Minggu, 05 Desember 2010

Strategi (Canggih) SBY dalam Kasus Keistimewaan Yogyakarta

Oleh : Muhammad Ilham

" .... politik itu strategi komunikasi, tak selamanya Jenderal pergi ke medan laga ... " (Eisenhower)

" ... keep your friend close but your enemy closer !" (Pepatah Inggris)

Sebagaimana yang telah dijanjikan SBY, maka pada Kamis (2/12/2010) kemaren, SBY berpidato - klarifikasi, tepatnya, berkaitan dengan polemik Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pidato SBY kemarin itu sangat normatif dan mencari aman. SBY mencoba menurunkan tensi ketegangan pasca pernyatan 26 November lalu yang terkesan membenturkan monarki dan demokrasi. Dia kemarin mencoba menyenangkan semua pihak dengan mengambangkan sikap politik terkait RUU Keistimewaan Yogya. Dalam pidato dia membedakan sikap personal dan pemerintah. Secara personal, dia setuju kepala pemerintahan ditetapkan, tapi di sisi lain menunggu kesepakan pemerintah via Kemendagri dan DPR. Pesan Djoko Suyanto (Menkopolhukam) lebih "clear" di mana ingin mencari alternatif dengan menempatkan raja sebagai kepala daerah, tapi kepala pemerintahannya dipilih. SBY mengambangkan itu dan mempersilakan anak buahnya bersikap lebih tegas sebelum (draf) dinaikkan ke DPR. Sikap pemerintah jangka panjang dinyatakan oleh Mendagri dan Menkopolhukam. Ini strategi canggih untuk melempar bola panas melalui anak buah. SBY membuat center of attraction tidak lagi di dirinya tapi di Menteri Dalam Negeri (Gamawan Fauzi) dan Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Djoko Suyanto).

Anak buah bersama DPR yang kemudian membawa bola panas. SBY ingin cari aman. Seharusnya ini dilakukan sejak awal kalau mau cari aman, tapi sekarang "nasi sudah menjadi bubur". Kemarin dia mencoba mengambangkan dengan mengajukan anak buahnya membawa kontroversi ke DPR. Bila dilihat secara jernih, usulan RUU ini mengakomodasi sebagian besar ide tim Universitas Gadjah Mada UGM. Kalau kita baca monograf UGM dengan RUU pemerintah, sebagian besar sama. Banyak pengamat yang berpendapat bahwa ini jalan tengah yang baik. Kalau Sultan dan Paku Alam diletakkan di atas dan punya kemampuan untuk memveto, dikhawatirkan kalau veto dilakukan secara "overdosis" maka kinerja pemerintah jadi sering terganggu. Karena itu veto harus digunakan sesuai kadar. Selain itu kalau misalnya Sultan ditempatkan sebagai Parardhya maka kehilangan hak politik. Ini mencederai hak Sultan, karena tidak bisa maju dalam pemilihan meskipun punya kewenangan simbolik luar biasa.

Dalam pidatonya, SBY mengingatkan bahwa Sulthan pernah minta mengundurkan diri jadi Gubernur DIY. Ini bahasa yang sangat halus yang ingin digiringkan SBY bahwa Sultan sebagai gubernur karena kebesaran hati SBY yang bersedia memperpanjang (jabatan gubernur). Ini pesan yang sangat halus kepada Sultan dan masyarakat Yogya, bahwa SBY sangat perhatian dan berbesar hati dengan perpanjangan kepada Sultan. SBY memperpanjang sampai RUU kelar. Bisa dimaknai 'jangan macam-macam karena ada "utang budi'. Dan mungkin pesan ini sampai. Lagi-lagi pidato kemarin khas SBY untuk membalik keadaan yang awalnya menyudutkan dirinya. Apa yang disampaikan SBY pada 26 November lalu merupakan strategi politik yang salah. Pidato yang disampaikan kemarin mengambang, normatif, tidak jelas. Lalu malamnya diikuti penyematan penghargaan bagi Sultan. Ini tipikal SBY untuk menggaet simpati bukan hanya Sultan tapi juga masyarakat Yogya, sehingga momentum disesuaikan.

Inspired : Burhanuddin Muhtadi/detik.com & Metro TV

Tidak ada komentar: