"Ketika tembok Cina selesai didirikan, kemanakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan ?", demikian kata Ernst Bloch. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini.
"Ketika tembok Cina selesai didirikan, kemanakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan ?", demikian kata Ernst Bloch. Untuk logika pertanyaan yang sama, akan timbul gugatan, kemanakah para mahasiswa bersembunyi atau disembunyikan setelah Suharto beserta rezimnya runtuh ? Kemanakah orang-orang yang dengan idealisme adiluhung mau secara tegar dihabiskan oleh ganas-garangnya Pembuangan Digul? Kemanakah mereka yang selama ini berjuang dengan “hati”, namun karena berbeda prinsip politik, mereka akhirnya dijadikan kambing hitam sejarah ?. Pertanyaan-demi pertanyaan akan terus bergulir. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini. Berapa ribu budak menjadi “martir sejarah” hanya demi ambisi Fir’aun dengan proyek mercusuarnya, piramida. Suharto dan rezimnya telah jatuh, namun nama reformasi justru identik dengan segelintir orang. Terkadang, sejarah butuh tumbal untuk merubah arah geraknya.
Gerakan-gerakan nativis, ratu adil dan gerakan-gerakan yang dikompori oleh komunis yang nyata-nyata membuat daya dan energi kolonial Belanda “letih”, justru tidak diapresiasi secara proporsional oleh sejarah. Siapa yang kenal dengan Chalid Salim ? Adik “old-man greatest” H. Agus Salim ini, oleh Takashi Shiraisi, dianggap sebagai pribadi konsekuen. Chalid yang menghabiskan masa-masa produktif intelektualnya menggeluti komunis-sosialis, menjadi salah satu penghuni Digul pada tahun 1920-an s/d 1930-an. Masa itu, Digul adalah “daerah hantu pembuangan” yang ditakuti oleh para pejuang Indonesia. Bersama-sama teman-temannya, Chalid yang diakhir hidupnya menganut agama Nasrani (dan ini disyukuri oleh kakaknya Agus Salim karena selama ini Chalid memproklamirkan dirinya sebagai atheis), menghabiskan hari-harinya di daerah zona 3 Digul.
Ketika itu, Pembuangan Digul oleh Belanda dibagi atas 3 zona. Zona 1 untuk para digulis (orang buangan) yang setelah dibuang ke Digul memperlihatkan kompromi dan bisa “dibina” oleh kolonial Belanda. Mereka ini diberi insentif untuk biaya hidup. Zona 2 bagi digulis yang dianggap “abu-abu”, antara melawan dan kompromi. Zona 3 merupakan zona bagi digulis yang nyata-nyata melawan kepada Belanda. Mereka tidak diberi biaya hidup. Survival in the fittest nyata terjadi di Zona 3 tersebut. Di Zona 3 ini, para digulis banyak berasal dari Minangkabau, diantaranya Hatta, Syahrir dan Chalid Salim. Tapi sayang, Chalid Salim hilang entah kemana dari catatan sejarah. Sejarah pada akhirnya, meminjam istilah dedengkot mazhab Frankfurt-Juergen Habermass, adalah sejarah yang dikondisikan oleh pemegang hegemoni. Justifikasi intelektual yang mencari pegangan ke masa lampau sangat jelas terlihat dalam perjalanan panjang sejarah "anak bangsa" Indonesia. Kita sebagai bangsa yang merdeka, senantiasa berhadapan dengan ketentuan-ketentuan politik dan ekonomi-global yang tidak dapat dikendalikan, bahkan cenderung tidak disadari seperti yang dikatakan oleh Adam Smith -- "tangan-tangan yang tak terlihat".
Ada perasan hanyut dalam arus global itu dan obat untuk menstabilkan semua itu adalah masa lampau yang diharapkan dan dapat menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah historisisme, sebuah pandangan yang mengabaikan sama sekali sejarah sebagai suatu perubahan dan dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang bisa diupayakan untuk masa yang akan datang.
Ketika itu, Pembuangan Digul oleh Belanda dibagi atas 3 zona. Zona 1 untuk para digulis (orang buangan) yang setelah dibuang ke Digul memperlihatkan kompromi dan bisa “dibina” oleh kolonial Belanda. Mereka ini diberi insentif untuk biaya hidup. Zona 2 bagi digulis yang dianggap “abu-abu”, antara melawan dan kompromi. Zona 3 merupakan zona bagi digulis yang nyata-nyata melawan kepada Belanda. Mereka tidak diberi biaya hidup. Survival in the fittest nyata terjadi di Zona 3 tersebut. Di Zona 3 ini, para digulis banyak berasal dari Minangkabau, diantaranya Hatta, Syahrir dan Chalid Salim. Tapi sayang, Chalid Salim hilang entah kemana dari catatan sejarah. Sejarah pada akhirnya, meminjam istilah dedengkot mazhab Frankfurt-Juergen Habermass, adalah sejarah yang dikondisikan oleh pemegang hegemoni. Justifikasi intelektual yang mencari pegangan ke masa lampau sangat jelas terlihat dalam perjalanan panjang sejarah "anak bangsa" Indonesia. Kita sebagai bangsa yang merdeka, senantiasa berhadapan dengan ketentuan-ketentuan politik dan ekonomi-global yang tidak dapat dikendalikan, bahkan cenderung tidak disadari seperti yang dikatakan oleh Adam Smith -- "tangan-tangan yang tak terlihat".
Ada perasan hanyut dalam arus global itu dan obat untuk menstabilkan semua itu adalah masa lampau yang diharapkan dan dapat menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah historisisme, sebuah pandangan yang mengabaikan sama sekali sejarah sebagai suatu perubahan dan dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang bisa diupayakan untuk masa yang akan datang.
Sederhana yang ingin saya sampaikan dalam tulisan di atas ........ Saat sekarang ini, banyak diantara masyarakat Indonesia mulai melupakan sejarah dan track seseorang ....... sekali lagi : ketika menilai seseorang, lihatlah life-track-nya.
Referensi : Takashi Shiraishi (2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar