dengan cepatnya penumpasan ini. Kenapa Republik ini bisa lebih cepat menghabisi bangsanya sendiri ketimbang ketika melawan asing? Tapi dua orang itu belum mau menyerah. Sementara ribuan sudah yang meninggal akibat penyerangan Pusat tersebut. Nasution mengakui bahwa jumlah yang meninggal mencapai 22ribu orang namun banyak yang menyangsikan itu hingga ke angka 40ribuan. Di bulan Agustus, Sjafruddin akhirnya menyerah sementara Natsir masih bersembunyi di hutan. Setelah mengetahui temannya Djambek dibunuh oleh PKI yang turut membantu TNI menumpas PRRI barulah kemudian Natsir menyerah di bulan September. Inilah era di mana orang Sumatera Barat mulai merasa dirinya sebagai warga negara kelas dua. Sumatera Barat menjadi provinsi yang mengalami kehancuran mental setelah itu. Inilah masa di mana TNI dan PKI masih menjadi ‘sahabat’.
Di awal tahun 60an terjadilah diaspora luar biasa dari Sumatera Barat ke Jawa—terutama Jakarta. Ada perasaan terhina untuk tetap berada di Sumatera Barat. Para orang tua mulai menamai anak-anak mereka dengan nama Jawa—Irwan Prayitno misalnya—karena takut akan dibunuh oleh tentara dari Jawa. Tak ada lagi penerbitan bermutu setelah itu. Tak ada lagi sekolah-sekolah bermutu. Tak ada lagi yang mampu dibanggakan. Semuanya hilang setelah itu. Sumatera Barat dengan segala kebesarannya di masa lalu itu kini telah tiada. Orang Minang adalah orang yang tak menang. Kalah. Lalu lihatlah hari ini jalan Ahmad Yani begitu besarnya di kota Padang—entah di Bukit Tinggi—dan bandingkanlah dengan jalan Tan Malaka. Orang yang telah meluluh lantakkan Sumatera Barat dalam waktu sangat cepat itu kemudian tewas dibunuh gerombolan PKI yang sebelumnya membantunya menumpas rakyat Sumatera Barat. Bahkan Letkol Untung pun berdinas di Sumatera Barat sebelum dipindah ke Jakarta untuk menjadi Cakrabirawa. Angka puluhan ribu itu seakan hanya statistik belaka ketika pemerintah membunuhi rakyatnya sendiri. Bahkan tsunami Aceh ataupun Mentawai tak mencapai angka puluhan ribu seperti itu. Keganasan manusia ternyata melebihi keganasan bencana alam. Orang minang hari ini seperti kabau yang telah dicucuk hidungnya sehingga bisa diatur sedemikian rupa. Mereka menjadi anak bawang saja. Menjadi anak manis ORBA. Lalu sebagai kaum yang kalah, bisakah Anda melihat porsi Sumatera Barat di buku sejarah nasional? Sumatera Barat tak lebih sebagai pemberontak yang kalah di mata pusat oleh karena itu tak ada tempatnya di buku sejarah—sama seperti Tan Malaka.
Akhirnya aku tak mau lagi peduli pembicaraan tentang Tan Malaka—yang mengajari anak-anak mengaji di Thailand--itu komunis atau tidak, Tan Malaka—yang paling kesal diganggu ketika shalat dan menulis—itu atheis atau tidak, aku sudah tak peduli. Aku lebih benci kepada mereka yang mengakui keislamannya tapi membunuh sesama saudaranya sendiri dengan mengatasnamakan agama. Aku lebih benci ormas-ormas Islam yang menghancurkan tempat prostitusi tapi tak mau tanggap pada korupsi. Aku kini lebih terpukau pada Gayus Tambunan—PNS muslim idola camer Gol IIIA—yang mampu mengobrak abrik law enforcements di negeri ini hanya dengan dana tak terbatas yang ia punya dari departemen yang memakai slogan “Apa Kata Dunia” itu. Inilah idola baru kaum media hari ini. Semua tentang Gayus jauh lebih mempesona.
Oleh karena itu jika dialektika ini masih ingin dibahas maka aku akan berkata sama seperti yang kukatakan kepada mahasiswa IAIN yang ngotot mengatakan Tan Malaka itu atheis; “apa yang sudah Anda lakukan di umur Anda sekarang ini? Hari ini ketika orang-orang Israel membunuhi orang Palestina kalian hanya berdemo di sini—di jejalanan kota. Tan Malaka ketika sebagian Muslim di Rusia dibunuhi dia berjalan sendirian ke Rusia untuk membela kaum Muslim di sana. Sudah berapa buku yang Anda hasilkan di umur Anda? Tan Malaka di umur yang sama dengan Anda sudah menghasilkan buku bernas yang wajib dibaca sebelum lagu Indonesia Raya itu tercipta. Apa yang Anda lakukan ketika Imam Bonjol orang yang paling menginginkan kemurnian Islam itu—yang juga telah membunuh puluhan ribu rakyat Tapanuli itu—dibuatkan patung atas namanya. Apa yang kalian lakukan wahai mahasiswa Imam Bonjol? Apa yang telah kalian lakukan untuk agamamu dan bangsamu?” Mahasiswa IAIN itu tak menjawab pertanyaanku itu tapi entah dengan temanku nanti. Tapi yang jelas komentar Muhammad Fahmi telah menunjukkan seperti apa kualitas dirinya. Sekian dulu, jika ini masih kurang persuasif dan realistis maka akan ada edisi selanjutnya. Untuk Cutaik jangan baca Madilog yang di halaman pertama saja—baca hingga habis baru komentar lagi dan jangan lupa temui Buya Mas’oed karena Buya Hamka tak bisa lagi diwawancarai.
:: Catatan Pinggir ILHAM .... saya bukanlah pengagum fanatik seorang anak manusia bernama TAN MALAKA, tetapi ia adalah salah seorang putra terbaik Minangkabau dan bangsa "Sumpah Palapa"-nya Gajah Mada ini. Seluruh denyut nadi kehidupannya,dipeersembakan buat bangsa yang hari ini kita nikmati. Tapi sayang, karena sejarah kita rasa "nano-nano", membuat Tan Malaka "dipinggirkan" dan hanya seumpama catatan kaki. Berkaca dari Tan, banyak lagi yang "sejenis" beliau dimarginalkan oleh sejarah. Bagaimana kita menjadi bangsa besar, bila diskriminatif terhadap mereka yang "membuat sejarah". SELAMAT HARI PAHLAWAN ... !! Pada kalian, entah tercatat oleh sejarah entah tidak, pada kalian kami berhutang !!
:: (Sebagaimana yang di-narasi-kan Devy Kurnia A. dalam diskusi/note FB (09-11-2010)
Tan Malaka itu komunis. Komunis itu atheis. Atheis itu tak bertuhan. Itulah komentar umum yang kudapat. Aku pun mulai percaya tentang ketidakpercayaan Tan Malaka akan adanya Tuhan saat itu. Untuk lebih jelasnya aku kemudian mewawancarai Mestika Zed — salah seorang dosen sejarah di kampus Air Tawar — penulis buku “Pemberontakan Komunis Silungkang 1927”. Aku tentu menanyainya terlebih dahulu kenapa provinsi Sumatera Barat bisa menjadi provinsi terbesar di Indonesia yang mempraktikkan komunisme kala itu. Setelah itu baru aku menanyakan Tan Malaka yang memiliki peran besar dalam komunisme tanah air.
“Apakah benar Tan Malaka itu atheis, Pak?” tanyaku. Pak Mestika Zed terdiam lalu menjawab, “Saya bukan orang yang paling berkompeten untuk menjawab itu. Ada orang yang jauh lebih paham tentang Tan Malaka ketimbang saya. Kamu pergilah ke Mesjid Al Azhar sana, lalu setelah itu temui salah seorang khatib di sana. Namanya Buya Mas’oed. Ia jauh lebih paham tentang Tan Malaka ketimbang saya. Setelah dari sana baru kamu ke sini lagi menemui saya.” Aku pun pergi. Di salah satu ruang kecil di Mesjid Al Azhar, yang kini sedang dirombak dan akan dipindahkan itu, aku duduk di lantai dan Buya Mas’oed di depanku. Beberapa anak murid keluar masuk ruangan itu untuk menanyakan bacaan Qur’an. Ia tengah mengajar ketika aku datang. Lalu ia pun menyelesaikan dulu pengajarannya dan kemudian kembali lagi ke kamarnya yang kecil itu namun penuh dengan buku. “Anda ini siapa dan ada keperluan apa?” tanyanya. “Aku ingin meneliti tentang Tan Malaka dan tadi Pak Mestika menyuruhku ke sini untuk menemui Bapak,” lalu beliau mencatat namaku di secarik kertas. “Apa yang ingin adik ketahui tentang Tan Malaka?” tanyanya sembari tersenyum. “Hampir sebagian besar orang mengatakan Tan Malaka itu komunis sementara pemahaman awam selama ini adalah komunis itu identik dengan atheis. Bagaimana menurut Bapak?” aku menyodorkan muncung handycam-ku ke mukanya. “Tan Malaka adalah seorang muslim yang tegas dan konsisten dengan jalan pendiriannya terutama dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.” Sontak aku terkejut kala itu. Tan Malaka muslim?
“Tan Malaka terlahir dengan nama Ibrahim di Suliki, nagari Pandam Gadang, Payakumbuh dan dia dididik di dalam lingkungan Islam yang ketat. Ketika remaja ia kemudian diberikan gelar adat Datuk Tan Malaka. Ia adalah orang ketiga di dalam ranji Koto Piliang yang mendapat gelar itu. Ia bersekolah di Kweekschool atau lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Raja di Bukit Tinggi. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Guru di Belanda atas dukungan dana dari Angku Fonds—semacam Yayasan Para Ninik Mamak—dan bantuan dana dari Horensma gurunya di Bukit Tinggi. Hari ini mana ada ninik mamak yang peduli dengan pendidikan anak kemenakannya? Di Belanda itulah Tan Malaka mulai berkenalan dengan bacaan-bacaan kiri. Ia mulai membaca Nietzsche yang mengatakan Tuhan telah mati, teori evolusi Darwin hingga ke Das Capital-nya Karl Marx—nabi kaum komunis sedunia. Tan Malaka mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang salah di negerinya—tempat di mana Belanda telah menjajah bangsanya selama berabad lamanya. Ia mulai berpikir dan mempertanyakan konsep-konsep kolonialisasi. Semakin ia membaca mengenai Marxisme semakin ia paham tabiat dan watak dari kolonialisme Eropa—terutama terhadap bangsa-bangsa Timur yang bodoh.”
“Lalu apakah Tan Malaka keluar dari Islam atau apa yang terjadi sesungguhnya?” “Jangan terburu-buru men-judge seseorang kafir atau atheis, anak muda. Seorang muslim yang menuduh sesama muslim itu kafir sungguh adalah kafir itu sendiri.” Aku terdiam. “Apa yang dilakukan Tan Malaka sepulang dari Belanda ke Indonesia—selain membuat sekolah—adalah merangkul kaum muslim tertindas. Ia bergabung ke dalam Syarikat Islam yang kemudian terbagi dua menjadi putih dan merah. Tan Malaka memilih yang merah dan kemudian berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Jadi satu hal yang harus diinsyafi adalah PKI lahir dari satu organisasi muslim terbesar saat itu. Tan Malaka berusaha mencegah perpecahan ini karena baginya Islam adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan merebut kemerdekaan.” “Lalu apa yang terjadi?” “Tan Malaka tak mampu mencegahnya. Idenya ditentang oleh Agus Salim dan Abdul Muis. Ketiga orang ini adalah orang Minang.” “Ada apa dengan orang Minang?” “Tan Malaka ketika dia ke Rusia tahun 1922, mengatakan bahwa sesungguhnya Rusia belum sepenuhnya menjadi Negara Komunis.”
“Loh, kenapa begitu?” “Karena baginya komunisme sebenarnya adalah komunisme ala Minangkabau. Komunisme yang tak pernah mengenal konsep penjara. Komunisme—yang kependekan dari komunalisme—di mana moda produksi bukan dikuasai oleh individu tapi dikuasai, dikelola, diproduksi, dikonsumsi, didistribusi oleh kaum itu sendiri. Tak ada kaya ataupun miskin. Semua derita ditanggung bersama. Rumah Gadang pun dibangun dengan semangat kebersamaan bukan karena faktor uang. Di situlah ruang filsafat bisa berkembang dengan pesat dan pendidikan menjadi bagian terpenting. Inilah komunisme asli Minangkabau yang sangat dibanggakan Tan Malaka. Setelah Belanda datang, semua itu kemudian mulai terkikis dan hilang hingga hari ini.” Aku semakin bingung dengan Tan Malaka, komunis kok beragama? Susah bagiku untuk mencerna ini. “Lalu hubungan Islam dengan Tan Malaka apa Buya?” “Bagiku Tan Malaka tidak hanya seorang pemikir muslim tapi ia juga bertindak untuk mencapai apa cita-citanya yaitu Indonesia yang merdeka dan berdaulat atas dirinya sendiri. Buya membaca hampir seluruh karyanya dan Buya tak menemukan di bagian mana yang mengatakan bahwa ia atheis. Bahwa ia komunis iya, tapi jika masalah atheis sudah tentu itu tidak. Bahkan seorang Buya Hamka pun tak percaya Tan Malaka itu atheis sehingga dia mau memberi kata pengantar di buku Tan Malaka yang berjudul “Islam dalam Tinjauan Madilog”. Semakin aku bingung. Aku pun beranjak pergi karena Buya Mas’oed hendak kembali mengajar.
“Tan Malaka melakukan banyak hal untuk kaum muslim terjajah di mana saja dia berada. Di Indonesia, Malaysia, Rusia, Filipina hingga Thailand. Konsep Pan-Islamisme-nya dulu coba kamu bandingkanlah dengan konsep Hizbut Thahrir hari ini. Jauh sekali bedanya. Oh iya, satu hal lagi yang penting adalah Tan Malaka pernah aktif di PKI namun kemudian keluar karena tak sejalan dengan pendiriannya. Kemudian Tan Malaka jadi musuh PKI nomor wahid,” ujarnya sembari berlalu. Ah, sukses Buya satu ini membuat kepalaku pusing. Tapi satu hal yang akhirnya aku tahu bahwa Sumatera Barat adalah gudangnya kaum komunis. Lalu apakah mereka semua itu atheis? Ataukah hanya Tan Malaka saja yang atheis?
Kembali ke hari ini. Aku paham kenapa temanku Cutaik tetap bersikukuh mempertahankan pendiriannya bahwa Tan Malaka itu atheis—dan seperti atheis yang lain maka ia layak untuk dibenci dan disingkirkan tentu berdasar pemahaman pemeluk monotheis. Namun jika aku boleh memberi saran sekali-sekali tanyakanlah pada Buya Mas’oed itu tentang keatheisan Tan Malaka. Karena sepertinya cara persuasiku belum cukup berhasil. Mungkin Buya Mas’oed bisa lebih gamblang menjelaskan keislaman Tan Malaka yang entah kenapa tak pernah dibahas peneliti asing. Bagi mereka tak penting apakah Tan Malaka itu mengaji atau shalat. Aku pun mulai mencari buku tentang Sumatera Barat tahun 1920an—tahun di mana Marxisme beredar luas di provinsi ini. Aku pun berhasil menemukan satu buku yang kemudian merubah hidupku. Buku itu ditulis Audrey Kahin yang berjudul “Dari Pemberontakan ke Integrasi; Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998”. Ini buku wajib buat anak muda Minang hari ini untuk mengetahui jatuh bangun mereka selama ini. Audrey mengatakan bahwa republik ini didirikan oleh sebagian besar mereka yang terlahir dari provinsi ini. Provinsi ini adalah provinsi yang tingkat dinamisitasnya saat tinggi terutama di saat penjajahan Belanda. Beragam pemberontakan terjadi, seperti Perang Kamang hingga Pemberontakan Silungkang. Sehingga tersiar kabar bahwa provinsi ini adalah negeri para pemberontak di mata Belanda. Tak hanya di jaman Belanda saja provinsi ini memberontak, setelah merdeka pun mereka memberontak kepada kaum Republiken atas nama PRRI. Di sinilah hipotesis Audrey di mulai, kenapa provinsi paling cemerlang di Nusantara ini justru menjadi provinsi paling terbelakang setelah Penumpasan PRRI dilakukan? Dan apa yang ia temukan sungguh membukakan mataku kenapa provinsi tempatku dilahirkan itu menjadi seperti ini hari ini.
Temanku Cutaik itu juga berasal dari Bukit Tinggi—tempat di mana Hatta dilahirkan, tempat di mana Tan Malaka, Marah Rusli dan AH Nasution bersekolah, tempat di mana markas PDRI berada. Perlu teman-teman ketahui bahwa PRRI lahir sebagai bentuk ketidakpuasan daerah terhadap pusat sehingga—selain mengembalikan dwitunggal SoekarnoHattadan membubarkan PKI—keterciptaan semacam otonomi daerah di daerah luar Jawa. Hal lain yang juga cukup signifikan adalah krisis komando di Angkatan Darat yang merupakan kritik terhadap kepemimpinan AH Nasution. Satu ultimatum diberikan kemudian kepada Pusat. Kabinet Djuanda diserang kebijakannya. Achmad Husein kemudian mengumunkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 yang kemudian dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara—yang sepuluh tahun sebelumnya juga memimpin PDRI. Sehari sesudah itu Pusat berang dan menyerang Painan, Padang dan Bukit Tinggi pada tanggal 21 dan 22 Februari. Nasution kemudian memerintahkan Ahmad Yani untuk memimpin penyerangan ke Sumatera Barat yang kemudian dikenal dengan nama “Operasi 17 Agustus” di bulan April. 17 April kota Padang dibom dari Kapal Perang Indonesia. Solok dihabisi tanggal 21 April dan esoknya Sijunjung. Padang Panjang baru bisa dicapai tanggal 1 Mei dan tak lama kemudian Bukit Tinggi—kota di mana pusat pemberontakan berada. Tanggal 5 Mei Bukit Tinggi berhasil dikuasai. TNI—dibantu ormas-ormas PKI—berhasil menangkap para pemberontak.
Sjafruddin dan M. Natsir—dua pemimpin PRRI—bingung dengan cepatnya penumpasan ini. Kenapa Republik ini bisa lebih cepat menghabisi bangsanya sendiri ketimbang ketika melawan asing? Tapi dua orang itu belum mau menyerah. Sementara ribuan sudah yang meninggal akibat penyerangan Pusat tersebut. Nasution mengakui bahwa jumlah yang meninggal mencapai 22ribu orang namun banyak yang menyangsikan itu hingga ke angka 40ribuan. Di bulan Agustus, Sjafruddin akhirnya menyerah sementara Natsir masih bersembunyi di hutan. Setelah mengetahui temannya Djambek dibunuh oleh PKI yang turut membantu TNI menumpas PRRI barulah kemudian Natsir menyerah di bulan September. Inilah era di mana orang Sumatera Barat mulai merasa dirinya sebagai warga negara kelas dua. Sumatera Barat menjadi provinsi yang mengalami kehancuran mental setelah itu. Inilah masa di mana TNI dan PKI masih menjadi ‘sahabat’.
Di awal tahun 60an terjadilah diaspora luar biasa dari Sumatera Barat ke Jawa—terutama Jakarta. Ada perasaan terhina untuk tetap berada di Sumatera Barat. Para orang tua mulai menamai anak-anak mereka dengan nama Jawa—Irwan Prayitno misalnya—karena takut akan dibunuh oleh tentara dari Jawa. Tak ada lagi penerbitan bermutu setelah itu. Tak ada lagi sekolah-sekolah bermutu. Tak ada lagi yang mampu dibanggakan. Semuanya hilang setelah itu. Sumatera Barat dengan segala kebesarannya di masa lalu itu kini telah tiada. Orang Minang adalah orang yang tak menang. Kalah. Lalu lihatlah hari ini jalan Ahmad Yani begitu besarnya di kota Padang—entah di Bukit Tinggi—dan bandingkanlah dengan jalan Tan Malaka. Orang yang telah meluluh lantakkan Sumatera Barat dalam waktu sangat cepat itu kemudian tewas dibunuh gerombolan PKI yang sebelumnya membantunya menumpas rakyat Sumatera Barat. Bahkan Letkol Untung pun berdinas di Sumatera Barat sebelum dipindah ke Jakarta untuk menjadi Cakrabirawa. Angka puluhan ribu itu seakan hanya statistik belaka ketika pemerintah membunuhi rakyatnya sendiri. Bahkan tsunami Aceh ataupun Mentawai tak mencapai angka puluhan ribu seperti itu. Keganasan manusia ternyata melebihi keganasan bencana alam. Orang minang hari ini seperti kabau yang telah dicucuk hidungnya sehingga bisa diatur sedemikian rupa. Mereka menjadi anak bawang saja. Menjadi anak manis ORBA. Lalu sebagai kaum yang kalah, bisakah Anda melihat porsi Sumatera Barat di buku sejarah nasional? Sumatera Barat tak lebih sebagai pemberontak yang kalah di mata pusat oleh karena itu tak ada tempatnya di buku sejarah—sama seperti Tan Malaka.
Akhirnya aku tak mau lagi peduli pembicaraan tentang Tan Malaka—yang mengajari anak-anak mengaji di Thailand--itu komunis atau tidak, Tan Malaka—yang paling kesal diganggu ketika shalat dan menulis—itu atheis atau tidak, aku sudah tak peduli. Aku lebih benci kepada mereka yang mengakui keislamannya tapi membunuh sesama saudaranya sendiri dengan mengatasnamakan agama. Aku lebih benci ormas-ormas Islam yang menghancurkan tempat prostitusi tapi tak mau tanggap pada korupsi. Aku kini lebih terpukau pada Gayus Tambunan—PNS muslim idola camer Gol IIIA—yang mampu mengobrak abrik law enforcements di negeri ini hanya dengan dana tak terbatas yang ia punya dari departemen yang memakai slogan “Apa Kata Dunia” itu. Inilah idola baru kaum media hari ini. Semua tentang Gayus jauh lebih mempesona.
Oleh karena itu jika dialektika ini masih ingin dibahas maka aku akan berkata sama seperti yang kukatakan kepada mahasiswa IAIN yang ngotot mengatakan Tan Malaka itu atheis; “apa yang sudah Anda lakukan di umur Anda sekarang ini? Hari ini ketika orang-orang Israel membunuhi orang Palestina kalian hanya berdemo di sini—di jejalanan kota. Tan Malaka ketika sebagian Muslim di Rusia dibunuhi dia berjalan sendirian ke Rusia untuk membela kaum Muslim di sana. Sudah berapa buku yang Anda hasilkan di umur Anda? Tan Malaka di umur yang sama dengan Anda sudah menghasilkan buku bernas yang wajib dibaca sebelum lagu Indonesia Raya itu tercipta. Apa yang Anda lakukan ketika Imam Bonjol orang yang paling menginginkan kemurnian Islam itu—yang juga telah membunuh puluhan ribu rakyat Tapanuli itu—dibuatkan patung atas namanya. Apa yang kalian lakukan wahai mahasiswa Imam Bonjol? Apa yang telah kalian lakukan untuk agamamu dan bangsamu?” Mahasiswa IAIN itu tak menjawab pertanyaanku itu tapi entah dengan temanku nanti. Tapi yang jelas komentar Muhammad Fahmi telah menunjukkan seperti apa kualitas dirinya. Sekian dulu, jika ini masih kurang persuasif dan realistis maka akan ada edisi selanjutnya. Untuk Cutaik jangan baca Madilog yang di halaman pertama saja—baca hingga habis baru komentar lagi dan jangan lupa temui Buya Mas’oed karena Buya Hamka tak bisa lagi diwawancarai.
:: Catatan Pinggir ILHAM .... saya bukanlah pengagum fanatik seorang anak manusia bernama TAN MALAKA, tetapi ia adalah salah seorang putra terbaik Minangkabau dan bangsa "Sumpah Palapa"-nya Gajah Mada ini. Seluruh denyut nadi kehidupannya,dipeersembakan buat bangsa yang hari ini kita nikmati. Tapi sayang, karena sejarah kita rasa "nano-nano", membuat Tan Malaka "dipinggirkan" dan hanya seumpama catatan kaki. Berkaca dari Tan, banyak lagi yang "sejenis" beliau dimarginalkan oleh sejarah. Bagaimana kita menjadi bangsa besar, bila diskriminatif terhadap mereka yang "membuat sejarah". SELAMAT HARI PAHLAWAN ... !! Pada kalian, entah tercatat oleh sejarah entah tidak, pada kalian kami berhutang !!
:: (Sebagaimana yang di-narasi-kan Devy Kurnia A. dalam diskusi/note FB (09-11-2010)
3 komentar:
Bagus banget tulisannya :)
Saya sendiri meskipun lahir dan besar di Jakarta kurang lebih mengerti tentang hilangnya kebanggaan sebagai orang minang pada tahun-tahun pasca PRRI (menyaksikan kakek saya (adik nenek) yang meskipun tinggi pendidikannya malu sebagai orang minang saat itu, bahkan hingga kini)dan saya pun sadar betul kalau di buku-buku sejarah di sekolah,peran Minangkabau seperti dihilangkan dan bahkan tetap tertera nyata sebagai 'pemberontak' PRRI.
Namun tidak seperti kakek saya, saya sebagai anak rantau justru bangga, dan selalu mencaritahu tentang sejarah kejayaan bangsa nenek moyang saya. Dan semoga Indonesia bisa tidak terlalu jawa-sentris untuk mulai mengakui bahwa bangsa ini tidak hanya hasil karya Jawa dan hanya Jawa.
Saya dari tahun 1996 (sejak mengenal internet di Bandung.Sudah saya sampaikan : UNTUK MENGHILANGKAN NAMA pada JALAN dan BANGUNAN/MONUMEN di SUMBAR YANG BERHUBUNGAN DENGAN NAMA : SOEKARNO, AHMAD YANI DAN A.H NASUTION. Sampai pemerintah RI minta Maaf.Kenapa Di ACeh pemerintah bisa minta maaf sedangkan PRRI tidak?
Alah...apa yang di harap dari anak IAIN sekarang.Mereka adalah sekumpulan pencundang yang kalah persaingan.Dari pada tidak kuliah dan mengejar status mahasiswa mereka jalani walau tak suka...sudah tahukan tingkat pemikirnannnya?
Posting Komentar