Berkatalah seorang filosof, puisi tak mengemban tugas menyalin-rupa realitas seakurat mungkin. Ia bekerja dengan imajinasi. Puisi bergerak dalam ruang kehampiran, bukan keakuratan. Ukuran yang paling sesuai dengan puisi adalah performativitas: sukses-tidaknya ia menciptakan efek katarsis guna menekan nafsu-nafsu rendah. Pada perkembangan sejarah selanjutnya, puisi tak hanya dimartabatkan dengan timbangan etis, tetapi juga dipandang menghembuskan gairah epistemologis, geliat pencarian yang bahkan jauh lebih menukik ketimbang petualangan filsafati. Sebutlah misalnya keberpihakan Martin Heidegger (1889-1976) terhadap sajak-sajak penyair Jerman, Friedrich Holderin, yang disebutnya sebagai “sangkar kenyataan” di tengah kegersangan padang makna. Bagi Heidegger, puisi bukan saja sumber kenikmatan estetik, tapi juga mendedahkan nalar “baharu”. Nalar puitik, demikian Heidegger menyebutnya. Dan, lantaran ketekunan menyelami semesta keasingan yang misterius, dalam batas-batas tertentu, nalar puitik dapat menjadi puncak perjalanan filsafati. Demikian pembelaan Heidegger dalam The Thinker as Poet. Puisi memang tak berpretensi menyalin-rupa peristiwa, tapi ia sanggup membangun realitas baru dengan penampakan yang lain, yang dalam kesadaran non-puitik tiada pernah terpikirkan.
Fakir yang daif dagang yang hina/mengarang syair sebarang guna/sajaknya janggal banyak tak kena. Begitu lelaku kepenyairan Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam (1884) sebelum ia menulis syair berlatar suasana kalut dan panik, beberapa saat selepas letusan Krakatau (1883) yang disebut-sebut letusan paling akbar di sepanjang sejarah Bumi itu. Sebagaimana dicatat oleh Suryadi (2009) dalam Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883, syair yang pernah terbit dalam bentuk litografi di Singapura itu diidentifikasi sejumlah pakar sebagai “syair kewartawanan”. Sebentuk laporan pandang mata perihal sebuah peristiwa agar dapat diketahui khalayak, sebagaimana kerja jurnalistik masa kini. Dengan begitu, Syair Lampung Karam dapat menjadi salah satu dokumen sejarah tentang bencana maha-dahsyat yang pernah melanda negeri ini. Namun, aspek “khayali” (imajinasi) dan efek dramatik tentu tak lepas dari kerja kepenyairan. Tak diragukan bahwa Syair Lampung Karam bersandar pada fakta-fakta di seputar peristiwa letusan Krakatau 1883─sebelum atau sesudahnya─tapi penyair tidak semata-mata menyalin rupa peristiwa ke dalam syair. Mata kepenyairan lebih menukik pada labirin “suasana hati” saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri), atau yang disebut “Stimmung” oleh Martin Heidegger.
Sejumlah sajak yang terhimpun dalam kumpulan LUKAMATA barangkali juga dapat terkategori sebagai laporan pandang mata perihal sebuah bencana, misalnya: Dia mungkin hanya ingin bertanya/dia panggil aku, kamu, kita, berulang-kala, tapi kita tak menghiraukannya/Dia pasti hanya ingin sebentar saja/mempermisikan diri, dengan banyak maaf, dan gerik yang amat berhati-hati (sajak Gegap Gempa). Tapi, tidak mungkin mengharapkan akurasi yang utuh tentang sebuah peristiwa dari sajak ini. Begitu juga dengan sajak Di Lobi Hotel, Di Ruang Praktik Dokter Gigi, Ke Remang Kemang, dan Di Ruang Tunggu Keberangkatan. Sebab, penyair hanya mengambil aspek mental dari sebuah peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Lagi pula, realitas itu, semakin dibahasakan, alih-alih semakin jelas dan terang-benderang, malah semakin menyusut. Itu sebabnya, Ludwid Wittgeinstein (1889-1951) menegaskan bahwa bahasa bersifat “sewenang-wenang” terhadap realitas. Dan, kesemena-menaan bahasa itulah yang hendak dilawan oleh bahasa puisi, meski dalam kenyataannya, ada yang berhasil membuat bahasa bertekuk lutut, ada pula yang terpelanting sebagai pecundang.
Namun, bagaimanapun juga, ada sebuah medan asing yang sejak berkurun-kurun lalu telah dihuni oleh puisi. Para filsuf menyebutnya semesta keremang-remangan, medan kehampiran yang tak berhingga, atau yang dalam analogi Nietzsche: pelayaran yang tiada bakal tertambat di sebuah pelabuhan. Bila lelaku filsafat berhasrat hendak berlabuh pada sebuah totalitas kebenaran, puisi justru tekun menggali lubang-lubang kemungkinan. Di titik ini, puisi bukanlah sebuah modus peniruan, penggambaran, penyalinan, sebagaimana dipersangkakan selama ini, melainkan medium penyingkapan ranah misterius, medan keremangan yang senyap, atau yang disebut aleitheia oleh Heidegger. Penyingkapan itu hanya dapat digenggam oleh kesadaran murni, ketika puisi tidak lagi melulu dipandang sebagai benda-benda literer yang diam─hingga ia terkurung dalam kuasa kesadaran subyek (pembaca/pengamat). Bila dalam tradisi pengkajian puisi selama ini yang berlaku adalah bagaimana kesadaran subyek merumuskan makna sebuah puisi, maka dalam perbincangan ini, modusnya diputar-balik menjadi; bagaimana cara puisi menyingkapkan dirinya kepada subyek pembaca, sehingga dengan ketersingkapan itu, puisilah yang menentukan, bahkan membentuk kesadaran subyek pembacanya.
Mari kita praktikkan prosedur ganjil ini pada sajak Lukamata yang menjadi tajuk antologi ini. AKU akan jadi tua/tebu terunduk/seseruas batang memanjang/sebelum datang seorang penebang/dengan parang tak berlidah/tak kenal manis atau hambar sepah. Dengan segala hormat, mohon abaikan segala asumsi dan pra-konsepsi tentang analogi tebu yang pada lazimnya semakin menanjak ke pucuk bukannya semakin matang─malah semakin hambar. Tundalah pertanyaan: kenapa aku lirik tidak menamai dirinya dengan analogi padi, yang semakin berisi semakin runduk? Setelah ruang kesadaran benar-benar kosong, biarkan sajak itu menyingkapkan dirinya, dan rasakan apa yang terjadi! Di titik ini, yang hendak direngkuh bukan lagi esensi atau substansi, melainkan situasi keterhubungan (relasionalitas) yang tak pernah padam antara pembaca dengan sajak itu. Adapun yang perlu dicatat adalah bahwa cara sebuah sajak menyingkapkan dirinya selalu berbeda pada setiap subyek pembaca. Persepsi seorang perempuan yang baru saja kematian suami terhadap sekuntum bunga, dipastikan berbeda, bahkan bertolak belakang dengan persepsi perempuan yang sedang dimabuk asmara terhadap bunga yang sama. Begitu pula persepsi pembaca terhadap analogi tebu dalam sajak Lukamata. Ia akan tenggelam dalam keberbagaian yang tak berhingga, kehampiran tak bersudah, hingga kuasa tunggal kesadaran subyek juga ikut terhisap ke dalamnya.
Tengok pula sejumlah bait: Keadilan sedang sakit/sakit bersama kami, para pasien yang tak tahu harus berobat ke mana/ke rumah sakit? Aduh, kami akan tambah sakit, dan kami tak boleh mengeluh/karena keluhan hanya akan membawa kami ke gedung sakit lain bernama pengadilan/dan di sana dengan hakim yang sakit, keadilan yang sakit, kami tak akan pernah bisa sembuh (sajak “Apakah Rumah Sakit di Kotamu Suka Memakan Pasiennya Juga?”). Seorang korban malpraktik tentu akan menyambut sajak ini dengan penuh-riang, karena mewakilkan gairah perlawanannya. Tapi, seperti apa kesadaran subyek yang akan terbentuk bila pembacanya seorang dokter teladan? Tentu ia akan mengurut dada, sebab ia harus menanggung hukuman dan ganjaran yang tak semestinya.Maka, sajak sebagai obyek dan pembaca sebagai subyek, dapat saling bertukar-tempat, lalu sama-sama tenggelam dalam puspa-ragam kesadaran yang tercipta. Puisi, apapun bentuk dan alirannya, akan selalu bersarang dalam liang keasingan. Dunia lain yang bisa saja terbangun dari hal-ihwal remeh. Namun, di tangan penyair, ia tersingkap dalam rupa yang lain, tak lazim dan sukar digapai oleh kesadaran non-puitik. Ada yang menimbang bahwa sajak-sajak Hasan Aspahani─katakanlah sejak Orgasmaya (2007), Telimpuh (2009), mungkin pula buku terkini yang akan pembaca selami ini─tidak berangkat dari gagasan besar, tapi dari persoalan remeh dan sepele, yang tanpa dipuisikan pun tetap terpahami. Saya kira, setiap sajak lahir dengan “asbab ul-wurud” sendiri-sendiri. Persoalannya bukan remeh atau tak remeh, tapi sejauhmana kesadaran penyair dapat menggapai keasingan yang tak tersentuh itu, hingga yang remeh dapat tegak sebagai gagasan besar, penting dan perlu. Sentimentalisme itu dapat dimaklumi, sebab puisi masih dipandang sebagai modus penyampaian sejumlah pesan, bukan sebagai medium penyingkapan realitas “baharu” yang tak terukur.
Pada mulanya adalah kaki, lalu perjalanan dari sepatu ke sepatu. Pada mulanya hati, lalu perjalanan dari ragu-ragu. Bukankah begitu maklumat yang masih terpampang di weblog “sejuta puisi” milik Hasan Aspahani? Pada mulanya memang soal “Sakit Hati”, yang sekilas-pintas sama saja dengan encok, pegal linu, sariawan atau sakit gigi. Tapi, adakah sebuah pemahaman yang padat tentang bagian tubuh mana yang paling sakit ketika seseorang terjangkit “saki hati?” Dapatkan positivisme sains yang mengklaim telah berhasil menjelaskan 1/3 dari semua gejala di semesta jagat raya, merumuskan teori yang tak terbantahkan perihal “sakit hati”? Di sinilah jasa puisi mesti ditandai. Ia menyingkapkan segala macam rasa sakit yang tak pernah jelas di bagian tubuh mana menjalarnya. Sakit karena pada mulanya seolah-olah dicintai padahal dibenci, seolah-olah dapat dipercayai tapi dengan gampang mengkhianati, seolah-olah dipuji padahal sedang disumpah-serapahi. Inilah dunia tak kasatmata, dunia abu-abu, tempat puisi bersitumbuh. Ia mengumpulkan remah-remah rasa sakit yang berserak di segala tempat, dari waktu ke waktu ia tumpuk hingga membentuk piramida kesakitan yang menjulang tinggi. Tapi anehnya, setelah rasa sakit itu disingkapkan oleh puisi, percaya atau tidak, ia berubah menjadi obat.
(c) Damhuri "Yonk" Muhammad (sources : diskusi facebook)
Fakir yang daif dagang yang hina/mengarang syair sebarang guna/sajaknya janggal banyak tak kena. Begitu lelaku kepenyairan Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam (1884) sebelum ia menulis syair berlatar suasana kalut dan panik, beberapa saat selepas letusan Krakatau (1883) yang disebut-sebut letusan paling akbar di sepanjang sejarah Bumi itu. Sebagaimana dicatat oleh Suryadi (2009) dalam Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883, syair yang pernah terbit dalam bentuk litografi di Singapura itu diidentifikasi sejumlah pakar sebagai “syair kewartawanan”. Sebentuk laporan pandang mata perihal sebuah peristiwa agar dapat diketahui khalayak, sebagaimana kerja jurnalistik masa kini. Dengan begitu, Syair Lampung Karam dapat menjadi salah satu dokumen sejarah tentang bencana maha-dahsyat yang pernah melanda negeri ini. Namun, aspek “khayali” (imajinasi) dan efek dramatik tentu tak lepas dari kerja kepenyairan. Tak diragukan bahwa Syair Lampung Karam bersandar pada fakta-fakta di seputar peristiwa letusan Krakatau 1883─sebelum atau sesudahnya─tapi penyair tidak semata-mata menyalin rupa peristiwa ke dalam syair. Mata kepenyairan lebih menukik pada labirin “suasana hati” saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri), atau yang disebut “Stimmung” oleh Martin Heidegger.
Sejumlah sajak yang terhimpun dalam kumpulan LUKAMATA barangkali juga dapat terkategori sebagai laporan pandang mata perihal sebuah bencana, misalnya: Dia mungkin hanya ingin bertanya/dia panggil aku, kamu, kita, berulang-kala, tapi kita tak menghiraukannya/Dia pasti hanya ingin sebentar saja/mempermisikan diri, dengan banyak maaf, dan gerik yang amat berhati-hati (sajak Gegap Gempa). Tapi, tidak mungkin mengharapkan akurasi yang utuh tentang sebuah peristiwa dari sajak ini. Begitu juga dengan sajak Di Lobi Hotel, Di Ruang Praktik Dokter Gigi, Ke Remang Kemang, dan Di Ruang Tunggu Keberangkatan. Sebab, penyair hanya mengambil aspek mental dari sebuah peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Lagi pula, realitas itu, semakin dibahasakan, alih-alih semakin jelas dan terang-benderang, malah semakin menyusut. Itu sebabnya, Ludwid Wittgeinstein (1889-1951) menegaskan bahwa bahasa bersifat “sewenang-wenang” terhadap realitas. Dan, kesemena-menaan bahasa itulah yang hendak dilawan oleh bahasa puisi, meski dalam kenyataannya, ada yang berhasil membuat bahasa bertekuk lutut, ada pula yang terpelanting sebagai pecundang.
Namun, bagaimanapun juga, ada sebuah medan asing yang sejak berkurun-kurun lalu telah dihuni oleh puisi. Para filsuf menyebutnya semesta keremang-remangan, medan kehampiran yang tak berhingga, atau yang dalam analogi Nietzsche: pelayaran yang tiada bakal tertambat di sebuah pelabuhan. Bila lelaku filsafat berhasrat hendak berlabuh pada sebuah totalitas kebenaran, puisi justru tekun menggali lubang-lubang kemungkinan. Di titik ini, puisi bukanlah sebuah modus peniruan, penggambaran, penyalinan, sebagaimana dipersangkakan selama ini, melainkan medium penyingkapan ranah misterius, medan keremangan yang senyap, atau yang disebut aleitheia oleh Heidegger. Penyingkapan itu hanya dapat digenggam oleh kesadaran murni, ketika puisi tidak lagi melulu dipandang sebagai benda-benda literer yang diam─hingga ia terkurung dalam kuasa kesadaran subyek (pembaca/pengamat). Bila dalam tradisi pengkajian puisi selama ini yang berlaku adalah bagaimana kesadaran subyek merumuskan makna sebuah puisi, maka dalam perbincangan ini, modusnya diputar-balik menjadi; bagaimana cara puisi menyingkapkan dirinya kepada subyek pembaca, sehingga dengan ketersingkapan itu, puisilah yang menentukan, bahkan membentuk kesadaran subyek pembacanya.
Mari kita praktikkan prosedur ganjil ini pada sajak Lukamata yang menjadi tajuk antologi ini. AKU akan jadi tua/tebu terunduk/seseruas batang memanjang/sebelum datang seorang penebang/dengan parang tak berlidah/tak kenal manis atau hambar sepah. Dengan segala hormat, mohon abaikan segala asumsi dan pra-konsepsi tentang analogi tebu yang pada lazimnya semakin menanjak ke pucuk bukannya semakin matang─malah semakin hambar. Tundalah pertanyaan: kenapa aku lirik tidak menamai dirinya dengan analogi padi, yang semakin berisi semakin runduk? Setelah ruang kesadaran benar-benar kosong, biarkan sajak itu menyingkapkan dirinya, dan rasakan apa yang terjadi! Di titik ini, yang hendak direngkuh bukan lagi esensi atau substansi, melainkan situasi keterhubungan (relasionalitas) yang tak pernah padam antara pembaca dengan sajak itu. Adapun yang perlu dicatat adalah bahwa cara sebuah sajak menyingkapkan dirinya selalu berbeda pada setiap subyek pembaca. Persepsi seorang perempuan yang baru saja kematian suami terhadap sekuntum bunga, dipastikan berbeda, bahkan bertolak belakang dengan persepsi perempuan yang sedang dimabuk asmara terhadap bunga yang sama. Begitu pula persepsi pembaca terhadap analogi tebu dalam sajak Lukamata. Ia akan tenggelam dalam keberbagaian yang tak berhingga, kehampiran tak bersudah, hingga kuasa tunggal kesadaran subyek juga ikut terhisap ke dalamnya.
Tengok pula sejumlah bait: Keadilan sedang sakit/sakit bersama kami, para pasien yang tak tahu harus berobat ke mana/ke rumah sakit? Aduh, kami akan tambah sakit, dan kami tak boleh mengeluh/karena keluhan hanya akan membawa kami ke gedung sakit lain bernama pengadilan/dan di sana dengan hakim yang sakit, keadilan yang sakit, kami tak akan pernah bisa sembuh (sajak “Apakah Rumah Sakit di Kotamu Suka Memakan Pasiennya Juga?”). Seorang korban malpraktik tentu akan menyambut sajak ini dengan penuh-riang, karena mewakilkan gairah perlawanannya. Tapi, seperti apa kesadaran subyek yang akan terbentuk bila pembacanya seorang dokter teladan? Tentu ia akan mengurut dada, sebab ia harus menanggung hukuman dan ganjaran yang tak semestinya.Maka, sajak sebagai obyek dan pembaca sebagai subyek, dapat saling bertukar-tempat, lalu sama-sama tenggelam dalam puspa-ragam kesadaran yang tercipta. Puisi, apapun bentuk dan alirannya, akan selalu bersarang dalam liang keasingan. Dunia lain yang bisa saja terbangun dari hal-ihwal remeh. Namun, di tangan penyair, ia tersingkap dalam rupa yang lain, tak lazim dan sukar digapai oleh kesadaran non-puitik. Ada yang menimbang bahwa sajak-sajak Hasan Aspahani─katakanlah sejak Orgasmaya (2007), Telimpuh (2009), mungkin pula buku terkini yang akan pembaca selami ini─tidak berangkat dari gagasan besar, tapi dari persoalan remeh dan sepele, yang tanpa dipuisikan pun tetap terpahami. Saya kira, setiap sajak lahir dengan “asbab ul-wurud” sendiri-sendiri. Persoalannya bukan remeh atau tak remeh, tapi sejauhmana kesadaran penyair dapat menggapai keasingan yang tak tersentuh itu, hingga yang remeh dapat tegak sebagai gagasan besar, penting dan perlu. Sentimentalisme itu dapat dimaklumi, sebab puisi masih dipandang sebagai modus penyampaian sejumlah pesan, bukan sebagai medium penyingkapan realitas “baharu” yang tak terukur.
Pada mulanya adalah kaki, lalu perjalanan dari sepatu ke sepatu. Pada mulanya hati, lalu perjalanan dari ragu-ragu. Bukankah begitu maklumat yang masih terpampang di weblog “sejuta puisi” milik Hasan Aspahani? Pada mulanya memang soal “Sakit Hati”, yang sekilas-pintas sama saja dengan encok, pegal linu, sariawan atau sakit gigi. Tapi, adakah sebuah pemahaman yang padat tentang bagian tubuh mana yang paling sakit ketika seseorang terjangkit “saki hati?” Dapatkan positivisme sains yang mengklaim telah berhasil menjelaskan 1/3 dari semua gejala di semesta jagat raya, merumuskan teori yang tak terbantahkan perihal “sakit hati”? Di sinilah jasa puisi mesti ditandai. Ia menyingkapkan segala macam rasa sakit yang tak pernah jelas di bagian tubuh mana menjalarnya. Sakit karena pada mulanya seolah-olah dicintai padahal dibenci, seolah-olah dapat dipercayai tapi dengan gampang mengkhianati, seolah-olah dipuji padahal sedang disumpah-serapahi. Inilah dunia tak kasatmata, dunia abu-abu, tempat puisi bersitumbuh. Ia mengumpulkan remah-remah rasa sakit yang berserak di segala tempat, dari waktu ke waktu ia tumpuk hingga membentuk piramida kesakitan yang menjulang tinggi. Tapi anehnya, setelah rasa sakit itu disingkapkan oleh puisi, percaya atau tidak, ia berubah menjadi obat.
(c) Damhuri "Yonk" Muhammad (sources : diskusi facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar