" ... dipintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling ! (Chairil Anwar)
(Tulisan ini tak terlalu panjang). Sejarah mencatat, manusia tidak hanya memuja Tuhan seumpama Al-Adawiyah, tapi juga memperolok-olokkan Tuhan, menjadikan Tuhan sebagai lelucon yang tak berbalas, bahkan "membunuh"-Nya. Coba kita lihat filosof-seniman yang dikenal "tidak waras" Gunter Grass, dengan enteng mengatakan : " Saat Tuhan masih duduk di bangku Sekolah Dasar di surga sana, Tuhan pernah memiliki gagasan untuk menciptakan dunia bersama teman sekolahnya, Iblis yang berbakat". Lalu ini kemudian ditingkahi oleh William Friedrich Nietsche, yang dekat akhir hayatnya "gila" dalam bukunya The Spoken of Zarathustra (telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia) : "Nietzche membunuh Tuhan yang masih kanak-kanak tadi dan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa, "Tuhan sudah Mati!". Dan Tak lama sesudah itu, Nietzche pun wafat. Untuk memperingati kematian Nietsche itu, maka pada sampul depan sebuah jurnal filsafat tertulis, "Nietzche sudah mati!" tertanda, Tuhan. Masya Allah !!. Dalam pengembaraan alam pikiran, ada intisari fundamental yang ditujukan pada diri manusia yaitu bertanya. Saat belajar mengenal Tuhan, hanya ada dua konsekuensi yang dikenalkan : surga dan neraka, pahala dan dosa, baik dan buruk serta anonim dan antonim lainnya. Pengenalan tatanan itu hanya bentuk dari ancaman, reward dan punishment yang diberlakukan, sebagaimana majikan terhadap buruh dan peniadaan kontemplasi.
Namun perjalanan mengenal Tuhan tidak akan pernah berhenti pada titik itu, hingga Gunter Grass dan Nietzche lebih memilih untuk menantang, mengolok-olok, bahkan membunuh Tuhan. Pengembaraan terus berlanjut dan perjalanan mengenal Tuhan akan terus berlangsung dalam sejarah peradaban manusia. Namun tetap tak pernah ada kata yang bisa mewakili jawaban itu, meskipun muncul dari orang yang pintar merangkai kata dan pandai menyusun syair. Jawaban itu bukan rangkaian kata yang tersusun rapi. Ia menyejukkan jiwa seperti udara pagi di pegunungan. Jawaban itu ada di sini, di dalam hati. Seperti jawaban Rabi’ah Al Adawiyah : Ya Tuhanku/Jika aku menyembah-Mu karena takut Neraka-Mu/Maka bakarlah aku di dalamnya/ Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu/Maka haramkan tempat itu bagiku / Tapi jika aku menyembah-Mu karena mengharap cinta-Mu/Jangan Kau enggan palingkan wajah-Mu dariku.
Namun perjalanan mengenal Tuhan tidak akan pernah berhenti pada titik itu, hingga Gunter Grass dan Nietzche lebih memilih untuk menantang, mengolok-olok, bahkan membunuh Tuhan. Pengembaraan terus berlanjut dan perjalanan mengenal Tuhan akan terus berlangsung dalam sejarah peradaban manusia. Namun tetap tak pernah ada kata yang bisa mewakili jawaban itu, meskipun muncul dari orang yang pintar merangkai kata dan pandai menyusun syair. Jawaban itu bukan rangkaian kata yang tersusun rapi. Ia menyejukkan jiwa seperti udara pagi di pegunungan. Jawaban itu ada di sini, di dalam hati. Seperti jawaban Rabi’ah Al Adawiyah : Ya Tuhanku/Jika aku menyembah-Mu karena takut Neraka-Mu/Maka bakarlah aku di dalamnya/ Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu/Maka haramkan tempat itu bagiku / Tapi jika aku menyembah-Mu karena mengharap cinta-Mu/Jangan Kau enggan palingkan wajah-Mu dariku.
Sumber : Faridhuddin Athar (1999), Jalaluddin Rumi (2000), Nietszhe (2001), Ali Shariati (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar