Kamis, 25 November 2010

Obama dan Israel : Sebuah Utopia

Oleh : Muhammad Ilham

“When I am the President, the United States will stand shoulder to shoulder with Israel ….." (Obama)

Saya masih ingat bagaimana antusiasnya Imam Besar Masjid Istiqlal menceritakan kefasihan Obama mengucapkan Insya Allah. "Sampai tiga kali lho," kata sang Imam ini dengan mata berbinar dan menunjukkan kekaguman. Berangkat dari inilah, seorang teman saya yang kebetulan sama-sama pulang sholat Isya di Musholla samping rumah, mengatakan bahwa Obama-lah satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang berpihak pada Islam. "Yakinlah, Israel pasti ditekannya", kata teman saya tadi dengan mata berbinar-binar seperti binarnya mata si Imam Masjid Istiqlal yang ditontonnya menjelang pergi sholat Isya malam itu. Nampaknya teman saya tadi lupa dengan "Pidato Inaugurasi" Obama pada waktu malam kemenangannya setelah dinyatakan mengalahkan John Mc. Quin - lawannya. Pada waktu inaugurasi kemenangannya tersebut, Obama berpidato, disiarkan secara lengkap oleh berbagai stasiun TV di dunia ini, salah satu TV swasta Indonesia ini, Obama berdiri dengan gagah di atas podium. Dan di depan podium itu, tertera 5 (lima) huruf kapital besar – AIPAC. Seketika, saya ingat buku karangan Paul Findley yang telah diterjemahkan oleh Penerbit Mizan “Mereka Berani Bicara”. Dalam buku ini, Findley mengupas-tuntas pertanyaan : “Mengapa lobi Yahudi-Israel begitu kuat dalam ranah politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia ke-2?”.

Findley mengatakan bahwa politik negeri Paman Sam ini tidak bisa berkata “tidak” pada Yahudi-Israel karena sebuah organisasi-publik kemitraan bernama AIPAC (American Israel Public Agency Council). Dalam AIPAC ini berkumpul para ekonom-pialang, politisi dan intelektual Amerika Serikat keturunan Yahudi. Mereka inilah yang dominan mempengaruhi politik Amerika Serikat, mulai dari “pengkondisian calon-calon Presiden hingga kebijakan politik luar negeri. AIPAC kata Findley, adalah bentuk lain dari “Gedung Putih”. Pada tahun 2007, menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat telah memberikan bantuan militer pada Israel USD 30 milyar. Konon, AIPAC berperan besar atas bantuan yang spektakuler ini mensikapi pengaruh Iran yang semakin besar di Timur Tengah. Pidato Obama di forum AIPAC menunjukkan kepada kita, Obama tak bisa melepaskan diri dari Yahudi-Israel. Penggalan pidatonya yang mengatakan bahwa Hamas merupakan organisasi teroris dan kebijakan negara Israel harus didukung, memperjelas posisi politik Obama. “When I am the President, the United States will stand shoulder to shoulder with Israel …..”. Ketika masih menjadi senator, Obama memiliki voting record pro-Israel. Tahun 2006, beliau menjadi salah seorang sponsor the Palestian Anti Terorism Act yang dalam salah satu item-nya menempatkan Hezbollah sama dengan Al-Qaeda. True Friends of Israel pantas disandang Obama.

Lalu, pantaskah kita mempersalahkan Obama? Pantaskah kita berharap banyak pada Obama ke depan? Findley sebenarnya telah menjawab, bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat, pengaruh AIPAC sulit untuk dihindari. Penunjukkan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri kabinet Obama memperjelas pengaruh lobi Yahudi yang luar biasa. Konon, Obama tidak sreg dengan Bill Clinton, suami Hillary. Clinton dan Hillary merupakan sahabat “politik” terdekat dari Benjamin Netanyahu – ultranasionalis Israel. Namun, hampir 1/3 anggota kabinet Obama adalah “kerabat politik” Bill Clinton. Kecil kemungkinan persoalan Palestina bisa terselesaikan dengan baik pada era Obama ke depan. Sangat tidak mungkin Obama melawan arus “pakem” kebijakan politik standar Amerika Serikat, apalagi Obama nyata-nyata telah mendukung Israel sebelum ia jadi Presiden. Persoalan Palestina-Israel, lebih memungkinkan hanya bisa diselesaikan oleh komunitas Timur Tengah, khususnya negara-negara Islam Teluk. Kita tak bisa berharap banyak pada PBB, demikian juga dengan Amerika Serikat, siapapun presidennya. Dalam ilmu politik, antara Israel dan Palestina telah terjadi cyrcle bargaining, siklus tawar-menawar. Siapa yang menunggangi dan ditunggangi, tidak jelas secara konkrit. Apakah Israel yang menunggangi Amerika Serikat atau sebaliknya. Namun yang jelas, hubungan Amerika Serikat dan Israel adalah hubungan simbiosis mutualis, saling menguntungkan. Oleh karena itu, kemauan politik negara-negara Timur Tengah-lah yang lebih rasional dan memungkinkan. Apakah bisa hal ini terjadi? Seandainya mereka kompak, Palestina dari dulu terselesaikan dengan baik, kata mendiang ayah saya yang mengagumi Gamal Abdel Nasser......... Dan yang bisa menyembuhkan Palestina hanyalah kemauan politik negara-negara Islam Timur Tengah. Obama akan terus berjalan dengan garis politik yang tidak bisa dihindarinya, walaupun ada kata-kata Hussein dalam penggalan namanya. Wallahu a'lam bish shawab.

Tidak ada komentar: