Senin, 20 Desember 2010

Ketika Bola Lebih Bermakna dari Politik : "Garuda di Dadaku"

Oleh : Muhammad Ilham

Teringatlah saya dengan ucapan salah seorang petinggi panitia Nobel Prize, "Seandainya bola itu orang, niscaya ia akan memperoleh hadiah nobel berulang kali".

Dan setidaknya itu terasa di Indonesia. Sudah sekian bulan, ranah publik diisi oleh syak wasangka politik, permainan "batu domino" hukum yang tak kunjung tamat-tamat, duka-pilu alam yang "enggan" bersahabat, membuat publik terkotak-kotak, tapi tak jarang mereka muak. Dua puluh empat jam tayangan TV diisi oleh berita-berita pengamat yang luar "biasa pintar", karena dengan amat begitu mudah ia memetakan kesalahan-kesalahan elit politik bangsa ini. Seringkali TV dan media massa cetak lainnya (setidaknya demikian yang saya rasakan) "menghantuk-hatukkan" satu kelompok dengan kelompok yang lain, tentunya dengan dimoderasi oleh pengamat politik yang luar "biasa pintar" tadi (bukan "luar biasa pintar", tapi luar "biasa pintar"). Sebagai pelaku ekonomi, TV tentunya lebih mengedepankan berita yang kontroversial - "hangat" dalam bahasa Rosihan Anwar. "Bila berita dingin apalagi basi, tentunya berita itu tak menarik, bila perlu hangat-hangat cirit ayam-lah", kata jurnalis senior asal Sumatera Barat ini. Akhirnya, jadilah publik selalu berada dalam kotak-kotak yang senantiasa berseberangan di antara mereka. Senantiasa curiga dengan semua elit (elit politik, elit sosial bahkan elit agama). Musykil mempersatukan mereka, karena memori publik selalu disuguhi menu yang membuat mereka tak harus bersatu.

Tapi lihatlah, satu bulan belakangan ini. Markus Harison Rihihina, Mohamad Nasuha, Zulkifli Syukur, Maman Abdurachman, Christian Gerard Alfaro Gonzales, Bambang Pamungkas, Oktavanius Maniani, Arif Suyono, Firman Utina dan kawan-kawan, mampu menjadi "perekat" publik untuk mencintai negara dan bangsa ini. Garuda di Dadaku menjadi icon yang emosional bagi seluruh masyarakat belakangan ini, melintasi strata sosial, melintasi usia. Yaa, publik merindukan sesuatu yang membuat mereka bangga. Dan itu mereka dapatkan pada sesuatu yang selama ini "hampir tak bisa mereka harapkan", Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Cobalah lihat, antusiasme penonton itu tanpa kotak-kotak politik, tulus sepenuh hati dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang menyemangati anak-anak asuhan pelatih Alfred Riedl tersebut. Seandainya-lah antusiasme itu mendominasi suasana kita berbangsa dan bernegara, barangkali, program kabinet dan kinerja DPR semakin berkenan di hati rakyat. Berkenan karena para aktor dan elit negara dan politik itu kian bergairah, karena apa yang dilakukannya dielu-elukan publik, sebagaimana penonton GBK memberikan hatinya kepada Firman dkk.

Dalam praktik komunikasi empirik, hubungan aktor dan rakyat itu dikenal. Lakon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) boleh dikata tidaklah buruk. Pidatonya sangat sistematis. Rangkaian kalimat dibangun dengan logika, dan juga angka-angka argumentatif. Tidak betele-tele, tak terlalu panjang, dan pesannya selalu jelas. Dia pembicara yang baik. Bukan gombal. Tetapi juga nalar. Namun, nahas. Apa saja sikap dan wacana pemerintah yang direpresentasikan oleh Presiden SBY, Wapres Boediono, atau para menteri, termasuk oleh anggota DPR, selalu ditanggapi minor. Seakan-akan ada frame, bahwa pemerintah, atau SBY mestilah salah. Bukan The King can do not wrong, tetapi sebaliknya. Mulai dari kasus Century, Munir, tragedi Trisakti dan Semanggi, lambannya pergantian Kapolri dan Jaksa Agung, masalah keistimewaan DIJ, soal cicak versus buaya, bencana alam, lambannya penanganan kasus korupsi dan berbagai kasus yang mendera bangsa ini, dilamatkan sebagai kelemahan atau kesalahan SBY. Persis rezim Orde Baru. Semua dipersalahkan kepada Soeharto. Padahal, yang bercokol di rezim Orde Baru ada banyak menteri, jenderal, para politikus, anggota parlemen, pengusaha papan atas dan sebagainya. Kebijakan Orde Baru yang sedemikian luas, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya, rasanya tak mungkin diputuskan oleh Soeharto sendirian. Sebelum jadi presiden, dia hanya seorang Mayor Jenderal di Kostrad yang tak mungkin tahu segala hal. Bahkan yang diadili di meja hijau pun hanya segelintir. Kasus Soeharto terputus di tengah jalan karena kondisi kesehatan yang secara hukum memungkinkan dia tak bisa dilanjutkan peradilannya. Uniknya, tokoh lain di sekitar Soeharto tak tersentuh hukum. Semua bebas melenggang kangkung. Padahal sedemikian banyak kebijakan Orde Baru yang salah. Di berbagai bidang. Ya, ekonomi, hukum, sosial, HAM, hingga kekerasan dan penghilangan nyawa serta lain sebagainya. Tetapi Soeharto diadili dan dipersalahkan justru setelah ia tak berkuasa, dan terus dipersalahkan setelah beliau meninggal dunia. Memang yang selalu menyalahkan SBY hanya segelintir para pengamat, politikus, NGO tertentu.

Belum tentu juga mewakili ratusan juta rakyat Indonesia. Buktinya, dalam Pilpres, SBY memenangkan pertarungan. Namun pengaruhnya ketika ditayangkan di televisi atau media cetak bisa merasuki banyak orang. Sampai ada komentar di Facebook, bahwa kita susah payah menang 2-1 melawan Thailand gara-gara SBY, Ibu Ani dan sejumlah menteri menonton laga itu melalui televisi dan disiarkan media pula. Astaga, bro ! Bahkan ia menulis syair lagu dan menyanyikannya pun dipersalahkan, bak kisah ayah dan anak dengan seekor keledai yang serba salah itu. Bukannya kritik tidak penting, bahkan perlu, sepanjang tak melihat dunia ini dengan kacamata hitam melulu. Tetapi ibarat permainan sepakbola dan lakon teater, para aktor kenegaraan pun membutuhkan "good will" masyakarat.

Manusia itu ada narsisnya, anugerah Ilahiat belaka, sepanjang tidak berlebihan melampaui porsinya. Narsis dan Marxis itu beda, pasti !. Yang terakhir ini memang melegitimasi pertentangan kelas sebagai paradigma perjuangan. Kinerja SBY, bagaimana? Tak patut dipuji? Soal korupsi dinilai gagal karena semakin banyak saja kasus korupsi yang tersibakkan di Indonesia. Tunggu dulu. Bukankah itu sebuah sukses? Justru akan dinilai gagal manakala kasus korupsi semakin sedikit yang terungkap padahal reformasi birokrasi belum terselenggara dengan baik, bahkan masih jauh panggang dari api. Resumenya, penegakan hukum telah bekerja dan akan terus bekerja. Jangan kaget jika akan semakin kasus korupsi yang terungkap di masa depan. Mungkin, memang tidak drastis. Korupsi habis dalam tempo sekejab? Mustahil. Ekspektasi publik mungkin terlalu besar. Bagus-bagus saja sehingga menjadi cemeti bagi pemerintahan SBY untuk bergerak tahap demi tahap dengan tren yang kian baik. Pula penegakan hukum tak seperti perang yang tinggal menembakkan peluru untuk membunuh musuh. Selalu ada proses, apalagi sistem meja hijau mengenal hirarki dari tingkat pertama hingga kasasi bahkan peninjauan kembali. Kita harus belajar dari lapangan hijau tatkala timnas memenangkan empat pertarungan melawan Malaysia, Laos, Thailand dan Filipina. Dukungan semua stasiun televisi, infotainment, media radio, dotcom, termasuk fans sepakbola dari berbagai lapisan sosial, termasuk selebritis dan gadis-gadis cantik, penonton berjubel adalah sesuatu yang tak dimiliki pentas politik di negeri ini.

Kesimpulannya : ..... "Di GBK tak ada bendera parpol, LSM pengunjuk rasa serta kaum oposan. Di GBK hanya ada pecinta sepakbola yang merindukan nama PSSI kembali berkibar, kendatipun banyak yang tak menyukai Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI itu. Tapi apalah arti Halid dibanding Indonesia, seperti halnya SBY dibanding negeri ini? Panggung politik bolehlah belajar dari politik sepakbola yang menyatukan, bukannya memisahkan karena politik kepentingan dan kepentingan politik".

:: Sebagian tulisan dari Bersihar Lubis (Riau Pos, 18/12/2010). Foto : jppn.com dan myopera.com

Markus Harison Rihihina (kiper), Mohamad Nasuha, Zulkifli Syukur, Maman Abdurachman, Christian Gerard Alfaro Gonzalez, Bambang Pamungkas, Oktavanius Maniani, Arif Suyono, Firman Utina (kapten), Ahmad Bustomi, Yongki Ariwibowo, Muhammad Ridwan, Hamka Hamzah ...... Danke alias Tarimo Kasih !! (konon ... kata seorang teman saya, berkah dari semua ini, tiket GARUDA pun mulai naik .. hehehehehe). Kalian "pejuang". Titik






Tidak ada komentar: