Waktu akan lebih jujur untuk berkata/tidak sekarang, mungkin nanti/tapi itu pasti (Taufik Ismail)
Ibrahim Tan Malaka, si putra Pandan Gadang Suliki, diangkat Soekarno sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Kepres RI No. 53. Kepres ini ditandatangani Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963. Tradisi pengangkatan seseorang untuk menjadi pahlawan ini sendiri dimulai sejak tahun 1959 dengan Abdul Muis sebagai orang pertama yang dinobatkan sebagai pahlawan di Indonesia. Semenjak itu hingga tahun ini daftar pahlawan kita terus bertambah. Soekarno—yang baru dijadikan pahlawan 16 tahun sesudah kematiannya—mengatakan bahwa ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya’ dan itu seakan mesti menjadi suatu teguran bagi rezim Orde Baru yang telah menghilangkan nama Tan Malaka di buku sejarah resmi pemerintah. Tan Malaka tidak pernah hadir di dalam buku sejarah tapi gelar kepahlawannya tidak pernah dicabut. Tan Malaka menjadi pahlawan tanpa makam. Pada tanggal 14 April 2010, puluhan mahasiswa dari beberapa universitas terkemuka di Sumatera Barat memancangkan plang jalan Tan Malaka yang terletak di samping RRI di kota Padang. Sudah beberapa tahun jalan Tan Malaka—yang sebelah menyebelah dengan jalan Abdul Muis—dibiarkan pemerintah tanpa plang nama. Ini adalah suatu bentuk kepedulian mahasiswa untuk memunculkan kembali nama dan peran Tan Malaka khususnya di provinsi di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Namun kondisi ini menjadi semakin miris dikarenakan sebagian besar anak muda Sumatera Barat tidak kenal dengan siapa itu Tan Malaka.
Tan Malaka, jika lahir di Prancis maka ia akan diberikan satu gelar terhormat atasnya yaitu Grand Homme. Gelar ini sebagai pembeda untuk sebutan pahlawan sejenis di negara lain. Jika pahlawan dimaknai peranannya hanya untuk negeri itu sendiri maka Grand Homme adalah bukti pengabdiannya di ranah internasional. Nama-nama seperti Voltaire, Jim Morrison, Oscar Wilde, Victor Hugo hingga Marrie Currie adalah nama-nama yang diabdikan di berbagai Panthéon di Prancis—pekuburan terhormat untuk mereka. Mereka adalah politisi, pemusik, sastrawan, budayawan hingga ilmuwan yang buah karyanya terus berpengaruh besar hingga hari ini. Hari ini Taman Makam Pahlawan kita hanya didominasi oleh kaum militer belaka. Lalu ketika wacana menjadikan Soeharto dan Gus Dur sebagai pahlawan mulai mencuat beberapa waktu terakhir, apakah ini bukan saat yang tepat untuk kita bersama-sama mulai memikirkan ulang pemaknaan kita akan arti dari kata pahlawan itu sendiri? Oleh karena itu dalam peringatan Hari Pahlawan tahun ini sudah saatnya kita mulai melihat sejarah secara objektif dan arif bijaksana sehingga pemaknaan kita akan konsep kepahlawanan tidak menjadi sedemikian sempitnya. Sudah saatnya republik ini mempunyai panthéon-nya sendiri.
:: Referensi (c) : Devy KA., artikel ini dimuat di Haluan, 9 November 2010
Ibrahim Tan Malaka, si putra Pandan Gadang Suliki, diangkat Soekarno sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Kepres RI No. 53. Kepres ini ditandatangani Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963. Tradisi pengangkatan seseorang untuk menjadi pahlawan ini sendiri dimulai sejak tahun 1959 dengan Abdul Muis sebagai orang pertama yang dinobatkan sebagai pahlawan di Indonesia. Semenjak itu hingga tahun ini daftar pahlawan kita terus bertambah. Soekarno—yang baru dijadikan pahlawan 16 tahun sesudah kematiannya—mengatakan bahwa ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya’ dan itu seakan mesti menjadi suatu teguran bagi rezim Orde Baru yang telah menghilangkan nama Tan Malaka di buku sejarah resmi pemerintah. Tan Malaka tidak pernah hadir di dalam buku sejarah tapi gelar kepahlawannya tidak pernah dicabut. Tan Malaka menjadi pahlawan tanpa makam. Pada tanggal 14 April 2010, puluhan mahasiswa dari beberapa universitas terkemuka di Sumatera Barat memancangkan plang jalan Tan Malaka yang terletak di samping RRI di kota Padang. Sudah beberapa tahun jalan Tan Malaka—yang sebelah menyebelah dengan jalan Abdul Muis—dibiarkan pemerintah tanpa plang nama. Ini adalah suatu bentuk kepedulian mahasiswa untuk memunculkan kembali nama dan peran Tan Malaka khususnya di provinsi di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Namun kondisi ini menjadi semakin miris dikarenakan sebagian besar anak muda Sumatera Barat tidak kenal dengan siapa itu Tan Malaka.
Tan Malaka, jika lahir di Prancis maka ia akan diberikan satu gelar terhormat atasnya yaitu Grand Homme. Gelar ini sebagai pembeda untuk sebutan pahlawan sejenis di negara lain. Jika pahlawan dimaknai peranannya hanya untuk negeri itu sendiri maka Grand Homme adalah bukti pengabdiannya di ranah internasional. Nama-nama seperti Voltaire, Jim Morrison, Oscar Wilde, Victor Hugo hingga Marrie Currie adalah nama-nama yang diabdikan di berbagai Panthéon di Prancis—pekuburan terhormat untuk mereka. Mereka adalah politisi, pemusik, sastrawan, budayawan hingga ilmuwan yang buah karyanya terus berpengaruh besar hingga hari ini. Hari ini Taman Makam Pahlawan kita hanya didominasi oleh kaum militer belaka. Lalu ketika wacana menjadikan Soeharto dan Gus Dur sebagai pahlawan mulai mencuat beberapa waktu terakhir, apakah ini bukan saat yang tepat untuk kita bersama-sama mulai memikirkan ulang pemaknaan kita akan arti dari kata pahlawan itu sendiri? Oleh karena itu dalam peringatan Hari Pahlawan tahun ini sudah saatnya kita mulai melihat sejarah secara objektif dan arif bijaksana sehingga pemaknaan kita akan konsep kepahlawanan tidak menjadi sedemikian sempitnya. Sudah saatnya republik ini mempunyai panthéon-nya sendiri.
:: Referensi (c) : Devy KA., artikel ini dimuat di Haluan, 9 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar