Selasa, 14 Desember 2010

Gender dan Teror Kekuasaan : "Ketika Tubuh Wanita Menjadi Sasaran Tembak" (Bagian 2)

Oleh : Muhammad Ilham

Saya mulai dari potongan berita di vivanews.com, berikut :


“Saya tidak menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”[1]

Salah satu berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian. Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno, Dede Yusuf dan lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque, Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang gugur dalam proses seleksi. Persoalan financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka memiliki uang yang cukup. Maka, Ayu Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak.

Belum habis perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan lebih dikenal sebagai artis “bodi semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, public pun terbelah. Ada yang mendukung dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat dibandingkan ide-ide cemerlang. Bahkan di jejaring facebook dan twitter terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai Demokrat tak mau berjudi.


Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai Golkar/mantan Ketua HMI), “lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres, Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal (lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio, Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang hingga sekarang masih “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan.


Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy” dan identik dengan budaya hippies, maju menjadi calon kepala daerah.


Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih “bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi ini hanyalah ingin menjegal atau memberio warning pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya.
Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi. Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan seterusnya.

Angelina Sondakh itu cantik. Dengan muka tirus-nya, kita merasa nyaman memandangnya. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart. Sekarang ia dianggap sebagai representasi artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar, bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – Adjie Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya.[2] Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat” bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid.[3] Mungkin karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono X berkaitan dengan Keistimewaan daerah Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengkubowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya. Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas. Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo merasa Partai Demokrat adalah “actor utama” penggerogotan dominasi politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislative di Yogyakarta (2009) mengalahkan Golkar[4], tentunya posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan.

Mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keratin. Diskusi menjadi hangat ketika Anggelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo.

Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hampir semuanya menjadikan “kewanitaan” Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat.[5] Bagi saya, analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Fauzi Bahar dengan Eko Patrio di Kota Padang. Saya tidak ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain democrat yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya otak Anggie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Micchele Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer dan Nicola Markel, tapi Anggie yang Sondakh ini akan selalu tetap dianggap debatable memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana Tugas Harian yang nota bene­-nya tidak permanen.

Karena ia tak bisa mengalahkan charisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan, kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa (setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada public yang kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan) wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita, mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).


Saya tidak memberikan kesimpulan yang bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah, kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini public untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik, mengatakan who get what how and when. Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena kewanitaannya.

Catatan Pendukung
:

  1. Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah memiliki investasi politik. Ia memiliki charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan “menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Harold Lasswell, benar.[6]
  1. Nyi Ontosoroh, dalam Tetralogi[7] Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil saja substansinya), ia berkata : “kamu harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu, kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.
  1. Sebelum abad ke-15 M., Dennys Lombard[8] dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normative-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.
[1] http.://www.detiknews.com/kontroversipasalzina/html. diunggah tanggal 1 Desember 2010
[2] Kepintaran dan track-record Anggelina Sondakh bisa dilihat di http.://www.anggelinasondakh.com/. Tapi sayang, artikel-artikel buah pemikirannya tidak bisa didownload.
[3] Istilah ini saya pinjam dari dialog pakar politik Ikrar Nusabakti di Metro TV pasca kemenangan Anas Urbaningrum jadi Ketua Umum Partai Demokrat.
[4] Padahal Sultan Hamengkubowono X merupakan fungsionaris Partai Golkar, tapi kemenangan fenomenal Partai Demokrat hampir disemua propinsi di Indonesia (kecuali : Sulawesi Selatan, Bali dan Gorontalo) memperlihatkan bagaimana strategisnya posisi ketua umum Partai Demokrat.
[5] Dikutip bebas dari http.://www.detik.com/mengapaanggelinasondakhdianggap taklayak/html (berita tanggal 8 Desember 2010), diungguh tanggal 12 Desember 2010
[6] Disadur dari Muhammad Ilham, Kumpulan Kliping 3 (tidak dipublikasikan)
[7] Lebih lanjut lihat Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1999
[8] Lebih lanjut lihat Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Bagian II), terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 1999

:: (Makalah yang disampaikan dalam Acara Diskusi Gender, PSW IAIN Padang, Desember 2010)

Tidak ada komentar: