"storia e storia contemporania ..... sejarah yang sejarah itu, adalah sejarah kekinian" (Benndicto Croce)
"saya benci dosa, tapi bukan si-pendosanya .. !" (Mahatma Gandhi)
Beberapa bulan belakangan ini, ada tokoh yang menjadi "fokus" diskusi dalam status saya di facebook, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad. Berbagai reaksi muncul dalam diskusi. Komentar ringan mendukungnya hingga pandangan sinis. Sinis bukan pada karakter pribadinya, tapi lebih kepada "habitat"nya yang terbentuk dari negara penganut Syi'ah (Itsna Asy'ariah) terbesar di dunia, Iran. Beberapa komentar "miring" juga agak sedikit pedas, dialamatkan beberapa sahabat-teman diskusi ke Inbox saya. Saya dikatakan telah dipengaruhi oleh aliran Syi'ah, sebuah aliran yang dianggap (tentunya oleh yang anti Syi'ah) sebagai aliran sesat. Menjadikan foto Ahmadinedjad (terkadang Khomeini) di Pic Profile saya, seakan-akan membuat beberapa sahabat saya ingin mengatakan : "Anda telah menjadi Syi'ah". Dengan segala dalil-hadits, mereka utarakan pada saya (via In-Box) yang lucunya justru dalil-dalil hadits versi sunni. Saya hanya tertawa, dan terkadang membalas sinisme mereka dengan ungkapan : "daripada saya mengagumi Paus Benedictus atawa Brad Pitt apalagi Micahel Jackson, kan lebih baik saya mengagumi Ahmadinedjad". Saya tak tahu persis mengenai Syi'ah hingga detail aqidahnya, saya juga yakin, beberapa sahabat saya itu juga tak memahami Syi'ah dengan baik. Paling-paling mereka "membaca dan meneropong" Syi'ah dari kacamata ulama-ulama anti Syi'ah. Walau saya cukup familiar - bukan berarti memahami betul - dengan buku-buku (terjemahan) karangan Ayatullah Ruhullah Khomeini, Ayatullah Mohammad Baqr al-Shadr, Ali Shariati, Murthada Mutahhari, Ayatullah Nateq Nauri, Allahamah Thabathaba'i, Ayatullah Bahesti dan buku-buku Kang Jalal (Djalaluddin Rahmat), toh saya belum memahami dengan baik Syi'ah. Kala saya masih kecil (Sekolah Dasar) sekitar tahun 1980 - 1986, oleh almarhum ayah yang selalu berlangganan Majalah Tempo di kampung kecil kami - Air Bangis Pasaman Barat - saya sudah sering melihat foto-foto elit politik Iran seumpama Abolhassan Bani Sadr, Ali Raja'i, Gotbzadeh ataupun Ali Shariati (yang terakhir ini pernah menjadi intellektual yang saya idola-kan hingga skripsi saya (1999) mengupas analisis komparasi pemikirannya dengan Marxisme. Saya hanya berusaha empati dan menyimpulkan bahwa mereka muslim, dan saya muslim, berarti formulanya kita bersaudara. Itu saja. Kebetulan dari kecil hingga saya "mengaji" di Perguruan Tinggi, saya agak dekat dengan Ahlussunah wal Jama'ah dan Muhammadiyah, tapi bukan berarti, semua itu mengekang saya untuk mengagumi seorang dua orang tokoh yang inspiratif yang bukan berasal dari "habitat" yang membentuk masa kecil hingga dewasa saya.
Kita sering mendengar kisah-kisah kezuhudan ulama dan kesederhanaan elit politik masa dulu. Tapi itu masa dulu. Mereka juga hidup dengan nilai-nilai pada masanya, tantangan masanya. Bisa jadi inspirasi bagi kita, tapi tidak begitu "matching" dengan kerinduan kekinian kita. Lalu mari-lah kita inventaris satu demi satu, pada siapa kita menyandarkan kekaguman untuk dijadikan inspirasi bagi kita. Para Sulthan di Timur Tengah, atau pemimpin Islam di Asia Tenggara ? Banyak yang "menjulang", tapi kemunjalangan mereka bukan pada sesuatu yang kita rindukan. Untuk memahami bagaimana "agungnya" sebuah praktek politik, yang didalamnya tak ada dendam-kesumat politik, nampaknya kita (terpaksa) membaca "kehidupan" seorang Nelson Mandela. Padanya kita akhirnya tahu, bahwa panggung politik itu indah, kala dendam politik diredam ke titik nol. Ketika, beberapa bulan yang lalu, saya "menawarkan" figur Nelson Mandela dalam diskusi facebook saya, ada pula yang mengatakan : "takkah ada tokoh dari kita yang nampak oleh anda ? Mengapa orang bukan seagama kita yang anda agung-agungkan?". Ketika saya sodorkan pertanyaan, "Apakah anda telah pernah membaca (sedikit saja) nilai-nilai luhur Mandela ? Dalam pertarungan politik yang penuh intrik, apakah ada tokoh yang bisa anda sodorkan kepada kita semua sebagai sumber inspirasi seperti Mandela?". "Ada, nabi Muhammad", kata mereka. Akhirnya diskusi selesai, dan mereka kalah. Nabi Muhammad itu sudah pasti. Tapi juga ada sebuah kesemestian, saya dan kita hidup pada zaman sekarang, maka saya dan kita butuh, tokoh-tokoh inspiratif yang memiliki nilai-nilai "kesekarangan".
Kembali ke Ahmadinedjad. Bagi saya, ia adalah segelintir tokoh dunia, yang hidupnya mirip dengan gabungan "kemandirian" Soekarno dan kesederhanaan Muhammad Natsir serta Agus Salim. Posisi sebagai penguasa memang hal yang selalu menggiurkan banyak kalangan, terlepas apakah mereka memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengembannya ataupun tidak. Terlepas apakah model kehidupan pribadi, keluarga dan kelompok mereka dengan pemikirannya bisa diteladani oleh masyarakat banyak. Syahwat politik memang tidak jarang menenggelamkan akal sehat manusia dalam sejarahnya. Kebanyakan para pencari dan penggila kekuasaan di negeri ini cenderung berpikir pragmatis, janji berbuat banyak untuk rakyat hanya terucap dan diikrarkan saat berusaha meraih simpati rakyat agar memilihnya saat pesta pemilihan umum. Bahkan para politisi sekelas partai Islam saja tidak konsisten untuk hidup dalam kesederhanaan, rapat di tempat-tempat mewah dengan alasan untuk kepentingan dakwah dan umat, belum lagi dengan parpol lainnya yang lebih dulu mengurangi optimisme kita untuk menyaksikan peragaan hidup sederhana oleh para politisi mereka. Kita pantas tersayat mendengar berita yang sangat mengiris hati. Anggaran untuk baju dan furniture presiden serta anggaran untuk Keppres dan pidato presiden yang mencapai angka miliaran. Pelesiran Dewan kita ke luar negeri dengan alasan studi banding di saat negeri ini sedang ditimpa oleh berbagai musibah dan sebagainya.
Kemudian lihat saja buktinya, setiap menjelang pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif, jendela-jendela mobil mewah para kandidat dipastikan akan banyak yang terbuka, kacamata hitam mereka dipastikan akan disimpan sejenak, para kandidat akan menari dari kampung ke kampung sambil mengiba kepada rakyat agar meraih simpatinya, dan selepas itu, mereka yang menang akan kembali jarang terdengar sebagaimana populernya mereka saat menjelang pemilihan umum, mereka demikian sibuk sebagai alasan untuk menjauh dari rakyat. Itulah fakta yang selalu kita saksikan dan mungkin akan kembali kita saksikan. Dan tentunya, ini adalah hal yang ironis dan memiriskan hati kita sebagai rakyat. Sejujurnya, kesederhanaan pada diri pemimpin dan pejabat di negeri ini di semua levelnya merupakan kerinduan terbesar bagi rakyat di negeri ini. Saya tidak percaya kesederhanaan bagi seorang pemimpin itu adalah hal yang tidak mungkin (mustahil), karena faktanya, saat ini kita sedang menyaksikan tampilan penuh kharisma seorang pemimpin sekelas Mahmoud Ahmadinejad, seorang presiden Iran yang saat ini begitu poluler dengan kesederhanaannya di samping karena konsistensinya menentang arogansi Amerika Serikat dan negera-negara Barat yang hegemonik.
Pola hidup Ahmadinejad saat ini menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, khususnya para pemuda-pemudi yang merindukan pemimpin sederhana. Membaca status-status di jejaring sosial Facebook serta di miling list, terlihat sekali bagaimana kerinduan mereka yang memiliki semangat baru untuk hidup dalam naungan seorang pemimpin yang sederhana. Setiap kali mereka berbicara tentang Ahmadinejad yang begitu populer, kesederhanaannya-lah yang selalu mereka bicarakan dan menjadi alasan utama mereka yang menggandrungi sosok Ahmadinejad selain karena keseriusannya untuk membawa Iran ke puncak kemajuan dan menentang semua pihak yang menghalangi kebangkitan negeri itu. Kapasitas dan tekad seorang pemimpin untuk membangun negeri memang perlu, tapi faktor kesederhanaan tetaplah alasan utama rakyat mencintai para pemimpinnya. Karena pemimpin atau pejabat yang sederhana akan dipandang dekat dengan rakyat, dianggap turut merasakan kepedihan rakyatnya meski ia belum sanggup membantu rakyat di semua level untuk keluar dari kepapaannya. Rakyat memang butuh materialisme, tapi jangan lupa, materialisme tidak selamanya menjadi alasan kecintaan dan kebersamaan rakyat kepada pemimpinnya. Beberapa waktu lalu, Ahmadinejad melelang mobil pribadinya untuk membantu rakyat miskin di negerinya, berbanding lurus dengan sikap para politisi kita, mengeruk untung di atas derita rakyatnya, lihatlah berapa banyak orang kaya baru pasca kehancuran yang menimpa rakyat Indonesia oleh tragedi tsunami dan konflik, bandingkan dengan realitas kondisi rakyat yang hingga kini masih memprihatinkan.
Ahmadinejad seperti yang ditulis oleh banyak sumber suatu ketika diwawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya: "Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?" Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya. 'Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran'." Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya, ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu-satunya uang masuk adalah uang gaji bulanannya. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinya seorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yang selalu dibawa sang Presiden tiap hari selalu berisikan sarapan : roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden. Begitu juga banyak kesederhanaannya lainnya yang diperlihatkan oleh Ahmadinejad. Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden? Tidak! Sekali-kali tidak. Begitulah model pemimpin yang dirindukan oleh rakyatnya. Adakah pemimpin atau calon pemimpin kita di Indonesia yang siap hidup sesederhana Ahmadinejad seperti yang diajari Rasulullah? Wallahu a'lam, namun penulis kira, kita belum memilikinya dan harus mencarinya karena pemimpin model Ahmadinejad tidak tergila-gila kepada jabatan!
:: Saya hanya (sekedar) mengagumi Ahmadinedjad, sebagaimana juga saya (sekedar) mengagumi ayah saya, ibu saya dan istri saya. Sekedar, karena membabi buta, justru menjatuhkan kita pada kewarasan dalam berfikir. Beberapa sahabat saya, setidaknya dari diskusi (terutama di Inbox facebook saya) tidak (sekedar) membenci Syi'ah, tapi betul-betul membenci, walau tidak pernah membaca berbagai buku tentang Syi'ah dari kalangan intelektual Syi'ah, toh kalaupun mereka baca, mereka hanya sekedar membacanya saja, bukan dengan "hati". Wallahu a'lam bish shawab. Semoga denai salah !
Sambutan meriah dan spektakuler terhadap Ahmadinedjad di Lebanon. Kapan SBY bisa disambut meriah negara lain ? .... di negara sendiri justru sering di demo oleh demonstran.
Sumber foto : www.irna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar