Persepsi yang terbangun adalah bagaimanapun wanita harus dianggap “lemah”. Dianggap sebagai sesuatu yang ideal untuk “mengerangkeng” potensi wanita. Padahal, bukan “mengerangkeng” mereka, yang harus dilakukan adalah “mengerangkeng” nilai-nilai yang membuat wanita “terkerangkeng”).
Pernah ada anekdot feminis yang bagus yang saya kutip dari Ariel Heryanto (2000). Saya modifikasi "sedikit). Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasamaa. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menjelaskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alas an keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.
Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens. Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh. Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu berkembang belakangan ini yang dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah public (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” public. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki.
Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun consensus sosial. Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantic) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topic makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan. Dalam konteks diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.
Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa berdasarkan genetically. Hampir seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic releigion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa Eksistensialisme - sebagai bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan, Bandung: Mizan, 1993, hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006. Novel Saman karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan justifikasi-historis-teologis ini (walau terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis Abrahamic Religion mengenai nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa, lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, Bandung: Mizan, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar